29 Agustus 2010

Ramadhan Orang Ramai: Protes (bagi) diri sendiri

Marhaban ya Ramadhan. Begitulah sambutan kita bagi bulan Ramadhan yang penuh rahmat. Sebuah sambutan kita anggap perlu rayakan secara gegap gempita. Maka dari itu, kita bangun seperangkat ritual sambutan. Tidak hanya puasa yang diwajibkan bagi yang beriman, kita juga susun ritual yang melengkapinya. 

Yang pertama, kita hadirkan atmosfer Ramadhan. Maka dari itu, kita mainkan nada-nada islami, kita selipkan kurma khas Timur Tengah di hidangan berbuka, dan kita tonton para Ustad Ramadhan yang setahun sekali menghiasi layar kaca kita. Sungguh tidak lengkap melalui bulan yang penuh rahmat tanpa detil-detil ini.

Yang kedua, amal baik perlu ditingkatkan dengan janji ganjaran pahala yang besar. Setanpun juga dikerangkeng. Maka dari itu, kita lakukan amal baik yang tidak kita lakukan di bulan lain. Kita berbondong-bondong bagikan makanan berbuka bagi orang yang tidak mampu dan bersedekah lebih besar daripada waktu-waktu sebelumnya.

Yang ketiga, tiada ada sambutan tanpa makan-makan dan kebersamaan. Maka dari itu, kita ikuti beberapa kali buka bersama. Sambil menemui lagi kawan lama dan mencari kawan baru. Dengan makanan yang mungkin tidak pernah kita jumpai dari pada waktu-waktu lainnya. Dengan jumlah yang lebih besar dari jumlah pada hari-hari lainnya.

Ibadah Ramadhan bukan lagi ibadah pribadi. Puasa sudah tidak lagi rahasia, semuanya terbuka dan dirayakan. Inilah perkembangan ekspresi ibadah puasa Ramadhan kita saat ini.

Terserah Yesus mengatakan, “Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi.

Atau Imam Ghazali juga berkata, “Memakan apa yang tak dimakan di selain bulan Ramadan, mengonsumsi sesuatu lebih banyak dari hari-hari non-puasa, sungguh telah jauh melenceng dari ruh puasa.”

Atau Syekh Siti Jennar ikut menuduh, “Puasa lan kaji wes palson kabeh.”

Atau Goenawan Muhammad yang terheran-heran, "Ramadan telah jadi sebuah paradoks: ketika orang diharuskan menahan nafsu, kreativitas menyiapkan hidangan justru meningkat; omzet perdagangan makanan naik sampai 60 persen. Orang ramai berbelanja untuk membuat meriah meja berbuka puasa dan sahur mereka."

Ini adalah Ramadhan kita hari ini: Ramadhan bagi orang ramai dan ditonton orang ramai. Ini adalah realita ibadah kita sekarang. Yang tidak seperti begini, dimohon jangan ikut-ikut!