12 Desember 2011

Pengaruh + Kekuasaan = Korupsi

"Nearly all men can stand the test of adversity,
but if you really want to test a man's character, give him power"
-
Abraham Lincoln-


Setiap membuka TL twitter, status facebook, koran, dan televisi, saya merasa informasi tentang korupsi berserakan di mana-mana. Misalnya saja, saat ini TL twitter saya sedang disesaki oleh penangkapan Nunun Nurbaeti oleh KPK. Kemarinnya, heboh perayaan hari antikorupsi dan ditemukannya saldo miliaran rupiah di rekening PNS muda. Kemarinnya lagi, ramai anggota DPR mengajukan hak interpelasi untuk remisi terpidana korupsi. Belum lagi terpilihnya Abraham Samad sebagai ketua KPK baru.

Hampir setiap hari ada berita baru tentang korupsi. Mungkin ini merupakan hal yang baik untuk upaya pemberantasannya. Selain penegakan hukum, norma budaya juga merupakan kontrol yang penting dalam pemberantasan korupsi. Jadi, nyinyir di twitter tentang korupsi, komentar pedas terhadap link berita korupsi di facebook, membalas email di milis tentang korupsi mungkin dapat menjadi upaya kita membangun norma budaya antikorupsi.

Bukannya apa-apa, beberapa hari lalu Natalia Soebagjo dari Transparency International Indonesia mengatakan bahwa kelas menengah cuek terhadap korupsi di Indonesia. Menurutnya, semangat antikorupsi lebih banyak disuarakan LSM dan belum tertular kepada lapisan kelas menengah secara menyeluruh. Danang Widiyoko dari ICW mengatakan bahwa kelas menengah cenderung apatis dan pragmatis terhadap pemberantasan korupsi. Hal ini perlu dikhawatirkan karena seharusnya kaum kelas menengahlah yang memegang kunci perubahan. Kepedulian antikorupsi memang perlu dibangkitkan lagi.

Salah satu cara meningkatkan kepedulian antikorupsi ialah dengan memperluas dan memperdalam pemahaman dampak korupsi terhadap masyarakat. Kelas atas dapat membayar pihak legislatif untuk mengubah regulasi dan kelas menengah juga dapat menyogok birokrat untuk layanan publik. Kaum miskinlah yang paling disengsarakan karena tidak memiliki pilihan. Memberikan sogok memang terlihat memiliki biaya rendah dibandingkan membuang waktu melayani birokrasi yang tidak efisien. Meskipun begitu, korupsi menimbulkan eksternalitas negatif seperti pajak yang tersembunyi. Ia meningkatkan biaya masyarakat secara keseluruhan.

Beberapa cara mengurangi korupsi antara lain melalui pengawasan top-down dan bottom-up. Benjamin Olken, ekonom asal Inggris, meneliti efektivitas kedua jenis upaya pengawasan korupsi ini di Indonesia. Melalui penelitian terhadap proyek Bank Dunia dalam pembuatan jalan di 608 kecamatan, Olken membandingkan antara perhitungan biaya proyek oleh pihak independen dengan biaya proyek yang dilaporkan pemerintah daerah. Kemudian Olken membagi dua kelompok perlakuan, sekelompok kepala proyek diberitahu akan ada audit dari Badan Pemeriksa Keuangan Pusat (top-down) dan pada kelompok lain diberitahu akan ada pengawasan dari masyarakat (bottom-up).

Hasil penelitian Olken menunjukkan bahwa pengawasan top-down ternyata lebih banyak menghemat biaya dibandingkan dengan pengawasan bottom-up. Lebih lanjut, penghematan biaya oleh audit pusat bahkan lebih besar dibandingkan biaya audit itu sendiri. Hasil ini juga sejalan dengan kesuksesan KPK sebagai lembaga terpusat dalam upaya pemberantasan korupsi dalam beberapa tahun terakhir. Sejalan dengan penelitian ini juga, beberapa pengadilan Tipikor luar Jakarta  yang kurang efektif menjerat koruptor perlu dipindahkan prosesnya ke Jakarta.

Shaffi Mather, seorang wirausahawan sosial dan pengacara dari India, melakukan inovasi yang menarik dalam upaya pemberantasan korupsi secara bottom-up. Terinspirasi oleh komedi fiksi sains tahun 80-an, Ghost Buster, Mather mendirikan Bribe Buster, sebuah bisnis pemberantasan korupsi di India. Idenya ialah apabila seseorang atau sebuah badan yang ingin berurusan dengan pemerintahan India, maka mereka dapat menyewa jasa Bribe Buster untuk mendampingi pengurusan ini agar tidak diperas atau diminta sogok. Bribe Buster akan menyediakan argumen hukum yang berlaku untuk menakuti oknum pemerintah yang meminta sogok ini.

Shaffi Mather: A new way to fight corruption

Misalnya saja, kalau seseorang ingin mengurus paspor di India, maka biasanya orang ini akan dimintai uang sogok sebesar 3000 rupee atau sekitar 520 ribu rupiah. Dengan menggunakan jasa Bribe Buster, ia hanya perlu membayar 200 rupee atau sekitar 35 ribu rupiah dan ia akan mendapatkan pendampingan untuk menjaga proses pengurusan paspor ini. Hasilnya ialah penghematan signifikan biaya pengurusan paspor dan korupsi pemerintahan dapat diberantas. Pada tahun 2009, sebanyak 42 klien telah berhasil dimenangkan oleh Bribe Buster dan biayanya lebih murah dibandingkan menuruti permintaan sogok pegawai pemerintah.

Saya sendiri sering merasa kesal melihat orang-orang yang sewaktu muda memiliki idealisme tinggi, tetapi ketika mereka berkuasa, idealisme mereka luntur. Beberapa di antara mereka bahkan terindikasi korupsi. Apakah memang mereka dari sananya tidak bermoral? Apakah mereka munafik? Ataukah lapangnya kesempatan menyebabkan mereka ‘terpaksa’ melakukan korupsi? Sebelumnya, aktivis mahasiswa angkatan '66 yang lantang berdemo menurunkan Soekarno tumbang satu demi satu, di sana sini terkena tuduhan korupsi. Saat ini, beberapa aktivis mahasiswa angkatan ‘98 yang dulu lantang berdemo menurunkan Soeharto juga mulai tumbang satu demi satu dalam jerat korupsi.

Lebih dari dua abad lalu, Lord Acton telah mengatakan bahwa kekuasaan cenderung korup. Power tends to corrupt. Belakangan, saya mengetahui dari studi perilaku manusia bahwa pernyataan Lord Acton ini memang merupakan perilaku manusia. Pengaruh dan kekuasaan tidak hanya memperluas kesempatan korupsi, tetapi menciptakan semacan rabun moral terhadap orang yang berkuasa tersebut. Joris Lammers dan Adam Galinsky mengadakan serentetan eksperimen pada beberapa relawan dan membaginya menjadi dua kelompok. Sekelompok diatur sedemikian sehingga keadaan pikiran merasa berkuasa, kelompok lainnya dibuat sehingga keadaan pikirannya merasa tidak berkuasa.

Pengujian sikap moral terhadap kedua kelompok ini menunjukkan bahwa kelompok relawan yang merasa berkuasa cenderung merasa lebih berhak melakukan kecurangan dibandingkan relawan yang merasa tidak berkuasa. Kesimpulan penelitian Lammers dan Galinsky ialah bahwa orang yang merasa berkuasa akan cenderung korup. Selain itu, kekuasaan juga meningkatkan kecenderungan sifat munafik dalam standar moralitas. Maksudnya, orang yang berkuasa berpandangan bahwa standar moral orang lain harus lebih tinggi dibanding standar moral dirinya sendiri. Sederhananya, kalau saya berkuasa, maka saya berhak melakukan korupsi, sedangkan orang lain yang tidak berkuasa, maka tidak berhak melakukan korupsi.

Saya jadi berpikir, kalau memang pada dasarnya pikiran manusia memiliki sirkuit perilaku seperti itu, artinya kita semua tidak kebal terhadap korupsi. Tidak peduli bagaimana jujurnya kita, bagaimana idealisnya kita, bagaimana tulusnya kita, ketika memiliki kekuasaan dan pengaruh, kita akan cenderung untuk melakukan korupsi. Mungkin itu temuan intrapersonal paling penting: menyadari bahwa saat memiliki pengaruh dan kekuasaan, kita akan munafik dan cenderung akan korup.

Manusia suci mungkin memang tidak pernah ada, tapi bagaimana dengan masyarakat adil? Saya tidak mau menyerah..