29 Desember 2009

Al-Quran: Antara Lisan dan Tulisan (Bagian 2)

Mushaf Utsman Al Quran abad ke-20

Saat ini, teks Al-Quran dapat dikatakan telah final, semua umat Islam, mulai dari kaum Sunni, Syiah, dan lainnya sepakat untuk menggunakan Al-Quran versi final yang saat ini beredar. Kita juga mengimani kekitabsucian Al-Quran yang diturunkan sebagai petunjuk bagi kehidupan manusia. Meskipun begitu, Al-Quran sebagai bundelan kitab saja tidak akan memberi manfaat yang signifikan kehidupan manusia itu secara otomatis. Manusialah yang harus berinisiatif melakukan interaksi dan dialog dengan Al-Quran untuk mengali keteladanan yang baik yang ada di dalamnya.

Di dunia dengan kebudayaan lisan yang dominan, ada beberapa kritik terhadap Al-Quran yang telah menjadi kebudayaan tulisan ini. Misalnya saja pada Kerajaan Mali Kuno di Afrika yang berkembang melalui tradisi lisan. Melalui griot, syair puisi khas Mali yang berisi pesan turun temurun, banyak ungkapan yang memprotes ‘matinya’ ajaran yang mulai berhenti pada tulisan. Dalam pandangan bangsa Mali, penyampaian ajaran melalui tulisan dipandang lebih rendah dibandingkan melalui ajaran lisan dan kisah yang dirasakan lebih ‘hidup’.

Sundiata Keita : Lion King of Mali

Sundiata Mansa adalah pendiri sekaligus raja pertama kerajaan Mali pada abad ke-13. Dia memeluk Islam sambil tetap mengembangkan agama lokal di kerajaannya. Melalui epiknya, dengan sinis ia mengkritik budaya yang terpaku pada teks mati : di dalam tulisan tidak ada kemampuan merasakan masa lampau dan tidak ada kehangatan suara manusia.

Orang lain memakai tulisan untuk merekam masa lampau, tetapi penemuan ini telah membunuh kemampuan ingatan mereka.

Mereka tidak lagi merasakan masa lampau, sebab tulisan tidak lagi mengandung kehangatan suara manusia.

***

Di Indonesia, proses dialog dengan Al-Quran dilakukan dengan berbagai cara khas Indonesia. Pada beberapa cara, Al-Quran yang dijadikan sebagai objek ritual, misalnya secara tradisional dengan menjadikan tulisan Al-Quran sebagai azimat atau hal lain yang berbau mistis. Beberapa dukun punya ayat favorit untuk para pelanggan setia mereka. Secara modern, Al-Quran juga digunakan sebagai simbol ritual misalnya pada proses pengambilan sumpah jabatan atau kesaksian di pengadilan.

Masyarakat Indonesia juga memiliki budaya pengajian yang melakukan pelisanan kembali Al-Quran. Umumnya, pelisanan Al-Quran dilakukan sesuai kaidah bacaan Arab yang baik meskipun arti dan makna tulisan ini jarang sekali dimengerti. Keindahan alunan orang mengaji tentunya menjadi aspek tersendiri dalam dialog dengan Al-Quran. Tetapi saya tidak bermaksud membahas dialog jenis yang ini.

Budaya pengajian di Indonesia

Kadang-kadang timbul pertanyaan mengenai bagaimana cara berdialog kembali dengan Al-Quran seperti masa turunnya dahulu. Mengkhatamkan Al-Quran dalam arti melagukan bacaan dari Al-Fatihah hingga ke An-Nas jelas belum merupakan definisi dialog yang tepat untuk saya. Lebih penting dari itu, kita seharusnya melihat bagaimana sejarahnya ketika ayat demi ayat turun? Kemudian, pada latar belakang budaya apa proses penurunan ayat demi ayat ini terjadi? Penelusuran ini membuat kita menjadi tidak memandang Al-Quran sebatas tulisan asing (Arab) yang makblug menjadi hidangan fast food yang siap disantap. Ada proses pengertian dan akulturasi antara ajaran Al-Quran ini dengan realitas kehidupan kita yang tidak selalu sama dengan waktu ayat demi ayat ini diturunkan.

Apalagi kalau nanti kita berkesempatan masuk ke khasanah tafsir Al-Quran yang beraneka ragam, mulai dari yang fundamentalis ala Sayyid Qutb, yang rasionalis ala Ar-Razi, yang tradisionalis ala Ibnu Katsir, atau yang modernis ala Muhammad Abduh. Tidak tertutup kemungkinan juga, kalau kita mau membuat tafsir Al-Quran ala penduduk Jakarta misalnya. Saya pikir, itu sah-sah saja. Tindakan semacam ini moga-moga membuat kita bisa memahami Al-Quran beyond the text dan kembali lagi, memahaminya berdasarkan realitas kehidupan kita yang terus berubah.

Ini misalnya saja lho, tapi saya mau sedikit berandai-andai kalau saja Al-Quran diturunkan pada waktu sedikit lebih lama, mungkin kewajiban perkawinan satu suami hanya dengan satu istri saja (monogami) dan pelarangan perbudakan dapat menjadi bagian dari ayat-ayat Al-Quran. Memang pada abad ke-7 di dunia Arab, kesetaraan gender dan ras masih merupakan suatu hal yang aneh. Perdagangan budak dilakukan secara umum di pasar-pasar, wanita diperlakukan sebagai aset kebendaan yang sah-sah saja diwariskan atau dipindahtangankan.

Sebelum turunnya Al-Quran, budaya Arab menganggap sebuah kewajaran bagi pria untuk memperistri banyak wanita dan memiliki selir bahkan lebih banyak lagi. Secara final, Al-Quran sendiri berhasil melakukan perubahan sosial ketika itu agar pria memperistri maksimal empat wanita saja, itu pun diembel-embeli dengan prasyarat yang tidak mudah: kalau sang pria merasa adil. Berdasarkan hal ini, saya melihat semangat kesetaraan gender dan ras ini menjadi agenda yang cukup penting dalam Al-Quran, meskipun belum terselesaikan dalam proses keberangsurannya.

Lebih jauh, kalau kita ekstrapolasikan, perubahan sosial yang menjadi misi Al-Quran belumlah selesai, bahkan mungkin tidak akan pernah selesai. Nilai universal yang berada di dalamnya perlu kita pahami dengan baik. Al-Quran sebagai sumber hukum merupakan sumber inspirasi yang tidak pernah habis. Sebagai implementasi semangat perubahan sosialnya, hukum-hukum jurisprudensi (fiqh) dan implementasi sosial misalnya, perlu selalu kita formulasikan ulang sesuai dengan realitas dan latar belakang budaya yang kita miliki.

Kita bisa lihat sampai saat ini update hukum-hukum ini masih menjadi pe er yang belum terselesaikan di kalangan Islam. Penganiayaan seksual TKW di Arab Saudi tidak dianggap sebagai pemerkosaan karena wanita masih dianggap sebagai aset kebendaan. Harem-harem masih bertebaran di dunia Islam Timur Tengah. Ayat-ayat Al-Quran masih menjadi justifikasi poligami di Indonesia. Wanita tidak bebas berkeliaran di malam hari karena penerapan syariah di beberapa otonomi daerah yang menerapkan ‘syariat Islam.’ Dan masih banyak penerapan sosial lainnya yang malah menghalangi aktivitas yang membebaskan dan mencerahkan.

Kesepakatan ulama di masa lalu sepertinya perlu terus kita kaji untuk mendapatkan semangat perubahan sosial yang diusung oleh Al-Quran. Isu kesetaraan gender saja misalnya, mencakup kajian panjang pada aspek jurisprudensi yang tidak sedikit: hierarki wanita dalam keluarga, pembagian harta warisan, pembebasan aktivitas sosial wanita, kepemimpinan wanita, dan hal lain.

Well, ada yang bilang sikap ini merupakan penafsiran yang kontekstual. Ada juga yang bilang itu kompromi agama dengan realitas. Dan ada orang yang bilang itu bid’ah. Ragam pendapat ini sah-sah saja, asal disampaikan dengan santun. Tapi kemarin ini, terus terang saya sempat ‘ditampar’ oleh pernyataan sinis Sundiata yang lain :

Para Nabi tidak menulis, dan karena itu sabda mereka menjadi hidup. Betapa sia-sia ajaran yang terbungkus dalam buku yang dungu!

(Sundiata : An Epic of Old Mali, D.T. Niane)

28 Desember 2009

Al-Quran : Antara Lisan dan Tulisan (Bagian 1)

Coba bayangkan apa jadinya kalau tulisan tidak pernah diciptakan? Berapa banyak ide yang harus kita jelaskan berulang kali kalau teknologi mesin cetak tidak berhasil ditemukan oleh Gutenberg? Seberapa lama inspirasi dapat bertahan sebelum terdistorsi atau punah? Seberapa cepat kita mengirim kabar kepada orang di belahan dunia lain kalau email, sms, dan Blackberry messenger tidak pernah ditemukan?

 

Penemuan tulisan berkembang paralel dengan perkembangan aspek budaya manusia lainnya. Tulisan hierogliph ditemukan oleh bangsa Mesir sekitar 3200 SM. Selanjutnya, bangsa Sumeria berhasil mengembangkan huruf cuneiform sekitar 1900 SM. Perkembangan tulisan merupakan perkembangan komunikasi tulisan sehingga mengizinkan populasi manusia melakukan koordinasi antarsesama sehingga dapat melakukan aktivitas sosial yang lebih kompleks.

Penemuan tulisan memiliki dampak signifikan bagi manusia dalam proses penyimpanan ‘keabadian informasi’. Tulisan dapat menyampaikan pesan kepada manusia lain di tempat dan waktu yang jauh melampaui bahkan penulisnya sendiri. Hingga saat ini kita masih dapat menikmati karya sastra yang disusun ribuan tahun yang lalu.

Tradisi tulisan berkembang dengan sukses hingga masyarakat modern saat ini. Di lingkungan pekerjaan, saya sering meminta kolega kantor untuk mengirimkan email dibandingkan dengan menelepon. Dalam ilmu pengetahuan pun kita bertanya, “Darimana literaturnya sehingga ada pendapat seperti itu?” Dalam agama Islam kita juga sering bertanya, “Al-Quran ayat berapa? Hadits riwayat mana?” Sepertinya, tulisan terasa lebih kuat dibandingkan dengan hanya ucapan lisan.

***

Pada sisi yang berbeda, budaya lisan atau non-tekstual juga berkembang pesat di pusat kebudayaan lainnya. Fenomena turunnya Al-Quran di dunia Arab sekitar awal abad ke-7 juga terjadi pada masyarakat Quraisy yang berkebudayaan lisan. Nabi Muhammad adalah seorang ummi yang tidak mengenal sistem penulisan. Hal ini terjadi karena tulisan bukan merupakan hal yang penting di suku-suku Arab. Ketika itu, syair dan puisi secara rutin diceritakan bahkan diperlombakan, tetapi sangat jarang ditulis. Makanya, sejauh ini belum ditemukan karya sastra yang dihasilkan oleh bangsa Arab sebelum masa kenabian Muhammad. Sementara itu, banyak tokoh syair dan puisi terkenal yang mengekspresikan karyanya melalui lisan tercatat dalam sejarah. Umar bin Khattab adalah seorang yang sangat disegani oleh suku Quraisy karena kepiawaiannya dalam berorasi dan membacakan syair.

Tentunya Al-Quran tidak turun secara makblug sempurna dalam bentuk bundelan buku yang kita tahu seperti sekarang. Al-Quran yang terdiri 6236 ayat turun selama dua puluh tiga tahun secara berangsur dalam tradisi lisan yang kuat. Satu demi satu ayat disampaikan kepada sahabat disertai dengan penjelasannya. Kadang ada beberapa pertanyaan sahabat yang tidak dapat dijawab oleh Nabi Muhammad didiamkan beberapa lama untuk kemudian belakangan dijawab oleh Al-Quran. Dari hal ini, kalau boleh kita katakan, manusia juga turut berperan aktif secara dialogis dalam pembentukkan ayat-ayat Al-Quran.

Hukum-hukum dalam Al-Quran juga ditetapkan dalam secara berangsur. Sering kali hukum mengenai suatu hal turun pada ayat dan periode yang berbeda. Misalnya, dalam masyarakat Arab yang menggemari minuman yang memabukkan, hukum mengharamkan Khamr turun secara berangsur sebanyak tiga kali sesuai dengan kebutuhan perubahan sosial yang terjadi ketika ayat-ayat ini diturunkan. Jadi, Al-Quran diturunkan secara berangsur menyesuaikan tradisi lisan yang dialogis sesuai dengan kebutuhan masyarakat Arab ketika itu.

Pada masyarakat modern yang akrab dengan tradisi tulisan seperti sekarang, ucapan lisan Al-Quran telah dikonversikan menjadi tulisan, yaitu bundelan buku kitab yang kita gunakan sehari-hari. Meskipun prosesnya tidak selalu mulus, proses tekstualisasi Al-Quran dimulai sejak masa Abu Bakar dan telah berjalan sedemikian panjang dan matang.

Proses penyusunaan Al-Quran menjadi bundelan kitab yang sekarang kita lihat sehari-hari bukan merupakan cerita yang sederhana. Ketika Nabi Muhammad wafat, banyak sahabat yang mengumpulkan koleksi suhuf (mushaf) hasil catatan perkataan Muhammad mengenai Al-Quran. Agar tidak tercampur, Muhammad melarang sahabat mencatat perkataannya selain yang berasal dari Al-Quran. Hadits yang merupakan kata-kata Muhammad selain Al-Quran hanya diceritakan secara turun temurun dan baru mulai ditulis setelah lebih dari seratus tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad.

Kembali ke sejarah Al-Quran, beberapa versi mushaf mulai berkembang setelah wafatnya Nabi Muhammad, seperti misalnya pada mushaf Ibnu Abbas, mushaf Ubay bin Ka’ab, mushaf Ibnu Mas’ud, dan mushaf Ali. Masing-masing memiliki urutan dan jumlah surat yang berbeda satu sama lain, dari mulai 108 surat hingga ada yang mencapai 116 surat. Perbedaan ini terjadi mungkin karena berbagai faktor, salah satunya penghitungan dobel terhadap jumlah surat. Sejalan dengan perkembangan daerah kekuasaan Islam pada masa Abu Bakar dan Umar, masing-masing versi mushaf ini dikirimkan ke berbagai penjuru kesultanan Islam yang ketika itu semakin meluas.

Ketika masa pemerintahan Abu Bakar atas inisiatif Umar, proses pengumpulan mushaf ini mulai dilakukan. Ada pendapat yang menyatakan latar belakang pengumpulan mushaf pada masa Abu Bakar ini terjadi karena banyaknya penghafal Al-Quran yang wafat saat perang Yamamah. Ada pula yang berpendapat sebagian korban yang mati ketika perang Yamamah ini rata-rata orang yang baru masuk Islam dan hanya sedikit saja yang merupakan penghafal Al-Quran. Ada pula versi yang menyatakan pengumpulan mushaf ini tidak pernah disetujui oleh Abu Bakar dan merupakan inisiatif Umar secara personal.

Mushaf Utsmani di Museum Topkafi - Turki

Pada masa kekhalifahan Utsman, mushaf Utsmani dinyatakan menjadi mushaf resmi. Susunan surat pada bentuk final Al-Quran hingga saat ini adalah hasil kesepakatan para ahli pada masa Utsman ini, yaitu dengan jumlah surat sebanyak 114 buah, dimulai dengan Al-Fatihah diakhiri dengan An-Nas. Tentu saja wajar kalau ada hal politis pada masa itu yang melatarbelakangi keputusan meresmikan mushaf Utsmani ini sebagai satu-satunya referensi. Dampaknya, berbagai macam mushaf lainnya yang beredar di masyarakat Islam pada masa itu ditarik dari peredaran dan dimusnahkan. Mushaf Utsmani ditulis ulang beberapa kopi dan dikirim ke seluruh Gubernuran Islam pada masa itu. Hal ini dapat dikatakan sebagai usaha penyeragaman teks Al-Quran pertama kalinya.

Mushaf Utsmani ini menggunakan alfabet yang masih sangat sederhana. Penitikan pada huruf Arab belum dikenal sehingga misalnya huruf ba’, ya’, nun masih serupa. Selain itu tanda baca seperti fathah, kasrah, dhammah juga belum dikenal. Karena masyarakat Islam bukan lagi hanya bangsa Arab saja yang bisa berbahasa Arab (Al-Quran), melainkan ada bangsa Persia, Mesir, dan lainnya, mulai terjadi keragaman bacaan karena ketidakmengertian bahasa Arab ini.

Pada abad ke-9, Dinasti Abbasyiah mulai menyempurnakan huruf alfabet Arab dalam rangka penyeragaman kembali cara membaca Al-Quran. Ketika itu, ragam cara membaca Al-Quran itu mulai dikurangi dengan mulai diperkenalkannya sistem titik huruf dan tanda baca baru pada huruf Arab. Puncaknya, Ibnu Mujtahid, cendikiawan pada masa itu memilih tujuh ragam bacaan dari begitu banyak versi bacaan Al -Quran ketika itu. Kejadian ini dapat dikatakan sebagai usaha penyeragaman teks Al-Quran yang kedua.

Al-Quran abad ke-18 di sebuah museum di Bukittinggi, Sumatera Barat

Menjelang abad ke-20, hanya tiga dari tujuh versi bacaan Al-Quran yang tersisa, yaitu versi Nafi, versi Abu Amr, dan versi Asim. Sekitar tahun 1924, Mesir menjadi negara pertama yang melakukan percetakan Al-Quran dengan menggunakan mesin cetak otomatis. Al-Quran ragam bacaan Asim yang dipilih waktu itu menjadi standar cetak menjadi paling populer di kalangan umat Islam di seluruh dunia. Terlebih lagi, Arab Saudi setelah itu menyebarkan jutaan cetakan Al-Quran ini sebagai program hibah ke berbagai negara di seluruh dunia.

Kesejarahan Al-Quran inilah yang membuat ucapan lisan Al-Quran yang awalnya memiliki variasi yang sangat tinggi dapat berubah menjadi bundelan teks yang seragam dan dapat dikatakan final. Setelah penyeragaman susunan dan jumlah ayat Al-Quran, penambahan titik huruf-tanda baca huruf Arab, percetakan modern Al-Quran yang dapat menggandakan banyak kali dalam waktu yang singkat menjadi usaha penyeragaman terkini dan mungkin paling sukses hingga saat ini.

Al-Quran modern yang dicetak dengan mesin cetak modern

Nah, kalau begitu bagaimana kira-kira caranya menyikapi Al Quran setelah proses panjang konversi tradisi lisan Al-Quran menjadi bundelan Al-Quran pada masa kini? Silakan tunggu tulisan berikutnya.

(bersambung)

30 November 2009

Qurban dan Ekonomi Peminta (Pengemis?)

Kita kembali ke Indonesia tercinta ini. Dari hampir 200 juta umat Islam di Indonesia, yang berangkat haji hanya 200 ribu orang. 99,9% umat Islam di Indonesia ini tidak dapat berangkat haji terutama karena keterbatasan finansial atau meskipun ada pula yang disebabkan kehabisan quota haji. Walaupun tidak dapat berangkat haji, umat Islam tetap perlu mengaktualisasi spiritualitas haji. Demi mengakomodir hal ini, ritual qurban salah satu tujuannya adalah mengobati kerinduan ziarah ke tanah Haram ini.

Tentunya ada pula tujuan alternatif berqurban ala Indonesia. Misalnya mendapat pahala dari hitung-hitungan jumlah bulu dan gigi kambing kurban. Ada pula teman saya yang mau berlomba dulu-duluan ke surga dengan menaiki kendaraan hewan qurbannya masing-masing. Tetapi semua perbedaan tujuan ini belum pernah menghalangi kemeriahan Idul Qurban di negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam ini.

Ritual qurban di Indonesia memiliki cerita unik tersendiri. Kalau kita ingat-ingat dulu, qurban lebih merupakan tindakan bagi-bagi hasil daging qurban kepada orang yang membutuhkan. Tapi jaman semakin berkembang kompleks. Beberapa waktu terakhir, semakin sering media menceritakan perebutan daging qurban oleh para pihak yang berhak menerima. Sejak dari perebutan pembagian zakat fitrah Idul Fitri hingga pembagian daging qurban Idul Adha, ceritanya belum terlalu berubah.

Berita Kompas hari ini misalnya, menceritakan Ibu Halimah (55) yang setiap tahun tidak pernah absen pergi ke Istiqlal untuk mendapatkan paket qurban bersama ribuan orang lainnya. Kejadian bagi-bagi paket qurban ini kurang lebih mirip prinsip ekonomi: permintaan lebih besar dari penawaran. Walhasil Ibu Halimah gagal mendapat satu kuponpun dari lima ribu kupon yang dibagikan. Akibatnya, beliau pulang dengan tangan hampa.

Tentunya drama kegagalan ini tidak akan seru kalau tidak ada cerita saling dorong rebut-rebutan ala orang Indonesia. Jangan lupa bumbu pelengkapnya yaitu akibat drama perebutan ini, ada orang yang kecebur kali, pingsan, dan tentunya gotong-gotongan. Harap diperhatikan bukan gotong-royong lho ya..

Insiden rebut-rebutan qurban di Istiqlal tentunya hanya sebuah miniatur fenomena ‘berhak meminta’ yang terjadi secara umum di masyarakat. Artinya, pertumbuhan jumlah daging qurban yang dibagikan tidak dapat mengejar pertumbuhan para pihak yang merasa berhak menerima daging kurban ini.

Tapi memang sih, status sebagai peminta-minta kan bukan lagi menjadi suatu aib. Itu kan sebuah fasilitas negara. Kita bisa lihat di program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang membuat masyarakat Indonesia merasa barang atau uang gratisan merupakan suatu yang lazim dan berhak diterima. Dengan bangga lagi..

Tiba-tiba muncul pertanyaan nakal: Apakah orang yang benar-benar miskin yang mengantri pada pembagian daging qurban ini? Atau kita ganti saja qurban hewan ternak dengan qurban untuk membangun lapangan kerja supaya lebih produktif? Tapi kan Nabi Muhammad tidak pernah mengajarkan seperti itu? Lho, ini kan demi kepentingan masyarakat?

Lalu dibarengi muncul pertanyaan analitis : Tapi apa iya, ini hanya sekedar masalah ekonomi kemiskinan saja? Apa jangan-jangan fenomena ‘merasa berhak’ ini dapat dirumuskan sebagai masalah sosial, mental pengemis? Apakah kita bangga dengan kemiskinan kita? Lalu mengantri paling pagi untuk mendapatkan jatah kupon qurban? Apa ekonomi pengemis ini merupakan efek samping dari substansi qurban? Bagaimana cara pengelolaan qurban agar bisa meminimalisirnya?

Mas, ga usah pusing-pusing. Qurban mah qurban aja. Pusing-pusing mikirin malah jadi ga qurban”, begitu komentar teman saya.

29 November 2009

Haji dulu, Haji sekarang..

Haji merupakan ibadah yang diperintahkan pada akhir-akhir masa hidup Nabi Muhammad. Pelaksanaan haji dalam Islam adalah suatu penghormatan nabi Muhammad terhadap tradisi Arab yang dijejak balik ke masa Nabi Ibrahim. Ibadah haji ini memang merupakan ibadah ‘asli’ dari Arab dibandingkan dengan ibadah shalat, puasa, zakat yang diadaptasi dari agama Ibrahimiyyah sebelumnya, yaitu Yahudi dan Kristen.

Historical picture of kaa'ba taken in 1880.

Semenjak periode pra-Muhammad, haji merupakan ibadah tradisional bangsa Arab. Pada kala itu, umumnya suku-suku Arab memiliki dewa pelindung yang biasanya diwakili oleh sebuah patung batu. Suku Quraisy mengumpulkan patung-patung batu ini di Haram yang merupakan zona dengan radius 30 km yang berpusat di Ka’bah. Berkat kepiawaian Suku Quraisy menjaga Haram, segala bentuk kekerasan di dalamnya terlarang. Keamanan Haram yang terjamin ini membuat para anggota suku-suku Arab lain bisa dengan aman menyembah dewa pelindungnya ketika berziarah ke Makkah.

Ritual haji memberikan perasaan spiritualitas yang luar biasa bagi anggota suku Arab yang melakukannya. Saat berziarah ke Makkah yang merupakan titik puncak siklus tahunan mereka, ada perasaan berhasil dan gembira. Karavan-karavan diperiksa oleh suku Quraisy, unta dibebaskan dari pikulan beban, dan setelah membayar biaya yang rendah, pada pedagang dan budak bebas untuk menunaikan perhormatan mereka kepada Haram. Sambil menyusuri lorong pinggiran kota yang sempit, mereka menyerukan seruan ritual menyerukan kehadiran mereka kepada dewa yang menanti kedatangan mereka. Perasaan mereka seperti kembali pulang ke rumah setelah dari perjalanan panjang.

Ketika para anggota suku Arab tiba di Ka’bah yang dikelilingi ratusan patung dari masing-masing suku Arab, mereka mulai melaksanakan ritual Haji yang paling terkenal: tawaf, yaitu mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali dengan putaran berlawanan arah jarum jam. Saat peziarah berlari kecil di seputar Ka’bah, mereka menempatkan diri menyerupai arah tatanan fundamental kosmos. Dengan memutari Ka’bah, mereka belajar menemukan orientasi sejati dan pusat batin mereka. Ritme lari kecil yang tetap secara mengosongkan benak mereka dari pikiran yang dangkal dan membantu mereka memasuki keadaan yang lebih meditatif.

Selanjutnya, dilakukan ritual Haji berlari tujuh kali antara Bukit Shafa dan Marwah sebelah timur Ka’bah; berlari ke Lembah Muzdalifah; melakukan wukuf di Gunung Arafah, dua puluh lima kilometer di luar kota; melempar kerikil ke arah tiga tonggak di lembah Mina; dan pada akhir ziarah mereka, mengurbankan unta betina mereka yang paling berharga, simbol kekayaan dan dengan demikian mereka sendiri.

Pada tahun 632, Nabi Muhammad memimpin kaum Muslimin melakukan ritual Haji. Ritualnya mirip dengan apa yang dilakukan suku Arab pada umumnya waktu itu. Tambahannya adalah ritual mencium Hajar Aswad, sebuah batu hitam di sudut Timur Ka’bah yang berjasa menaikkan reputasi sebagai Al-Amin (yang dapat dipercaya) sewaktu beliau masih muda. Selain itu, seruan kepada dewa juga diganti dengan seruan kepada Allah: Labbaik Allahumma Labbaik, Ya Allah atas panggilanMu aku datang.

Pada masa Haji pertama ini, kaum Muslimin berada di atas angin memenangkan banyak pertempuran dengan kaum Musyrikin Quraisy yang menjaga Ka’bah. Hal ini memudahkan Nabi Muhamad menghancurkan patung-patung batu. Konon katanya semua patung batu dihancurkan, kecuali patung Maria dan Yesus. Tindakan penghancuran patung batu ini meneguhkan Ka’bah sebagai rumah Allah untuk mempromosikan ketauhidan kepada Allah: Tidak ada tuhan-tuhan, kecuali Tuhan.

***

Saat ini, Haji merupakan ziarah keagamaan terbesar di dunia dengan peziarah lebih kurang tiga juta orang. Bisa dibayangkan dengan jumlah sebanyak ini, bagaimana urusan haji menjadi hal semakin kompleks. Dengan sistem pendukung juga menjadi lebih canggih, tetap saja korban kecelakaan tidak dapat dihindarkan dan menimbulkan kematian ratusan orang setiap tahunnya. Misalnya pada tahun 2009 ini, terjadinya cuaca buruk dan banjir besar di Arab Saudi saja menewaskan 83 orang. Belum lagi korban yang disebabkan oleh berdesak-desakan dan terinjak-injak saat melempar Jumrah di Mina.

A picture of people performing {{w|Tawaf}} (ci...

Berbagai kejadian ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan beberapa pihak mengusulkan pemikiran agar pelaksanaan Haji dilaksanakan beberapa kali setahun. Di Al Quran seperti pada surat Al Baqarah ayat 97 tertulis bahwa terdapat beberapa bulan Haji dalam satu tahun. Meskipun begitu, Nabi Muhammad pada masa hidupnya hanya melakukan dua kali ibadah Haji dan keduanya pada bulan Dzulhijah, setelah kembali ke Madinah pada Haji yang kedua, beliau wafat. Hal ini menimbulkan perdebatan di antara para Ulama.

Pro dan kontra saat ini masih terjadi seputar berhaji di luar bulan Dzulhijah. Tetapi saya pikir dengan jumlah peserta Haji yang sudah melebihi kapasitas, lambat laun pelaksanaan Haji ini akan dilakukan dalam bulan lain juga selain Dzulhijah.

Semakin sulit untuk umat Islam saat ini meng-copy paste ibadah haji persis seperti Nabi Muhammad melakukannya 1400 tahun yang lalu. Salah satu contoh, hampir tidak mungkin tiga juta orang melakukan wukuf tanggal 9 Dzulhijah secara bersamaan tumplek plek di Arafah yang luasnya hanya sekitar 3,5 x 3,5 km² ini, sekitar setengahnya Bandara Soekarno-Hatta lebih sedikit. Kalau dikatakan Wukuf itu adalah inti dari ibadah Haji, apa berarti peserta yang nongkrong di luar Arafah karena tidak kebagian tempat tidak dapat disebut berhaji? Hayo?

(bersambung)

9 November 2009

Festival Kebudayaan Islam : Sejarah dan Kisah

“Apa perbedaan antara sejarah dengan kisah?”, pertanyaan ini yang saya coba cari di google. Setelah saya klik pautan Yahoo!Answer yang berkaitan dengan pertanyaan ini, saya tidak puas dengan jawaban bahasa Indonesia. Lalu saya cari lagi kata kunci ini dalam bahasa Inggris, “What is the difference between history and story?” Ternyata saya temukan jawaban di wiki.answer.com seperti ini :

History is meant to be an objective narrative description of past events, while a story will be a subjective narrative description of either real past events or imaginary people and events.

Sejarah adalah rangkaian cerita yang objektif mengenai kejadian masa lalu, sedangkan kisah adalah rangkaian cerita yang subjektif bisa faktual atau imajiner mengenai kejadian masa lalu atau orang di masa lalu. Ilmu sejarah saat ini tidak lagi berada pada tingkat pengetahuan (knowlegde), tetapi telah beralih ke tingkat ilmu pengetahuan (sains). Metodologi ilmu sejarah semakin menuntut fakta objektif, seperti layaknya juga ditemui pada cabang ilmu pengetahuan lain yang juga menuntut bukti-bukti empiris.

Sejarah memiliki informasi penting sebagai sumber pengetahuan dan pembelajaran berkat tingkat objektifitas dan faktualitas yang tinggi. Dari sejarah kita dapat mengetahui secara objektif bagimana mekanisme kebudayaan suatu peradaban berkembang dan bisa mengetahui faktor keberhasilan dan kegagalan suatu peradaban.

Bagaimana posisi ‘kisah’ pada struktur pengetahuan masyarakat modern? Nilai moral dan kebijaksanaan yang terkandung di dalam suatu kisah dapat menjadi sumber pengetahuan dan pembelajaran. Mengenai faktualitas, alias terjadi atau tidaknya suatu kisah bukan menjadi nilai penting untuk dikonfirmasi kebenarannya. Kalaupun ada unsur fakta dalam suatu kisah, hal ini merupakan suatu kewajaran untuk memudahkan pemahaman pembaca terhadap nilai moral yang berusaha disampaikan.

Pada masa awal peradaban Islam, metodologi sejarah belum berkembang. Kisah mengenai tokoh politik dan keagamaan sering kali digambarkan secara metaforis dan hiperbolis. Belakangan, Ibnu Khaldun (1332-1406) asal Tunisia merupakan salah satu ilmuwan sejarah Islam yang menegaskan perbedaan antara sejarah dan kisah.

Menurut Ibnu Khaldun, para pemikir sebelum masanya cenderung tidak sistematis dalam mengemukakan analisis sejarah. Kebanyakan dari mereka bahkan tidak menggunakan analisis, melainkan deskripsi semata. Pendekatan semacam itu sangat berbahaya karena akan mereduksi realitas sebenarnya menjadi hanya yang tampak di permukaan.

Para peneliti sebelum Ibn Khaldun bahkan tidak mampu membedakan antara asumsi dan fakta sejarah. Hal itu bisa terlihat dalam fakta-fakta sejarah yang dikemukakan acapkali tidak masuk di akal. Logis tidaknya sebuah peristiwa yang diceritakan menjadi salah satu parameter kunci untuk memastikan apakah peristiwa itu memang benar terjadi atau kisah turun temurun.

Adalah sebuah kerepotan kalau kita menyamakan antara sejarah dan kisah. Sebuah sejarah cenderung realistis dan manusiawi, sedangkan kisah sering kali memasukkan unsur metafora dan melebih-lebihkan (hiperbola). Kalau detil-detil sebuah kisah dianggap sebagai fakta, kita jadi cenderung ‘ahistoris', tidak realistis, dan tidak manusiawi. Bisa jadi kita malah terpaku meyakini imajinasi dalam kisah sebagai hal yang faktual dan gagal menangkap pesan moral dalam kisah itu.

***

Isra’ Mir’aj

Kalau kita masuk ke dalam kebudayaan Islam klasik, kisah dan sejarah di masa lalu masih belum dapat dibedakan. Penulis sejarah (kisah) pertama nabi Muhammad adalah seorang tabiin bernama Ibnu Ishaq sekitar abad pertama Hijriah (d. 767M). Hasil tulisannya mempengaruhi beberapa penulis lain, antara lain Ibnu Hisyam (d. 833M) dan At-Tabari (d. 923M).

Kerepotan ‘sejarah vs kisah’ misalnya terjadi pada Isra’ Mir’raj. Versi yang kita tahu selama ini terutama berasal dari kitab Sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisyam. Lebih lengkap mengenai Sirah ini dapat dilihat di tautan ini. Berikut ini saya ambilkan cuplikan kisah yang kita ketahui secara umum dari pautan wikipedia versi Indonesia ini :

Peristiwa Isra Mi'raj terbagi dalam 2 peristiwa yang berbeda. Dalam Isra, Nabi Muhammad SAW diberangkatkan oleh Allah SWT dari Masjidil Haram hingga Masjidil Aqsa. Lalu dalam Mi'raj Nabi Muhammad SAW dinaikkan ke langit sampai ke Sidratul Muntaha yang merupakan tempat tertinggi. Di sini beliau mendapat perintah langsung dari Allah SWT untuk menunaikan shalat lima waktu.

Kisah yang diambil dari kitab Ibnu Hisyam ini adalah sumber utama cerita Isra' Mi'raj. Di belakang hari, beberapa ulama menafsirkan beberapa ayat-ayat Al-Quran sebagai referensi kisah Isra' Mi'raj ala Ibnu Hisyam. Tentang Isra' diambilkan ayat 17:1, yaitu surat Al Isra' atau bani Israel, yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia sbb:

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (17:1)”

Sedangkan ayat Mi'raj diambilkan dari surat An Najm, yaitu surat ke-53 (dalam Mushaf Utsmani). Secara literal, kata ‘Mi’raj’ tidak ditemukan pada Al-Quran. Ayat ini diambil sebagai referensi karena terdapat kata ‘Sidratil Muntaha’ yang merupakan tempat yang dikunjungi Nabi Muhammad ketika Mi’raj. Berikut ini adalah terjemahan Bahasa Indonesia ayat ini :

Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (53:13)

(yaitu) di Sidratil Muntaha. (53:14)

Di dekatnya ada syurga tempat tinggal, (53:15)

(Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. (53:16)

 

***

Ada beberapa permasalahan kalau ayat-ayat ini dijadikan referensi kisah Isra’ Mi’raj’. Pada kisah Isra’, kata ‘Masjidil Aqsa’ pada ayat 17:1 ditafsirkan sebagai Masjid Al-Aqsa di Jerusalem. Padahal  bangunan Masjidil Aqsa itu sendiri baru didirikan setelah kematian nabi Muhammad. Ada yang berpendapat pembangunan pertama pada kekhalifahan Umar. Belakangan ada versi lain yang menyebut pembangunan pertama dilakukan pada awal masa dinasti Ummayah.

Selanjutnya, pada masa Abdul Al-Malik dari Dinasti Abasyiah (690M), di sebelah Masjidil Aqsa dibangun masjid yang lebih besar lagi bernama Masjid Qubbat As-Sakhrah (Dome of Rock) yang kadang juga disamakan dengan Masjidil Aqsa (sebenarnya berbeda). Jadi pada waktu nabi Muhammad melakukan perjalanan Isra’ kedua bangunan ini belum ada.

Beberapa tafsir modern, seperti misalnya tafsir Yusuf Ali, menerjemahkan ‘Masjidil Aqsa’ pada ayat 17:1 sebagai ‘tempat sujud terjauh’. Tempat sujud terjauh pada zaman nabi hidup ditafsirkan sebagai Baitul Maqdis di Jerusalem yang saat itu masih dalam kekuasaan kerajaan Persia dan merupakan kiblat shalat umat Muslim ketika itu.  Baru pada masa kekhalifahan Umar-lah kekuasan Islam mencapai Jerusalem sehingga Masjidil Aqsa dapat direalisasikan sebagai bangunan masjid.

Sebuah alternatif tafsir yang juga berbeda, ayat 17:1 ini kalau kita lihat dalam konteks urutan ayatnya lebih cocok direferensikan pada kisah Bani Israel yang memiliki kebiasaan berjalan (hijrah) pada malam hari. Berikut ini kita lihat urutan ayat Al-Isra :

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-hambaNya (Bani Israil) pada suatu malam dari tempat sujud yang suci (Masjidil Haram) ke tempat sujud yang terjauh (Masjidil Aqsa) yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (17:1)

Dan Kami berikan kepada Musa kitab (Taurat) dan Kami jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman): "Janganlah kamu mengambil penolong selain Aku, (17:2)

(yaitu) anak cucu dari orang-orang yang Kami bawa bersama-sama Nuh. Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur. (17:3)

Ketidaksinkronan ini juga terjadi pada kisah Mir’raj’. Kita mengetahui bahwa Al-Quran yang diwahyukan ayat per ayat secara berangsur, Surat An-Najm yang dipandang sebagai ayat legitimasi Mi'raj itu secara urutan turun lebih dulu dibandingkan dengan Al-Isra’ ayat 1, paling tidak lima tahun sebelumnya.

Dari mengacu dari segi waktu turunnya ayat, berarti Isra dan Miraj tidak terjadi secara bersamaan. Apakah mungkin peristiwa Mi’raj’ tidak terjadi dalam satu malam dengan peristiwa Isra’, melainkan terjadi lima tahun lebih cepat dari Isra’ ?

***

Argumen kedua ayat ini sebagai referensi faktual Isra’ dan Mi’raj’ sulit untuk dipertahankan. Sejauh ini, kisah Isra’ Mir’aj baru dapat direferensikan oleh kitab Sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisyam. Kitab biografi Muhammad klasik yang lain tidak pernah menyebutkan kisah ini, seperti misalnya pada kitab Tarikh al-Tabari.

Memahami pesan moral yang dibangun pada kisah Isra’ Mi’raj’ ini memiliki hikmah tersendiri. Meskipun begitu, mempercayai kisah Isra’ Mi’raj versi Ibnu Hisyam secara detail sebagai hal yang benar-benar terjadi (faktual) memiliki resiko bagi kita menjadi seorang yang ahistoris dan tidak realistis.

Belum ada kesepakatan di antara ulama kapan Isra’ Mi’raj ini terjadi, bisa dilihat pada tautan ini. Di Indonesia yang penduduknya mayoritas Muslim bermazhab Syafi’i, peringatan Isra’ Mi’raj ini dirayakan setiap tanggal 27 Rajab turun-temurun secara besar-besaran dan merupakan hari libur resmi keagamaan.

Sebenarnya masih banyak lagi fenomena ‘sejarah vs kisah’ lain. Tapi kok jadi serius dan terlalu panjang ya? Pusing-pusing, buat orang Indonesia yang penting kan jadi hari libur.. Ya nggak? :)

13 Oktober 2009

Festival Budaya Islam : Bagian 3 – A La Indonesia (Fosil)

Komodo (Varanus komodoensis) adalah hewan khas Indonesia yang hanya ada di Pulau Komodo saja. Penemuan fosil terbaru menunjukkan bahwa nenek moyang Komodo ternyata berasal dari Australia. Dalam waktu jutaan tahun, nenek moyang Komodo berevolusi hingga menjadi Komodo 'modern' menyesuaikan dengan kondisi lingkungan di Pulau Komodo. Di tempat lain, ternyata nenek moyang Komodo ini tidak berhasil menyesuaikan diri dengan lingkungan dan punah. Saat ini, kita hanya melihat Komodo sebagai ‘fosil hidup’ di Pulau Komodo saja; tidak di Australia tempat asalnya, ataupun di tempat lain.

Proses evolusi yang sama juga terjadi pada penyebaran pemikiran agama, diantaranya Islam. Kita mungkin masih sempat melihat ‘fosil hidup’ sisa-sisa evolusi penyebaran agama Islam di berbagai tempat di Indonesia. Atau mungkin pula, kita benar-benar hanya melihat fosil mati sisa-sisa kepunahan budaya Islam yang sempat berkembang di Nusantara ini.

Seiring dengan perkembangan komunikasi dan transportasi, Islam mazhab Syafii ala mayoritas penduduk Indonesia semakin mudah untuk menyebar hingga ke daerah pelosok Indonesia. Tidak jarang proses penyebaran ini diikuti proses seragam-menyeragamkan, baik dengan cara damai maupun dengan cara kekerasan.

Pada skala yang lebih besar, penyebaran berbagai pemikiran Islam secara global saling berkompetisi pengaruh-mempengaruhi satu sama lain. Misalnya, kita mungkin merasakan gelombang Islam ala Timur Tengah yang mulai dirasakan pengaruhnya belakangan ini di Indonesia. Misalnya, kelahiran Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mengadopsi ideologi organisasi Ikhwanul Muslimin asal Mesir; atau juga munculnya organisasi ‘impor’ macam Hizbut Tahrir.


Seperti hukum alam kehidupan, ada jenis-jenis pemikiran yang berhasil tumbuh berkembang hingga saat ini, ada pula yang makin tergeser dan hampir punah. Berikut ini bisa kita lihat beberapa jenis pemikiran Islam yang makin tergeser dan hampir punah.

Islam Telu Wetu
Kalau kita sempat jalan-jalan ke Pulau Lombok, mungkin kita masih bisa menemui Islam Sasak yang bernama asli Wetu Telu. Islam Sasak ini merupakan sinkretisme dari agama Islam dengan kebudayaan lokal setempat. Pada masyarakat ini, terdapat tradisi asli Islam seperti jabatan Kyai dan bangunan masjid sebagai pusat keagamaan. Di sisi lain, ritualnya disesuaikan dengan budaya setempat, misalnya saja waktu shalatnya 3 kali sehari.


Islam diperkirakan masuk sekitar akhir abad ke-16 ke Pulau Lombok dari pengaruh Sunan Giri atau Sunan Prapen. Pemahaman Islam Sasak ini sinkretis antara agama Islam Jawa dengan animisme lokal. Islam Jawa sendiri merupakan campuran budaya Islam yang berasal dari Gujarat (India), Hadramaut (Yaman), dan/atau Cina yang berakulturasi dengan pemahaman Pantesime dan Hinduisme yang sudah berada sebelumnya di Jawa. Ruwet kan?

Saat ini, Islam Sasak di Lombok semakin tergeser dan terancam punah. Salah satu titik penting adalah tahun 1965 setelah terjadinya pemberontakan G30S PKI. Akhir tahun 1965, pemerintah memberikan tekanan untuk memilih salah satu dari lima agama resmi. Salah satu prakteknya adalah kewajiban memilih agama dalam KTP yang dimiliki oleh setiap orang yang berusia 17 tahun.

Islam Wetu Telu pada masa itu dianggap sebagai ‘agama belum sempurna' karena prakteknya memiliki banyak ketidaksamaan dengan interpretasi Islam di Indonesia saat itu (dan juga saat ini). Hal ini menyebabkan banyak penganut Islam Wetu Telu yang terpaksa 'berpindah agama' menjadi Islam Waktu Lima seiring dengan menguatnya tekanan dari penganut Islam Waktu Lima yang didukung militer dan pemerintah pusat. Bila sebelum tahun 1965 populasi Islam Waktu Telu sekitar 20% dari penduduk Lombok, tahun 1967 populasinya sudah kurang dari 1%.

Waktu belakangan ini, proses pengaruh-mempengaruhi praktek Islam ini datang dengan cara lebih damai. Hadirnya Tuan Guru datang dari berbagai daerah menyebarkan Islam 'modern' dengan cara dakwah pada masyarakat Sasak. Selain itu, penyebaran Islam ‘modern’ untuk anak-anak dan remaja dilakukan melalui pendidikan agama Islam untuk SD, SMP, SMU telah distandardisasi berdasarkan kurikulum dari Departemen Pendidikan Pusat.

Muslim-Cina di Indonesia
Kisah yang mirip juga terjadi dengan masyarakat pendatang dari Cina yang menganut agama Islam. Kedatangan yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho ini adalah salah satu dari beberapa gelombang kedatangan penduduk Cina ke Indonesia. Pada awal abad ke-15, Cheng Ho ditugaskan oleh Kaisar Zhu Di dari Dinasti Ming melakukan ekspedisi bahari ke Samudera Hindia (Barat). Tujuan utamanya adalah melakukan politik luar negeri yang damai dengan harapan berkembangnya perdagangan ekspor-impor. Selain itu, Zhu Di menugaskan Cheng Ho untuk mencari mantan Kaisar Zhu Yunwen yang digulingkannya dan konon melarikan diri ke luar negeri Cina.

Cheng Ho adalah seorang Cina penganut Islam mazhab Hanafi. Di pelabuhan yang dikunjunginya, Cheng Ho dan pengikutnya secara aktif berdakwah, dan membangun komunitas Islam Cina, dan mendirikan mesjid. Dia disebut-sebut salah satu peletak dasar keimanan Islam di Indonesia dengan mazhab Hanafi dalam bahasa Cina. Sisa-sisa peninggalannya dapat kita lihat di Palembang, Sambas, dan Jawa. Salah satunya adalah kelenteng Sam Po Kong di Semarang yang namanya diambil dari nama kecil Cheng Ho.


Setelah kematian Cheng Ho, Bong Swie Ho (Sunan Ampel) mengambil prakarsa untuk melakukan proses ‘Jawanisasi’. Dia meninggalkan komunitas Tionghoa muslim hijrah bersama orang-orang Jawa yang baru diislamkannya. Ekspedisi kelautan Cina kemudian dihentikan dari pusat kekaisarannya. Islam mazhab Hanafi yang dikembangkan oleh Cheng Ho hilang kontak dengan negeri Cina dan secara gradual ajarannya hilang terdilusi dengan Islam mazhab Syafi’i yang lebih diterima oleh penduduk lokal saat itu. Seiring dengan meredupnya ajaran Islam Hanafi asal Cina ini, banyak masjid Muslim-Cina yang berubah menjadi kelenteng.

Pada masa itu, diperkirakan terjadi perpindahan mazhab muslim secara umum dari Hanafi ke Syafi’i. Hal itu didorong oleh realitas sosiologis masyarakat Jawa yang tidak memungkinkan persemaian mazhab Hanafi yang rasionalistik. Sebaliknya mazhab Syafi’i dinilai lebih kompatibel dengan semangat kebudayaan masyarakat Jawa yang tidak bisa dilepaskan dari tradisi lokal.

Perkembangan selanjutnya, berbagai perjalanan sejarah memojokkan etnis keturunan Cina di Indonesia. Salah satu yang menyebabkan hal ini terjadi adalah warisan VOC kepada masyarakat Jawa saat perkembangannya. Sikap antipati yang diwarisi VOC berawal dari keharmonisan yang terjalin antara masyarakat Jawa dengan etnis Cina di bidang ekonomi, sosial, dan politik. Belanda merasa tersaingi, terutama di dalam bidang perdagangan. Puncaknya, VOC mengadakan pembantaian massal atas etnis Cina, yang kemudian dikenal dengan chinezenmoord (pembantaian orang Cina) yang terjadi pada Oktober 1740. Setelah tragedi itu, berbagai peraturan VOC dibuat untuk membatasi gerak etnis Cina ini.

Setelah kemerdekaan Indonesia, pelaksanaan politik Presiden Soekarno dan Soeharto juga sering kali memojokkan etnis keturunan Cina. Di samping itu, terjadi pula berbagai peristiwa berdarah di negeri ini yang tertuju pada etnis Cina. Berbagai kerusuhan anti-Cina beberapa kali terjadi, misalnya pada tragedi Kerusuhan Jakarta 1998. Setelah masa reformasi hingga saat ini, kebijakan pemerintah relatif lebih ramah terhadap etnis Cina. Meskipun begitu, tetap saja masih ada ‘jarak’ perlu dihilangkan antara kaum pribumi dengan etnis keturunan Cina.

So What Gitu Loh?
Lalu apa selanjutnya? Melihat kisah-kisah di atas ini, kalau kita telusuri lagi ternyata ada berbagai macam rupa pemikiran Islam yang berkembang di Indonesia. Misalnya pada, Islamisasi Jawa oleh pendatang Cina-Muslim yang datang bersama dengan Cheng Ho. Fakta ini cenderung telah menjadi fosil sejarah yang telah lama terlupakan oleh masyarakat Islam Indonesia. Dengan menggali sejarah, kita jadi lebih mengerti proses terjadinya keragaman hingga saat ini.

Moga-moga kita bisa lebih santai dan rasional dalam menanggapi keragaman dalam perkembangan Islam di Indonesia. Begitu pula dengan polarisasi antara Islam pribumi dengan etnis keturunan Cina. Moga-moga suatu saat nanti jarak antara kaum pribumi dan etnis keturunan Cina bisa perlahan-lahan menghilang.

6 Oktober 2009

Festival Budaya Islam : Bagian 2 – A La Indonesia (Masa kini)

Sungguh sangat menarik menggali sejarah Islam di masa lalu. Apalagi kalau kita bisa melihat bagaimana alur sejarah ini mengalir dan mewujud menjadi kenyataan yang kita temui sehari-hari. Kita dibuat heran dengan gerakan sekelompok (yang katanya) muslim yang membom J.W. Marriot dan Ritz Carlton Jakarta dan menewaskan orang-orang tidak bersalah bulan Juli lalu. Saya malah lebih heran lagi, ada pemimpin pondok pesantren yang mengamini tindakan ini sebagai aktualisasi jihad Islam melawan Barat.

Apakah kisah bom-membom ini adalah cermin keseluruhan agama Islam yang (katanya) mengagungkan perdamaian, yang memotivasi umatnya menjadi rahmatan lil alamin, berkah bagi seluruh alam semesta? Ataukah ini hanyalah sebuah wujud alur sejarah budaya Islam di antara banyak budaya Islam lainnya, yang moga-moga yang lebih ‘live, learn, and love’? Semoga saja jawabannya yang terakhir.

Sungguh suatu kebetulan, saya bertemu buku ‘Islam : A Short History’ karya Karen Amstrong. Buku ini dengan sangat sederhana menggambarkan sejarah global tentang bagaimana perkembangan Islam. Buku ini sedikit membuka cakrawaka berpikir saya dengan menggambarkan bagaimana praktek Islam adalah merupakan suatu keragaman yang kompleks. Ada yang melakukan praktek Islam dengan keras, ada yang melakukan praktek Islam dengan santai-santai saja; ada yang ingin kembali ke kejayaan masa lalu Islam, ada yang ingin hidup pada saat ini. Semuanya tidak dapat disalahkan karena sumber-sumber praktek inipun berasal dari ulama Islam yang otoritasnya tidak bisa disepelekan.


Salah satu praktek Islam yang menarik adalah topik yang dekat-dekat saja dengan kita, yaitu ‘Bhinneka Tunggal Ika’-nya Islam yang ada di Indonesia. Ada praktek Islam yang sering kita jumpai dan secara sadar kita praktekkan. Banyak lain, ada juga praktek Islam yang saking jarangnya kita jumpai membuat perut kita jadi mulas. Kalau sering-sering berpetualang mencari, semoga kita jadi tidak sering mengalami sindrom mulas-mulas ini, apalagi membuat orang lain yang berbeda dengan kita menjadi ikut-ikutan mulas..

Fenomena perbedaan tentunya ada alur sejarahnya. Kita sering mendengar sejarah ‘resmi’ bagaimana Islam hadir di Indonesia. Seiring dengan waktu, tentunya kita tidak lagi naif memandang hanya ada satu versi sejarah. Masih banyak alur-alur sejarah yang mungkin tidak sempat terekspos ke kita yang bisa menjelaskan fenomena kemajemukan ini. Tidak usah jauh-jauh, pada tulisan ini kita lihat saja berbagai fenomena pluralitas kontemporer yang terjadi pada masyarakat Indonesia saat ini dalam mempraktekkan Islam khas Indonesia.

Dari versi populer di TV saja kita bisa melihat berbagai perbedaan. Misalnya sekarang ini, ada Mamah (Dedeh) & Aa yang menjawab seputar fikih praktis secara zakelijk dari sumber Islam yang populer (di Indonesia); Lalu ada Yusuf Mansyur dengan ‘Matematika sedekah’-nya yang menyajikan metode menghitung pahala dari sedekah yang kita lakukan; Jangan dilupakan ada Quraish Shihab tayangan 'Tafsir Al-Mishbah'-nya yang memberikan sebuah update tafsir Al-Quran dari berbagai sumber; dan banyak lagi da’i yang bermunculan di musim Ramadhan bulan lalu. Tentunya kita tidak menemui materi dan metode dakwah Islam ini pada jaman ceramah K.H. Zainuddin M.Z., K.H. Khosim Nurseha, atau bahkan H. Qomar yang juga pelawak Grup Empat Sekawan.


Apakah materi dan metode ini sama sekali hal yang baru? Apakah hal-hal ini merupakan kesimpulan sumber-sumber pengetahuan keislaman yang berhasil digali lagi dari masa lalu? Ataukah ini merupakan hasil sintesa yang berhasil muncul sebagai hasil ‘tawar-menawar’ dari masyarakat Indonesia saat ini (yang menikmati media)? Saya berpendapat kecenderungannya adalah opsi yang terakhir. Acara-acara TV inilah yang memiliki materi dan metode penyampaian Islam yang sesuai penonton di Indonesia saat ini. Pastinya sistem rating TV sangat menentukan acara keislaman apa yang ‘cocok’ untuk masyarakat Indonesia.

Lalu, pada acara berita, kita juga sering melihat kiprah berbagai organisasi Islam yang baru lahir atau berhasil membuka cabang di Indonesia belakangan ini, misalnya yang baru lahir misalnya FPI (Front Pembela Islam), yang sangat keras hingga melakukan sweeping terhadap aktivitas yang melanggar syari’at Islam, termasuk Islam Ahmadiyah; Ada pula Hizbut Tahrir asal Jerusalem dan tersebar di 40 negara yang sering berdemo menolak demokrasi dan ingin mendirikan kembali Kekhalifahan Islam; Jangan pula dilupakan organisasi yang bernama JIL (Jaringan Islam Liberal) yang berisi sarjana muslim muda Indonesia yang sering merilis penafsiran Islam yang inovatif dan kadang-kadang membuat ulama-ulama senior sering sakit kepala. Tentunya organisasi Islam ini sangat berbeda tujuan dengan Muhammadiyah, NU, dan PERSIS yang berdiri awal abad ke-20, meskipun beberapa di antara organisasi lama ini masih eksis.


Apakah organisasi ‘modern’ ini adalah hal yang sama sekali baru? Ataukah organisasi ini merupakan baju baru yang sebenarnya mengambil inspirasi yang telah lama ada? Ataukah organisasi ini merupakan outcome dari kebebasan berekspresi dan mengemukakan ide-ide yang didapatkan setelah masa reformasi 1998? Saya berpendapat faktor utamanya ada pada opsi terakhir. Kebebasan paska-reformasi inilah mengizinkan berbagai ekstrem muncul dan mewarnai kebudayaan Islam kita di Indonesia saat ini.

Belum lagi kita juga menemui ada budaya Islam populer macam jilbab gaul, partai politik Islam, taman pendidikan Al-Quran (TPA), album musik Ramadhan, paket perdana handphone Islami. Di ekstrem lain, kita juga menemui model-model puritanisme keras macam bom-membom dengan alasan jihad, kerudung hitam gombrong plus cadar, pemberlakuan syariat Islam (versi Indonesia) pada pemerintah daerah tertentu.

Semua ini adalah ciri khas kebudayaan Islam Indonesia yang bisa kita amati dan nikmati dinamikanya. Mari kita hargai keanekaragaman ini dengan hormat. Tanpa kafir-mengafirkan, tanpa sakit-menyakiti. Kalau ada perbedaan, seperti kata iklan Teh Sari Wangi : Mari bicara..

18 September 2009

Festival Budaya Islam : Bagian 1 - Mudik

Ritual mudik Idul Fitri yang mulai terjadi hari ini adalah merupakan budaya khas Indonesia. Sewaktu pulang ke rumah tadi, di jalan sudah mulai tampak lautan motor dengan bagasi dadakannya yang khas di bagian belakang motor. Tahun 2009 ini, diperkirakan ada dua puluh tujuh juta pemudik, lebih dari sepersepuluh populasi Indonesia, kembali ke daerah asalnya. Sebagian menggunakan motor, bermacet-macet ria melakukan ritual suci khas Indonesia yang bernama Mudik.

Kultur yang bernama mudik merupakan jelmaan dari Idul Fitri yang merupakan budaya Islam berakulturasi dengan budaya kekeluargaan khas Indonesia. Saya baru beberapa tahun belakangan menyadari bahwa mudik merupakan budaya lokal asli Indonesia. Sebelumnya, saya menyangka ritual ‘pulkam’ ini dilakukan oleh semua umat Islam, bukan hanya di Indonesia saja, melainkan dilakukan umat Islam di seluruh dunia. Produk cap Indonesia ini sudah dilakukan turun temurun dan menjadi sebuah keniscayaan yang saya anggap sebuah budaya asli Islam dari sono-nya.

Lagipula, saya terlalu malas untuk memeriksa lagi sejarah pemikiran dan praktek Islam sehingga sering kali terjebak pada perkara-perkara macam ini. Bukannya apa-apa, terus terang saya sering mengalami sindrom kacamata kuda: merasa praktek keagamaan yang dijalani di lingkungan saya adalah sesuatu yang final dan seragam dengan orang lain di seantero bumi ini. Kalau saya sedang (tidak) waras, barulah saya kadang-kadang berpikir apa iya kita sama semua begitu? Apa jangan-jangan tidak begitu?

Logikanya, setiap tempat dan waktu pasti memiliki ciri khas dalam menjalankan praktek beragama. Praktek ini dilaksanakan secara turun-temurun, sehingga secara alami terjadi akulturasi kebudayaan asli dengan budaya keagamaan yang datang. Misalnya saja, orang bilang Islamnya Indonesia itu sinkretis alias berusaha menyesuaikan dengan kepercayaan yang telah ada di Indonesia.

Saya rasa pernyataan ini ada unsur benarnya, misalnya dilihat dari cara Sunan Kalijaga berdakwah dengan wayang, serapan dari Mahabarata dan Ramayana asal India yang dibumbui dengan berbagai tambahan seperti misalnya tokoh carangan. Meskipun begitu, ada juga unsur generalisasi di sini. Setidaknya organisasi masyarakat macam Muhammadiyah cenderung tidak menerima hal-hal bid’ah macam itu. Saya cenderung berpendapat, setiap Muslim punya Islam yang customized. Apa yang kita masing-masing baca, dengar, lihat, dan alami akan mengkustomisasi cara pandang terhadap agama kita masing-masing.

***

Kalau punya kesempatan, saya ingin mengunjungi beberapa masyarakat dan melihat sendiri budaya keagamaan khas di daerah itu. Sungguh sangat menarik bisa meng-confirm beberapa budaya katanya yang sangat berbeda dengan apa yang biasa saya alami di lingkungan sendiri. Sekali lagi, perbedaan budaya ini masih katanya lho. Saya tidak tahu pasti, tidak ainul-yaqiin, karena biasanya saya mengetahui perbedaan budaya ini dari buku, internet, kata teman, kata temannya teman, kata bukunya teman, dan seterusnya. Oleh karena itu, saya ingin berusaha melihat dengan mata di kepala saya sendiri bagaimana sebenarnya realita kebudayaan yang sebenarnya terjadi di beberapa masyarakat.

Dari berbagai sumber, ada beberapa hal-hal seputar praktek keberagamaan Islam di berbagai tempat yang sempat membuat saya tergeleng-geleng, kok bisa ada hal seperti ini. Tapi sebenarnya, kalau dipikir-pikir lagi, apa hak saya menjustifikasi orang lain. Kalau orang lain menilai ritual mudik tercinta kita ini sebagai kegiatan yang lebih banyak mudharat-nya daripada kebaikannya, berisiko tinggi penyebab kematian, dan secara praktis merusak esensi Idul Fitri yang sesungguhnya; bisa dibayangkan betapa tidak nyamannya perasaan kita. Padahal, kalau dilihat mungkin argumen-argumen ini adalah sesuatu yang rasional dan nyata terjadi di lapangan. Coba saja lihat peningkatan jumlah korban jiwa akibat lalu lintas mudik setiap tahunnya.

Pada beberapa tulisan pendek ke depan, saya ingin mencoba melakukan festival terhadap beberapa praktek kebudayaan Islam yang katanya dilakukan di berbagai tempat di muka bumi ini. Saya juga usahakan mencari beberapa beberapa argumen skenario yang mungkin melatarbelakangi terjadinya hal ini.

Seperti namanya, festival adalah sebuah ritual yang dilakukan oleh komunitas lokal untuk menonjolkan aspek yang khas dari budayanya. Jadi festival budaya keagamaan bertujuan untuk menggambarkan kandungan lokal dari berbagai praktek keberagamaan. Untuk saya, ini adalah sebuah cara agar saya tidak bersikap ahistoris terhadap agama dan moga-moga bisa tertular pola pikir beragama dengan rendah hati.

12 September 2009

Saya khawatir sekali

Melakukan shalat sekali
berbuat keji dan munkar kembali

Berceramah tentang keikhlasan
sambil mengharap pahala ke tangan

Berpuasa mengendalikan diri sebulan
habis itu melampiaskan sebelas bulan

Bersedekah sekali-sekali
tapi mengambil berkali-kali

Mengimani al-Mudzill
lalu menyalahkan Setan menyesatkan

Bersaksi mengesakan Tuhan
beraksi menuhankan tuhan-tuhan

Saya khawatir sekali
jangan-jangan Tuhan merasa dibohongi

6 September 2009

Obrolan di sebuah bar jazz

Sudah jam setengah satu malam, di sebuah ruangan kecil bar jazz yang dipenuhi asap rokok dan obrolan sayup-sayup. Biasanya bahan obrolan tengah malam sudah cenderung menjadi tidak penting, tapi setidaknya jujur. Sudah terlalu malam, band jazz yang tadi sudah selesai sejak setengah jam yang lalu.
Dari pojok ruangan, suara Billie Holiday keluar dari sebuah coin music box tua. Lagunya kali ini God Bless the Child rekaman tahun 1941. Sepertinya tidak ada orang yang acuh dengan alunan suara khas Billie, semua sibuk dengan obrolannya masing-masing.
Aku duduk di kursi meja bar yang berwarna kecoklatan pudar. Di deretan meja ini, hanya ada dua orang, yaitu aku dan seorang muda yang entah mengapa sering kali menoleh memandangi wajahku. Di hadapannya, gelas bir ketiga baru habis seperempatnya. Asbak rokoknya sudah terisi puntung rokok hampir setengah bungkus. Aku pura-pura tidak mengamatinya, asyik menekuni gelas minumanku yang sudah hampir habis.

Selesai Billie bernyanyi, tiba-tiba orang muda ini menghampiriku. Dia membuka pembicaraan dengan menyapa dengan ramah. Mukanya yang masih segar hingga larut malam ini tersenyum. Mau tidak mau, saya tanggapi dia.
"Selamat malam Mas," anak muda ini membuka pembicaraan, "boleh Saya bergabung dengan Anda? Nama saya Sinar. Suka musik jazz ya Mas?"
"Oo, silakan Mas Sinar, nama saya Indra. Dan iya, saya suka dengar jazz, hanya iseng-iseng saja Mas," jawabanku.
"Saya cuma mau tanya sama Mas Indra," tanyanya tiba-tiba, "kenapa Mas suka musik jazz? Dulunya musik jazz kan musik pinggiran? Musik orang kulit hitam? Cuma orang tertindas yang mau mendengar musik ini? Apa Mas Indra adalah menggolongkan diri termasuk orang-orang yang tertindas?"

"Wah, saya kurang tahu ya Mas Sinar," sambil berusaha menenangkan kekagetanku karena diberondong pertanyaan macam itu, "Saya cuma ikut-ikutan Mas. Saya senang dengar musik yang banyak kord-kord miringnya seperti jazz ini, tidak tahu masalah sejarah-sejarahnya. Lagipula, memangnya benar musik jazz itu musiknya orang yang tertindas?"
"Katanya sih begitu Mas, musik jazz itu musiknya orang tertindas. Jaman dulu, ketika orang kulit hitam dalam penindasan, semuanya dibatasi, bahkan pikiran saja bisa dibatasi. Makanya, Jazz itu anak kandung dari orang kulit hitam yang tertindas dan Jazz sendiri merupakan sebuah ekspresi bertahan hidup. Jadi saya tanya lagi Mas Indra ini merasa termasuk golongan orang yang tertindas, tidak?”
“Jangan-jangan saya memang dalam keadaan ditindas ya? Kok bisa-bisanya suka dengar musik seperti ini? Tapi kalau dipikir-pikir lagi, mendingan saya jadi yang menindas, lho Mas. Minimal menindas orang yang bisa saya tindas toh? Kalau tidak, masa saya bisa hidup? Kan prinsipnya menindas atau ditindas. Tidak ada tengah-tengah. Hidup ini tidak mengizinkan kita jadi pihak yang non-blok lho.”

“Wah, begitu rupanya,” Sinar nyengir, “penampilan bisa mengecoh. Serigala bisa berbulu domba, dan sebaliknya domba juga bisa berbulu serigala. Malah, kadang-kadang domba tidak sadar dirinya domba, serigala tidak sadar kalau dirinya adalah serigala. Jangan-jangan Mas Indra ini penindas sambil tertindas juga sekaligus.”

“Minimal, tertindas hati nurani sendiri sehingga bisa tega menindas orang lain,” tambahnya, “Makanya Mas jadi senang sama musik jazz itu, karena secara tidak sadar merasa tertindas dengan diri sendiri.”
Obrolan terus berjalan. Tamu-tamu bar jazz sudah mulai pulang. Tanpa terasa waktu terus berjalan, sudah mendekati jam setengah dua. Dan obrolan terus berjalan lagi dengan omongan yang tidak penting tapi jujur. Kali ini, Ella Fitzgerald menyanikan My Melancholy Baby menghangatkan suasana ruangan yang mulai sepi.
“Terus terang saya bingung Mas Sinar,” kataku mulai terkantuk, “saya cuma dengar musik jazz saja, lantas saya diadili begitu rupa disebut sebagai penindas lah, sekaligus orang tertindas lah. Apa setiap pendengar musik klasik bisa dikotakkan sebagai kelas bangsawan? Apa setiap pendengar musik pop bisa diklasifikasikan sebagai orang yang pikirannya dangkal?”

“Lho, kan saya awalnya tadi cuma tanya Mas Indra ini merasa termasuk orang yang tertindas apa tidak?” kata Sinar, “lalu kita obrol-obrol lebih lanjut lagi. Kalau merasa tidak tertindas, ya bagus itu. Kalau merasa tertindas, juga tidak apa-apa. Jadi sekarang, Mas Indra merasa tertindas atau tidak?”
“Ya, gara-gara sampeyan ini, saya sekarang jadi merasa tertindas sama diri saya sendiri…”
“Makanya mas, sering-sering dengar musik jazz...”

20 Agustus 2009

Pendidikan yang (Tidak) Membebaskan (Bagian 2)

Tidak akan pernah habis kita mengidentifikasi gejala-gejala dari pendidikan yang tidak membebaskan. Memang kebebasan (subjektif) adalah suatu utopia, yang lagi-lagi berada pada level pola pikir dan kejiwaan. Bisa dikatakan pencarian ‘kebebasan’ adalah suatu proses yang tidak pernah rampung.

Jauh sebelum kita membicarakan pendidikan yang membebaskan dalam skala masyarakat, dan mungkin juga masih terlalu luas kalau kita membicarakan ini dalam skala keluarga, saya lebih memilih untuk mempertanyakan bagaimana pendidikan yang membebaskan itu dapat dipraktikkan pada diri sendiri. Lho, terus terang saja, saya saja kadang-kadang ragu apa bisa saya mempraktikkannya pada diri sendiri.

Baik dalam posisi apapun, seharusnya ada suatu ‘spirit’ yang menjiwai proses pendidikan yang membebaskan. Minimal, kesadaran menjalankan adalah merupakan suatu proses itu sendiri. Baik menjadi murid atau guru, atau dalam bahasa yang lebih setara, partner intelektual, kesadaran perjalanan inilah yang ingin saya cari.

Mengenai kesadaran memerankan guru untuk pendidikan yang membebaskan ternyata memerlukan upaya yang tidak mudah. Pendidik yang membebaskan adalah yang membuka peluang seluas-luasnya agar murid bergerak melangkah sendiri mengembarai cakrawala-cakrawala kemungkinan ilmu. Kadang-kadang kita suka tidak sabar menunggu proses pembelajaran lantas buru-buru memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang disodorkan pada partner intelektual kita ini.

Selain itu, apakah tepat seorang guru memberitahukan sesuatu atau menyodorkan informasi-informasi, yang sebenarnya merupakan hak asasi murid untuk menelusuri dan memperolehnya secara mandiri? Lalu, bagaimana kesiapan seorang guru ketika muridnya memiliki jawaban yang berbeda dengan jawaban sang guru? Kitapun harus mulai mengkaji dampak seorang eksklusifis, yang menginginkan satu jawaban untuk satu pertanyaan.

Mengenai kesadaran perjalanan sebagai murid, saya jadi ingat seorang teman yang agak nyeleneh. Pada posisinya di masyarakat, teman ini memiliki status sosioekonomi yang sangat baik. Pada sisi lain, pada usia lanjutnya teman kita ini ternyata seorang pembelajar yang tidak kenal lelah. Salah satu hobinya adalah membaca. Semua jenis buku ia baca, tetapi buku yang paling dia gemari adalah jenis buku membuatnya gelisah. Makin terguncang keyakinannya, makin dia gelisah, dan makin dia semangat membaca buku ini. Ketika teman-teman seumurnya mengharapkan dan mungkin sudah mendapatkan kemapanan, dia justru membangun pola pikir anti kemapanan.

Beberapa kali saya berbincang dengannya, bulu kuduk saya selalu meremang karena wacana yang ia kemukakan; biasanya seputar teologi dan kemanusiaan. Prinsip pribadinya adalah “jangan-jangan saya salah, orang lain benar”. Dia bersedia menerima berbagai hal baru kalau memang hal baru ini logis menurutnya. Dengan segala kekuatan dan kelemahannya, teman kita ini membuka dirinya untuk pemahaman yang ekspansif, termasuk untuk konsep ketuhanan yang merupakan ruang privat dan biasanya enggan kita bicarakan. Yah, dia memang bukan tipe eksklusifis yang menganggap nilai-nilai yang dia pegang adalah yang paling benar.

Meskipun saya tidak selalu sepakat dengan pemikiran teman ini, tetapi saya selalu mengagumi ‘spirit’ yang dia pegang mengenai pembebasan diri dari kelembaban. Kelembaman bisa jadi status quo kepemimpinan, sakralisasi hal-hal seputar keagamaan, nilai filosofi yang kadaluarsa, hegemoni kebudayaan. Mengapa tidak? Kalau telah sering terbukti fatwa agama ternyata salah, penemuan ilmu keliru, kesimpulan filsafat tak bisa bertahan; maka bersedia mengakui kelemahan bisa jadi adalah sejenis kekuatan.

Saya sendiri sering merasa pada sangat banyak dogma yang melekat yang tidak pernah saya sadari mengerosi gairah skeptisisme saya dalam mempertanyakan sesuatu. Sering kali, sesuatu yang sangat halus membelokkan saya tidak mempertanyakan kembali suatu hal, menganggap hal ini taken for granted, lalu menghibur diri dengan jawaban “Sudah dari sananya.”


Begitu banyak pertanyaan yang saya sadari pernah saya lewati karena dogma yang melekat pada diri saya. Kalau memang Al-Quran versi Usmani cetakan Mesir 1904 yang kita pegang saat ini ternyata bukan satu-satunya mushaf; dan masih ada mushaf Aisyah, mushaf Umar, dan mushaf Ibnu Mas’ud; lalu masing-masing mushaf terdapat perbedaan jumlah surat, isi, dan hal-hal lainnya; apakah ke-kitabsuci-an Al-Quran boleh kita pertanyakan?

Mengapa kematian itu mesti menakutkan atau memang kita yang terbiasa ditakut-takuti? Apa benar tidak semua kebudayaan di dunia ini menakut-nakuti kematian? Apa benar ada siksa kubur? Kan tidak ada referensinya di Al-Quran?

Apakah pemanasan global itu karena ulah manusia? Ataukah pemanasan global sesuatu keniscayaan gejala alam yang natural dan tidak mungkin bisa dikendalikan oleh manusia itu sendiri?

Apa benar kehidupan adalah hasil konspirasi para selfish genes? Dan kesadaran ke-‘aku’-an hanyalah hasil kerja dari rentetan neurotransmiter yang berinteraksi satu sama lain? Kalau memang kehidupan adalah hanyalah mekanisme gen saja dan ‘aku’ sebenarnya tidak ada, apakah kita bisa benar-benar berkata ash to ash, dust to dust? Innalillahi wa inna illaihi raji’un? Itupun bagi pribadi-pribadi yang percaya kalau Tuhan ada lho ya...