Tampilkan postingan dengan label puisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label puisi. Tampilkan semua postingan

2 Januari 2015

Makna Sebuah Titipan - WS Rendra

Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku, bahwa:

sesungguhnya ini hanya titipan,
bahwa mobilku hanya titipan Allah
bahwa rumahku hanya titipanNya,
bahwa hartaku hanya titipanNya,
bahwa putraku hanya titipanNya,

tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya,
mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku?
Dan kalau bukan milikku,
apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?

Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu
diminta kembali oleh-Nya?

Ketika diminta kembali,
kusebut itu sebagai musibah
kusebut itu sebagai ujian,
kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan
bahwa itu adalah derita.

Ketika aku berdoa,
kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak popularitas,
dan kutolak sakit,
kutolak kemiskinan,
seolah semua “derita” adalah hukuman bagiku.

Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti
matematika:
aku rajin beribadah,
maka selayaknyalah derita menjauh dariku,
dan nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang,
dan bukan kekasih.
Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku”,
dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku,

Gusti, padahal tiap hari kuucapkan,
hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah…

“ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja”

-WS Rendra-

11 Oktober 2013

Persimpangan

Persimpangan itu pasti terjadi, kadang nyata, kadang subtil. Ada persimpangan yang hadir dengan sendirinya, tapi ada juga yang hadir melalui rencana.
Persimpangan membuat kita melambat. Ia membuat kita mengingat lagi tujuan, meninjau kembali rute, mempertimbangkan alternatif. Kemudian ia membuat kita memutuskan.
Persimpangan mungkin membuat kita berharap debar untuk melintasinya. Ia mungkin juga membuat kita menghindar enggan melintasinya. Karena ia membuat kita memutuskan.
Persimpangan memang hanya bisa menawarkan kita lurus, atau kiri, atau kanan. Sebab Kendaraan Waktu tak pernah mengizinkan kita mundur, atau berhenti, atau berputar.
Karena hanya bisa lurus| kiri | kanan..... Maju. 

12 September 2009

Saya khawatir sekali

Melakukan shalat sekali
berbuat keji dan munkar kembali

Berceramah tentang keikhlasan
sambil mengharap pahala ke tangan

Berpuasa mengendalikan diri sebulan
habis itu melampiaskan sebelas bulan

Bersedekah sekali-sekali
tapi mengambil berkali-kali

Mengimani al-Mudzill
lalu menyalahkan Setan menyesatkan

Bersaksi mengesakan Tuhan
beraksi menuhankan tuhan-tuhan

Saya khawatir sekali
jangan-jangan Tuhan merasa dibohongi

6 April 2009

Nasihat Elang Kepada Anaknya

Jangan bangun sarangmu di dahan pohon
Kita para elang tidak mencari perlindungan di ladang dan taman manusia. 

Surga kita ada di puncak-puncak gunung, gurun luas, dan tebing jurang
Haram bagi kita menjemput bulir-bulir jelai dari tanah 

Sebab Tuhan telah memberi kita ruang lebih tinggi tidak terbatas di angkasa

-M. Iqbal-

23 Maret 2009

ada|tiada

diantara ada dan tiada tidaklah berbeda
kalau ada tapi tidak seperti adanya ada
adalah tiada meskipun bukan tiadanya tiada

tapi esa mestinya berbeda
kalau tidak esa pasti sama
kalau esa tidak ada yang sama

esa adalah ada
esa juga tiada
ada adalah juga tiada

2 November 2008

setelah rambutmu tergerai

rambutmu yang rimbun tergerai
bagaikan pelepah palma menyentuh rerumputan
maka teduhlah pangkuanmu
dan kegelisahanku menggeletak di situ

matamu yang lebar memantulkan wajahku
aku menyebut namamu, kamu menyebut namaku
suara kita mengambang terapung dalam waktu melayang-layang di cakrawala jiwa
ditelan sepi yang abadi
dan segera saling merasa bahwa kita punya derita yang sama

bulu-bulu halus di susumu bergetar dilanda napas birahiku
leher dan pundakmu adalah pelabuhan zaman
teluk alam yang mampu menanggapi badai lelaki
menghamburlah badaiku kepadamu
badai dari kuku
badai dari ujung jari
badai dari kulit perut
badai dari mimpi kanak-kanakku
badai dari hasrat yang terpendam
badai dari naluri purbakala
badai 36 tahun dari hidupku
melanda pinggulmu

pinggulmu yang sentosa bagai perahu
membawaku mengembara ke alam dongengan
kamu adalah ratu syeba, cleopatra, drupadi
kamu adalah dewi durga

kukulum telingamu
gurih dan lembut rasanya
dan napas hidupku melewati selaput telinga,
masuk kedalam dada dan perutmu
aku mencari jiwamu
kita tak bisa bicara
kita tak usah bicara
kata-kata adalah bayangan dari harapan
tetapi bukan harapan yang sebenarnya
kata-kata adalah janji, tetapi bukannya isi hati

di dalam badai jiwa kita saling menerka dan meraba
wahai, wanita dengan rambut bau cendana
betapa kamu lihat diriku
aku ada,
tetapi siapakah aku

kukerahkan seluruh diriku kepada tanganku yang membelaimu
urat lehermu yang biru berbicara dalam denyutan-denyutan
jari-jarimu mencengkeram kasur sofa
itulah bahasa yang kuat
di luar kata-kata banyak kita bicara
denyut jantungmu berjawaban dengan denyut jantungku
dua tubuh satu getaran
dua jiwa satu bahasa
astaga!
kau gigit pundakku dan segera aku alami apa maknanya

WS Rendra
Komunitas Utan Kayu, 13 Mei 2006

dibacakan pada deklarasi "Masyarakat Bhinneka Tunggal Ika"
berdasarkan keprihatinan pada RUU APP

29 Mei 2008

Wahai Dunia

Wahai dunia!
Kamu mendekat-dekatlah padaku, berusaha keras merayu-rayuku, sudahlah, berhentilah, karena diam-diam, jauh di lubuk hatiku, sudah ku-talak tiga kehebatanmu.

Wahai dunia!
Kugenggam engkau di tanganku, kuselipkan di salah satu jari-jariku. Cukuplah itu bagimu. Berhentilah mengharapkan agar aku memasukkanmu ke dalam hatiku. Yang berhak mendiami hatiku adalah kekasih-kekasihku, dan engkau tak punya apapun yang pantas menjadi kekasihku.

Terimalah nasibmu, wahai dunia! Uruslah jabatan, karier, segala khayalan tentang kemajuan dan pembangunan. Aku mendukungmu dalam posisi itu, tetapi hentikanlah mimpi untuk menguasai hidupku, apalagi untuk mendapatkan tempat persemayaman di kandungan jiwa cintaku.

-Ali & MH-

========================================

O Dunia dari air dan tanah lempung,
sejak kukenal kau, telah kukenal pula selaksa bencana dan perih derita.

Kau padang rumput bagai keledai, bukan tempat bagi Isa;
kenapa telah kukenal padang rumput bagai keledai ini?

Mula-mula kau keluarkan hidangan, kemudian kau berikan padaku air manis;
kau ikat sepenuhnya, agar akupun mengenalmu sepenuhnya pula.

Mengapa takkan pula mengikatku sepenuhnya, karena Tuhan pun menyebutmu sebuah buaian?
Bagai pohon kuangkat kedua belah tanganku dari tanah ini mendambakan Yang Satu yang membuat aku mengenal damba.

“O kelompok buah, betapa kiranya maka di masa kanak kau menjadi serupa si tua sepenuhnya?” Terdengar jawaban, “Aku melepaskan diri dari gairah remaja ketika kukenal angin lembut.”

Menjulang ke atas karena ia berasal dari atas;
aku bergegas ke arah asalku, karena tahu asalku.

Berapa lama lagu aku akan bicara tentang “atas” dan “bawah” lagi?
Keterbatasan dari ruang ialah asalku, aku tidak berasal dari ruang;
karena aku tahu dari mana asalnya ruang.

Tidak, diamlah, masuklah ke dalam tiada, jangan menjadi apapun dalam tiada;
lihatlah bagaimana aku mengenal yang ada dari yang tiada!

-Rumi-

=============================================

Apakah ikan menyadari keberadaan air sementara hidup diliputi air?


Pernahkah ikan menyadari bahwa di luar air terdapat tanah, udara, dan kehampaan?

Selanjutnya, apakah ada ikan yang menginginkan kehidupan di tanah, udara, dan kehampaan?

Jangan-jangan, ikan merindukan hal-hal yang bukan tanah, udara, dan kehampaan?

Kembali lagi, apakah ikan menyadari keberadaan air sementara ia hidup diliputi air?

-C-

21 April 2008

Sajak Rajawali

sebuah sangkar besi
tidak bisa mengubah rajawali
menjadi seekor burung nuri

rajawali adalah pacar langit
dan di dalam sangkar besi
rajawali merasa pasti
bahwa langit akan selalu menanti

langit tanpa rajawali
adalah keluasan dan kebebasan tanpa sukma
tujuh langit, tujuh rajawali
tujuh cakrawala, tujuh pengembara

rajawali terbang tinggi memasuki sepi
memandang dunia
rajawali di sangkar besi
duduk bertapa
mengolah hidupnya

hidup adalah merjan-merjan kemungkinan
yang terjadi dari keringat matahari
tanpa kemantapan hati rajawali
mata kita hanya melihat matamorgana

rajawali terbang tinggi
membela langit dengan setia
dan ia akan mematuk kedua matamu
wahai, kamu, pencemar langit yang durhaka


-WS Rendra-

30 September 2007

Jalaluddin Rumi

“Dunia tersembunyi memiliki awan dan hujan.
Tetapi dalam jenis yang berberbeda.
Langit dan cahaya mataharinya, juga berbeda.
Ini tampak nyata, hanya untuk orang yang berbudi halus --
mereka yang tidak tertipu oleh kesempurnaan dunia yang semu.“

Nama Rumi mungkin sempat terlintas dalam kehidupan kita. Kesempatan menikmati sepotong karyanya pertama kali didapat ketika di bangku kuliah dulu dari tulisan manajemen Gede Prama.

Suatu hari Rumi berdoa dalam-dalam.
Sehabis berdoa, ia ketuk pintu Kekasih Yang Maha Mencintai.
Dari dalam ada yang bertanya: "Siapa?".
Dengan teduh Rumi menjawab: "Aku...!
Tanpa menunggu lama-lama suara tadi menjawab kembali:"Tidak ada tempat untuk berdua."
Kembali Rumi berdoa dalam-dalam.
Setelah dirasa cukup, ia ketuk lagi pintu yang sama.
Kali ini pun terdengar suara yang sama: "Siapa?"
Dengan bergetar Rumi menjawab: "Engkau!"
Tanpa aba-aba pintu itu langsung terbuka.

Dari pandangan awam, kesan pertama yang tergambar dari tulisannya adalah keakraban antara jiwa dan Tuhan. Bagi yang merasa topik ini berada pada domain lain dan terasa tabu dan menakutkan, mungkin puisi-puisinya bisa terasa lebih nyaman karena berada pada konteks keseharian yang bersahabat. Bukan pada konteks sakral-ritual, apalagi pengkotak-kotakan baik-buruk, surga-neraka, islam-kristen-hindu-budha-kafir, dsb.

“Bukan Kristen atau Yahudi atau Muslim,
bukan Hindu, Budha, sufi, atau zen.
Bukan agama atau sistem budaya apa pun.
Aku bukan dari Timur atau Barat,
bukan keluar dari samudera atau timbul dari darat,
bukan alami atau akhirat,
bukan dari unsur-unsur sama sekali.
Aku bukan wujud,
bukan entitas di dunia ini atau akhirat,
bukan dari Adam atau Hawa
atau cerita asal-usul mana pun.
Tempatku adalah Tanpa-Tempat,
jejak dari yang Tanpa-Jejak.
Bukan raga maupun jiwa“


Sebuah kebetulan, tepat 800 tahun yang lalu, 30 September 1207, Jalaluddin Rumi lahir. Banyak yang telah dikatakan dia masih terdengar, berbicara bukan pada telinga, tetapi pada hati manusia.

Membandingkan latar belakang perang salib semasa hidup Rumi dengan perang minyak saat ini yang terpaut delapan abad, adalah waktu yang sangat lama untuk puisi-puisi Rumi masih terdengar aktual hari ini. Kalau ada istilah “Sains populer“, mungkin karya-karya Rumi ini boleh dikatakan “Ketuhanan populer“. Sedemikian populernya sehingga literatur Rumi mungkin dapat disandingkan dengan Shakespeare dan Khalil Gibran. Sedikit yang sempat terbaca, syair pendeknya beberapa kali mengundang celotehan spontan “Busyet dah“ dan “Gile bener”, misalnya saja:

“Kecerdasan adalah bayangan dari Kebenaran obyektif
Bagaimana bayangan dapat bersaing dengan cahaya matahari?”

Atau katanya lagi --

“Hidup/jiwa seperti cermin bening; tubuh adalah debu di atasnya.
Kecantikan kita tidak terasa, karena kita berada di bawah debu”

Bagaimanapun indahnya, tulisan Rumi akan selalu menimbulkan keresahan masyarakat dan mengusik intelektual, emosional, dan spiritual pembacanya. Tapi sudah seharusnya manusia terus melakukan perjalanan dan tidak berhenti: baik keluar - menapaki keluasan alam semesta; maupun kedalam - menyusuri kedalaman hati.

Nabi bersabda bahwa Kebenaran telah dinyatakan:
"Aku tidak tersembunyi, tinggi atau rendah
Tidak di bumi, langit atau singgasana.
Ini kepastian, wahai kekasih:
Aku tersembunyi di kaibu orang yang beriman.
Jika kau mencari aku, carilah di kalbu-kalbu ini."


Pada batu nisan di atas makam Rumi, orang menatahkan kata-kata yang pernah dikatakannya :

“Ketika kita mati, jangan cari nisan kita di bumi, tetapi carilah di hati manusia.“

Dear Rumi, selamat hari kelahiran ke-800, semoga kau bahagia bersama-Nya.