28 Februari 2009

Monolog Seruni

Yah, tidak usah ngomong dulu lah mengenai pengentasan kemiskinan, pemerataan kesejahteraan. Itu sih omongannya caleg-caleg di spanduk-spanduk yang mereka pajang di setiap perempatan. Sejauh ini sih baru ketahuan omongannya saja. Dan kemungkinan besar memang hanya omongannya saja. Lho, kan memang tugasnya ngomong saja. Syukur-syukur omongannya bisa jadi Undang-undang dan menimbulkan perubahan. Istilah Obama, "The change we believe in".

Menurutku, mestinya kemiskinan jangan dihabiskan lah dari dunia ini. Kasihan para pejuang pengentas kemiskinan bisa-bisa sepi order. LSM-LSM bisa kehilangan sumber dana. Politikus bisa kehilangan dukungan politik orang miskinnya. Para ekonom bisa kehabisan bahan studi pemerataan ekonominya. Para sosiolog bisa kerepotan harus menulis kembali teori pertentangan kelas. Malah, para orang miskin pun bisa kehilangan status kemiskinannya. Apa tidak repot tuh?

Kalau kemiskinan dihubung-hubungkan dengan kesederhanaan, sebenarnya tidak harus berbanding lurus. Malah kalau boleh, dikatakan saja kah tidak ada hubungan sama sekali. Yah, kalau terpaksa ya boleh lah kemiskinan itu dikatakan sebagai 'kesederhanaan yang terpaksa'. Meskipun ini akan merendahkan arti kesederhanaan itu sendiri. Atau jangan-jangan ini adalah wacana untuk menghibur orang-orang miskin? Toh, orang miskin pun bisa saja hidup tidak sederhana..

Ada benarnya idiom bahwa orang miskin disayang Tuhan. Lantas, memang orang kaya tidak disayang begitu? Tidak kan? Kalau katamu iya,
ini sih sudah pasti propaganda untuk menghibur orang-orang miskin. Sudah begitu lantas, kita jadi tenang. Kalau kita merasa miskin, kita bisa tenang merasa disayang Tuhan; kalau kita merasa kaya, kita bisa tenang orang-orang miskin tenang dan tidak merusak aset yang kita rasa milik kita. Bisa-bisa dikatakan candu masyarakat kalau begitu. Kata guru-guru agama, Tuhan itu maha penyayang. Ya, mestinya orang miskin, orang kaya, orang baik, orang jahat, kambing, tokek, bluwek sama disayang Tuhan dong..

Di bumi Tuhan yang kaya raya ini, kemiskinan termasuk salah satu aset kekayaannya. Masa aset milik pihak lain mau kita hilangkan? Katanya Pak botak yang namanya Gandhi, bumi ini mampu menghidupi seluruh penghuni bumi, tapi tidak untuk satu orang yang tamak dan serakah. Berarti, jangan-jangan kemiskinan itu musuhnya kesederhanaan. Kalau seluruh komunitas manusia melakukan soal-soal kesederhanaan, bisa-bisa kemiskinan bisa berkurang kalau begitu. Walaupun tidak akan punah..

Ngomong-ngomong, kira-kira ada tiga ratus tiga puluh ribu empat ratus tiga puluh satu orang bernama Seruni, aku tidak tahu apakah ada satupun yang pernah bermonolog seperti ini..

15 Februari 2009

Kembali ke Tanah Leluhur

Sebenarnya perjalanan saya ke kota Medan kali ini bukan merupakan perjalanan kali pertama, tetapi perjalanan ini terasa sangat berkesan. Meskipun belum pernah mudik dalam arti yang sesungguhnya, tetapi perjalanan kali ini terasa semacam napak tilas asal usul, kembali ke tanah leluhur. Kesan ini mungkin sebuah alasan mengapa orang Indonesia memiliki tradisi bernama mudik. Jangan-jangan ada sesuatu yang luhur yang mampu membuat orang melupakan kelelahan fisik dan resiko yang demikian tinggi saat melakukan mudik.

Seperti yang umumnya terjadi menjelang hari raya, tradisi mudik kita lakukan dengan berbagai daya upaya. Tiket transportasi umum macam pesawat dan kereta api pasti sudah habis sebulan sebelumnya dan sering kali berlipat harganya. Kita juga kenal mudik dengan mobil pribadi yang menghabiskan waktu berhari-hari sehingga membuat saya mendefinisikan kembali arti MPV (Multi Purpose Vehicle); ya jadi alat transportasi, ya jadi hotel, ya jadi restoran. Kita juga makin berusaha memahami kedalaman nilai mudik memikirkan fakta bahwa beberapa tahun terakhir ini kita mengenal mudik sekeluarga menggunakan sepeda motor. Lengkap dengan resiko tingkat tinggi kala lubang jalan sepanjang jalur mudik menunggu motor berkecepatan tinggi.

Mungkin mudik selain merupakan pulang ke tempat asal leluhur, lebih jauh lagi memperbaharui lagi pemahaman mengenai asal usul kita, siapa hakikinya kita. Menurut Cak Nun, ada empat episode dalam tradisi mudik. Pertama adalah kerinduan untuk pulang ke kampung halaman dan bersilaturahim dengan sanak famili. Ini adalah episode awal dari kebutuhan batin manusia untuk kembali ke asal asulnya. Kedua adalah pulang secara geografis dan kultural semacam mudik Lebaran. Mudik episode kedua ini merupakan bentuk kesadaran atau ikrar kembali bahwa diri manusia berasal dari tanah dan air, yang akan kembali ke tanah dan air. Ketiga adalah kesadaran tentang kembali ke ibu pertiwi yang lebih batiniah, yaitu kekhusyukan menginsyafi kasih sayang ibunda, kandungan dan rahim ibunda. Betapa di puncak kerumitan hidup ini kita terkadang ingin kembali masuk ke gua garba ibunda. Keempat adalah kembalinya kita semua ke pencipta tanah air, ke sumber dan asal usul. Hal ini yang menyebabkan perilaku kita untuk selalu siap kembali kepada Sang Pencipta adalah kesejatian mudik.

Yang pasti ‘mudik’ yang ini cuma main-mainan yang tidak layak masuk nominasi episode macam ini. Sekedar berputar-putar di kota yang berada pada propinsi yang sama dengan asal bapak, kakek, buyut, dan seterusnya tidak mengesahkan perjalanan ini sebagai mudik. Sekilas mencoba makanan yang cuma ada di kampung halaman belum membuat orang dikatakan melakukan mudik.

Tapi yang lebih pasti lagi, kemanapun perginya pasti kita mudik kembali. Sebab setiap momentum pergi adalah proses mudik kembali. Katanya sih begitu!

2 Februari 2009

OPW : Otak dan Jiwa (Bagian IV)

“Apabila realitas ialah apa yang dapat kau rasa, cium, kecap, dan lihat, maka ‘realitas’ ialah sesederhana sinyal-sinyal listrik yang diterjemahkan oleh otak.” -- Morpheus dalam film The Matrix (1999)

Kali ini kita obrol-obrol tentang hubungan antara otak dan jiwa. Dari sekian waktu saya mencari bahan, menurut saya tulisan kali ini lebih menantang untuk disusun. Hal-hal seputar jiwa sepertinya relatif lebih rumit karena menyangkut beragam aspek yang beberapa diantaranya kita belum mengerti. Pemahaman tentang jiwa terpenting dikontribusikan oleh agama dan kepercayaan. Pada jalur yang paralel, filsafat memberikan warna pada pemahaman mengenai hal ini. Sekitar seratus tahun belakangan, psikologi memberikan kontribusi pada bidang ini. Beberapa dekade terakhir, sains mulai menginjak ranah pembahasan seputar jiwa, salah satunya dari cabang neurosains yang disebut 'cognitive neuroscience'. Dalam tahap perkembangan yang sangat pesat seperti sekarang, berbagai riset menemukan hal-hal baru yang meningkatkan pemahaman kita mengenai jiwa.

Secara umum, ada beberapa penemuan yang membuat pergeseran pandangan 'antroposentris' menjadi 'universo-sentris', bahwa kita semakin mengerti bahwa manusia adalah bukan pusat alam semesta dan tidak sehebat yang selama ini dikira. Sedikitnya ada tiga revolusi saintifik yang berperan menguatkan pandangan ini.

Yang pertama adalah Revolusi Copernicus di mana pandangan geosentris (bumi sebagai pusat alam semesta) digantikan oleh pandangan Heliosentris bahwa bumi tempat manusia hidup hanyalah satu objek kecil alam semesta dan ikut serta mengelilingi matahari bersama planet lainnya.

Yang kedua, Revolusi Darwin yang membuat pemahaman bahwa manusia juga merupakan produk evolusi yang memiliki kekerabatan dengan kera dan merupakan bentuk evolusi yang sukses di muka bumi (setidaknya hingga saat ini). Antara manusia dan simpanse terdapat 98 persen kesamaan dalam urutan kode DNA. Bahkan kalau ditinjau pada tingkatan gen, manusia dan simpanse tidak berbeda satu gen pun; yang berbeda hanyalah urutan-urutan 'DNA sampah' yang bukan merupakan penyimpan informasi genetis.

Yang ketiga adalah perkembangan neurosains saat ini yang berusaha memahami peranan otak dan jaringan saraf terhadap seluruh aspek kehidupan manusia (dan hewan), mulai dari proses fisiologis dasar hingga ke perkembangan kebudayaan. Menyambung contoh sebelumnya, perbedaan yang sangat signifikan antara manusia dengan simpanse ternyata terdapat pada struktur otak. Manusia memiliki volume otak yang lebih besar dan luas permukaan cortex cerebri yang berkembang, yaitu rata-rata 500 cm2 pada simpanse menjadi rata-rata 2200 cm2 pada manusia. Inilah yang menimbulkan perbedaan signifikan antara kita dan sepupu dekat kita.

***

Kita kembali ke obrolan hubungan antara otak dan jiwa. Satu hal yang kita ketahui bersama bahwa hanya pada otak yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Pada tulisan ini, selanjutnya akan dipaparkan beberapa contoh mengenai hubungan antara kedua hal ini. Mengikuti beberapa literatur, saya membedakan antara ruh dan jiwa. Pengertian ruh lebih cocok disamakan dengan 'spirit' (daya hidup), yaitu sesuatu yang ditiupkan Tuhan untuk memulai kehidupan. Sedangkan, jiwa lebih cocok disamakan dengan 'self' (ke-aku-an) dan 'consciousness' (kesadaran). Membatasi pemahaman konsep jiwa sebagai 'self--consciousness' memudahkan kita memahami obrolan selanjutnya.

Pada beberapa aliran agama, The Self, si "Saya", adalah sesuatu yang maya atau ilusi. Pencarian pencerahan atau kebenaran pada perjalanannya akan menyingkap ilusi ini dan pada akhirnya si Pencari akan menyadari bahwa dirinya sebenarnya 'bersatu dengan kosmos'. Subjektivitas berusaha dihilangkan dan pada akhirnya objektivitas-lah yang menjalankan kehidupan. Pencarian neurosains saat ini juga mendekati pemahaman bahwa The Self dalam otak juga ternyata adalah sebuah ilusi. Penelitian dari manusia normal ataupun mengalami gangguan pada bagian otak tertentu menunjukkan bahwa manusia menciptakan 'realitas'-nya sendiri dari potongan informasi dari apa yang kita dapat dari indera kita (lihat, dengar, sentuh, dan rasa). Secara subjektif, manusia merasa bahwa apa yang ia terima dari inderanya adalah 'kebenaran'.

***

Blind Spot



Pada orang normal, sejak abad ke-17 kita mengenal apa yang disebut scotoma atau blind spot (titik buta). Blind spot adalah area yang 'hilang' yang tidak bisa dideteksi oleh penglihatan kita. Setiap mata mamalia normal memiliki blind spot di lapangan pandangnya. Ini adalah lokasi dimana tidak ada reseptor cahaya karena tempat ini merupakan tempat saraf optik keluar dari retina.

Meskipun begitu, kita tidak pernah menyadari adanya blind spot. Kebanyakan kita menganggap bahwa setiap yang kita 'lihat' adalah seluruh 'laporan pandangan mata' yang diberikan mata kepada otak. Sesungguhnya, ada blind spot, yaitu suatu area di mana mata tidak dapat mendeteksi. Anda bisa menemukan blind spot anda sendiri pada demonstrasi ini (demo).

Laporan yang seharusnya didapatkan blind spot ini akan diambil dari mata sebelahnya. Tetapi bagaimana kalau tidak ada mata sebelah seperti pada bajak laut mata satu? Ternyata mereka pun tidak menyadari adanya blind spot ini. Berdasarkan penelitian, ternyata apa yang kita 'lihat' ternyata bukan semuanya berasal dari laporan pandangan mata. Ternyata otak sendiri juga membuat informasi untuk menambal kekosongan informasi dari mata. Kita melihat blind spot bukan sebagai area hitam yang menunjukkan tidak adanya informasi dari mata, tetapi kita melihatnya sebagai sesuatu yang sama seperti latar belakangnya. Misalnya pada demo di atas, kita melihatnya seperti warna yang sama seperti warna latar belakangnya.

Saat ini, blind spot dikenali bukan hanya pada tingkatan indera saja (misalnya: mata). Blind spot juga pada ditemui pada jaringan saraf otak, yaitu pada area yang bertanggung jawab menerjemahkan sinyal dari indera kepada pemahaman yang kita mengerti selama ini. Pada kasus ini, proses penambalan kekosongan ini dilakukan karena sinyal tidak seluruhnya dapat diterjemahkan oleh jaringan saraf otak.

Charles Bonnet Syndrome

Penelitian lebih jauh lagi ternyata menunjukkan bahwa otak kita bukan hanya 'menambal' kekosongan saja, melainkan secara kreatif juga mampu mengubah informasi yang didapatkan dari mata. Charles Bonnet syndrome adalah gangguan yang menyebabkan pasien memiliki halusinasi visual yang rumit. Pasien yang mengalami sindrom ini mentalnya normal. Perbedaannya adalah pada persepsi penglihatannya sering kali ada hal-hal yang 'terlihat' yang sebenarnya tidak ada pada penglihatan orang normal disebabkan gangguan pada otaknya. Misalnya pada seorang yang mengalami sindrom ini, tiba-tiba orang didepannya berubah kepalanya menjadi kelinci.



Kartun di atas adalah karya dari James Thurber, seorang kartunis The New Yorker terkenal yang terindikasi mengalami Charles Bonnet syndrome. Karya-karyanya mungkin merupakan inspirasi yang ia dapatkan sehari-hari dari sindrom yang dialaminya. Nah, sekarang kita bisa mengira-ngira apa yang mungkin terjadi kalau orang Indonesia mengaku melihat kuntilanak, pocong, setan belang, atau apapun yang merupakan produk mistik 'khas' Indonesia. Kok cuma orang Indonesia saja yang melihatnya ya? Sementara, orang Eropa lebih sering melihat vampire dan drakula.

***

Anosognosia

Pada contoh sebelumnya, kita melihat bagaimana subjektivitas ke-aku-an adalah sebuah ilusi dan bisa jadi apa yang kita inderai bukan yang sebenarnya terjadi. Pada dari sisi lain, ada juga sebuah contoh di mana The Self tidak mengakui sebagian dari tubuhnya. Anosognosia adalah gangguan yang disebabkan cedera otak di mana seseorang tidak menyadari atau menyangkal kecacatannya, misalnya kelumpuhan atau kebutaan.

Anosognosia biasanya terjadi disebabkan stroke atau kecacatan neurologis lainnya pada otak. Kerusakan bukan terjadi pada sensor indera, melainkan pada proses berpikir (neurokognitif) yang terlibat dalam proses pengenalan bagian tubuh. Umumnya, hal ini terjadi setelah kerusakan hemisfer cortex kanan sehingga bagian tubuh kiri mengalami kelumpuhan. Pasien ini menyangkal atau tidak menyadari bahwa bagian tubuh kirinya tidak dapat melakukan hal yang diperintahkan kepadanya. Pada kasus sebaliknya, di mana hemisfer kiri yang rusak dan bagian tubuh kanan lumpuh, kasus anosognosia sangat jarang terjadi. Pasien stroke hemisfer kiri menyadari dan terus membicarakan kelumpuhan tubuh bagian kanannya. Hal ini berkaitan dengan spesialisasi fungsi mental dari masing-masing hemisfer.

Seorang pasien yang mengalami anosognosia tidak akan mengakui atau tidak menyadari bahwa sebagian tubuhnya mengalami kelumpuhan. Kalau didesak, misalnya diminta untuk mengambil pulpen di meja hadapannya dengan tangan yang lumpuh, dia akan melakukan penghindaran, penyangkalan, atau seakan-akan dia sudah melakukan apa yang diminta. Misalnya pada penghindaran, seorang pasien mengatakan dirinya tidak biasa mengikuti perintah, jadi tidak mau menjalankan perintah mengambil pulpen. Pada penyangkalan, pasien ini akan mengatakan tangannya sedang rematik jadi sulit digerakkan. Malah, ada pasien yang mengatakan bahwa dia sudah mengambil pulpen itu dan memberikannya kepada dokter, tetapi semua pengamat di tempat itu melihat tangan pasien tetap lumpuh dan tidak bergerak sedikitpun. Sebuah ceramah menarik dari Prof. Ramachandran pada kasus anosognosia dapat dilihat di sini.





***

Masih banyak contoh lain mengenai konsep dari jiwa ini, misalnya 'Out of Body experience' (pengalaman keluar dari raga) atau 'Near-Death Experience' (pengalaman hampir mati). Pengalaman ini saat ini berusaha didekati dengan penelitian neurosains. Hal ini masih merupakan studi yang sangat baru dan pasti akan banyak perkembangan dalam proses membangun sebuah teori mengenainya. Pemahaman yang saya dapatkan masih belum memadai dan menjelaskannyapun masih relatif sulit.

Dari berbagai contoh ini, dapat kita pahami apa yang terjadi pada otak dapat mempengaruhi keadaan jiwa. Masih banyak pertanyaan lain yang menunggu yang pada masa lalu hanya berada pada ranah agama dan filosofi. Apakah itu jiwa? Siapakah Saya? Apakah ada sesuatu kecerdasan yang misterius mampu berkeliaran di seluruh jagad raya? Ataukah kesadaran hanyalah produk ilusi dari aktivitas synaps yang ada di otak kita?

Selama beberapa dekade terakhir, neurosaintist di seluruh dunia mempelajari sistem saraf secara mendetil dan telah menemukan bermacam pendekatan memahami jiwa. Laju perkembangan penemuan ini makin meningkat, malah pemahaman baru ini kadang-kadang menimbulkan rasa tidak nyaman pada konstruksi pemahaman yang selama ini kita miliki. Sains macam kosmologi, evolusi, dan sains otak mengatakan pada kita bahwa kita tidak memiliki posisi yang khusus di jagad raya ini. Saya jadi teringat sebuah perkataan, "Manusia dibangun oleh keyakinannya. Bagaimana ia percaya, begitulah dirinya."