24 Oktober 2008

Implikasi Pendidikan Formal Lanjut pada Calon Pemimpin Negara

Seorang calon pemimpin negara yang ideal harus memiliki kriteria integritas, kompetensi, dan akseptabilitas. Kriteria ini dibangun secara seimbang dan saling berhubungan. Bila pemimpin terbukti memiliki integritas dan hasil tindakan dari kompetensi yang dimilikinya dapat dirasakan masyarakat, maka akseptabilitas terhadap pribadi dan golongannya akan meningkat. Jadi, akseptabilitas merupakan output dari kriteria lainnya. Akseptabilitas inilah yang terukur dari jumlah suara yang mendukung pemimpin ini dalam pemilihan politik dan akhirnya jumlah coblosan masyarakat akan menentukan siapa yang berhak dan berkewajiban menjadi pemimpin.

Akhir-akhir ini, kriteria akseptabilitas sering tidak berkesinambungan dengan kriteria kompetensi dan integritas, bahkan cenderung mengabaikan kriteria lainnya. Untuk meningkatkan akseptabilitas instan terhadap pribadi atau golongan, calon pemimpin bertindak serupa selebritis, misalnya dengan beriklan di media dan mengadakan roadshow ditambah pentas musik yang diakhiri dengan bagi-bagi amplop atau sembako. Dari arah sebaliknya, selebritis pun saat ini banyak yang mulai bermigrasi ke ranah politik menjadi caleg atau ikut serta dalam pencalonan pilkada.

Meningkatkan akseptabilitas dengan modal selebritas atau ketokohan saja menyebabkan kegiatan politik tidak membawa nilai tambah untuk masyarakat, tidak jarang malah menenggelamkan masyarakat tersebut. Dengan modal ini, politik hanya akan menjadi kegiatan ‘high popularity low impact’. Menghubungkan kembali kriteria akseptabilitas dengan kriteria integritas dan kompetensi akan membawa aktivitas perpolitikan menjadi ’high popularity high impact’. Malah lebih baik lagi, bila integritas menjadi kriteria yang dominan, aktivitas perpolitikan akan menjadi ‘low popularity high impact’.

Integritas adalah kriteria yang sulit untuk dapat ditebak. Kita tidak dapat membaca pikiran atau hati seseorang secara pasti sehingga masalah integritas ini sangat sulit untuk dikuantifikasikan. Dalam jangka panjang, integritas akan membentuk reputasi seseorang di lingkungan sosial. Berpegang pada asas prasangka baik, integritas seseorang dianggap baik kecuali bila orang ini terbukti melakukan tindakan yang melanggar norma dan hukum.

Kompetensi adalah kriteria yang lain yang tidak kalah penting untuk seorang pemimpin negara. Sifatnya seperti bahan bakar dalam pengejawantahan integritas seorang pemimpin. Kompetensi seorang calon pemimpin lebih mudah untuk dinilai, salah satunya ialah melalui debat calon pemimpin. Kompetensi ini bukan suatu hal yang dilahirkan instan, tetapi mengalami proses pembentukan, yaitu melalui pendidikan. Komponen terbesar pendidikan yang paling penting dalam pembangunan kompetensi ini adalah pendidikan formal, yang terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan lanjut atau kesarjanaan.

Trend yang saya amati belakangan ini, makin banyak pribadi yang melanjutkan pendidikan kesarjanaannya. Banyak orang saya kenal meneruskan pendidikan sarjana ke pascasarjana, yang paling dekat adalah istri saya yang sedang menjadi mahasiswa pascasarjana. Selain itu, banyak teman-teman sekuliah dulu yang melanjutkan lagi pendidikan kesarjanaan: baik di jurusan yang sama atau satu bidang dengan S-1 yang diambil, atau bisa juga di jurusan yang umum (Magister Manajemen); baik yang kuliah di universitas yang sama, atau kuliah di universitas lain, bisa juga luar negeri; baik dengan dana pribadi atau dengan beasiswa. Kira-kira, hampir setengah teman-teman seangkatan saya yang melanjutkan ke pendidikan sarjana lanjutan alias S-2. Malah, beberapa teman saya yang sudah memulai pendidikan doktoralnya.

Kegiatan orang-orang terdekat menjadi mahasiswa lagi sepengamatan saya berkisar pada mengalokasikan waktu membaca literatur lebih banyak, berdiskusi ilmiah dengan dosen dan rekan kuliah, mempersiapkan diri untuk ujian, menyusun dan melakukan penelitian, serta aktivitas lain yang pasti bisa meningkatkan pola pikir dan dapat menjadi semacam simulasi dalam menyikapi keadaan masyarakat. Dengan semua aktivitas ini, mestinya keluaran lulusan pascasarjana akan memiliki pola pikir yang lebih analitis, komprehensif dan sistematis.

Seorang saudara yang mengajar pendidikan doktoral mengatakan bahwa kuliah S-1 membuat kita belajar bagaimana bekerja menjalankan rencana yang masuk akal yang ada berdasarkan mimpi yang tidak masuk akal. Kuliah S-2 membuat kita belajar bagaimana membuat rencana yang masuk akal dari mimpi yang tidak masuk akal. Sedangkan kuliah S-3 membuat kita belajar bagaimana awalnya bermimpi hal yang tidak masuk akal, kemudian membuat rencana yang masuk akal dari mimpi tadi, hingga ada hasilnya yang nyata dan bermanfaat untuk masyarakat.

Berdasarkan hal ini, saya setuju dengan wacana praktis bahwa calon pemimpin Indonesia memiliki syarat memiliki level pendidikan doktoral. Masyarakat Indonesia akan sangat tertolong bila pemerintahnya mampu membuat mimpi-mimpi untuk membangun masyarakat adil makmur, menyusun strategi dan perencanaan untuk mewujudkan mimpi ini dan mengonversikan perencanaan ini menjadi hasil yang bermanfaat dan dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia.

Seseorang calon pemimpin dengan level pendidikan doktoral semestinya mampu memimpin timnya untuk merumuskan dan menganalisa permasalahan masyarakat lalu
mensintesis, memutuskan, dan menjalankan cara mana yang terbaik untuk menyelesaikan permasalahan ini. Memang tidak ada jaminan hal ini pasti terjadi, tetapi dengan modal level pendidikan ini akan meningkatkan komprehensivitas pengelolaan negara dengan baik untuk mewujudkan mimpi-mimpi tadi.

Kompetensi sendiri berada pada daerah logika dan berkaitan dengan pola pikir. Pola pikir ini tentunya harus dibangun dari pendidikan. "Sesuatu kalau diserahkan kepada bukan ahlinya, tunggu saja kehancurannya," begitu kata Nabi Muhammad. Sebuah masyarakat tidak dapat menjadi lebih baik kecuali masyarakat itu sendiri yang melakukannya, yaitu pertama kali dimulai dari memilih pemimpin yang terbaik.

5 Oktober 2008

Voltaire

Voltaire (1694-1778) adalah seorang penulis dan filsuf dari Prancis yang terkenal dengan berbagai karyanya mulai dari humor intelektual, kemerdekaan sipil, kebebasan beragama, hingga perdagangan bebas. Nama aslinya sebenarnya François-Marie Arouet, tapi sesuai dengan kebiasaan penulis masa lalu, nama asli ini disamarkan menjadi Voltaire.


Voltaire adalah penulis yang produktif, terhitung dari seabrek tulisannya mulai dari drama, puisi, novel, esai, tulisan sejarah dan ilmiah, hingga ribuan surat dan pamflet. Kebanyakan karyanya bercerita seputar reformasi sosial menentang hukum yang sangat ketat mengenai penyensoran media publik, dogma-dogma agama Katolik, hingga kebijakan kerajaan Prancis pada waktu itu. Salah satu karya filosofisnya yang paling termasyhur adalah Philosophical Dictionary (1764) yang menuturkan masalah Pemerintahan Prancis, Bibel, dan Gereja Katolik Roma.


Walaupun karya Voltaire dikemas secara lebih ‘lunak’ dengan nada-nadanya satire, tetap saja karyanya ini mengantarkannya bolak-balik ke penjara, salah satunya ke penjara Bastille yang belakangan menjadi tempat penting dalam Revolusi Prancis. Voltaire sendiri dianggap sebagai salah satu dari tokoh pencerahan yang mempengaruhi Revolusi Prancis.


Pada kisaran abad ke-17 dan ke-18, doktrin Katolik sangat berlimpah dan Voltaire adalah kritikus tajam terhadap doktrin keagamaan ini. Dengan buah pemikirannya Voltaire sering dituduh sebagai atheis, walaupun begitu kebanyakan kritiknya lebih memfokuskan pada tindakan organisasi keagamaan saat itu dibanding konsep keagamaannya itu sendiri. Tulisannya tidak hanya mengkritisi Katolik, tetapi juga agama lainnya, seperti Islam dan Hindu. Dia mengkritik Muhammad sebagai nabi palsu dan sebagai sekte yang barbar. Meskipun begitu, di sisi lain terhadap agama Islam sendiri dia mengatakan Muhammad membawa “agama yang bijak, disiplin, murni, dan humanis.”


Menurut pemikirannya pada Philosophical Dictionary :

Agama ideal haruslah sesederhana mungkin : "Bukankah itu agama yang banyak mengajarkan moralitas dan sangat sedikit dogma? yang condong untuk membuat manusia menjadi adil dan tidak membuat mereka bodoh? yang tidak memerintahkan orang untuk menyakini suatu yang mustahil, bertentangan, merusak nilai-nilai ketuhanan, dan berbahaya bagi umat manusia, dan yang tidak mengancam dengan hukuman neraka kepada siapa saja yang memiliki akal sehat?


Bukankah itu agama yang tidak menegakkan ajarannya melalui pemaksaan, dan tidak menggenangi bumi dengan darah demi sofisme yang tidak terjangkau akal? ... yang hanya mengajarkan pengabdian kepada satu ilah, kepada keadilan, toleransi dan kemanusiaan?"


Tulisan ini saya baca pada Sejarah Tuhan (Karen Armstrong, 1993) dan saya tidak bisa menahan diri untuk memberikan komentar. Latar belakang Voltaire penuh dengan kontroversi dan memang tokoh-tokoh ajaib hidupnya selalu dengan kontroversi. Ali bin Abu Thalib mengatakan, “Perhatikan apa yang dikatakan seseorang, dan jangan memperhatikan siapa yang mengatakan”. Jadi, meskipun banyak buah pemikirannya yang tidak sesuai dengan apa yang saya tahu, saya berusaha mengikuti saran Ali bahwa ada beberapa pernyataannya pada definisi mengenai "agama yang ideal" yang sesuai dengan apa saya tahu.


Pertama, bahwa agama yang ideal sangat sedikit dogma. Dogma adalah kepercayaan atau doktrin yang sudah disepakati oleh masyarakat keagamaan, yang dianggap autoritatif dan seragam, tidak dapat dipertanyakan ataupun disangkal. Banyak dogma yang dapat kita telusuri lebih jauh yang ternyata awalnya lebih merupakan kesepakatan bersama. Salah satu contoh dogma pada agama Islam yang terstandardisasi di Indonesia adalah mengenai nama sepuluh malaikat, yang bila ditelusuri lagi ternyata tidak semuanya tertulis pada Al-Quran dan Al-Hadits. Menurut beberapa sumber, nama Jibril, Mikail, dan Malik tercantum di Al-Quran; Israfil, Munkar, Nakir, dan Ridwan tercantum di Al-Hadits, sedangkan Raqib, Atid, dan Izrail tidak tercantum sedikitpun pada kedua sumber utama ini. Kalau ditelusuri dari sejarah, kemungkinan nama malaikat ini merupakan hasil kesepakatan umat islam masa itu yang salah satunya diadopsi dari kisah-kisah Israiliyat pada saat umat Islam dan Yahudi hidup berdampingan pada masa kekhalifahan Islam.


Dengan perkembangan teknologi informasi saat ini, dogma agama saya rasa sudah menciut drastis di Dunia Barat dan mulai berkurang di Dunia Timur. Di Dunia Barat misalnya, novel Da Vinci Code karya Dan Brown menghebohkan doktrin Trinitas Gereja dan menimbulkan keinginan orang untuk meneliti lebih jauh mengenai fakta sebenarnya yang terkandung pada novel ini. Sejarah dan pemikiran akan terdistribusi dengan mudah dan tentunya orang akan mudah memilih pemahaman keagamaan yang sesuai dengan kemampuan dan kemauan pribadinya. Maksudnya, pencarian terhadap pemahaman agama sudah pasti akan lebih terfasilitasi, sehingga menyebabkan distorsi informasi akan semakin mengecil dan dogma yang turun-temurun dapat ditelusuri asal muasalnya. Seperti pada contoh nama-nama malaikat di atas, kita jadi berusaha mencari tahu asal muasal penamaan malaikat ini dan mau tidak mau sedikit belajar sejarah Islam. Dari sini, kita dapat lebih memahami keberagaman pemahaman kita terhadap agama.


Kedua, bahwa agama yang ideal tidak menegakkan ajarannya dengan pemaksaan dan menggenangi bumi dengan darah demi keyakinan. Kita harus berbesar hati bahwa keagamaan kita masih jauh ‘panggang dari api’ melihat kenyataan bahwa diskusi antaragama dan intraagama tidak jarang berubah menjadi pemaksaan. Dalam intraagama Islam saja, ada konflik global seperti Sunni versus Syi’ah, konflik khas Indonesia ala NU dan Muhamadiyah, sampai konflik nasional modern, yaitu FPI versus Ahmadiyah. Beberapa hari ini misalnya, Menteri Agama RI melakukan sebentuk pemaksaan dengan mengirimkan utusan untuk menyatakan “salah” kepada pihak masyarakat yang ber-Idul Fitri tidak sesuai dengan tanggal yang ditentukan pemerintah.


Mendukung ketidaksepakatan mengenai segala bentuk pemaksaan, definisi ‘agama yang ideal’ versi Voltaire juga mengandung nilai-nilai universal: keadilan, toleransi, dan kemanusiaan. Nilai universal ini diakui oleh semua ajaran agama, hanya saja pada praktek keberagamaan di Indonesia akhir-akhir ini toleransi kalah nilai dengan penegakkan akidah yang ‘kaku’. Pemaksaan yang mengarah ke kekerasan fisik menjadi sering terjadi dalam masyarakat Islam di Indonesia saat ini, terakhir pada kasus tawuran FPI dan massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKK-BB) bulan Juni kemarin.


Menurut Khaled Abou El-Fadl pada Cita dan Fakta Toleransi Islam; Puritanisme versus Pluralisme (2003), sikap intoleran muncul dari kelompok ekstrimis puritan yang secara signifikan memiliki perbedaan pandangan teologis dengan umat Islam yang umumnya cinta damai. Muslim puritan berpegangan pada beberapa ayat Al-Quran tertentu saja untuk mendukung pandangan keagamaan yang eksklusif dan intoleran. Konstruksi keyakinan teologis tersebut didasarkan pada pembacaan Al-Quran secara terasing seakan-akan makna ayat-ayat tersebut sudah jelas dan transparan.


Sebenarnya, Al-Quran berisi nilai universal yang merujuk pada prinsip moral umum seperti kebajikan, kebaikan, keadilan, kemurahan hati, toleransi, dan kesetaraan. Abou El-Fadl berpendapat bahwa tidak ada kebenaran ilahiah di muka bumi, yang ada hanyalah kebenaran sebatas pemahaman kognitif manusia atas petunjuk Tuhan. Pemahaman Al-Quran sepatutnya melampaui penerjemahan literal ke bahasa Indonesia, mengikuti konstruksi moral pembacanya. Jika pembaca melakukan pendekatan terhadap teks tanpa hikmah, pembaca akan terjebak dalam wawasan sempit dan legalistik. Hal inilah yang menyebabkan kalahnya nilai universal ini dengan penafsiran ‘kaku’ pada sebagian masyarakat Islam di Indonesia saat ini.


Emha Ainun Nadjib dalam cerpen Zawiyah di sebuah Masjid bercerita tentang Tokoh Kyai yang bertanya kepada murid-muridnya tentang bagaimana menghubungkan keyakinan dengan keadaan masyarakat di mana kita bertempat tinggal. Murid-muridnya menjawab bahwa dakwah dan pergerakan dengan tujuan kebenaran berlaku hanya apabila diletakkan pada maqam yang juga benar, di antara kutub kaku dan kutub lembek, yaitu kelenturan. Artinya, dalam beragama yang ideal kita sepatutnya bersikap lentur. Mungkin inilah yang bisa menjawab permasalahan masyarakat Islam di Indonesia saat ini.


Dari definisi Voltaire saat ini kita berangkat berpikir bahwa ‘Agama yang Ideal’ harus sesederhana mungkin. Dengan semua perkembangan saat ini, memahami kesederhanaan beragama akan ikut berkembang pula, asal kita memang mau berkembang mencarinya..