6 Oktober 2009

Festival Budaya Islam : Bagian 2 – A La Indonesia (Masa kini)

Sungguh sangat menarik menggali sejarah Islam di masa lalu. Apalagi kalau kita bisa melihat bagaimana alur sejarah ini mengalir dan mewujud menjadi kenyataan yang kita temui sehari-hari. Kita dibuat heran dengan gerakan sekelompok (yang katanya) muslim yang membom J.W. Marriot dan Ritz Carlton Jakarta dan menewaskan orang-orang tidak bersalah bulan Juli lalu. Saya malah lebih heran lagi, ada pemimpin pondok pesantren yang mengamini tindakan ini sebagai aktualisasi jihad Islam melawan Barat.

Apakah kisah bom-membom ini adalah cermin keseluruhan agama Islam yang (katanya) mengagungkan perdamaian, yang memotivasi umatnya menjadi rahmatan lil alamin, berkah bagi seluruh alam semesta? Ataukah ini hanyalah sebuah wujud alur sejarah budaya Islam di antara banyak budaya Islam lainnya, yang moga-moga yang lebih ‘live, learn, and love’? Semoga saja jawabannya yang terakhir.

Sungguh suatu kebetulan, saya bertemu buku ‘Islam : A Short History’ karya Karen Amstrong. Buku ini dengan sangat sederhana menggambarkan sejarah global tentang bagaimana perkembangan Islam. Buku ini sedikit membuka cakrawaka berpikir saya dengan menggambarkan bagaimana praktek Islam adalah merupakan suatu keragaman yang kompleks. Ada yang melakukan praktek Islam dengan keras, ada yang melakukan praktek Islam dengan santai-santai saja; ada yang ingin kembali ke kejayaan masa lalu Islam, ada yang ingin hidup pada saat ini. Semuanya tidak dapat disalahkan karena sumber-sumber praktek inipun berasal dari ulama Islam yang otoritasnya tidak bisa disepelekan.


Salah satu praktek Islam yang menarik adalah topik yang dekat-dekat saja dengan kita, yaitu ‘Bhinneka Tunggal Ika’-nya Islam yang ada di Indonesia. Ada praktek Islam yang sering kita jumpai dan secara sadar kita praktekkan. Banyak lain, ada juga praktek Islam yang saking jarangnya kita jumpai membuat perut kita jadi mulas. Kalau sering-sering berpetualang mencari, semoga kita jadi tidak sering mengalami sindrom mulas-mulas ini, apalagi membuat orang lain yang berbeda dengan kita menjadi ikut-ikutan mulas..

Fenomena perbedaan tentunya ada alur sejarahnya. Kita sering mendengar sejarah ‘resmi’ bagaimana Islam hadir di Indonesia. Seiring dengan waktu, tentunya kita tidak lagi naif memandang hanya ada satu versi sejarah. Masih banyak alur-alur sejarah yang mungkin tidak sempat terekspos ke kita yang bisa menjelaskan fenomena kemajemukan ini. Tidak usah jauh-jauh, pada tulisan ini kita lihat saja berbagai fenomena pluralitas kontemporer yang terjadi pada masyarakat Indonesia saat ini dalam mempraktekkan Islam khas Indonesia.

Dari versi populer di TV saja kita bisa melihat berbagai perbedaan. Misalnya sekarang ini, ada Mamah (Dedeh) & Aa yang menjawab seputar fikih praktis secara zakelijk dari sumber Islam yang populer (di Indonesia); Lalu ada Yusuf Mansyur dengan ‘Matematika sedekah’-nya yang menyajikan metode menghitung pahala dari sedekah yang kita lakukan; Jangan dilupakan ada Quraish Shihab tayangan 'Tafsir Al-Mishbah'-nya yang memberikan sebuah update tafsir Al-Quran dari berbagai sumber; dan banyak lagi da’i yang bermunculan di musim Ramadhan bulan lalu. Tentunya kita tidak menemui materi dan metode dakwah Islam ini pada jaman ceramah K.H. Zainuddin M.Z., K.H. Khosim Nurseha, atau bahkan H. Qomar yang juga pelawak Grup Empat Sekawan.


Apakah materi dan metode ini sama sekali hal yang baru? Apakah hal-hal ini merupakan kesimpulan sumber-sumber pengetahuan keislaman yang berhasil digali lagi dari masa lalu? Ataukah ini merupakan hasil sintesa yang berhasil muncul sebagai hasil ‘tawar-menawar’ dari masyarakat Indonesia saat ini (yang menikmati media)? Saya berpendapat kecenderungannya adalah opsi yang terakhir. Acara-acara TV inilah yang memiliki materi dan metode penyampaian Islam yang sesuai penonton di Indonesia saat ini. Pastinya sistem rating TV sangat menentukan acara keislaman apa yang ‘cocok’ untuk masyarakat Indonesia.

Lalu, pada acara berita, kita juga sering melihat kiprah berbagai organisasi Islam yang baru lahir atau berhasil membuka cabang di Indonesia belakangan ini, misalnya yang baru lahir misalnya FPI (Front Pembela Islam), yang sangat keras hingga melakukan sweeping terhadap aktivitas yang melanggar syari’at Islam, termasuk Islam Ahmadiyah; Ada pula Hizbut Tahrir asal Jerusalem dan tersebar di 40 negara yang sering berdemo menolak demokrasi dan ingin mendirikan kembali Kekhalifahan Islam; Jangan pula dilupakan organisasi yang bernama JIL (Jaringan Islam Liberal) yang berisi sarjana muslim muda Indonesia yang sering merilis penafsiran Islam yang inovatif dan kadang-kadang membuat ulama-ulama senior sering sakit kepala. Tentunya organisasi Islam ini sangat berbeda tujuan dengan Muhammadiyah, NU, dan PERSIS yang berdiri awal abad ke-20, meskipun beberapa di antara organisasi lama ini masih eksis.


Apakah organisasi ‘modern’ ini adalah hal yang sama sekali baru? Ataukah organisasi ini merupakan baju baru yang sebenarnya mengambil inspirasi yang telah lama ada? Ataukah organisasi ini merupakan outcome dari kebebasan berekspresi dan mengemukakan ide-ide yang didapatkan setelah masa reformasi 1998? Saya berpendapat faktor utamanya ada pada opsi terakhir. Kebebasan paska-reformasi inilah mengizinkan berbagai ekstrem muncul dan mewarnai kebudayaan Islam kita di Indonesia saat ini.

Belum lagi kita juga menemui ada budaya Islam populer macam jilbab gaul, partai politik Islam, taman pendidikan Al-Quran (TPA), album musik Ramadhan, paket perdana handphone Islami. Di ekstrem lain, kita juga menemui model-model puritanisme keras macam bom-membom dengan alasan jihad, kerudung hitam gombrong plus cadar, pemberlakuan syariat Islam (versi Indonesia) pada pemerintah daerah tertentu.

Semua ini adalah ciri khas kebudayaan Islam Indonesia yang bisa kita amati dan nikmati dinamikanya. Mari kita hargai keanekaragaman ini dengan hormat. Tanpa kafir-mengafirkan, tanpa sakit-menyakiti. Kalau ada perbedaan, seperti kata iklan Teh Sari Wangi : Mari bicara..

Tidak ada komentar: