6 Juli 2008

Senyum : Insiden, Sejarah, dan Keseharian

Beberapa hari belakangan ini saya mengamati fenomena senyum. Awalnya terjadi ketika saya sedang berada di kursi depan penumpang pada mobil berkeliling di kota Cirebon. Dengan pandangan ke depan, gurauan seorang teman yang duduk kursi belakang tidak habis-habisnya membuat saya tersenyum lebar. Tidak sengaja, segera saya sadari ternyata ada seorang perempuan di boncengan motor di depan saya yang tersenyum balik membalas sesuatu yang tidak pernah dialamatkan untuknya.

Teman di duduk belakang ini juga segera menyadari dan mengomentari dengan gurauan budaya masyarakat Cirebon dan sekitarnya, yang memang relatif terbuka terhadap interaksi antarjenis. Obrolan dan gurauan pun terus mengalir. Tapi di balik semua itu, kejadian senyum ‘nyasar’ ini ternyata membuat perasaan baik dan menginspirasi saya hingga akhir hari itu. Kecelakaan senyum ‘nyasar’ inilah yang awalnya membuat saya melihat lebih dekat dan mencari lebih dalam hal-hal seputar senyum.

***

Kalau diurut-urut, mungkin senyum yang paling terkenal adalah senyum Mona Lisa yang misterius itu. Sang pelukis, Leonardo Da Vinci, terkenal jarang menyelesaikan dan meninggalkan karya-karyanya, tapi mbak Mona Lisa yang awalnya dilukis di Itali ini ikut hijrah ke Prancis dan akhirnya terselesaikan menjelang kematian Leonardo pada 1519. Seiring dengan waktu, Monalisa dari yang biasa-biasa saja menjadi semakin terkenal. Saking terkenalnya, senyum mbak Mona Lisa tercatat memecahkan rekor asuransi lukisan termahal dan dikunjungi enam juta orang setiap tahunnya di Museum Louvre.

Senyum yang tulus akan terasa di hati, karena apa yang dari hati pasti akan ke hati juga. Senyum membawa banyak kejadian positif. Mother Teresa pernah berkata bahwa kedamaian dimulai dari senyum. Tidak tanggung-tanggung, agama Islam juga mengatakan bahwa senyum itu adalah sedekah. Jadi bisa dibayangkan berapa banyak sedekah senyum yang bisa diberikan kepada orang lain, bahkan oleh orang termiskin di dunia. Semoga Hamdan ATT tidak lagi khawatir kalau-kalau menjadi orang termiskin di dunia :)

Tetapi percaya atau tidak, para ahli Biologi meyakini ekspresi senyum itu sendiri berasal dari ekspresi takut. Seorang ahli primata meneliti senyum hingga 30 juta tahun ke belakang dan menemukan kera menunjukan gigi yang mengatup rapat untuk menunjukkan predator bahwa mereka tidak berbahaya. Pernahkah anda melihat simpanse menunjukkan katupan giginya saat takut atau terancam? Nah, para ahli Biologi meyakini bahwa seiring dengan waktu, senyum berevolusi secara berbeda antarspesies, khususnya pada manusia.

Senyum pada manusia adalah cerminan sebagai ekspresi positif, termasuk rasa senang atau bahagia. Seorang psikolog bernama Duchenne mengamati bahwa kita dapat melihat senyum tulus yang berasal dari kebahagiaan yang sejati tidak hanya ditunjukkan dari daerah sekitar mulut saja, tetapi juga terlihat dari mata orang itu. Boleh bandingkan antara senyum anak-anak dengan senyum ‘oknum’ politisi di berbagai media. Jadi mungkin benar dikatakan ketulusan bisa dilihat dari mata, karena mata adalah cerminan hati.

Secara sosial, senyum adalah interaksi antarmanusia, digunakan untuk menunjukkan keinginan mendekat, berteman dan kerja sama. Manusia tidak perlu belajar untuk tersenyum. Anak yang buta sejak lahir tidak pernah melihat senyuman siapapun, tetapi mereka menunjukkan senyum yang sama pada situasi yang sama pula seperti layaknya anak lainnya. Apalagi senyum memiliki efek menular, bukan hanya membuat orang lain ikut tersenyum, jug
a memiliki efek samping membuat perasaan merasa senang atau minimal mengurangi penderitaan pada orang yang tersenyum dan orang yang disenyumi. Terbukti dari kejadian “senyum nyasar” yang saya alami.

Kehidupan kita tidak akan pernah berhenti membutuhkan senyum. Senyum adalah bahasa universal yang dimengerti oleh semua. Di tengah segala kelelahan jiwa dan kesedihan hati, senyum datang sebagai penawar. Kejadian senyum, sengaja atau tidak sengaja, dapat membuat perubahan positif di kehidupan kita. Sebagai manusia, sudah sepatutnya kita melakukan hal-hal terbaik yang bisa membuat perubahan, termasuk di antaranya ya tersenyum itu sendiri. Jadi, berikanlah senyum kita kepada seseorang hari ini.




***

Senyum tidak membutuhkan apa-apa tetapi memberikan banyak
Senyum memperkaya orang yang menerima tanpa mempermiskin orang yang memberi
Senyum memerlukan satu detik untuk melakukannya, tetapi teringat selamanya

Tidak ada yang sebegitu miskin atau lemahnya sehingga ia tidak bisa memberi senyum
Tidak ada yang sebegitu kaya atau kuatnya sehingga ia yang tidak bisa menerima senyum

Senyum tidak bisa dibeli, diminta, dipinjam, atau dicuri
Senyum hanya bisa diberikan seseorang kepada orang lain

Bila seseorang terlalu lelah untuk tersenyum, berikan dia senyummu
Sebab dia yang tidak dapat memberi senyumnya adalah yang paling membutuhkan senyum

Dan terus tersenyumlah pada dunia.

-unknown-

1 Juli 2008

Berdialog dengan Derita

Derita adalah sesuatu serupa mahkluk, karenanya ia bisa kita sapa dan kita ajak berdialog untuk dijinakkan. Penjinakkan ini bukan untuk membuat dia tidak ada melainkan sekadar membuat agar orang tidak merasakan derita yang kita punya.

Banyak orang gagal menyimpan deritanya, atau malah tak sedikit orang yang justru menawarkan derita itu kepada siapa saja. Cara ini betul-betul berbahaya karena orang semacam itu akan segera menjadi proposal masalah di hadapan orang lain. Ia akan dengan cepat menuai hasil berupa atribut sebagai orang yang ditolak dan disingkiri. Kedatangannya dianggap sebagai sumber persoalan dan pribadinya akan dianggap semacam kuman lepra.

Membiarkan suasana hati terbaca secara terbuka hanyalah suatu kemanjaan. ''Hari ini aku sedang tak enak hati, maka engkau jangan menyetel musik terlalu keras, jangan mengetuk pintu sembarangan dan jangan memancing kemarahan,'' katamu.

Pada akhirnya permintaanmu itu akan menjadi semacam kekonyolan belaka. Karena apapun suasana hatimu sekarang, dunia tetap akan berputar seperti biasa. Matahari akan tetap muncul dari timur tanpa peduli apakah engkau sedang sedih atau gembira. Maka jika engkau kedapatan tengah memanjakan kesedihanmu, memohon belas kasihan orang-orang di sekitarmu, sesungguhnya engkau sedang merepotkan banyak orang.

Kesedihan yang engkau pertontonkan adalah rapor buruk bagi hidupmu. Mengertilah, setiap orang punya beban dan kesedihannya sendiri. Maka untuk memahami bebanmu, orang boleh mengklaim tak punya waktu.

Jika ada jenis orang yang masih saja menyediakan waktu untuk menghiburmu, bukan berarti orang itu lebih bahagia darimu. Tapi karena ia benar-benar telah bekerja keras untuk itu. Ia harus menekan deritanya sendiri demi untuk menghibur deritamu. Ia sama sepertimu, orang yang mestinya juga penuh persoalan, tapi karena sedikit sekali ia mengurusnya, si persoalan itu pun putus asa. Ia menjadi sesuatu yang tak terpelihara dan akhirnya pergi sia-sia.

Itulah kenapa orang semacam itu terlihat selalu kuat, tenang dan terjaga. Engkau tak pernah bisa menebak apakah ia sedang sedih atau bahagia. Jika tengah bergembira, ia tak akan pernah terlihat berbunga-bunga. Jika tengah bersedih, ia tak pernah kedapatan kusut dan menekuk muka. Kegemparan tak pernah membuatnya kaget, kekacauan tak pernah membuatnya panik.

Kepadanyalah orang-orang takjub dan terpana. Kepadanyalah orang mengadu dan bertanya. Kedatangannya menjadi sesuatu yang ditunggu, kata-katanya adalah hiburan, perilakunya adalah keteladanan, dan pancaran pribadinya mendatangkan kegembiraan.

Apakah orang ini lalu menjadi orang suci? Tidak. Ia masih tetap orang biasa seperti kita. Bedanya, ia cuma malu menyusahkan sekitarnya dengan kesusahannya. Ia malu membuat orang lain menderita karena deritanya.

Ia paham beratnya menanggung kesedihan. Maka kesedihan orang lain akan terasa sebagai deritanya. Berpikir tentang kepentingan orang lain jauh lebih menyita kesibukannya. Ia sungguh enggan merepotkan dunia dengan urusan dan kepentingannya sendiri. Tapi anehnya, ketika orang telah merasa dirinya tidak penting, ia malah menjadi penting luar biasa.


-Prie GS-