Seorang calon pemimpin negara yang ideal harus memiliki kriteria integritas, kompetensi, dan akseptabilitas. Kriteria ini dibangun secara seimbang dan saling berhubungan. Bila pemimpin terbukti memiliki integritas dan hasil tindakan dari kompetensi yang dimilikinya dapat dirasakan masyarakat, maka akseptabilitas terhadap pribadi dan golongannya akan meningkat. Jadi, akseptabilitas merupakan output dari kriteria lainnya. Akseptabilitas inilah yang terukur dari jumlah suara yang mendukung pemimpin ini dalam pemilihan politik dan akhirnya jumlah coblosan masyarakat akan menentukan siapa yang berhak dan berkewajiban menjadi pemimpin.
Akhir-akhir ini, kriteria akseptabilitas sering tidak berkesinambungan dengan kriteria kompetensi dan integritas, bahkan cenderung mengabaikan kriteria lainnya. Untuk meningkatkan akseptabilitas instan terhadap pribadi atau golongan, calon pemimpin bertindak serupa selebritis, misalnya dengan beriklan di media dan mengadakan roadshow ditambah pentas musik yang diakhiri dengan bagi-bagi amplop atau sembako. Dari arah sebaliknya, selebritis pun saat ini banyak yang mulai bermigrasi ke ranah politik menjadi caleg atau ikut serta dalam pencalonan pilkada.
Meningkatkan akseptabilitas dengan modal selebritas atau ketokohan saja menyebabkan kegiatan politik tidak membawa nilai tambah untuk masyarakat, tidak jarang malah menenggelamkan masyarakat tersebut. Dengan modal ini, politik hanya akan menjadi kegiatan ‘high popularity low impact’. Menghubungkan kembali kriteria akseptabilitas dengan kriteria integritas dan kompetensi akan membawa aktivitas perpolitikan menjadi ’high popularity high impact’. Malah lebih baik lagi, bila integritas menjadi kriteria yang dominan, aktivitas perpolitikan akan menjadi ‘low popularity high impact’.
Integritas adalah kriteria yang sulit untuk dapat ditebak. Kita tidak dapat membaca pikiran atau hati seseorang secara pasti sehingga masalah integritas ini sangat sulit untuk dikuantifikasikan. Dalam jangka panjang, integritas akan membentuk reputasi seseorang di lingkungan sosial. Berpegang pada asas prasangka baik, integritas seseorang dianggap baik kecuali bila orang ini terbukti melakukan tindakan yang melanggar norma dan hukum.
Kompetensi adalah kriteria yang lain yang tidak kalah penting untuk seorang pemimpin negara. Sifatnya seperti bahan bakar dalam pengejawantahan integritas seorang pemimpin. Kompetensi seorang calon pemimpin lebih mudah untuk dinilai, salah satunya ialah melalui debat calon pemimpin. Kompetensi ini bukan suatu hal yang dilahirkan instan, tetapi mengalami proses pembentukan, yaitu melalui pendidikan. Komponen terbesar pendidikan yang paling penting dalam pembangunan kompetensi ini adalah pendidikan formal, yang terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan lanjut atau kesarjanaan.
Trend yang saya amati belakangan ini, makin banyak pribadi yang melanjutkan pendidikan kesarjanaannya. Banyak orang saya kenal meneruskan pendidikan sarjana ke pascasarjana, yang paling dekat adalah istri saya yang sedang menjadi mahasiswa pascasarjana. Selain itu, banyak teman-teman sekuliah dulu yang melanjutkan lagi pendidikan kesarjanaan: baik di jurusan yang sama atau satu bidang dengan S-1 yang diambil, atau bisa juga di jurusan yang umum (Magister Manajemen); baik yang kuliah di universitas yang sama, atau kuliah di universitas lain, bisa juga luar negeri; baik dengan dana pribadi atau dengan beasiswa. Kira-kira, hampir setengah teman-teman seangkatan saya yang melanjutkan ke pendidikan sarjana lanjutan alias S-2. Malah, beberapa teman saya yang sudah memulai pendidikan doktoralnya.
Kegiatan orang-orang terdekat menjadi mahasiswa lagi sepengamatan saya berkisar pada mengalokasikan waktu membaca literatur lebih banyak, berdiskusi ilmiah dengan dosen dan rekan kuliah, mempersiapkan diri untuk ujian, menyusun dan melakukan penelitian, serta aktivitas lain yang pasti bisa meningkatkan pola pikir dan dapat menjadi semacam simulasi dalam menyikapi keadaan masyarakat. Dengan semua aktivitas ini, mestinya keluaran lulusan pascasarjana akan memiliki pola pikir yang lebih analitis, komprehensif dan sistematis.
Seorang saudara yang mengajar pendidikan doktoral mengatakan bahwa kuliah S-1 membuat kita belajar bagaimana bekerja menjalankan rencana yang masuk akal yang ada berdasarkan mimpi yang tidak masuk akal. Kuliah S-2 membuat kita belajar bagaimana membuat rencana yang masuk akal dari mimpi yang tidak masuk akal. Sedangkan kuliah S-3 membuat kita belajar bagaimana awalnya bermimpi hal yang tidak masuk akal, kemudian membuat rencana yang masuk akal dari mimpi tadi, hingga ada hasilnya yang nyata dan bermanfaat untuk masyarakat.
Berdasarkan hal ini, saya setuju dengan wacana praktis bahwa calon pemimpin Indonesia memiliki syarat memiliki level pendidikan doktoral. Masyarakat Indonesia akan sangat tertolong bila pemerintahnya mampu membuat mimpi-mimpi untuk membangun masyarakat adil makmur, menyusun strategi dan perencanaan untuk mewujudkan mimpi ini dan mengonversikan perencanaan ini menjadi hasil yang bermanfaat dan dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Seseorang calon pemimpin dengan level pendidikan doktoral semestinya mampu memimpin timnya untuk merumuskan dan menganalisa permasalahan masyarakat lalu mensintesis, memutuskan, dan menjalankan cara mana yang terbaik untuk menyelesaikan permasalahan ini. Memang tidak ada jaminan hal ini pasti terjadi, tetapi dengan modal level pendidikan ini akan meningkatkan komprehensivitas pengelolaan negara dengan baik untuk mewujudkan mimpi-mimpi tadi.
Kompetensi sendiri berada pada daerah logika dan berkaitan dengan pola pikir. Pola pikir ini tentunya harus dibangun dari pendidikan. "Sesuatu kalau diserahkan kepada bukan ahlinya, tunggu saja kehancurannya," begitu kata Nabi Muhammad. Sebuah masyarakat tidak dapat menjadi lebih baik kecuali masyarakat itu sendiri yang melakukannya, yaitu pertama kali dimulai dari memilih pemimpin yang terbaik.
Cautionary Tales – Demonising Dungeons and Dragons (Classic)
2 hari yang lalu
1 komentar:
Om choky nge blogs juga ya, mampir2 ya ke blog Daffa, buat shoutbox dong om, biar ninggal coment-nya lebih enak. Salam buat tante Yanu ya.
Posting Komentar