Ritual mudik Idul Fitri yang mulai terjadi hari ini adalah merupakan budaya khas Indonesia. Sewaktu pulang ke rumah tadi, di jalan sudah mulai tampak lautan motor dengan bagasi dadakannya yang khas di bagian belakang motor. Tahun 2009 ini, diperkirakan ada dua puluh tujuh juta pemudik, lebih dari sepersepuluh populasi Indonesia, kembali ke daerah asalnya. Sebagian menggunakan motor, bermacet-macet ria melakukan ritual suci khas Indonesia yang bernama Mudik.
Kultur yang bernama mudik merupakan jelmaan dari Idul Fitri yang merupakan budaya Islam berakulturasi dengan budaya kekeluargaan khas Indonesia. Saya baru beberapa tahun belakangan menyadari bahwa mudik merupakan budaya lokal asli Indonesia. Sebelumnya, saya menyangka ritual ‘pulkam’ ini dilakukan oleh semua umat Islam, bukan hanya di Indonesia saja, melainkan dilakukan umat Islam di seluruh dunia. Produk cap Indonesia ini sudah dilakukan turun temurun dan menjadi sebuah keniscayaan yang saya anggap sebuah budaya asli Islam dari sono-nya.
Lagipula, saya terlalu malas untuk memeriksa lagi sejarah pemikiran dan praktek Islam sehingga sering kali terjebak pada perkara-perkara macam ini. Bukannya apa-apa, terus terang saya sering mengalami sindrom kacamata kuda: merasa praktek keagamaan yang dijalani di lingkungan saya adalah sesuatu yang final dan seragam dengan orang lain di seantero bumi ini. Kalau saya sedang (tidak) waras, barulah saya kadang-kadang berpikir apa iya kita sama semua begitu? Apa jangan-jangan tidak begitu?
Logikanya, setiap tempat dan waktu pasti memiliki ciri khas dalam menjalankan praktek beragama. Praktek ini dilaksanakan secara turun-temurun, sehingga secara alami terjadi akulturasi kebudayaan asli dengan budaya keagamaan yang datang. Misalnya saja, orang bilang Islamnya Indonesia itu sinkretis alias berusaha menyesuaikan dengan kepercayaan yang telah ada di Indonesia.
Saya rasa pernyataan ini ada unsur benarnya, misalnya dilihat dari cara Sunan Kalijaga berdakwah dengan wayang, serapan dari Mahabarata dan Ramayana asal India yang dibumbui dengan berbagai tambahan seperti misalnya tokoh carangan. Meskipun begitu, ada juga unsur generalisasi di sini. Setidaknya organisasi masyarakat macam Muhammadiyah cenderung tidak menerima hal-hal bid’ah macam itu. Saya cenderung berpendapat, setiap Muslim punya Islam yang customized. Apa yang kita masing-masing baca, dengar, lihat, dan alami akan mengkustomisasi cara pandang terhadap agama kita masing-masing.
***
Kalau punya kesempatan, saya ingin mengunjungi beberapa masyarakat dan melihat sendiri budaya keagamaan khas di daerah itu. Sungguh sangat menarik bisa meng-confirm beberapa budaya katanya yang sangat berbeda dengan apa yang biasa saya alami di lingkungan sendiri. Sekali lagi, perbedaan budaya ini masih katanya lho. Saya tidak tahu pasti, tidak ainul-yaqiin, karena biasanya saya mengetahui perbedaan budaya ini dari buku, internet, kata teman, kata temannya teman, kata bukunya teman, dan seterusnya. Oleh karena itu, saya ingin berusaha melihat dengan mata di kepala saya sendiri bagaimana sebenarnya realita kebudayaan yang sebenarnya terjadi di beberapa masyarakat.
Dari berbagai sumber, ada beberapa hal-hal seputar praktek keberagamaan Islam di berbagai tempat yang sempat membuat saya tergeleng-geleng, kok bisa ada hal seperti ini. Tapi sebenarnya, kalau dipikir-pikir lagi, apa hak saya menjustifikasi orang lain. Kalau orang lain menilai ritual mudik tercinta kita ini sebagai kegiatan yang lebih banyak mudharat-nya daripada kebaikannya, berisiko tinggi penyebab kematian, dan secara praktis merusak esensi Idul Fitri yang sesungguhnya; bisa dibayangkan betapa tidak nyamannya perasaan kita. Padahal, kalau dilihat mungkin argumen-argumen ini adalah sesuatu yang rasional dan nyata terjadi di lapangan. Coba saja lihat peningkatan jumlah korban jiwa akibat lalu lintas mudik setiap tahunnya.
Pada beberapa tulisan pendek ke depan, saya ingin mencoba melakukan festival terhadap beberapa praktek kebudayaan Islam yang katanya dilakukan di berbagai tempat di muka bumi ini. Saya juga usahakan mencari beberapa beberapa argumen skenario yang mungkin melatarbelakangi terjadinya hal ini.
Seperti namanya, festival adalah sebuah ritual yang dilakukan oleh komunitas lokal untuk menonjolkan aspek yang khas dari budayanya. Jadi festival budaya keagamaan bertujuan untuk menggambarkan kandungan lokal dari berbagai praktek keberagamaan. Untuk saya, ini adalah sebuah cara agar saya tidak bersikap ahistoris terhadap agama dan moga-moga bisa tertular pola pikir beragama dengan rendah hati.
Kalau punya kesempatan, saya ingin mengunjungi beberapa masyarakat dan melihat sendiri budaya keagamaan khas di daerah itu. Sungguh sangat menarik bisa meng-confirm beberapa budaya katanya yang sangat berbeda dengan apa yang biasa saya alami di lingkungan sendiri. Sekali lagi, perbedaan budaya ini masih katanya lho. Saya tidak tahu pasti, tidak ainul-yaqiin, karena biasanya saya mengetahui perbedaan budaya ini dari buku, internet, kata teman, kata temannya teman, kata bukunya teman, dan seterusnya. Oleh karena itu, saya ingin berusaha melihat dengan mata di kepala saya sendiri bagaimana sebenarnya realita kebudayaan yang sebenarnya terjadi di beberapa masyarakat.
Dari berbagai sumber, ada beberapa hal-hal seputar praktek keberagamaan Islam di berbagai tempat yang sempat membuat saya tergeleng-geleng, kok bisa ada hal seperti ini. Tapi sebenarnya, kalau dipikir-pikir lagi, apa hak saya menjustifikasi orang lain. Kalau orang lain menilai ritual mudik tercinta kita ini sebagai kegiatan yang lebih banyak mudharat-nya daripada kebaikannya, berisiko tinggi penyebab kematian, dan secara praktis merusak esensi Idul Fitri yang sesungguhnya; bisa dibayangkan betapa tidak nyamannya perasaan kita. Padahal, kalau dilihat mungkin argumen-argumen ini adalah sesuatu yang rasional dan nyata terjadi di lapangan. Coba saja lihat peningkatan jumlah korban jiwa akibat lalu lintas mudik setiap tahunnya.
Pada beberapa tulisan pendek ke depan, saya ingin mencoba melakukan festival terhadap beberapa praktek kebudayaan Islam yang katanya dilakukan di berbagai tempat di muka bumi ini. Saya juga usahakan mencari beberapa beberapa argumen skenario yang mungkin melatarbelakangi terjadinya hal ini.
Seperti namanya, festival adalah sebuah ritual yang dilakukan oleh komunitas lokal untuk menonjolkan aspek yang khas dari budayanya. Jadi festival budaya keagamaan bertujuan untuk menggambarkan kandungan lokal dari berbagai praktek keberagamaan. Untuk saya, ini adalah sebuah cara agar saya tidak bersikap ahistoris terhadap agama dan moga-moga bisa tertular pola pikir beragama dengan rendah hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar