Tampilkan postingan dengan label Celotehan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Celotehan. Tampilkan semua postingan

17 November 2012

Celotehan tentang Bisnis (Awal)

Sebulan dua ini, saya mengalihkan fokus dan waktu belajar saya pada materi manajemen dan kepemimpinan bisnis. Saya mulai buka-buka lagi simpanan lama, macam buku Winning Jack Welch, hingga menggali materi web Harvard Business Review. Sampai berlangganan segala, lho..

      

Selain membaca, saya juga kadang menonton ceramah pemimpin bisnis macam Teddy Rahmat di Youtube. Bahkan, saya beberapa kali datang langsung pada diskusi bisnis macam Corporate Finance-nya Iwan Pontjowinoto di IA-ITB. Terus terang, rangkaian aktivitas ini memang membuat lumayan keblinger, atau istilah ABG pecinta diskusi: orgasme intelektual.

Teddy P. Rachmat, pemimpin bisnis terkemuka di Indonesia

Setelah menyelesaikan sekolah bisnis dan manajemen bulan lalu, saya makin mawas diri kalau pengetahuan dan pengalaman saya soal bisnis dan manajemen belum memadai. Boro-boro mau punya business wisdom alias kebijaksanaan, wong hasilnya belum kelihatan. Memang benar kata dosen saya bahwa kuliah week end hanya memberikan pelajaran pada kulitnya saja, sedangkan isinya harus dicari sendiri. Jadi, sudah waktunya nih mulai usaha cari isinya nih..

Pada beberapa posting, saya akan mendokumentasikan beberapa hasil perenungan dan inspirasi pada topik bisnis dan manajemen. Moga-moga tidak terlalu klise, tapi ga janji deh.. :)

24 Oktober 2011

Celotehan tentang Budaya Alkohol (Bagian 2)

Oktoberfest in Munich

Upaya memahami hubungan alkohol dan perilaku seseorang dimulai dari menyadari adanya variasi budaya. Seseorang mendapatkan konsepsi tentang minuman beralkohol melalui norma masyarakat di mana ia tinggal. Faktor sosial dan ritual memiliki pengaruh sangat penting dalam budaya alkohol.

Minum minuman beralkohol memiliki fungsi sosial yang penting. Social drinking merupakan budaya minum minuman beralkohol dengan tujuan sosial tanpa maksud untuk mabuk. Sajian makanan pada perayaan umumnya dilengkapi dengan minuman beralkohol. Menawarkan minuman beralkohol secara cuma-cuma dianggap sebagai keramahan bagi tamu di beberapa tempat. Salah satu puncak perayaan sosial terhadap alkohol adalah festival bir tahunan. Oktoberfest di Munich merupakan festival bir terbesar di dunia dihadiri oleh jutaan orang dari seluruh dunia.

Tingkat konsumsi alkohol perkapita tiap daerah memiliki variasi yang sangat luas. Dari survei 188 negara, Moldova merupakan negara dengan tingkat konsumsi tertinggi (18,2 L perkapita), diikuti dengan Cheko dan Hongaria yang ketiganya sama-sama berada di Eropa Timur. Di antara negara Asia, Korea Selatan memegang tingkat konsumsi tertinggi no. 13 (14,8 L perkapita). Di antara negara mayoritas Muslim, Nigeria merupakan yang tertinggi, yaitu negara ke-28 (12,28 L perkapita). Indonesia sendiri berada pada negara ke-172 (0,59 L perkapita).

Permasalahan terkait alkohol tidak otomatis berhubungan langsung dengan tingkat konsumsi alkohol. Permasalahan terkait alkohol ini justru lebih terkait dengan bagaimana suatu etnis dan kebudayaan menangani alkohol. Setiap masyarakat memiliki kepercayaan dan aturan mengenai minuman beralkohol dan mempengaruhi bagaimana sikap terhadapnya.

Permasalahan terkait alkohol menjadi sangat kecil dalam budaya dengan penyikapan alkohol yang terintegrasi dengan ritual agama, kebiasaan sosial, dan kendali pribadi dan sosial sangat baik. Beberapa studi antropologi mengungkapkan bahwa kekerasan terkait alkohol tidak berhubungan langsung dengan alkohol itu sendiri. Orang dalam pengaruh alkohol melakukan kekerasan akibat perilaku yang dipelajarinya hasil meniru orang lain.

Orang Italia memiliki budaya minum secara luas, tetapi memiliki tingkat masalah alkohol yang rendah. Tingkat konsumsi alkohol negara Italia memang relatif tinggi (10,7 L perkapita), tetapi budaya Italia telah mengintegrasikan alkohol dalam norma sosialnya. Sejak kecil, anak-anak diajari bagaimana minum minuman beralkohol sebagai bagian kehidupan normal mereka, biasanya saat makan. Tingkat konsumsi alkohol diatur, orang tidak dipaksa secara sosial untuk minum, dan penolakan tawaran minum tidak dipandang sebagai penghinaan. Budaya minum Italia merefleksikan kedekatan sosial sebagaimana adanya, bukan usaha untuk mencapainya. Perilaku budaya inilah yang membuat alkohol dalam budaya Italia kurang berdampak negatif.

Italian Culture on Alcohol and Children

Beberapa studi menunjukkan gender juga mempengaruhi konsumsi alkohol. Pria cenderung lebih banyak mengonsumsi alkohol dibandingkan wanita. Di samping itu, penyalahgunaan alkohol juga sering terkait dengan kekerasan seksual pria terhadap wanita. Kaitan semu antara alkohol dan kejantanan menjadi faktor utama yang menyebabkan perbedaan konsumsi alkohol antargender ini. Padahal sejak lima abad lalu, Shakespeare telah mengatakan tentang alkohol, “It provokes the desire but it takes away the performance.”

Alkohol dan Sikap

Dengan globalisasi yang terjadi saat ini, seluruh budaya akan berinteraksi antara satu dengan lainnya. Tentunya budaya alkohol satu juga akan berinteraksi dengan budaya alkohol lainnya. Perbedaan pandangan terhadap alkohol sudah pasti akan timbul dan membutuhkan sikap yang tepat.

Pelarangan pemerintah terhadap alkohol atau pembatasan ketersediaannya di pasaran bukan merupakan solusi yang tepat. Hal ini malah menimbulkan fenomena pasar gelap dan ekonomi bawah tanah, seperti yang terjadi pada Volstead Act di Amerika Serikat pada tahun 1920-an. Pada masa ini, kejahatan terorganisasi meningkat drastis akibat peningkatan cadangan uang para mafia hasil dari penyelundupan alkohol, seperti misalnya yang dilakukan oleh Al Capone dan Mickey Duffy.

Pemahaman dan penyikapan variasi budaya alkohol menjadi penting. Pada Islam dan budaya lain yang membatasi alkohol, hal ini menjadi lebih penting. Dengan tetap berkeyakinan untuk tidak mengonsumsi alkohol, toleransi terhadap budaya yang terbuka pada alkohol menjadi penting dalam diversitas budaya global.

Sebaliknya, budaya yang terbuka pada alkohol juga perlu memahami dan bertoleransi terhadap budaya yang tertutup terhadap alkohol. Dengan sikap ini, moga-moga kepercayaan dan perilaku seseorang terhadap konsumsi alkohol tidak mempengaruhi penerimaan sosial terhadapnya. Saya beberapa kali mengalami situasi di mana seorang yang tidak mengonsumsi alkohol mengalami tekanan sosial saat bergaul dengan komunitas yang sedang mengonsumsi alkohol.

Aturan sosial yang sehat terhadap alkohol perlu dibangun. Pertama, konsumsi alkohol perlu diatur melalui kebiasaan sosial sehingga orang dapat mempelajari norma konstruktif dari kebiasaan minum minuman beralkohol. Kedua, kebiasaan baik dan buruk terhadap alkohol serta perbedaan antara keduanya perlu diajarkan secara terbuka. Ketiga, alkohol harus tidak dipandang meniadakan kontrol pribadi; kemampuan konsumsi alkohol secara bertanggung jawab perlu diajarkan, perilaku mabuk yang tidak sesuai perlu diberikan sanksi.

***

Alkohol adalah fakta budaya manusia, ia masuk ke dalam aspek pribadi dan sendi sosial. Alkohol hadir dalam kehidupan sehari-hari, baik kesenangan maupun kesedihan. Beberapa orang bahkan mendapati sumber spiritualitas di dalamnya. Seperti yang dikatakan Umar Khayyam dalam puisinya:

“Garis hidupku adalah meneguk anggur dan bersuka ria,
Bebas dari percaya dan ingkar adalah keyakinanku.
Kutanya Mempelai-Nasib: "Siapa teman hidupmu?"
Jawabnya: "Teman hidupku adalah hatimu yang gembira
."

23 Oktober 2011

Celotehan tentang Budaya Alkohol (Bagian 1)

OktoberfestTaybeh Beer from Palestine

Apakah alkohol dan Islam adalah oxymoron? Ini adalah pertanyaan bagi saya minggu ini. Dalam sebuah perambanan (browsing) beberapa waktu lalu, saya menemukan sebuah artikel alkohol dan budaya Islam. Setelah membagi tautan di facebook dan twitter, beberapa teman menemukan ulasan alkohol ini juga menarik, bahkan ada yang mengatakannya menggelitik.

Keingintahuan saya kemudian muncul. Saya jadi bertanya-tanya, ada apa dengan alkohol? Bagaimana alkohol menjadi budaya manusia? Mengapa ada variasi sikap agama terhadap alkohol? Lalu, bagaimana keberlanjutan penemuan tentang alkohol mempengaruhi sikap terhadapnya? Berikut adalah sekilas laporan investigasi usaha pencaritahuan menjawab pertanyaan di atas.

Alkohol dan Sejarah Peradaban Manusia

Alkohol menyatu dengan budaya manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Masing-masing peradaban manusia telah mengembangkan sendiri pola produksi dan konsumsi alkohol sebagai bahan makanan-minuman. Ciri khas budaya setempat, termasuk kondisi geografis dan sosiologis, mempengarui bagaimana alkohol diperlakukan. Hasilnya adalah variasi budaya yang luas terhadap berbagai jenis minuman beralkohol di berbagai belahan bumi.

Teknologi fermentasi alkohol tertua telah ditemukan pada peradaban Mesir kuno sejak abad 10 SM. Orang Mesir kuno percaya bahwa Osiris sebagai dewa terpenting, menemukan bir yang merupakan minuman penting dalam kehidupan. Pada masa itu, minuman beralkohol digunakan pada kesenangan, makanan, pengobatan, ritual, bahkan penguburan. Dalam ritual penguburan Mesir kuno, minuman beralkohol diletakkan di sisi makam untuk diminum orang yang mati pada kehidupan setelah matinya.

Jauh sebelum sanitasi ditemukan, peradaban manusia mampu bertahan salah satunya karena minuman beralkohol. Karena sifat alkohol membunuh mikroorganisme, minuman beralkohol telah banyak menyelamatkan manusia  dari potensi penyakit pencernaan, seperti kolera atau disentri. Penemuan antropologi bahkan menemukan bahwa bir digunakan sebagai sumber antibiotik oleh bangsa Mesir kuno untuk pengobatan. 

Seperti kita lihat pada film 'Pirates of the Carribean’, minuman utama para pelaut adalah rum. Hingga awal era modern, pelayaran menggunakan minuman beralkohol sebagai sumber hidrasi utama (bahkan satu-satunya) karena kemampuannya bertahan tidak basi dalam jangka panjang. Bisa dibayangkan bagaimana pelaut hanya meminum minuman beralkohol selama berlayar?

image

Alkohol, Sains, dan Medis

Setiap bahan makanan memiliki kebaikan dan keburukan bagi kesehatan, tergantung jumlah dan frekuensinya. Salah satu contoh ekstrim adalah minum air putih. Ia memiliki kebaikan dan keburukan tergantung dosisnya. Terlalu banyak minum air juga bisa menimbulkan kematian, seperti yang terjadi pada Jennifer Strange yang mati setelah perlombaan minum air tahun 2007.

Terkait dengan minuman, Heinz Valtin, seorang spesialis ginjal, bahkan memeriksa keabsahan nasihat tentang minum air delapan gelas sehari. Valtin menemukan bahwa minum sebanyak ini dapat berbahaya karena potensi hiponatremia (kekurangan ion natrium) dan paparan terhadap polutan, serta membuat orang merasa bersalah tidak cukup minum.

Alkohol, seperti sumber makanan-minuman lain, memiliki efek positif dan negatif. Keburukan alkohol telah diketahui umum dan menjadi masalah utama di berbagai tempat, terutama alkoholisme alias ketergantungan terhadap alkohol. Hal ini menjadi masalah kesehatan fisik dan mental, serta menjadi masalah sosial.

Dosis alkohol terlalu besar diketahui berpengaruh buruk pada liver, saraf, dan organ lainnya. Konsumsi alkohol berlebihan juga dapat menimbulkan beberapa jenis kanker. Faktor genetik dan fisiologis diketahui berpengaruh besar pada respon terhadap alkohol. Faktor lingkungan, termasuk trauma masa kecil, juga berpengaruh besar terhadap hal ini.

Di sisi lain, konsumsi alkohol dalam jumlah kecil dan menengah juga memiliki efek positif terhadap kesehatan. Konsumsi alkohol secara terbatas telah diketahui sejak lama mengurangi resiko penyakit jantung, stroke, dan diabetes. Belakangan juga diketahui bahwa konsumsi alkohol dalam jumlah terbatas juga meningkatkan daya kognisi dan memori.

Jadi, yang menjadi masalah utama adalah tingkat konsumsi alkohol yang berlebihan. Alkohol dalam konsumsi terbatas memiliki efek yang positif dan negatif yang hingga saat ini masih diteliti lebih lanjut.

Alkohol dan Agama (terutama Islam)

Hubungan agama terhadap minuman beralkohol bervariasi. Pada agama Kristen dan Yahudi, konsumsi alkohol tidak dilarang secara eksplisit, tetapi tetap diatur secara ketat. Agama Kristen memberikan waktu dan tempat yang khusus bagi alkohol, misalnya pada minuman anggur pada altar. Sementara itu, penganut Budha dilarang mengonsumsi alkohol.

Dalam pandangan Islam secara umum, konsumsi minuman keras diharamkan. Sumber pelarangan ini muncul dalam tiga tahapan ayat Al-Quran, mulai dari (1) ayat yang melarang untuk melakukan shalat ketika sedang mabuk; kemudian (2) ayat yang menyatakan bahwa ada kebaikan dan keburukan pada minuman keras tetapi keburukannya lebih banyak; hingga terakhir (3) ayat yang menyatakan bahwa minuman keras merupakan pekerjaan setan.

Berkaitan dengan referensi Al-Quran ini, terdapat beragam penafsiran. Pertama, penafsiran yang secara ketat menolak segala macam yang berkaitan dengan alkohol. Dalam hal ini, kadar alkohol sesedikit apapun akan membuat makanan-minuman menjadi haram. Konsekuensinya, apapun makanan-minuman yang mengandung alkohol tidak diizinkan untuk dikonsumsi, termasuk obat berkadar alkohol rendah.

Kedua, penafsiran yang hanya menolak makanan-minuman dengan kadar alkohol yang tinggi dan berpotensi memabukkan, sedangkan kadar alkohol rendah diperbolehkan. Syeikh Yusuf Qardhawi, seorang ulama terkenal asal Mesir, pada tahun 2008 mengeluarkan fatwa kontroversial bahwa seorang muslim diperbolehkan mengonsumsi sejumlah kecil alkohol, yaitu yang berkadar kurang dari 0,5%. Qardhawi berpendapat bahwa proses fermentasi dalam makanan-minuman terjadi secara alami dan menghasilkan alkohol dengan jumlah yang sangat kecil sehingga tidak diharamkan.

Melihat sejarah Arab, baik sebelum dan sesudah Islam hadir, ternyata para tokoh Arab menerima secara luas kehadiran alkohol. Khalifah Harun Ar-Rasyid yang terkenal dari dinasti Abbasiyah memiliki reputasi alkohol yang sangat kental, di luar gelar sebagai Amirul Mu’minin (pemimpin orang yang beriman). Beberapa ulama bermahzab Hanafi mengharamkan minuman alkohol berbahan anggur (khamr), tetapi menghalalkan minuman alkohol berbahan non-anggur (nabitz). Bahkan, cendikiawan macam Umar Khayam dan Jalaluddin Rumi juga mengagungkan anggur pada berbagai karyanya.

Salah satu kontroversi terkait alkohol di Indonesia terkait hal ini adalah seputar pengharaman produk Bintang Zero oleh MUI. Bintang Zero merupakan minuman tidak beralkohol yang diproduksi oleh perusahaan yang juga memproduksi bir Bintang, merek bir terbesar di Indonesia. Pengharaman tersebut terjadi karena kemiripan proses produksi Bintang Zero non-alkohol dengan Bir Bintang yang beralkohol, padahal kandungan alkohol Bintang Zero sendiri tidak terdeteksi dengan alat dengan sensitivitas tinggi (0,1% v/v). Di sisi lain, makanan khas Indonesia, tape ketan, memiliki kadar alkohol mencapai 3.3% setelah fermentasi 60 jam, dinyatakan halal oleh MUI.

(bersambung)

16 Januari 2011

Celotehan tentang Evolusi Manusia (1)

Saya agak heran karena belakangan ini saya jarang menemui orang yang tidak mempercayai teori evolusi. Bukannya apa-apa, pengalaman saya sewaktu kuliah di jurusan Biologi, bahkan ada dosen Biologi sendiri yang tidak mempercayai teori evolusi dan mengatakan pada mahasiswa bahwa teori ini bohong belaka. Pada pusat pendidikan yang mengkaji proses evolusi, ada pendidiknya yang tidak mempercayai terjadinya proses evolusi ini. Saya jadi jadi bertanya-tanya, apa mungkin saat ini konsep evolusi sudah diterima luas? Atau jangan-jangan jaringan pertemanan saya sendiri tidak terlalu luas dan homogen sehingga menemui orang yang cenderung sepemikiran saja?

Bahasan evolusi yang sering menjadi kontroversi ialah evolusi pada manusia. Sering ada yang tersinggung dengan pernyataan bahwa nenek moyang manusia adalah kera. Lebih dari satu abad yang lalu, Thomas Huxley mengatakan nenek moyang manusia adalah kera. Argumen yang diajukan Pak Thomas adalah bahwa terdapat banyak kemiripan antara manusia dan kera. Tetapi perbedaan antara manusia dan kera jadi terlihat sangat jauh kalau kita melihat kapabilitas mental dan perilaku moral antara kedua spesies ini. Mari kita bahas mengenai evolusi yang terjadi pada manusia sehingga terdapat perbedaan sangat signifikan antara manusia dan kera.

***

Populasi manusia (Homo sapiens) telah berkembang pesat dan menyebar luas sejak 50 ribu tahun terakhir. Diperkirakan populasi manusia pada tahun 9000 SM hanya ada sekitar 5 juta saja. Akan tetapi dengan perkembangan yang pesat ini, ukuran populasi manusia saat ini diperkirakan sekitar 6,9 miliar.

Bandingkan dengan kera yang secara genetik dekat dengan manusia dan juga memiliki kecerdasan yang tinggi, yaitu orang utan (Pongo pygmaeus). Hewan ini tidak dipertimbangkan sebagai spesies yang sukses. Populasinya terbatas di Indonesia saja dan jumlahnya sangat kecil, bahkan terancam punah. Studi oleh pemerintah RI tahun 2007 memperkirakan bahwa populasi orang utan tinggal sekitar 61 ribu saja.

Ukuran populasi manusia yang 100 ribu kali lebih tinggi dibandingkan orang utan menyebabkan peluang terjadinya mutasi lebih tinggi. Angka terjadinya mutasi yang tinggi ini menyebabkan  proses evolusi pada manusia terjadi lebih cepat. Dalam 10 ribu tahun terakhir, perubahan genom manusia terjadi sangat cepat, mengubah mulai dari sistem pencernaan hingga tulang manusia. Laju evolusi ribuan tahun terakhir ini jauh lebih besar daripada laju evolusi jutaan tahun sebelumnya. Perbandingan jangka panjang antara laju evolusi manusia dan laju evolusi simpanse, keluarga kera yang juga dekat dengan manusia, mencapai 10 hingga 100 kali.

Manusia memulai kebudayaan pertanian sekitar 10 ribu tahun yang lalu. Proses bercocok tanam dan beternak hewan mulai dilakukan. Aktivitas baru ini membutuhkan konsentrasi populasi manusia pada suatu tempat. Banyaknya individu manusia pada suatu tempat membuat berbagai penyakit menjadi lebih berbahaya, seperti misalnya pada penyakit malaria dan tuberkolosis.

Pola makanan juga mulai berubah mengikuti kebudayaan pertanian. Kekurangan daging dan kekurangan nutrisi secara umum menyebabkan postur tubuh lebih pendek serta gigi dan otak mengecil. Volume otak manusia mengecil dari 1500 cc menjadi 1350 cc dalam 20 ribu tahun terakhir.

Akan tetapi, gen yang baru muncul dari proses evolusi membuat populasi manusia dapat bertahan bahkan sukses berkembang. Misalnya, ada gen membuat manusia dewasa tetap bisa mencerna susu sehingga mengurangi terjadinya kekurangan nutrisi. Sebagai pertahanan tubuh, muncul pula gen yang bertanggung jawab pada kekebalan manusia terhadap penyakit malaria.

Dalam keseluruhan populasi manusia, tidak semua bagian mengalami laju evolusi yang sama. Populasi manusia Afrika mengalami laju evolusi yang lambat. Peyebaran manusia di mulai dari Afrika sehingga populasi awal manusia di Afrika sudah terbiasa hidup di daerah ini dan tidak perlu menyesuaikan terhadap iklim baru.

Pada daerah subtropis seperti di Eropa dan Asia Timur, laju evolusi manusia menjadi lebih tinggi karena kebutuhan adaptasi di daerah dan iklim baru ini. Misalnya, gen yang bertanggung jawab untuk warna kulit dan warna mata yang lebih terang muncul belakangan karena kebutuhan adaptasi ini.

Jadi, saya mengerti kalau James D. Watson, sang peraih nobel dan penemu bentuk struktur double helix rantai DNA, mengatakan bahwa orang Afrika secara genetis lebih tertinggal daripada orang Eropa. Salah satunya dapat diamati dari tingkat kecerdasan IQ-nya. Pembahasan seputar masalah ini telah saya tulis pada posting sebelumnya.

***

Melihat fenomena ini, saya jadi berpikir bagaimana menyikapi perbedaan antarmanusia ini. Arah dan kecepatan evolusi antarmanusia saja sudah sangat berbeda. Bagaimana menyikapi perbedaan ras yang secara alami muncul dari ekspresi genom manusia? Lalu bagaimana dengan berbagai pemisahan buatan manusia belakangan, macam agama, suku, dan negara?

Apakah kita cukup berusaha mencari persamaan saja? Atau sebenarnya kita akhirnya perlu menelanjangi perbedaan-perbedaan kita?

Lantas apa jadinya kalau kemudian kita tahu bahwa tiap manusia tidak satupun ada yang sama? Akankah kita siap melihat populasi kita apa adanya?

Reference :
Culture Speeds Up Human Evolution
Shrinking of the Human Brain and the Lesser Intelligent Race

23 Desember 2010

Markus Horison, Penalti, dan Keputusan Emosional

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya “Celotehan tentang Membuat Keputusan dan Neurosains.”

“Jangan membuat keputusan emosional. Keputusan harus dibuat dengan kepala dingin”, kata beberapa orang bijak yang pernah saya temui. Pernyataan ini merupakan nasihat umum yang sering dilontarkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Apa sebenarnya emosi?

Emosi sering dihubungkan sebagai feeling, mood, temperamen,  kepribadian, atau bisa juga motivasi. Seseorang bisa mengalami emosi positif, seperti gembira, bahagia, minat dan lain sebagainya. Sebaliknya, seseorang juga bisa mengalami emosi negatif, seperti sedih, marah, takut, dan lain sebagainya.

Dalam memutuskan suatu hal, emosi dikatakan tidak rasional dan harus dihindari. Idealnya, kita harus membuat keputusan secara sadar dengan melakukan analisa dari berbagai pilihan dan menimbang positif-negatif antara setiap alternatif.

***

Emosi pada manusia sangat penting dan berakar dalam dari perjalanan evolusi. Proses perkembangan otak hingga saat ini memakan waktu yang sangat lama. Sejak Homo sapiens muncul sekitar dua ratus ribu tahun yang lalu, banyak makhluk hidup yang telah muncul memiliki otak dengan berbagai kelebihan yang khusus.

Ikan telah mampu melakukan navigasi dengan medan magnet bumi dan burung dapat melakukannya dengan menggunakan rasi bintang berkat fungsi otaknya. Fungsi khusus bagi otak ini adalah sifat yang penting dalam survival menghadapi proses evolusi. Meskipun begitu, makhluk-makhluk ini tidak dapat merencanakan, menganalisa fenomena yang kompleks, atau juga menemukan alat untuk membantu kehidupan. Mereka adalah makhluk yang hidup hanya untuk hari ini saja. Mereka hidup dengan insting.

Evolusi otak rasional sangat berkembang pada spesies manusia. Hewan jenis manusia ini dapat melakukan refleksi bagaimana ia berpikir. Kita dapat berkontemplasi terhadap emosi sendiri, bahkan dapat mengakumulasi pengetahuan dan menganalisanya kembali untuk digunakan kembali pada hal-hal yang kita temui di masa selanjutnya. Perkembangan otak manusia dapat melakukan rasionalisasi terhadap stimuli yang ditangkap indera.

Seperti teknologi komputer keluaran terbaru, perkembangan desain otak rasional ini juga memiliki banyak error dan sering mengalami kecacatan. Oleh karena itu, kalkulator murahpun dapat melakukan penghitungan aritmatika lebih cepat daripada manusia umumnya. Kita juga sering tidak bisa membedakan antara korelasi dan sebab-akibat.

***

Di sisi seberang, otak emosional telah mengalami evolusi selama beberapa ratus tahun. Sejak nenek moyang manusia, sebelum manusianya sendiri ada, otak emosional ini telah mengalami adaptasi sesuai dengan seleksi alam. Otak emosional ini telah diuji sedemikian rupa sehingga dapat membuat keputusan yang sangat cepat berdasarkan informasi yang sangat terbatas.

Mari kita lihat proses mental yang dilakukan oleh Markus Horison, kiper timmas PSSI saat menghalau tendangan penalti. Tendangan penalti adalah waktu yang sangat kritis dalam pembuatan keputusan. Penalti berpengaruh sangat penting dalam hasil pertandingan sepak bola. Kecepatan tendangan penalti mencapai antara 100-130 kilometer per jam. Dengan jarak hanya 11 meter, bola bergerak dari titik penalti hingga ke gawang dalam waktu hanya 0,3-0,4 detik. (1)

Coba bayangkan dalam tempo sesingkat ini, setelah bola ditendang dari titik penalti, Markus harus memutuskan ke arah mana ia akan bergerak. Kira-kira seorang manusia membutuhkan 0,25 detik untuk menggerakkan ototnya sehingga tinggal 0,05-0,15 detik lagi untuk memutuskan ke arah mana Markus akan bergerak. Perhitungan ini juga perlu ditambahkan beberapa milidetik lagi untuk waktu informasi dari mata bisa sampai ke otak. Jadi bayangkan, dalam waktu 0,1 detik ini Markus harus memutuskan ke arah mana ia akan bergerak. Dalam kondisi yang sangat ideal sekalipun, otak membutuhkan 0,2 detik untuk merespon informasi yang didapatkan dari indera.

Keputusan ke arah mana Markus akan mengantisipasi bola penalti membutuhkan feeling, si otak emosional. Pada momen ini, otak Markus mulai mengumpulkan informasi tentang tendangan penalti pemain lawan ini jauh sebelum bola ditendang. Ketika pemain lawan sedang melakukan persiapan menendang bola, otak Markus mulai mengumpulkan informasi dan menangkap berbagai petunjuk untuk memperkecil kemungkinan ke arah mana pemain lawan akan menendang bolanya. Postur tubuh dan arah kaki menjadi petunjuk penting bagi Markus dalam menentukan ke arah mana ia akan bergerak. Bagaimana pemain lawan berlari menuju bola penalti menjadi petunjuk penting sesaat sebelum bola ditendang.

Di era modern, kiper melakukan studi dari video pertandingan sebelumnya. Statistik dan probabilitas kejadian dimunculkan dalam perhitungan. Akan tetapi pada akhirnya, kiper tidak mengandalkan video dan statistik untuk memutuskan bagaimana ia akan mengantisipasi tendangan penalti. Ia hanya menggunakan feeling-nya, otak emosionalnya. Arah kiri, kanan, atau tengah?

***

Dalam beberapa pengambilan keputusan, pendekatan emosional ternyata berfungsi lebih baik dibandingkan pendekatan rasional. Kita sering memutuskan suatu hal yang kita anggap benar tanpa mampu menjelaskan mengapa hal tersebut benar. Kita yakin itu benar, hanya tidak bisa menjelaskan secara rasional.

Pikiran rasional sebenarnya hanyalah sebagian kecil proses yang dilakukan oleh otak. Sebagian besar, apa yang kita pikirkan muncul dari emosi kita. Ada pikiran bawah sadar kita yang sebenarnya memproses informasi yang didapatkan dan akhirnya menghasilkan sejenis feeling yang merupakan suatu bentuk keputusan.

Kita menggunakan feeling secara otomatis dan sering terbukti berhasil. Belum ada komputer yang mampu melakukan hal ini. Ketika evolusi menentukan arah perkembangan otak manusia, feeling ini tidak digantikan oleh rasionalitas dan kontrol sadar otak manusia. Hasilnya, keputusan manusia sangat tergantung oleh pikiran primitif yang melandasinya. Proses berpikir membutuhkan feeling yang dapat diketahui tetapi tidak dapat dipahami secara langsung.

Oleh karena itu, Jonah Lehrer mengatakan dalam buku  How We Decide, “Pikiran tanpa emosi adalah impoten.”

Inspirasi :

7 Desember 2010

Celotehan tentang Membuat Keputusan dan Neurosains

Banyak keputusan yang harus kita buat dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari yang sederhana macam pilihan warna busana kita pagi ini, sampai hal yang lebih rumit seperti pria/wanita mana yang mau kita nikahi. Sering pula berbagai keputusan penting harus dibuat sangat cepat antara hidup dan mati.

Silakan dibayangkan. Saat Anda mengemudi mobil dalam kecepatan tinggi dalam tol yang padat, sebuah mobil lain tiba-tiba mengambil jalur Anda dari samping. Anda memutuskan menghindari si mobil pengambil jalur ini dengan cara membelokkan setir secara mendadak pula ke jalur lain. 

3701-004344, VEER John Churchman /Collection Mix: Subjects

Dalam tempo sepersekian detik, mengapa Anda memutuskan membelokkan setir? Bagaimana kalau ada mobil di jalur lain yang Anda potong itu? Mengapa tidak mengerem mendadak? Tapi ada potensi juga Anda mengalami tabrak belakang oleh mobil di belakang anda.

Mengapa kita bisa jadi mengambil keputusan lain pada kejadian sejenis pada waktu lain? Kita berharap bahkan keputusan yang mendadak diambil berhasil menghindarkan dari hal buruk. Dan moga-moga bukan karena keberuntungan belaka.

***

Pertanyaan seputar pembuatan keputusan telah muncul sejak ribuan tahun lalu dalam bermacam perspektif. Proses pembuatan keputusan sendiri adalah sebuah proses dalam pikiran kita. Ia melakukan pilihan dari beberapa alternatif. Dan setiap keputusan pasti menghasilkan satu pilihan akhir.

Sebelum neurosains berkembang, cara otak bekerja dan pikiran belum diketahui secara langsung. Pada masa sebelumnya, penelitian bagaimana manusia membuat keputusan hanya dapat dilakukan dengan mengamati perilaku manusia dari luar. Para pemikir seperti Plato dan Descartes melakukan pengamatan dan mengajukan beberapa teori tentang pikiran yang sangat penting.

Sejak jaman Yunani kuno abad ke-4 SM, Plato berasumsi bahwa manusia adalah rasional. Ketika kita membuat keputusan, kita harus secara sadar melakukan analisa dari berbagai pilihan dan menimbang positif-negatif antara setiap alternatif. Dengan kata lain, manusia ideal adalah makhluk yang logis dan melakukan sesuatu setelah berpikir dalam.

Asumsi ini menjadi pondasi dari ekonomi modern dan mendorong penelitian tentang sains tentang cara pikiran bekerja. Sejalan dengan waktu, rasionalitas mendefinisikan manusia. Kita berasumsi manusia yang terbaik adalah manusia yang paling rasional. Dan manusia yang makin tidak rasional, makin mirip dengan hewan.

Sebelum neurosains berkembang, kita melakukan dikotomi emosinal-rasional dan mengutamakan rasionalitas dalam pikiran. Kita memilih mengandalkan data statistik dan meninggalkan feeling;  ada persaingan antara Id dan Ego ala Freud; dan perkelahian antara otak reptil melawan lobus frontal kita ala MacLean.

***

Setelah berbagai penelitian neurosains tentang otak, ternyata asumsi manusia tentang rasionalitas dan cara otak bekerja adalah salah. Coba bayangkan kembali tentang keputusan Anda tadi ketika membelokkan setir mendadak saat mobil lain mengambil jalur mobil Anda. Tidak ada waktu untuk berpikir logis dan mendalam, keputusan yang Anda lakukan hanya berdasarkan feeling semata.

Manusia ternyata tidak didesain sebagai makhluk yang rasional. Pikiran kita tersusun dari jaringan yang semrawut tentang berbagai macam hal. Banyak bagian dari jaringan ini bertanggung jawab dalam proses pembentukan emosi. Ketika manusia membuat keputusan, otak terombang-ambing dalam perasaan dan dikendalikan dalam hasrat yang tidak mampu dijelaskan. Bahkan ketika kita berusaha untuk bertindak rasional dan logis, impuls emosional secara tidak sadar mempengaruhi keputusan kita.

Penelitian tentang pembuatan keputusan ujung-ujungnya ada dalam pikiran manusia. Cabang ilmu neurosains telah berkembang sangat pesat dalam rentang waktu seabad ini. Rahasia otak manusia sedikit demi sedikit mulai dapat kita ungkap. Berbagai kajian tentang pikiran, nafsu, spiritual, kesadaran (jiwa), hingga kehidupan (ruh) dapat dilakukan pendekatan melalui neurosains.

neuroscience.es

Perkembangan neurosains mengungkap bahwa pengambilan keputusan yang baik ternyata membutuhkan menggunakan dua sisi pikiran kita ini: emosi yang tidak teratur dan impulsif dan rasio yang teratur dan mampu menjelaskan. Keduanya memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing dan saling komplementer.

Ada keputusan yang harus dibuat secara rasional, ada pula yang harus dibuat secara emosional. Tidak ada solusi universal dalam pembuatan keputusan. Kehidupan nyata ini terlalu kompleks. Sebagai hasilnya, seleksi alam memberikan bakat pada otak kita untuk menjadi pluralis. Manusia dengan otak yang kurang pluralis secara evolusi tidak fit dan telah punah sejak dulu karena tidak mampu beradaptasi dengan kompleksitas kehidupan.

Dalam membuat keputusan, terkadang kita perlu memikirkan semua alternatif dan mempertimbangkannya secara matang. Tetapi terkadang, kita juga perlu memutuskan dengan mendengarkan feeling kita saja. Rahasianya adalah mengetahui gaya berpikir yang mana yang perlu kita jalani dalam memutuskan berbagai macam hal yang berbeda.

Jadi, kehebatan manusia sesungguhnya adalah mampu memikirkan bagaimana ia berpikir dan bagaimana seharusnya ia berpikir. Dan ini baru permulaan..

(bersambung)

 

Inspirasi :

21 Februari 2010

Bicara Soal Sarjana Biologi (Lagi)

HimaBio Nymphaea

Sekarang saya mau kembali urun bicara soal sarjana Biologi. Pada tulisan dulu sebelumnya, saya sudah pernah bicara mengenai urusan sarjana Biologi ini. Saat ini, saya hanya mau sekedar melakukan update saja mengenai perubahan kesimpulan apa saja yang terjadi setelah hampir tujuh tahun saya menyelesaikan pendidikan sarjana Biologi dan melanjutkan pelajaran saya ke dunia kerja.

Sebenarnya, corat-coret iseng mengenai sarjana Biologi ini adalah pe-er yang sangat sengaja saya berikan ke diri saya sendiri untuk dikerjakan secepatnya. Bukannya apa-apa, dari beberapa interaksi dengan sahabat  serta melihat beberapa hit pencarian di blog saya, ternyata banyak orang yang memerlukan informasi seputar pekerjaan untuk para sarjana Biologi.

Setelah saya lihat lagi di situs pencarian google, ternyata urusan pekerjaan untuk sarjana Biologi ini memang agak jarang ditemui. Saya jadi bertanya: apa iya keahlian sarjana Biologi tidak banyak dibutuhkan di lapangan pekerjaan di Indonesia? Ataukah memang dunia tenaga kerja memang hanya sedikit yang membutuhkan secara spesifik lulusan Biologi? Atau malah jangan-jangan sarjana Biologi ini dihindari dalam pencarian kebutuhan tenaga kerja?

Kalau boleh sedikit berkata sarkastik (jangan marah lho ya..), pandangan orang umum tentang sarjana Biologi saat ini adalah seputar orang-orang yang memperhatikan lingkungan, atau jago menghafal bentuk dan nama latin hewan dan tumbuhan, atau peneliti di lab dengan jas putih, atau malah kutu buku (geek). Sementara sarjana Biologi yang telah jauh meninggalkan dunia Biologi, melepaskan sejarah ke-Biologi-annya bergerak ke dunia yang lebih ‘nyata’.

Apa memang begitu ya?

***

Saya mengklasifikasikan diri saya sebagai orang yang kuper untuk mengetahui dunia pekerjaan untuk lulusan Biologi. Baik di pekerjaan maupun lingkungan permainan saya, jarang sekali ada lulusan Biologi yang saya temui. Kabar tentang lulusan Biologi ini paling-paling saya ketahui melalui kabar burung atau kabar elektronik dari teman-teman seperjuangan ketika masa perkuliahan. Makanya, dengan rendah diri (bukan rendah hati ya? :D) saya mengakui ke-kuper-an saya terhadap para lulusan Biologi lain.

Misalnya saja, di pekerjaan yang saat ini sedang saya tekuni di dunia perawatan kesehatan (healthcare), tidak banyak sarjana Biologi yang nyangkut. Kalaupun ada, biasanya terjadi karena kebetulan-kebetulan, ketidaksengajaan-ketidaksengajaan, atau malah kecelakaan-kecelakaan. Jadi bukan sesuatu yang by-design, melainkan lebih banyak yang by-accident.

Negara Indonesia lumayan tertinggal di bidang perawatan kesehatan dibandingkan negara lain. Bahkan di ASEAN, sistem perawatan kesehatan kita hanya sedikit lebih baik dibandingkan Myanmar. Sedangkan, negara Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei, bahkan Vietnam sudah cukup jauh meninggalkan kita. Kita membutuhkan “akselerasi intelektual” untuk menjawab permasalahan dunia kesehatan dan untuk itu dibutuhkan isi kepala sarjana Biologi untuk menjawab sebagian tantangan ini. 

Oleh karena itu, dunia perawatan kesehatan dapat lebih berkembang kalau sarjana Biologi dapat by-design dapat mengintegrasikan diri ke dalamnya. Sejauh ini, dari beberapa kali saya terlibat membantu wawancara untuk mengisi lowongan pekerjaan di perusahaan, tidak ada lulusan Biologi yang by-design bergabung untuk mengembangkan karir di dunia perawatan kesehatan. Lebih tepatnya, saya belum pernah mewawancarai lulusan Biologi untuk lowongan pekerjaan di perusahaan saya! Padahal, perusahaan saya tidak malu-maluin, lho (promosi sedikit ah..)

Sumbangsih lulusan Biologi terhadap dunia perawatan kesehatan ini memang agak ketinggalan. Entahlah saat ini apakah sudah ada perubahan kurikulum atau belum, tetapi tujuh tahun yang lalu ketika saya meninggalkan dunia sekolahan Biologi, lulusannya belum dididik untuk siap kerja di dunia perawatan kesehatan. Paling jauh, baru siap didik dan latih untuk belajar lagi mengenai dunia perawatan kesehatan.

Masalahnya, di dunia perawatan kesehatan Indonesia yang lumayan ‘feodal’, sangat jarang perusahaan yang mau melatih dari awal. Kebanyakan perusahaan farmasi atau alat kesehatan pragmatis, hanya mau melatih sumber daya manusia-nya untuk keterampilan hilir saja. Bidang hulu memakan biaya investasi cukup besar dan pengembalian yang lama sehingga resikonya menjadi sangat tinggi dan sedapat mungkin dihindari. Tetapi dengan tingkat kebutuhan pengembangan dunia perawatan kesehatan yang tinggi, apa iya keterampilan hilir saja cukup untuk mengembangkan dunia perawatan kesehatan ini?

Sekali lagi, ini mungkin saja karena kekurang-gaulan saya saja bisa-bisanya menyimpulkan hal yang begini-begini. Entah ada apa yang lain? :)

(bersambung)

 

2 Februari 2010

Antara Dogma dan Ilmu (Bagian Pertama)

Beberapa waktu kemarin saya menemukan definisi sekaligus perbandingan yang menarik mengenai dua buah kata yang hingga sekarang saya sendiri belum rampung mendefinisikannya. Kata yang pertama adalah ilmu dan kata yang kedua yang kedua adalah dogma. Berbicara mengenai berbagai aspek kehidupan manusia, mulai dari politik, agama, manajemen, sains, sampai tradisi suatu masyarakat ternyata bisa didekati dari perbandingan antara ilmu dan dogma ini :

Dogma adalah sebuah proses simplifikasi (penyederhanaan) terhadap persoalan yang rumit, sedangkan ilmu adalah proses sofistikasi (perumitan) terhadap persoalan yang sederhana.

Sebelum ini, saya sangat tidak menyepakati bahkan menggugat keberadaan dogma. Saya sempat menuliskannya mulai dari tulisan tentang pendidikan yang (tidak) membebaskan, iman dan ilmu, dan voltaire. Belakangan juga ada tulisan mengenai beberapa kesejarahan Islam yang sebelum-sebelumnya luput dari daftar khasanah pengetahuan ingin saya pelajari.

Pokoknya dogma harus dibongkar, semua fakta harus dibuka sehingga transparan. Pendekatan kebenaran yang lebih obyektif harus mungkin dipelajari. Semua produk penakut-nakutan yang membumbui bahkan akhirnya cenderung menjadi bagian utama dalam dogma harus dipreteli sampai ‘the naked truth’ terpampang lebar di mata kita.

Dengan melakukan pendekatan dogma vs ilmu ini, ternyata kesimpulan sedikit saya mulai bergeser. Kesimpulan saya sejauh ini bahwa dalam keadaan secara umum, dogma tetap diperlukan. Pada jenis keadaan lain, dogma harus mulai diilmukan alias disoftifikasikan, diperumit, dicari latar belakang kesejarahannya, dan diungkap detail-detailnya.

Mengapa begitu? Kita hidup di dunia yang overinformasi. Terlalu banyak hal yang perlu kita ketahui untuk sekedar menjalani hidup yang rata-rata. Saya jarang pernah selesai membaca koran Kompas dalam satu hari, padahal mengetahui informasi harian model ini adalah merupakan suatu standar menjalankan hidup yang rata-rata di kosmopolitan macam Jakarta. Ada hal-hal dalam kehidupan yang cukup didogmakan saja. Hal-hal yang disederhanakan tanpa perlu pusing-pusing memikirkan kerumitannya. Wisdom of crowd yang sering menjadi dogma akhirnya menentukan standar berbagai aspek kehidupan sosial.

Dalam kehidupan sehari-hari, ternyata hal-hal yang rumit tidak perlu disajikan semua, cukup di-dogma-kan alias disederhanakan agar mudah dipahami. Detail-detail dihilangkan, generalisasi dan stereotyping dilakukan, taklid buta alias mengikuti perintah tanpa pertanyaan sering kali dijanjikan jaminan keberhasilan. Faktor-faktor emosional bahkan spiritual (kalau memungkinkan) mulai ditambahkan untuk meningkatkan peluang keberhasilan tujuan proses pendogmaan ini.

Saya jadi bertanya: sampai sejauh mana proses dogma tetap diperlukan? Pada titik mana kita dapat mulai melakukan proses ilmu-isasi, pendidikan yang membebaskan dan mencerahkan? Seberapa banyak tingkat penerimaan saya terhadap sofistikasi ilmu secara objektif? Apakah sebenarnya proses ilmu-isasi, menyelam dalam dan terbang tinggi, adalah proses yang sepi dan menyendiri?

Terus terang, saya sering terkejut sendiri ketika tersadar bahwa bangunan pikiran saya ternyata banyak bertumpu pada dogma. Saya sangat sebal ketika saya harus terdiam tidak bisa menjawab ketika ada saja orang yang memberi pertanyaan yang mengusik, “Apa benar begitu?  Kenapa jalan pikiranmu kok kontradiktif? Dalam satu hal jalan pikirmu begini, hal lain jalan pikirmu menentang jalan  pikir sebelumnya? Buat apa hidup kontradiktif begitu?”, dan lain sebagainya.

Tapi akhir-akhir ini kekhawatiran saya semakin berkurang. Toh, ternyata ada dogma yang baik dan memperbaiki, meskipun ada pula yang dogma yang buruk dan menambah buruk. Seperti juga ada ilmu yang baik dan bermanfaat dan di sisi lainnya ada pula ilmu sesat dan menyesatkan. Pada akhirnya, baik atau tidaknya dogma dan ilmu dinilai dari dampaknya, seberapa besar manfaat atau malah kerugian bagi masyarakat yang dihasilkan dari suatu dogma atau ilmu.

(bersambung)

15 Januari 2010

Celotehan tentang Menyikapi Kebudayaan

Entah bisa dibilang kebetulan atau tidak, tapi rasanya akhir-akhir ini banyak input yang membawa saya mengkaji bagaimana sebenarnya kehidupan budaya di seluruh dunia bercampur dan berinteraksi. Kalau urusan campur-mencampur yang terjadi selama beberapa millenia bisa kita rekonstruksi, sepertinya globalisme dan universalisme memang sesuatu yang secara alami terjadi dan sudah sewajarnya kita harapkan. Urusannya sekarang, bagaimana proses globalisme dan universalisme ini dapat berjalan secara alami tanpa mengalami friksi dengan pertemuan berbagai macam perbedaan antarkebudayaan yang ekstrim.

Faktor utama yang membuat topik ini terpikir adalah kunjungan saya ke Jerman. Di sela kepadatan jadwal, saya masih bisa menyempatkan diri untuk mengintip sedikit bagaimana kebudayaan Eropa sehari-hari. Walaupun sempat mengalami gegar budaya (culture shock) akibat perbedaan cuaca dan makanan, perjalanan kali ini memberikan pengayaan pikiran dan perasaan saya mengenai perbedaan antara kebudayaan Eropa dan Asia.

Saya mulai memahami bagaimana perbedaan kebudayaan yang mendasar antara Eropa dan Asia. Pantas saja hal umum seperti kolonialisasi dipandang secara berbeda antara orang Eropa dan Asia. Istilah ‘penjajahan’ ala Indonesia memiliki makna yang penindasan dan kekerasan. Sedangkan Istilah ‘colonialism’ atau ‘occupation’ ala Eropa yang memiliki makna kewirausahaan dan petualangan.

Dan saya lebih mahfum lagi, stereotyping terhadap orang Eropa yang selama ini ada dalam pola pikir saya ternyata hanya kebodohan spasial temporal saja. Ternyata kaum Jerman berbeda dengan Inggris, Denmark, bahkan Swiss seperti klaim berbedanya kaum Indonesia dan Malaysia yang notabene berasal dari satu rumpun yang baru terpisahkan sekitar kurang dari 100 tahun saja. Saya berharap pikiran-pikiran ini bisa saya kembangkan lebih lanjut menjadi bagaimana mempraktekkan toleransi antarkebudayaan. Dan pasti tidak terhindarkan lagi pada bagaimana merangsang akulturasi antarbudaya ini.

Selain itu, saya juga terinspirasi sebuah buku berjudul Outliers karya Malcolm Gladwell. Pada buku ketiga yang ditulisnya ini (dan menurut saya paling baik), Mr. Gladwell dengan sukses memberikan tinjauan bagaimana para ahli sosial budaya melakukan berbagai analisa mengenai korelasi kapan, di mana, dan pada budaya macam apa kita dilahirkan serta pengaruhnya pada kesuksesan kita. Saya cenderung mengartikan buku ini mengenai bagaimana kebudayaan bisa mempengaruhi jalan hidup dan kesuksesan seseorang atau bahkan pada suatu kaum.

Pada tingkat perusahaan, misalnya saja kita lihat pada sejarah perjalanan Korean Air. ada sebuah fakta bahwa tingkat kecelakaan pesawat pada Korean Air antara tahun ‘70an hingga ‘90an akhir adalah salah satu yang tertinggi di antara penerbangan di seluruh dunia. Tingkat kecelakaan yang tinggi ini salah satunya ternyata dipengaruhi oleh budaya orang Korea yang sangat dipengaruhi jenjang senioritas. Budaya Korea yang sensitif terhadap jenjang senioritas menyebabkan para co-pilot Korean Air sering kali merasa sungkan dan tidak sopan memberikan teguran kepada pilot ketika melakukan kesalahan saat penerbangan.

Kesalahan demi kesalahan saat penerbangan mulai terjadi, kemudian banyak kesalahan sering terjadi sehingga akhirnya pada suatu titik menyebabkan kecelakaan. Kecelakan pesawat terbang terjadi biasanya bukan karena sebuah kesalahan yang sepele, melainkan disebabkan banyak kesalahan terakumulasi berturut-turut secara terus menerus. Jadi budaya Korea yang ‘sungkanan’ inilah yang menyebabkan tingginya tingkat kecelakan pesawat korean Air pada periode ini.

Team manajemen Korean Air menyadari masalah kebudayaan ini dan mulai melakukan perubahan. Kebudayaan bisa diubah, meskipun perlahan. Hasil perubahan ini, pada tahun 2009 reputasi Korean Air membaik dan dinilai sebagai airline terbaik se-Asia tiga tahun berturut-turut oleh Business Traveler Magazine. Makanya, saya jadi berpikir mungkin KNKT perlu meninjau tingginya tingkat kecelakaan udara di Indonesia bukan saja dari fenomena efisiensi biaya penerbangan yang mengorbankan standar keamanan saja. Jangan-jangan KNKT perlu juga melihat dari sudut pandang budaya ‘sungkanan’ yang juga dimiliki orang Indonesia ini.

Contoh kaitan antara waktu, tempat dan jenis kebudayaan terhadap kesuksesan misalnya dapat kita amati pada orang-orang terkaya di dunia saat ini dari bisnis teknologi informasi (IT). Ada sebuah statistik tentang bagaimana meningkatnya peluang menjadi kaya karena teknologi informasi lebih besar untuk orang yang lahir di Amerika sekitar tahun ‘55an macam Bill Gates, sang pendiri Microsoft. Lima belas tahun kemudian, pada tahun ‘70an komputer IBM main frame yang segede rumah baru ditemukan. Saat itu rata-rata mereka yang lahir tahun ‘55an sudah berusia kurang lebih 15 tahun.

Pada usia 15-an ini, seseorang cukup tua untuk mulai bereksperimen dengan teknologi baru ini dan tidak terlalu tua sehingga sudah keburu terlanjur memilih jalan hidup. Seorang pada tahun ‘70an yang sudah berumur 20-an awal sudah memiliki karir serta keluarga sudah terlanjur mapan dan tidak akan mencoba resiko berkembang di dunia baru teknologi informasi. Sedangkan, orang yang terlalu muda belum saatnya berkiprah dan tertinggal beberapa tahun. Berkat beberapa keberuntungan dan kebetulan kebudayaan lainnya pada waktu dan tempat Mr. Gates hidup ini, beliau dan orang-orang seumur pada tempat yang sama bisa sukses di dunia teknologi informasi hingga saat ini. Coba nanti dicek biografi para pendiri perusahaan Oracle, SAP, Google, serta raksasa IT lainnya.

Semua korelasi ini dapat dikembangkan menjadi bagaimana penyikapan kebudayaan secara lebih serius dapat memberikan manfaat yang lebih baik, budaya sendiri maupun budaya luar. Saya jadi ingat bagaimana insiden James D. Watson, sang peraih nobel dan penemu bentuk struktur double helix rantai DNA, diturunkan kedudukan kehormatannya dua tahun lalu sebagai Bapak Sains. Insiden ini disebabkan pernyataannya bahwa kesimpulan orang Afrika secara genetis lebih tertinggal daripada orang Eropa dapat dilihat dari tingkat kecerdasan IQ-nya.

Bila ditinjau dari sudut pandang etika sosial, tentunya pernyataan ini akan diklasifikasikan sebagai perkataan yang mengandung unsur rasisme. Sementara dari sudut pandang genetika, Mr. Watson mengatakan saja hal ini dengan dinginnya (meskipun kemudian beliau terpaksa mengoreksinya). Dari pernyataannya ini, ternyata perbedaan kebudayaan bahkan di mulai dari level genetis!

"I have never thought of myself as a racist. I don't see myself as a racist. I am mortified by it. It was the worst thing in my life."

-James Watson in BBC Documentary-

Lebih jauh lagi, teman saya seorang dokter pernah berkata orang Papua memiliki struktur panggul bipedal yang lebih mirip dengan kera. Karena bentuk panggul ini, pada proses persalinan orang Papua, ketika keluar si bayi tidak perlu melakukan rotasi (putaran) seperti tahapan persalinan orang pada umumnya. Seingat saya, entah baca di mana, memang seorang ibu dari Papua tradisional tidak perlu dibantu oleh orang lain ketika melahirkan. Ketika sudah saatnya melahirkan, sang Ibu akan berjalan ke hutan, mencari pohon yang dapat dipeluk saat berdiri sambil mengejan sewaktu melahirkan. Sang ibu harus tetap sadar setelah proses persalinan, jangan sampai pingsan, kalau tidak bayinya akan dimakan babi hutan.

Perbedaan struktur anatomi panggul seperti di atas mungkin yang menyebabkan kebudayaan persalinan yang ‘berbeda’ ini dapat berkembang di Papua. Kalau bentuk struktur anatomi orang Papua identik dengan anatomi yang lainnya, tentunya proses persalinan menjadi lebih sulit dan tidak akan pernah bisa dilakukan secara mandiri.

Kita perlu terus mendefinisikan bagaimana menyikapi kebudayaan serta perbedaan kebudayaan, bahkan yang sangat ekstrim (hingga DNA dan struktur anatomi). Manusia ternyata bukan hanya satu spesies yang homogen saja, melainkan suatu superspesies yang memiliki banyak subspesies yang sangat beragam di bawahnya.

Penyikapan terhadap perbedaan yang ternyata ekstrim ini membutuhkan kerja keras dan kesabaran. Tentunya di tengah perkembangan proses globalisasi dan universalisasi : rasisme mulai ditolak, perbudakan mulai dihapuskan, kesenjangan sosial mulai dientaskan; selalu ada proses balik lain yang menyeimbangkan : fundamentalisme, fanatisme, dan kekerasan atas nama agama. Tetapi saya tidak khawatir, toh manusia dan kemanusiaan jarang sekali mengecewakan saya!

29 Desember 2009

Al-Quran: Antara Lisan dan Tulisan (Bagian 2)

Mushaf Utsman Al Quran abad ke-20

Saat ini, teks Al-Quran dapat dikatakan telah final, semua umat Islam, mulai dari kaum Sunni, Syiah, dan lainnya sepakat untuk menggunakan Al-Quran versi final yang saat ini beredar. Kita juga mengimani kekitabsucian Al-Quran yang diturunkan sebagai petunjuk bagi kehidupan manusia. Meskipun begitu, Al-Quran sebagai bundelan kitab saja tidak akan memberi manfaat yang signifikan kehidupan manusia itu secara otomatis. Manusialah yang harus berinisiatif melakukan interaksi dan dialog dengan Al-Quran untuk mengali keteladanan yang baik yang ada di dalamnya.

Di dunia dengan kebudayaan lisan yang dominan, ada beberapa kritik terhadap Al-Quran yang telah menjadi kebudayaan tulisan ini. Misalnya saja pada Kerajaan Mali Kuno di Afrika yang berkembang melalui tradisi lisan. Melalui griot, syair puisi khas Mali yang berisi pesan turun temurun, banyak ungkapan yang memprotes ‘matinya’ ajaran yang mulai berhenti pada tulisan. Dalam pandangan bangsa Mali, penyampaian ajaran melalui tulisan dipandang lebih rendah dibandingkan melalui ajaran lisan dan kisah yang dirasakan lebih ‘hidup’.

Sundiata Keita : Lion King of Mali

Sundiata Mansa adalah pendiri sekaligus raja pertama kerajaan Mali pada abad ke-13. Dia memeluk Islam sambil tetap mengembangkan agama lokal di kerajaannya. Melalui epiknya, dengan sinis ia mengkritik budaya yang terpaku pada teks mati : di dalam tulisan tidak ada kemampuan merasakan masa lampau dan tidak ada kehangatan suara manusia.

Orang lain memakai tulisan untuk merekam masa lampau, tetapi penemuan ini telah membunuh kemampuan ingatan mereka.

Mereka tidak lagi merasakan masa lampau, sebab tulisan tidak lagi mengandung kehangatan suara manusia.

***

Di Indonesia, proses dialog dengan Al-Quran dilakukan dengan berbagai cara khas Indonesia. Pada beberapa cara, Al-Quran yang dijadikan sebagai objek ritual, misalnya secara tradisional dengan menjadikan tulisan Al-Quran sebagai azimat atau hal lain yang berbau mistis. Beberapa dukun punya ayat favorit untuk para pelanggan setia mereka. Secara modern, Al-Quran juga digunakan sebagai simbol ritual misalnya pada proses pengambilan sumpah jabatan atau kesaksian di pengadilan.

Masyarakat Indonesia juga memiliki budaya pengajian yang melakukan pelisanan kembali Al-Quran. Umumnya, pelisanan Al-Quran dilakukan sesuai kaidah bacaan Arab yang baik meskipun arti dan makna tulisan ini jarang sekali dimengerti. Keindahan alunan orang mengaji tentunya menjadi aspek tersendiri dalam dialog dengan Al-Quran. Tetapi saya tidak bermaksud membahas dialog jenis yang ini.

Budaya pengajian di Indonesia

Kadang-kadang timbul pertanyaan mengenai bagaimana cara berdialog kembali dengan Al-Quran seperti masa turunnya dahulu. Mengkhatamkan Al-Quran dalam arti melagukan bacaan dari Al-Fatihah hingga ke An-Nas jelas belum merupakan definisi dialog yang tepat untuk saya. Lebih penting dari itu, kita seharusnya melihat bagaimana sejarahnya ketika ayat demi ayat turun? Kemudian, pada latar belakang budaya apa proses penurunan ayat demi ayat ini terjadi? Penelusuran ini membuat kita menjadi tidak memandang Al-Quran sebatas tulisan asing (Arab) yang makblug menjadi hidangan fast food yang siap disantap. Ada proses pengertian dan akulturasi antara ajaran Al-Quran ini dengan realitas kehidupan kita yang tidak selalu sama dengan waktu ayat demi ayat ini diturunkan.

Apalagi kalau nanti kita berkesempatan masuk ke khasanah tafsir Al-Quran yang beraneka ragam, mulai dari yang fundamentalis ala Sayyid Qutb, yang rasionalis ala Ar-Razi, yang tradisionalis ala Ibnu Katsir, atau yang modernis ala Muhammad Abduh. Tidak tertutup kemungkinan juga, kalau kita mau membuat tafsir Al-Quran ala penduduk Jakarta misalnya. Saya pikir, itu sah-sah saja. Tindakan semacam ini moga-moga membuat kita bisa memahami Al-Quran beyond the text dan kembali lagi, memahaminya berdasarkan realitas kehidupan kita yang terus berubah.

Ini misalnya saja lho, tapi saya mau sedikit berandai-andai kalau saja Al-Quran diturunkan pada waktu sedikit lebih lama, mungkin kewajiban perkawinan satu suami hanya dengan satu istri saja (monogami) dan pelarangan perbudakan dapat menjadi bagian dari ayat-ayat Al-Quran. Memang pada abad ke-7 di dunia Arab, kesetaraan gender dan ras masih merupakan suatu hal yang aneh. Perdagangan budak dilakukan secara umum di pasar-pasar, wanita diperlakukan sebagai aset kebendaan yang sah-sah saja diwariskan atau dipindahtangankan.

Sebelum turunnya Al-Quran, budaya Arab menganggap sebuah kewajaran bagi pria untuk memperistri banyak wanita dan memiliki selir bahkan lebih banyak lagi. Secara final, Al-Quran sendiri berhasil melakukan perubahan sosial ketika itu agar pria memperistri maksimal empat wanita saja, itu pun diembel-embeli dengan prasyarat yang tidak mudah: kalau sang pria merasa adil. Berdasarkan hal ini, saya melihat semangat kesetaraan gender dan ras ini menjadi agenda yang cukup penting dalam Al-Quran, meskipun belum terselesaikan dalam proses keberangsurannya.

Lebih jauh, kalau kita ekstrapolasikan, perubahan sosial yang menjadi misi Al-Quran belumlah selesai, bahkan mungkin tidak akan pernah selesai. Nilai universal yang berada di dalamnya perlu kita pahami dengan baik. Al-Quran sebagai sumber hukum merupakan sumber inspirasi yang tidak pernah habis. Sebagai implementasi semangat perubahan sosialnya, hukum-hukum jurisprudensi (fiqh) dan implementasi sosial misalnya, perlu selalu kita formulasikan ulang sesuai dengan realitas dan latar belakang budaya yang kita miliki.

Kita bisa lihat sampai saat ini update hukum-hukum ini masih menjadi pe er yang belum terselesaikan di kalangan Islam. Penganiayaan seksual TKW di Arab Saudi tidak dianggap sebagai pemerkosaan karena wanita masih dianggap sebagai aset kebendaan. Harem-harem masih bertebaran di dunia Islam Timur Tengah. Ayat-ayat Al-Quran masih menjadi justifikasi poligami di Indonesia. Wanita tidak bebas berkeliaran di malam hari karena penerapan syariah di beberapa otonomi daerah yang menerapkan ‘syariat Islam.’ Dan masih banyak penerapan sosial lainnya yang malah menghalangi aktivitas yang membebaskan dan mencerahkan.

Kesepakatan ulama di masa lalu sepertinya perlu terus kita kaji untuk mendapatkan semangat perubahan sosial yang diusung oleh Al-Quran. Isu kesetaraan gender saja misalnya, mencakup kajian panjang pada aspek jurisprudensi yang tidak sedikit: hierarki wanita dalam keluarga, pembagian harta warisan, pembebasan aktivitas sosial wanita, kepemimpinan wanita, dan hal lain.

Well, ada yang bilang sikap ini merupakan penafsiran yang kontekstual. Ada juga yang bilang itu kompromi agama dengan realitas. Dan ada orang yang bilang itu bid’ah. Ragam pendapat ini sah-sah saja, asal disampaikan dengan santun. Tapi kemarin ini, terus terang saya sempat ‘ditampar’ oleh pernyataan sinis Sundiata yang lain :

Para Nabi tidak menulis, dan karena itu sabda mereka menjadi hidup. Betapa sia-sia ajaran yang terbungkus dalam buku yang dungu!

(Sundiata : An Epic of Old Mali, D.T. Niane)

30 November 2009

Qurban dan Ekonomi Peminta (Pengemis?)

Kita kembali ke Indonesia tercinta ini. Dari hampir 200 juta umat Islam di Indonesia, yang berangkat haji hanya 200 ribu orang. 99,9% umat Islam di Indonesia ini tidak dapat berangkat haji terutama karena keterbatasan finansial atau meskipun ada pula yang disebabkan kehabisan quota haji. Walaupun tidak dapat berangkat haji, umat Islam tetap perlu mengaktualisasi spiritualitas haji. Demi mengakomodir hal ini, ritual qurban salah satu tujuannya adalah mengobati kerinduan ziarah ke tanah Haram ini.

Tentunya ada pula tujuan alternatif berqurban ala Indonesia. Misalnya mendapat pahala dari hitung-hitungan jumlah bulu dan gigi kambing kurban. Ada pula teman saya yang mau berlomba dulu-duluan ke surga dengan menaiki kendaraan hewan qurbannya masing-masing. Tetapi semua perbedaan tujuan ini belum pernah menghalangi kemeriahan Idul Qurban di negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam ini.

Ritual qurban di Indonesia memiliki cerita unik tersendiri. Kalau kita ingat-ingat dulu, qurban lebih merupakan tindakan bagi-bagi hasil daging qurban kepada orang yang membutuhkan. Tapi jaman semakin berkembang kompleks. Beberapa waktu terakhir, semakin sering media menceritakan perebutan daging qurban oleh para pihak yang berhak menerima. Sejak dari perebutan pembagian zakat fitrah Idul Fitri hingga pembagian daging qurban Idul Adha, ceritanya belum terlalu berubah.

Berita Kompas hari ini misalnya, menceritakan Ibu Halimah (55) yang setiap tahun tidak pernah absen pergi ke Istiqlal untuk mendapatkan paket qurban bersama ribuan orang lainnya. Kejadian bagi-bagi paket qurban ini kurang lebih mirip prinsip ekonomi: permintaan lebih besar dari penawaran. Walhasil Ibu Halimah gagal mendapat satu kuponpun dari lima ribu kupon yang dibagikan. Akibatnya, beliau pulang dengan tangan hampa.

Tentunya drama kegagalan ini tidak akan seru kalau tidak ada cerita saling dorong rebut-rebutan ala orang Indonesia. Jangan lupa bumbu pelengkapnya yaitu akibat drama perebutan ini, ada orang yang kecebur kali, pingsan, dan tentunya gotong-gotongan. Harap diperhatikan bukan gotong-royong lho ya..

Insiden rebut-rebutan qurban di Istiqlal tentunya hanya sebuah miniatur fenomena ‘berhak meminta’ yang terjadi secara umum di masyarakat. Artinya, pertumbuhan jumlah daging qurban yang dibagikan tidak dapat mengejar pertumbuhan para pihak yang merasa berhak menerima daging kurban ini.

Tapi memang sih, status sebagai peminta-minta kan bukan lagi menjadi suatu aib. Itu kan sebuah fasilitas negara. Kita bisa lihat di program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang membuat masyarakat Indonesia merasa barang atau uang gratisan merupakan suatu yang lazim dan berhak diterima. Dengan bangga lagi..

Tiba-tiba muncul pertanyaan nakal: Apakah orang yang benar-benar miskin yang mengantri pada pembagian daging qurban ini? Atau kita ganti saja qurban hewan ternak dengan qurban untuk membangun lapangan kerja supaya lebih produktif? Tapi kan Nabi Muhammad tidak pernah mengajarkan seperti itu? Lho, ini kan demi kepentingan masyarakat?

Lalu dibarengi muncul pertanyaan analitis : Tapi apa iya, ini hanya sekedar masalah ekonomi kemiskinan saja? Apa jangan-jangan fenomena ‘merasa berhak’ ini dapat dirumuskan sebagai masalah sosial, mental pengemis? Apakah kita bangga dengan kemiskinan kita? Lalu mengantri paling pagi untuk mendapatkan jatah kupon qurban? Apa ekonomi pengemis ini merupakan efek samping dari substansi qurban? Bagaimana cara pengelolaan qurban agar bisa meminimalisirnya?

Mas, ga usah pusing-pusing. Qurban mah qurban aja. Pusing-pusing mikirin malah jadi ga qurban”, begitu komentar teman saya.

26 Mei 2009

Pekerjaan, Profesi, dan Karier

Tengah siang bolong tadi, saya tiba-tiba kolega saya di kantor memanggil dari ruang rapat di pojokan kantor. Ternyata dia mengajak saya untuk bergabung di rapat dadakan. Di tumpukan menggunung tugas belum terselesaikan, ajakan meeting tadi awalnya setengah terpaksa saya ikuti. Tak lama saya ikuti, semangat tiba-tiba muncul dan kemudian saya putuskan untuk terlibat penuh di rapat ini. Tanpa saya sadari, saya mengambil dominasi pada rapat itu.

Topik dibicarakan adalah update website korporat. Tiba-tiba, muncul di ingatan saya kembali bahwa ternyata saya sangat tertarik dengan topik website development. Kontras dari pengalaman saya yang tidak seberapa dalam sisi teknis pemrograman website, ternyata sisi pengembangan konseptual website sangat menarik untuk saya. Dengan antusiasnya, usulan-usulan pengembangan website ini mengalir dari mulut saya. Ternyata kegairahan saya mengenai website ini secara spontan muncul. Jangan-jangan pekerjaan, profesi, dan karier saya tidak kompatibel?

Saya jadi teringat beberapa hari yang lalu, Budhi, sahabat lama saya bertanya mengenai apakah sudah saatnya dia berpindah profesi. Menurut saya, pekerjaan, profesi, dan karir masing-masing memiliki perbedaan yang cukup jelas. Sayang belum sempat bicara lebih lama, obrolan via yahoo messenger itu tiba-tiba terputus.

Menurut saya, pekerjaan adalah sesuatu hasil yang kita sepakati jual-beli kepada pihak yang mau dan mampu membeli. Kita menjual kemampuan kita menghasilkan sesuatu untuk imbalan yang nyata, misalnya berupa uang. Pekerjaan memiliki siklus yang pendek dan bersifat transaksional. Dengan tolok ukur ini, suatu pekerjaan dikatakan berhasil apabila kesepakatan kedua belah pihak dapat sama-sama tercapai. Si pemberi pekerjaan mendapatkan hasil yang diinginkan dan si pekerja mendapatkan imbalan sesuai kesepakatan.

Lain lagi dengan profesi yang lebih bersifat personal. Profesi adalah kegiatan yang dilakukan berdasarkan kemampuan yang sangat spesifik. Artinya, kegiatan yang kita lakukan adalah sesuatu yang tidak semua orang bisa lakukan. Kemampuan ini bisa jadi melalui pendidikan atau pelatihan khusus atau bisa juga didapatkan dari ‘wisdom’ yang didapatkan dari pengalaman. Makanya, ada jargon “Be professional!” Maksudnya adalah jadilah pribadi yang memiliki kemampuan spesifik yang tidak dimiliki orang lain. Dengan tolok ukur ini, suatu profesi dapat berhasil apabila seseorang dapat memiliki kemampuan yang dapat dibedakan dengan orang lain. Bahkan dalam suatu kumpulan profesi, setiap profesional memiliki kemampuan yang khusus yang tidak dimiliki profesional lainnya.

Terakhir adalah karier. Karier berada dalam periode yang lebih lama dan cakupan yang lebih luas. Karier adalah proses pengembangan diri melalui segala kegiatan seseorang seumur hidupnya. Beberapa tahun ini, saya sering mendengarkan seseorang bernama Renee Soehardono yang merupakan nara sumber mengenai karir dan pekerjaan di radio Hardrock FM Jakarta. Menurutnya karier adalah sebuah pencarian seumur hidup mengenai ‘what your passion is’. Karier adalah mengenai gairah pencarian jalan untuk mengembangkan diri, semangat untuk ‘hidup’. Dengan tolok ukur ini, suatu karier dikatakan berhasil bila seseorang menemukan gairahnya pada apa yang ia lakukan dalam detik-detik kehidupannya.

Jadi apapun pekerjaan anda (apa yang dilakukan untuk mendapatkan imbalan nyata), tidak selalu berhubungan dengan profesi anda (kemampuan khusus hanya anda yang memilikinya), dan juga tidak berhubungan dengan karier anda (gairah hidup pencarian jalan mengembangkan diri). Bahkan bila hal-hal ini terpisah, seseorang masih dapat hidup baik-baik saja. Kalau semuanya bisa selaras satu sama lain, seorang bisa lebih tenang sekaligus bersemangat menjalankan kehidupannya. Selaras tetapi tidak harus persis. 

Semoga kita bisa diberikan keselarasan dalam hidup..

5 Mei 2008

Celotehan di pagi buta

Beberapa waktu belakangan ini banyak isu yang menjadi perhatian saya, mulai dari isu ekonomi global seperti kenaikan harga minyak dunia yang bersambung ke peningkatan harga pangan dunia, hingga isu ekonomi mikro di pinggir jalan. Badai informasi ini membuat saya menjejakkan kaki ke padatan realitas kehidupan.

Dua hari yang lalu saya membaca beberapa buku "Lagak Jakarta" karangan Benny dan Mice. Selama lebih dari 10 tahun, Benny dan Mice mengeluarkan beberapa buku yang merupakan kumpulan kartun Kompas Minggu. Buku terbaru mereka saat ini adalah Lagak Jakarta 100 tokoh yang mewarnai Jakarta. Dengan media kartun dan bahasa humor aktual ala Homo Jakartaensis, mestinya buku-buku ini membuat pembaca terhibur .

Sebuah ironi bahwa membaca buku Lagak Jakarta 1 (edisi koleksi) tidak membuat saya merasa terhibur, bahkan saya berhenti membaca pada sekitar dua per tiga buku karena saya mengalami 'overload' informasi mengenai keterpurukan Indonesia terhadap krisis. Beberapa content kartun ini berasal dari buku "Lagak Jakarta : Krisis oh krisis" yang sudah dibuat sekitar sepuluh tahun yang lalu tetapi masih aktual sampai saat ini.

Sudah 10 tahun Indonesia mendeklarasikan diri dalam posisi "krisis", atau dalam bentuk yang disederhanakan, krismon alias krisis moneter. Peningkatan proporsi rakyat miskin, ketahanan pangan yang rendah, gizi buruk ribuan anak balita di NTT dan Papua, serta lambatnya penanganan bencana tsunami (2004), gempa (2006), lumpur (2006), dan banjir (2007), adalah pembenaran bahwa Indonesia sedang mengalami krisis.

Padahal, di spektrum yang berlawanan, penjualan mobil meningkat pesat pada kuarter I 2007-2008 meningkat 46% dan pembangunan mal yang sangat pesat, terhitung hanya dalam tempo tiga tahun hingga 2008, 16 pusat belanja baru seluas hampir 1 juta meter persegi sedang dibangun. Edannya lagi, kredit konsumsi meningkat dua bahkan tiga digit pertahun dari 2003-2007.

Mungkin benar cerita yang mengatakan bahwa banyak bule merasa bingung membandingkan cerita krisis moneter Indonesia dengan melihat Jakarta secara sekilas. Sangat sulit tidak mempercayai apa yang kita lihat, seperti kata pepatah "Seeing is believing". Dengan segala pembangunannya, sepotong Jakarta menjadi paradoks di tengah deklarasi krisis ini, sementara sepotong lainnya adalah kenyataan umum. Jakarta oh Jakarta, berkacalah Jakarta...

Berkacalah Jakarta

Langkahmu cepat seperti terburu
Berlomba dengan waktu
Apa yang kau cari belumkah kau dapati
Diangkuh gedung gedung tinggi

Riuh pesta pora sahabat sejati
Yang hampir selalu saja ada
Isyaratkan enyahlah pribadi

Lari kota Jakarta lupa kaki yang luka
Mengejek langkah kura kura
Ingin sesuatu tak ingat bebanmu

Atau itu ulahmu kota
Ramaikan mimpi indah penghuni

Jangan kau paksakan untuk berlari
Angkuhmu tak peduli
Luka di kaki

Jangan kau paksakan untuk tetap terus berlari
Bila luka di kaki belum terobati
Berkacalah Jakarta

Iwan Fals, 1984

Catatan kaki :
Dengan semua kontras ini, di manakah kita berdiri? Dan ke manakah seharusnya kaki melangkah? Seorang teman saya menulis : If we’re work for God, instead think of our capability, think about our availability. Jadi sebelum banyak pertanyaan lain menyusul, pertanyaan pertama adalah : Apakah kita bersedia?

23 Maret 2008

Cinta Laura dan Ahmad Mushaddeq

Ada beberapa hal yang perlu ditelaah kembali dalam menyikapi perbedaan. Misalnya saja pada cerita yang terdengar sepele seperti logat ‘kebarat-baratan’ Cinta Laura Kiehl (baca : Cincha Laura Kiehl). Logat bicara dan campuran bahasa Inggris-Indonesia yang digunakan ketika berbicara di depan publik terdengar ‘berbeda’. Beberapa orang yang saya temui, sadar atau tidak, sering membuat bahan ejekan terhadap logat nona cantik keturunan Jerman-Indonesia ini berbicara. Pertama kali mendengar Cinta Laura bicara ternyata memang membangkitkan kegelian siap untuk menertawakan.

Kasus mirip seperti kisah Cinta Laura, saya pernah menemukan seorang teman Korea yang pernah tinggal beberapa tahun di Amerika Serikat untuk wajib militer. Teman-teman sesama Korea menertawakannya saat beliau berbicara dalam bahasa Inggris dengan dialek Inggris Amerika di lingkungan Korea. Sepertinya memang sangat mengganggu menemui perbedaan di tengah lingkungan sendiri, apalagi bila perbedaan itu berasal dari golongan yang sama dengan kita.


Padahal, selama ini saya belum pernah menjadi tertawaan ketika berusaha berbahasa asing dengan logat Indonesia di lingkungan asing. Beberapa waktu lalu saya bertemu dengan orang Indonesia yang sudah tidak terhitung berada di lingkungan asing, tetapi dengan bangga menggunakan logat Indonesia dalam berbicara dalam berbagai bahasa asing. Menurut beliau yang penting lawan bicara mengerti mengenai isi yang dibicarakan.


Menyikapi perbedaan membutuhkan keahlian penanganan tertentu. Lebih tepatnya membutuhkan keahlian menangani perasaan hati kita. Mungkin kisah Cinta Laura hanya terdengar lucu dan sepele. Tetapi bila hal sensitif seperti pada agama, hal ini berpotensi menjadi besar dan serius.



Sejak kecil kita sering dibenturkan pada perbedaan ritual tata cara keagamaan keluarga kita dengan orang-orang di lingkungan sekitar. Kadang-kadang memang hanya komentar tipis yang menunjukan bahwa perbedaan itu dianggap suatu yang aneh dan mengganggu, tetapi tidak jarang perbedaan itu dilabeli kesesatan. Ahmad Mushaddeq aliran Al Qiyadah Al Islamiyah itu sesat atau tidak? Katolik atau Kristen? Fundamental atau moderat?


Tidak menyikapi perbedaan seperti seharusnya dapat menimbulkan simptom dunia hitam putih. Dikotomi antara benar salah, baik buruk adalah hal utama di dunia hitam putih. Kenapa begitu? Karena, kalau bukan teman, pasti dia adalah musuh. Karena tentang hidup setelah mati, kalau agama anu masuk surga kalau agama selain anu itu kafir, jadi masuk neraka.

Emha Ainun Najib pernah menulis bahwa malaikat dan setan adalah makhluk pasti, yang satu diperintahkan berbuat baik, yang satu lagi diperintahkan membisiki keburukan pada manusia. Sudah pasti diharuskan melakukan hal ini oleh Tuhan. Sedangkan manusia adalah makhluk kemungkinan, dipersilakan melakukan apa yang ia pilih, tentunya dengan konsekuensinya masing-masing.

Moga-moga kita tidak seperti cerita orang buta yang bertengkar karena perbedaan mendeskripsikan gajah berdasarkan perbedaan bagian tubuh gajah yang terpegang. Manusia hanya bisa memandang dari sudut pandang ia berdiri, jadi mestinya ada bagian-bagian ‘kebenaran’ yang tidak tampak oleh kita dan mungkin terlihat pada sudut pandang orang lain yang berdiri tepat di sebelah kita.

Perbedaan adalah keniscayaan bagi manusia, memang sudah spesifikasinya seperti itu. “Kebenaran sejati” adalah satu dan universal untuk seluruh manusia, tetapi pemahamannnya bersifat personal dan berbeda antara manusia satu dengan manusia lain. Tuhan saja mengizinkan kita untuk memilih, jadi patut dipertanyakan apakah kita berhak menghakimi manusia lain memilih selain dari apa yang kita pilih?

4 Februari 2008

Sarjana Biologi : Mau jadi apa?


Seperti judul corat-coret ini,"Mau jadi apa?" adalah pertanyaan yang sering terlontar kepada orang yang belum memasuki dunia kerja atau bahasa kerennya karier. Sejak TK, SD, SMP, SMU, hingga kuliah sarjana, kadang magister, pertanyaan "Mau jadi apa?" sering melintas di hadapan. Kadang menunggu jawaban, walau tidak jarang hanya basa-basi yang tidak perlu dijawab.

Jawabannyapun tidak harus selalu konsisten. Tidak pernah ada larangan menjawab berbeda sampai kita sendiri yang mulai berkiprah selepas pendidikan formal tersebut. Di tengah ketidakkompatibelan output dunia pendidikan dengan kebutuhan pasar (baca : dunia kerja), suatu artikel yang pernah menyatakan hanya 15% saja dari jumlah lulusan sarjana bidang tertentu yang berkiprah di bidang yang sejenis. Dengan tingkat pengangguran mencapai 9.75% (BPS, Feb 2007), sering kita mendengar bahwa mencari pekerjaan adalah hal yang sangat sulit.


Ironisnya, para perekrut SDM internal (Departemen SDM) atau eksternal (head hunter), mengalami kesulitan mendapatkan SDM yang siap pakai untuk industrinya. Ini adalah hal yang sudah saya dengar sejak saya baru lulus dari seorang alumni Biologi lulusan '84 yang mencari bakat untuk perusahaannya. Alasan saya bercerita hal yang sama empat tahun kemudian adalah karena hal ini sedang saya alami sendiri di perusahan tempat saya bekerja.


-----------------------------------------------------


Sedikit kilas balik, setelah bekerja di Sharp, sebuah perusahaan elektronik multinasional selama satu tahun lebih sedikit, saya memutuskan untuk melanjutkan pengembangan diri saya di perusahaan lain. Tidak banyak referensi yang saya dapatkan dari jaringan yang saya miliki, jadi saya memutuskan untuk 'babat alas' sendiri, membuat surat lamaran, interview, dsb. Akhirnya saya bekerja di perusahaan yang saat ini dari keputusan penerimaan dari seorang lulusan apoteker satu alumni angkatan 70-an akhir yang menjadi manager divisi saat itu.

Perusahaan tempat saya bekerja saat ini bernama B Braun, perusahaan multinasional produk dan jasa medis, anak cabang dari perusahaan Jerman yang berusia sekitar 169 tahun. Di sub-industri supplier medis yang low profile, B Braun berkembang dengan inovasi, efisiensi, dan kesinambungan yang menjadi bahan bakar pertumbuhannya.


Salah satu divisi besarnya adalah Aesculap, merek yang melegenda di kalangan dokter bedah seluruh dunia, termasuk Indonesia. Setelah bekerja selama dua tahun lebih sedikit, saya dipercaya untuk merekrut anggota tim baru untuk membantu mengembangkan sepotong bagian dari total keseluruhan bisnis Aesculap.


-----------------------------------------------------


Seorang lulusan Biologi di perusahaan sejenis B Braun bisa dihitung dengan jari. Sejauh yang saya tahu, selain saya dan istri saya, yang telah menjadi mantan karyawan perusahaan yang sama dengan saya, ada dua orang lagi sarjana Biologi yang bekerja bersama B Braun. Sedangkan karyawan yang lain kebanyakan adalah lulusan farmasi/apoteker atau manajemen/ekonomi.


Estimasi saya, ada puluhan kalau tidak ratusan ribu slot tenaga kerja yang dapat berkiprah di sub-industri ini. Dari sekitar 300 orang jumlah SDM di perusahaan saya, hanya ada empat alumni Biologi (1,33%). Padahal dengan relatif besarnya kebutuhan SDM yang memiliki pengetahuan dan keahlian Ke-'Biologi'-an di sub-industri ini, seharusnya proporsi Alumni Biologi bisa jauh lebih besar.


Anatomi dan fisiologi hewan/manusia adalah ilmu yang sangat banyak digunakan di bidang ini, selain juga konsep biomolekuler, biologi seluler, biosistematika, dan evolusi. Kesan yang saya dapatkan, pengetahuan dan keahlian di bidang tersebut adalah modal dasar keunggulan kompetitif untuk berkiprah yang setahu saya tidak terdapat di kurikulum pendidikan bidang lain.


-----------------------------------------------------


Tidak lantas lulusan Biologi dapat menjadi lulusan siap pakai di sub-industri farmasi dan alat medis. Cerita ini sesederhana menjelaskan bahwa ada peluang mengembangkan karir di sub-industri farmasi dan alat medis "secara terencana". Bukan hanya karena ketidaksengajaan, apalagi keterpaksaan karena penyerapan SDM Biologi bidang lain juga masih terbatas.


Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Ketertinggalan lulusan Biologi pada bidang yang dikuasai lulusan lainnya juga tidak kalah banyak. Semuanya berada pada garis start yang relatif sama, tinggal siapa yang bersedia berlari lebih cepat.


Saya tidak perlu menyebutkan pentingnya melakukan aktifitas di luar kurikulum akademis, kan? Kata orang, apa yang kita baca, dengar, dan tonton serta siapa teman kita saat ini menentukan bagaimana kita lima tahun yang akan datang.


Tebakan saya, ada banyak lulusan Biologi lain di industri lain yang mengalami dan merasakan hal yang sama seperti saya sekarang. Semoga sempat terceritakan kepada teman-teman tercinta yang masih mencari tempat berkiprah.


Salam dari teman di Jakarta,
cokhy