9 Agustus 2015

Sebuah Catatan Tentang Perjalanan

"Where must we go, we who wander this wasteland, in search of our better selves?"

Setiap perjalanan memiliki perannya masing-masing. Kerap, perjalanan dihubungkan dengan pencarian yang baru. Bisa jadi untuk menemukan diri yang lebih baik, atau mungkin pula sekedar untuk menemukan warna dan nada yang berbeda.

Para pengelana berjalan ke tempat asing, menjadi persona anonim, berharap menemukan sudut pandang baru, mendapatkan inspirasi, bahkan menemukan hidayah. Fariduddin Attar, seorang sufi penyair terkenal, dikisahkan meninggalkan usaha toko obatnya untuk mengembara dari Semenanjung Arabia hingga anak benua India untuk mencari hakikat kehidupan.

Para migran meninggalkan kampung halaman mencari rezeki peruntungan di daerah baru untuk mengejar harapan dan pencapaian di tempat baru. Tahun ini, sejuta penduduk desa bermigrasi ke Jakarta yang juga menjanjikan sejuta harapan kesuksesan dan kesejahteraan.

Para pelancong mengemas koper dan backpacknya mengunjungi tempat pariwisata, melihat situs sejarah, menonton seni budaya setempat, mencoba kuliner lokal untuk dapat keluar dari rutinitas dan mendapatkan pengalaman baru. Juga sambil mengoleksi foto dan video perjalanan untuk kemudian menggungahnya ke media sosial dan memperbaharui gambar profil.

Bagi saya, perjalanan sering membangunkan kembali sisi spiritualitas. Mungkin karena perjalanan membuat kita melihat hal-hal baru, atau mungkin juga terlalu banyak duduk selama perjalanan membuat pikiran menjelajah ke mana-mana. 

Dalam sebuah perjalanan menempuh 15 ribu kilometer mengunjungi Twin Cities di benua sisi lain dunia, saya jadi ingat sebuah tulisan akhir film Mad Max: Fury Road terbaru:

"Where must we go, we who wander this wasteland, in search of our better selves?"

28 Maret 2015

The time of past and future

Time seems to slow down as it approaches us
And time feels to speed up as it leaves us
The past feels distant even when it's near
And the future seems assured even though it isn't..

2 Januari 2015

Makna Sebuah Titipan - WS Rendra

Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku, bahwa:

sesungguhnya ini hanya titipan,
bahwa mobilku hanya titipan Allah
bahwa rumahku hanya titipanNya,
bahwa hartaku hanya titipanNya,
bahwa putraku hanya titipanNya,

tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya,
mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku?
Dan kalau bukan milikku,
apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?

Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu
diminta kembali oleh-Nya?

Ketika diminta kembali,
kusebut itu sebagai musibah
kusebut itu sebagai ujian,
kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan
bahwa itu adalah derita.

Ketika aku berdoa,
kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak popularitas,
dan kutolak sakit,
kutolak kemiskinan,
seolah semua “derita” adalah hukuman bagiku.

Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti
matematika:
aku rajin beribadah,
maka selayaknyalah derita menjauh dariku,
dan nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang,
dan bukan kekasih.
Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku”,
dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku,

Gusti, padahal tiap hari kuucapkan,
hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah…

“ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja”

-WS Rendra-