21 Juni 2009

Pendidikan yang (Tidak) Membebaskan (Bagian 1)

Saya jadi ingin mempertanyakan lagi bagaimana sebuah pendidikan dapat dikatakan membebaskan. Dulu Paulo Freire berani menggugat kemapanan sistem pendidikan Brazil. Ide yang dia bangun akan berbeda dengan apa yang dibutuhkan di waktu dan tempat lain. Saya ingin memikirkan kembali bentuk pendidikan apa yang secara praktis bisa dikatakan membebaskan (atau tidak membebaskan?).

Seingat saya, sangat jarang saya menjumpai pendidikan yang membebaskan. Saya lebih sering menemui penyeragaman-penyeragaman, pembatasan-pembatasan, indoktrinasi-indoktrinasi dalam pendidikan, yang identik dengan perilaku tidak membebaskan. Di sektor formal-informal, di ruang kelas, di pesantren, di forum keagamaan, di pinggiran jalan, sampai di pasar becek, saya sering penasaran kalau-kalau saya bisa menemukan bentuk-bentuk pendidikan yang membebaskan.

Kebebasan di sini bukan dimaksudkan sebagai kebebasan objektif, karena sesungguhnya kebebasan objektif itu tidak pernah ada. Semua makhluk pasti mendapatkan dan memberikan pengaruh pada objek yang lain, termasuk manusia. Kebebasan yang dimaksudkan di sini adalah kebebasan subjektif. Setiap orang dapat menemukan alam kebebasan subjektifnya sendiri, terlepas dari situasi keadaan yang dia alami. Maksudnya di sini ialah bagaimana seseorang bisa berpikir bebas menggunakan penalarannya sendiri tidak terikat dengan pendapat orang lain. Dalam bahasa lain, seseorang yang memiliki kebebasan subjektif mampu mendengarkan dan memperdengarkan suaranya sendiri, bukan dari luar termasuk suara guru, orang tua, tokoh penting, pemerintah, pemuka agama, dan pihak-pihak berkuasa lainnya.

Jadi sebenarnya, pendidikan yang membebaskan berfokus pada tingkatan pola pikir dan kejiwaan. Materi-materi, metode-metode, keterampilan teknik yang dibagikan pada proses pendidikan, tidak lain dikembangkan untuk membentuk pola pikir yang bebas. Yakni, bebas dalam menggunakan nalar, menghasilkan pemikiran, dan mengemukakannya pada orang lain.

Celakanya (atau bagusnya?) kebebasan adalah sesuatu yang liar di mata pihak pendidik. Lho, apa seorang guru bisa siap kalau didebat muridnya yang memiliki pandangan yang berbeda terhadap suatu hal? Konsep sejenis melawan guru, dosa, durhaka, pamali, subversif, dan makar adalah bentuk-bentuk yang kalau digali lagi bisa jadi merupakan sanksi sosial yang dibangun berkat ketidaksiapan pihak pendidik/tetua/penguasa menghadapi keliaran perbedaan pendapat.

Yang lebih dikhawatirkan lagi adalah bagaimana kalau ternyata pendapat sang murid dapat lebih diterima logika dibandingkan dengan pendapat sang guru? Lantas pendapat ini akan dijawab bahwa tidak semua hal bisa dilihat dari sudut pandang logika, setelah itu disambung dengan jawaban prinsip-prinsip kepercayaan/iman/doktrin/wawasan kebangsaan. Biasanya, proses pendidikan yang sesungguhnya pun selesai pada titik ini. Atau lebih parah lagi, tidak pernah dimulai.

Sisi murid pun mengalami hal yang serupa meskipun berada pada posisi yang berbeda. Ketidakmampuan berpikir atas nalar sendiri akhirnya membuat batasan-batasan, keseragaman-keseragaman, kehilangan keberanian berpikir berbeda. Tentunya, hal ini dipandang sebagai tindakan yang ’benar’.

Hal ini yang membuat murid menjadi pihak yang terlemahkan secara pikiran, terpenjara secara akal. Implikasinya dapat dijumpai pada pengetahuan tanpa kebijaksanaan, hukum tanpa etika, orang-orang yang jelas-jelas/cenderung dipertuhankan, dan teks suci yang tetap ditafsirkan sebagaimana penafsiran ribuan tahun yang lalu. Kemudian, tanpa disadari kita mengalami kontraksi budaya, krisis moral, kemunduran peradaban.

Tentunya kita bisa lihat bagaimana hal ini membangun berbagai fenomena yang marak belakangan ini. Perkembangan gerak nasionalisme sempit. ’Fundamentalisme’ keagamaan. Doktrin era keemasan masa lalu. Justifikasi poligami dan pernikahan di bawah umur. Arabisasi dengan jubah islamisasi. Perang salib modern. Pengharaman golput dan Facebook. Bagaimana “bid’ah“ yang sebenarnya berarti “inovasi“ mengalami penyempitan makna menjadi sesuatu yang dosa.

Belum lagi kalau kita lihat secara timeline, kita akan menemui berbagai ketimpangan. Gegar perkembangan budaya. Ketidakseimbangan supply perangkat hukum negara dan agama dengan demand perkembangan masyarakat modern. Ketidakaktualitasan prinsip dan filosofi kehidupan. Pembekuan proses pengembangan pemahaman teks-teks hukum dan agama. (bersambung)