5 Maret 2010

Delhi-India : Elang di atas kepala (Bagian Kedua)

Jangan salah paham, saya sendiri sangat mengagumi India sebagai sebuah masyarakat. Selama lebih lima ribu tahun, mulai dari tiga ribu empat ratus tahun sebelum Masehi di lembah Indus hingga saat ini menjadi sebuah negara anak benua India bukanlah waktu yang pendek untuk membangun sebuah kebudayaan. Dari bencana alam ke bencana alam, krisis politik ke krisis politik lain, berbagai permasalahan ekonomi dan sosial, dan tingkat keragaman tinggi antarkebudayaan di dalamnya, serta konflik antaragama Hindu dan Islam,  India masih tetap bertahan berdiri sebagai sebuah masyarakat yang (relatif) utuh.

Mestinya ada sebuah sistem yang luar biasa yang bisa mendukung berkembangnya populasi hingga 1,2 miliar manusia dalam satu negara. Malah, diperkirakan dekade selanjutnya populasi India akan melebihi Cina menjadi negara dengan populasi terbanyak di dunia. Pengaturan tingkat kelahiran di India lebih longgar dibandingkan Cina yang hanya mengizinkan satu orang anak dalam satu keluarga. Seorang teman India saya berkata, “India is democratic country, my friend. We can have as many children as we like..

Saya jadi membayangkan bagaimana evolusi biologis mampu membuat masyarakat India beradaptasi terhadap jumlah populasi sebesar ini. Di sisi biologis, yang pasti fisiologi manusia India memiliki efisiensi lebih tinggi, termasuk sistem imunitas sangat berkembang untuk beradaptasi dengan tingkat sanitasi yang rendah dan sumber makanan yang terbatas. Seperti yang saya katakan di atas, orang Malaysia saja evolusinya tertinggal, apalagi orang Eropa!

Ditinjau dari evolusi kebudayaan, entah bagaimana caranya populasi dengan tingkat kepadatan seperti ini masih bisa menjaga sistem kemasyarakatannya. Evolusi kebudayaan lima ribu tahun di India ternyata berhasil mempertahankan hidupnya sistem kemasyarakatan ini. Jangan-jangan sistem stratifikasi kasta di masyarakat India yang selama ini kita anggap feodal, ternyata merupakan sistem yang ajeg yang mampu mempertahankan ukuran populasi sebesar ini. Kalau kita lihat orang Eropa dan Amerika secara ekonomi dan sosial akhirnya mengurangi tingkat kelahirannya secara alami sebelum mencapai ukuran populasi miliar, bahkan tanpa banyak peran pemerintahnya.

Jangan juga dilupakan bagaimana masyarakat India dapat hidup (harmonis?) dengan alam. Kita sering mendengar sapi di India dianggap sebagai hewan suci yang benar-benar dihormati. Kalau ada sapi yang mati di depan rumah kita, siap-siap urusannya akan sangat panjang. Jadi sapi ini mendapatkan kemudahan bebas berkeliaran ke mana saja. Bukan hanya itu, saya juga lihat anjing, monyet, kambing, kucing, bahkan babi berseliweran di pinggir (dan juga di tengah) jalan bersama-sama manusia. Malah saya lebih tidak habis pikir lagi, sering kali saya lihat kawanan elang liar yang terbang rendah di atas kepala kita di tengah perempatan lalu lintas yang luar biasa padat dan semrawut Delhi. Coba bayangkan, interaksi dengan alam macam apa yang membuat hal-hal seperti ini mungkin bisa terjadi?

***

Di perjalanan ini, saya lagi-lagi menginsyafi pandangan stereotyping saya. Di India, terdapat dua puluh delapan state dan ratusan suku yang memiliki subkebudayaan yang sangat berbeda satu sama lain. Setiap suku memiliki kebudayaannya masing-masing: masakan sendiri, bahasa sendiri, dan hasil kerajinan sendiri. Kolonialisasi Inggris, yang berawal dari ekspedisi negara-negara Eropa semenjak abad ke-16 ternyata mampu mempersatukan keragaman India. Faktanya, lebih banyak orang yang mampu berbahasa Inggris dibandingan berbahasa Hindi yang notabene merupakan bahasa nasional negara India.

Dan kalau kita sedikit mengintip sejarah Indonesia, India adalah ibu kebudayaan Indonesia. Mulai dari dua ratus tahun sebelum Masehi, penyebaran Hindu,  dan Budha, kemudian Islam berdatangan dari berbagai suku di India ke Indonesia (Sumatera dan Jawa). Jangan salah, kebudayaan Islam Indonesia yang berdatangan dari India kebanyakan berasal dari state Goa dan Gujarat.

Masjid Dian Al Mahri di Depok kuilindia155_thumb3[6]

Jadi, Hindu-nya Indonesia, Budha-nya Indonesia, Islam-nya Indonesia, banyak sekali terpengaruh oleh beberapa kebudayaan saja dari India. Salah satunya bentuk kubah mesjid di Indonesia pada umumnya adalah copy paste dari banyak bangunan di India. Di India, Bentuk kuil Hindu-pun mirip mesjid di Indonesia. Dan masih ada banyak kebudayaan India lainnya yang belum sempat berakulturasi dengan masyarakat Indonesia. Yang baru-baru ini muncul, ya salah satunya kebudayaan Bollywood yang sering mengunjungi layar televisi dan bioskop kita akhir-akhir ini. Hayo, sudah nonton film “3 Idiots”, belum? :)

Delhi-India : Elang di atas kepala (Bagian pertama)

India MapKalau boleh jujur, peluang saya untuk secara sukarela kembali mengunjungi India lagi bisa dikatakan sangat rendah. Atau mungkin saya perkecil lagi scope-nya, dari luasnya negara India menjadi kota Delhi saja lah. Pengurangan ini saya lakukan dalam rangka mencegah stereotyping yang lagi-lagi saya lakukan tanpa sengaja di luar sadar.

 

Cukup banyak ketidakkompatibelan saya dengan kebudayaaan di India. Setidaknya pada kunjungan pertama kali ke Delhi, banyak sekali waktu-waktu di mana saya mengelengkan kepala karena takjub, heran, sekaligus terkejut. Kembali lagi saya mengalami yang biasa dikatakan orang sebagai gegar budaya.

Melintasi kehidupan di Delhi, saya jadi teringat beberapa kombinasi berbagai hal yang pernah saya temui. Ketidakpatuhan lalu lintas kota Medan dengan derajat tiga kali lipat. Kekumuhan bantaran sungai Banjarmasin dengan kepadatan yang lebih tinggi dan penyebaran yang lebih luas. Kesemerawutan angkot-angkot terminal Baranangsiang di Bogor ditambah dengan seliweran Bajaj berpenumpang lebih dari 6 orang, kemudian ditambah lagi traktor yang masuk jalan utama dengan gandengan besar berisi hasil bumi. Banyak hal pula yang tambahan yang membuat diskusi lebih lanjut berhenti hanya dengan penjelasan “Because this is India, you can do anything.”   *Teman India saya ngomong hal ini sambil geleng-geleng kepala*

 Auto rickshaw

Saya menjadi waspada memakan berbagai jenis makanan di India, bahkan di hotel bintang lima sekalipun. Hingga kemarin, sudah ada korban dua orang. Teman asal Jerman yang mengalami muntah-muntah yang menurut dokter terjadi karena keracunan makanan, sedangkan teman asal Malaysia mengalami diare ringan.

Saya merasa cukup sukses menahan mual perut agar tidak mengalami komplikasi yang lebih merepotkan setiap kali naik mobil di Delhi. Macam-macam penyebabnya, mulai dari manuver supir salip-menyalip, klakson-mengklakson, dan rem mendadak yang mengocok perut. Apalagi ditambah debu yang menyemprot dari sistem pendingin udara benar-benar membuat sistem keseimbangan di otak saya hampir tidak mampu mengkompensasi berbagai gangguan ini.

***

Ini bukannya SARA, saya kutip kata pengantar buku Superfreakonomics karangan Levitt dan Dubner. Kalau bisa memilih tempat kelahiran Anda atau anak Anda (memangnya bisa?), memilih India sebagai tempat kelahiran bukan pilihan yang bijaksana. Di luar pertumbuhannya yang luar biasa sebagai pemain penting dalam ekonomi global, negara India secara keseluruhan masih berada di bawah garis kemiskinan. Sanitasi dan harapan hidup relatif rendah. Di pedesaan, hanya satu dari empat rumah yang memiliki toilet. Sisanya, silakan cari jamban terdekat..

Di kebudayaan India yang lebih mengutamakan anak laki-laki, peran perempuan sering kali dipinggirkan. Melahirkan anak laki-laki seperti melahirkan asuransi pensiun. Orang tua yang memiliki anak laki-laki dan memeliharanya dengan baik hingga dewasa akan meningkatkan jaminan selamat dipelihara oleh anak laki-lakinya ini sampai hari tua. Bahkan hingga meninggal, orang tua ini akan diurusi kremasinya meskipun biayanya semakin hari semakin mahal.

Lebih tidak beruntung kalau Anda dilahirkan sebagai seorang perempuan. Anak perempuan adalah beban, sehingga kalau ibu hamil mendapati hasil USGnya menunjukkan calon bayi adalah perempuan, sering kali sang ibu mengaborsi jabang bayinya perempuannya ini. Hasilnya, jumlah perempuan lebih sedikit daripada laki-laki di India. Bahkan kalau sudah dewasa pun, perempuan tetap mengalami marginalisasi. Kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan adalah hal yang diterima secara sosial. Lebih dari seratus ribu perempuan India setiap tahunnya meninggal karena berbagai bentuk kekerasan, termasuk  di dalamnya pembakaran pasangan. Di pedesaan India, kalau ada seorang pria yang beristri meninggal, istrinya sering kali ikut dalam pembakaran pasangannya alias dikremasi (hidup-hidup)!

(Bersambung)