Tampilkan postingan dengan label Pemikiran. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pemikiran. Tampilkan semua postingan

23 Mei 2010

Dan Manusia Menciptakan Kehidupan

Proses penciptaan kehidupan adalah ranah ketuhanan. Kita selalu berpikir ada sesuatu yang lebih di dalam sesuatu yang hidup selain atom-atom penyusunnya yang saling berinteraksi satu sama lain. Ada sesuatu yang kita sebut ruh atau nyawa yang merupakan daya hidup yang ditiupkan Tuhan saat sesuatu dibangkitkan dari materi yang mati menjadi kehidupan. Apa jadinya kalau manusia menemukan cara menciptakan kehidupan dari materi yang mati? Apakah dengan ini manusia mengambil alih hak penciptaan kehidupan dari Tuhan?

Hal ini menjadi pertanyaan filsuf, pakar bioetika, saintis, dan orang-orang lain yang peduli ketika dua orang biolog, Craig Venter dan Hamilton Smith berhasil menciptakan kehidupan dari benda-benda yang mati. Mereka berhasil membiakkan bakteri yang mampu bereproduksi secara mandiri dari materi genetik yang disintesis sendiri di laboratorium mereka. Mereka menciptakan kehidupan sintesis.

imageSetelah 15 tahun melakukan riset puluhan jutaan dolar, beberapa hari yang lalu Venter dan Smith mengumumkan telah melakukan sintesis kehidupan pertama kali. Perkembangan penelitian ini telah diamati oleh publik selama lebih dari satu dekade dengan beberapa keberhasilannya, mulai dari penemuan pertama kali urutan utuh DNA dari makhluk hidup (bakteri), kemudian penemuan urutan utuh DNA manusia pertama (DNA milik Venter sendiri), hingga saat ini adalah penemuan sintesis kehidupan.  Selama periode ini, karier Craig Venter sendiri mengalami pasang surut, mirip dengan perkembangan penelitiannya panjangnya ini. Ia berpindah ke berbagai pusat penelitian, dan akhirnya memulai sendiri pusat penelitiannya.

 

Penemuan sintesis kehidupan ini mungkin terlaksana berkat kemajuan bioteknologi yang sangat pesat. Proses sequencing (mengurutkan) dan sintesis DNA  semakin cepat sehingga mempersingkat waktu penelitian. Di samping itu, biaya sequencing dan sintesis DNA ini juga menurun selama satu dekade terakhir. Mungkin hal ini dapat dijelaskan dengan Hukum Gordon Moore dalam kepesatan perkembangan teknologi komputer. Pengembangan bakteri buatan ini sendiri melibatkan satu juta pasang basa DNA sintesis, sekitar seratus kali lebih panjang dari sintesis virus polio yang dilakukan oleh Eckard Wimmer pada tahun 2002.

Banyak kritik yang berkembang menanggapi klaim penciptaan kehidupan ini. Ada beberapa saintis yang mengkritik mengenai keabsahan metode dan teknik penelitian Venter. Ada pula kritik yang menyangkal bahwa penemuan ini dapat dikatakan dengan istilah “penciptaan kehidupan”. Halaman depan majalah The Economist minggu ini mengatakan, “Pedants may quibble..” (artinya silakan cari sendiri ya). Memang benar bahwa penemuan ini hanya menggantikan seluruh informasi genetik dalam bakteri, sedangkan spare part lain untuk menjalankan proses kehidupan pertama kali pembentukannya diambil dari “cangkang” bekas makhluk hidup yang telah mati.

Meskipun begitu, dengan kemampuan kehidupan buatan manusia ini bereproduksi secara mandiri, menurut saya istilah “sintesis kehidupan” adalah tepat. Keberhasilan bereproduksi secara mandiri menunjukkan bahwa informasi genetis hasil sintesis dapat mereplikasi kehidupan selanjutnya. Hal ini berarti makhluk baru ini telah berhasil membuat spare part baru untuk para keturunannya. Di samping itu, penelitian tentang produksi spare part sel juga telah berkembang dengan baik. Tahun lalu, George Church dari Harvard University telah berhasil menciptakan ribosom buatan yang merupakan pabrik spare part di dalam sel.

***

Kalau boleh didramatisir, cara kita memandang diri kita dan dunia tempat kita hidup ini akan berbeda setelah penemuan cara menciptakan kehidupan. Pada novel terkenal jaman dulu, Victor Frankenstein dibuat dari spare part dari tubuh orang mati yang kemudian dialirkan kilat untuk memberikan ruh kehidupan. Di masa depan, mungkin blue print kehidupan akan disusun dalam sebuah software komputer untuk kemudian dapat dicetak menjadi kehidupan sebenarnya. Software Microsoft Life atau Adobe DNAmaker bisa jadi akan siap dipasarkan kurang dari satu dekade lagi.

image

Dari sudut kualitas kemanusiaan, taraf kehidupan kita akan berubah secara drastis. Sintesis kehidupan memindahkan babak perkembangan kemanusiaan dari era teknologi informasi ke  era bioteknologi. Di masa depan, kita akan melihat berbagai fenomena yang terjadi miliaran tahun dapat dipersingkat prosesnya menjadi beberapa tahun, bulan, hari, bahkan jam saja. Kalau perut bumi mampu memproduksi minyak bumi selama puluhan juta tahun, bakteri artifisial di masa depan mungkin hanya membutuhkan beberapa jam saja untuk membuat minyak solar dari bakteri. Kalau kehidupan terus menemukan model yang sesuai dengan lingkungan dalam empat miliar tahun melalui mekanisme evolusi, manusia menemukan hal ini hanya beberapa waktu saja.

Saya jadi membayangkan berbagai implikasi sebagai akibat penemuan ini. Sisi positifnya adalah  sumber energi tidak lagi diperebutkan dengan produksi energi alternatif yang berlimpah; zat pencemar dapat terurai dengan mudah dengan bioremediasi modern; perubahan iklim dapat diatasi dengan perkembangan revolusi hijau; teknologi kesehatan akan bertambah baik dan murah, meneruskan perkembangan pengetahuan immunologi, endotel, dan rekayasa genetika; ekonomi akan menemukan definisi baru, ia bukan lagi studi tentang scarce resources allocation melainkan abundant resources allocation. Mengenai penemuan ini, saya jadi ingat teknologi replikator makanan di seri Startrek. Tinggal katakan makanan apa yang kita inginkan, maka makanan ini akan keluar dari mesin ini. Kalau teknologi seperti itu sudah berhasil ditemukan, apa lagi fungsi uang?

image

Meskipun begitu, sisi negatif – atau setidaknya potensi negatif – tetap mengekor pada lompatan inovasi macam ini. Penemuan sintesis kehidupan akan mirip dengan penemuan nuklir. Ia juga memiliki potensi mengancam kemanusiaan, salah satunya dengan potensi pengembangan bentuk senjata biologis baru. Teroris atau hacker muda yang serampangan bisa jadi menciptakan senjata biologis baru yang berbahaya. Resiko kecelakaan akibat ketidaksengajaan, misalnya makhuk hidup baru ini tidak sengaja lolos dari laboratorium, juga mungkin terjadi meskipun resikonya dapat ditekan menjadi semakin rendah.

Resiko berbahaya akibat teknologi sintesis kehidupan ini bisa ditangani dengan peraturan yang ketat seperti perlakuan internasional terhadap teknologi nuklir. Saat ini untuk menanggapi penemuan ini, Presiden AS telah meminta komisi bioetika di pemerintahannya untuk melakukan kajian lengkap selama enam bulan mengenai teknologi sintesis kehidupan. Sebagai alternatif, dengan berkembangnya era keterbukaan, kebijakan open source dapat jauh lebih ramah terhadap lompatan inovasi. Open source akan membuat perkembangan penemuan berguna menjadi tidak terhambat untuk mencegah resiko penemuan berbahaya.

***

Dari sudut pandang filosofis, konsep kehidupan kembali dapat dipertanyakan. Apakah kehidupan biologis itu mekanik sama seperti mekanika Newton? Dengan kemampuan menciptakan kehidupan, apakah kita akan berpandangan kehidupan biologis semakin dapat diprediksi dan tentunya dimanipulasi? Kalau dulu evolusi mengambil alih perkembangan kehidupan melalui mekanisme mutasi dan seleksi alam, penemuan sintesis kehidupan ini memindahkan mekanisme kendali alam ke mekanisme tangan manusia. Yang pasti, kajian bioetika akan semakin marak dengan adanya penemuan ini. Dan juga kita akan menunggu perdebatan macam Harun Yahya terhadap evolusinya.

Bagaimana dengan konsep ketuhanan? Penemuan sintesis kehidupan akan mendefinisikan kembali konsep ketuhanan, seperti sejarah penemuan teknologi lainnya yang terus meredefinisi konsep ketuhanan. Istilah “Playing God” tertulis dalam berbagai komentar dan kritik terhadap penemuan teknologi ini, seperti dulu ketika pemahaman heliosentris dan nuklir berkembang.  Entah bagaimana konsep ketuhanan nanti akhirnya, tapi yang pasti ia akan terus berubah seiring dengan waktu.

Dahulu kala, ketika manusia masih tergantung dengan alam, benda-benda yang menentukan hajat hidup manusia dipertuhan. Kita mengenal era Dewa matahari di masyarakat pertanian, Dewa bulan di masyarakat penggembala padang pasir, dan Dewa sungai, gunung, atau hutan pada masyarakat yang tinggal dekat tempat-tempat ini. Dan ketika manusia mulai dapat mengendalikan alam, manusia membangun konsep keilahian untuk menjelaskan berbagai fenomena yang tidak dapat dijelaskan. Tuhan menjadi pencipta dan pengatur yang terlibat langsung dengan dengan kehidupan di dunia.

Saat ini, makin banyak fenomena yang mampu dijelaskan oleh manusia. Dengan penemuan ini saja, fenomena kehidupan yang dulu merupakan urusan ketuhanan telah diketahui mekanismenya oleh manusia. Jadi ke mana konsep ketuhanan akan mengarah? Mungkin saja atheisme akan menjamur dengan banyaknya orang yang menyerah terhadap ketuhanan. Meskipun begitu, tetap saja banyak manusia yang membutuhkan spiritualitas, menyerahkan sesuatu yang tidak ia pahami atau mampu lakukan terhadap ‘sesuatu’ yang didefinisikan Tuhan.

Mungkin pemahaman ketuhanan akan bergerak ke arah transendensi. Tuhan yang tidak bisa dideteksi oleh indera, tidak terpikirkan oleh akal logika rasional, dan tidak tercakup imajinasi manusia. Tuhan yang tidak begini dan tidak begitu, tidak ada yang menyerupai-Nya. Dengan begini, maka Tuhan yang tidak terlibat dengan dunia. Mungkin seperti kata Ibnu Rusydi menanggapi kritik Al-Ghazali terhadap filsuf: Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang kecil. Mungkin Dia menyerahkannya kepada manusia.

21 Februari 2010

Bicara Soal Sarjana Biologi (Lagi)

HimaBio Nymphaea

Sekarang saya mau kembali urun bicara soal sarjana Biologi. Pada tulisan dulu sebelumnya, saya sudah pernah bicara mengenai urusan sarjana Biologi ini. Saat ini, saya hanya mau sekedar melakukan update saja mengenai perubahan kesimpulan apa saja yang terjadi setelah hampir tujuh tahun saya menyelesaikan pendidikan sarjana Biologi dan melanjutkan pelajaran saya ke dunia kerja.

Sebenarnya, corat-coret iseng mengenai sarjana Biologi ini adalah pe-er yang sangat sengaja saya berikan ke diri saya sendiri untuk dikerjakan secepatnya. Bukannya apa-apa, dari beberapa interaksi dengan sahabat  serta melihat beberapa hit pencarian di blog saya, ternyata banyak orang yang memerlukan informasi seputar pekerjaan untuk para sarjana Biologi.

Setelah saya lihat lagi di situs pencarian google, ternyata urusan pekerjaan untuk sarjana Biologi ini memang agak jarang ditemui. Saya jadi bertanya: apa iya keahlian sarjana Biologi tidak banyak dibutuhkan di lapangan pekerjaan di Indonesia? Ataukah memang dunia tenaga kerja memang hanya sedikit yang membutuhkan secara spesifik lulusan Biologi? Atau malah jangan-jangan sarjana Biologi ini dihindari dalam pencarian kebutuhan tenaga kerja?

Kalau boleh sedikit berkata sarkastik (jangan marah lho ya..), pandangan orang umum tentang sarjana Biologi saat ini adalah seputar orang-orang yang memperhatikan lingkungan, atau jago menghafal bentuk dan nama latin hewan dan tumbuhan, atau peneliti di lab dengan jas putih, atau malah kutu buku (geek). Sementara sarjana Biologi yang telah jauh meninggalkan dunia Biologi, melepaskan sejarah ke-Biologi-annya bergerak ke dunia yang lebih ‘nyata’.

Apa memang begitu ya?

***

Saya mengklasifikasikan diri saya sebagai orang yang kuper untuk mengetahui dunia pekerjaan untuk lulusan Biologi. Baik di pekerjaan maupun lingkungan permainan saya, jarang sekali ada lulusan Biologi yang saya temui. Kabar tentang lulusan Biologi ini paling-paling saya ketahui melalui kabar burung atau kabar elektronik dari teman-teman seperjuangan ketika masa perkuliahan. Makanya, dengan rendah diri (bukan rendah hati ya? :D) saya mengakui ke-kuper-an saya terhadap para lulusan Biologi lain.

Misalnya saja, di pekerjaan yang saat ini sedang saya tekuni di dunia perawatan kesehatan (healthcare), tidak banyak sarjana Biologi yang nyangkut. Kalaupun ada, biasanya terjadi karena kebetulan-kebetulan, ketidaksengajaan-ketidaksengajaan, atau malah kecelakaan-kecelakaan. Jadi bukan sesuatu yang by-design, melainkan lebih banyak yang by-accident.

Negara Indonesia lumayan tertinggal di bidang perawatan kesehatan dibandingkan negara lain. Bahkan di ASEAN, sistem perawatan kesehatan kita hanya sedikit lebih baik dibandingkan Myanmar. Sedangkan, negara Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei, bahkan Vietnam sudah cukup jauh meninggalkan kita. Kita membutuhkan “akselerasi intelektual” untuk menjawab permasalahan dunia kesehatan dan untuk itu dibutuhkan isi kepala sarjana Biologi untuk menjawab sebagian tantangan ini. 

Oleh karena itu, dunia perawatan kesehatan dapat lebih berkembang kalau sarjana Biologi dapat by-design dapat mengintegrasikan diri ke dalamnya. Sejauh ini, dari beberapa kali saya terlibat membantu wawancara untuk mengisi lowongan pekerjaan di perusahaan, tidak ada lulusan Biologi yang by-design bergabung untuk mengembangkan karir di dunia perawatan kesehatan. Lebih tepatnya, saya belum pernah mewawancarai lulusan Biologi untuk lowongan pekerjaan di perusahaan saya! Padahal, perusahaan saya tidak malu-maluin, lho (promosi sedikit ah..)

Sumbangsih lulusan Biologi terhadap dunia perawatan kesehatan ini memang agak ketinggalan. Entahlah saat ini apakah sudah ada perubahan kurikulum atau belum, tetapi tujuh tahun yang lalu ketika saya meninggalkan dunia sekolahan Biologi, lulusannya belum dididik untuk siap kerja di dunia perawatan kesehatan. Paling jauh, baru siap didik dan latih untuk belajar lagi mengenai dunia perawatan kesehatan.

Masalahnya, di dunia perawatan kesehatan Indonesia yang lumayan ‘feodal’, sangat jarang perusahaan yang mau melatih dari awal. Kebanyakan perusahaan farmasi atau alat kesehatan pragmatis, hanya mau melatih sumber daya manusia-nya untuk keterampilan hilir saja. Bidang hulu memakan biaya investasi cukup besar dan pengembalian yang lama sehingga resikonya menjadi sangat tinggi dan sedapat mungkin dihindari. Tetapi dengan tingkat kebutuhan pengembangan dunia perawatan kesehatan yang tinggi, apa iya keterampilan hilir saja cukup untuk mengembangkan dunia perawatan kesehatan ini?

Sekali lagi, ini mungkin saja karena kekurang-gaulan saya saja bisa-bisanya menyimpulkan hal yang begini-begini. Entah ada apa yang lain? :)

(bersambung)

 

2 Februari 2010

Antara Dogma dan Ilmu (Bagian Pertama)

Beberapa waktu kemarin saya menemukan definisi sekaligus perbandingan yang menarik mengenai dua buah kata yang hingga sekarang saya sendiri belum rampung mendefinisikannya. Kata yang pertama adalah ilmu dan kata yang kedua yang kedua adalah dogma. Berbicara mengenai berbagai aspek kehidupan manusia, mulai dari politik, agama, manajemen, sains, sampai tradisi suatu masyarakat ternyata bisa didekati dari perbandingan antara ilmu dan dogma ini :

Dogma adalah sebuah proses simplifikasi (penyederhanaan) terhadap persoalan yang rumit, sedangkan ilmu adalah proses sofistikasi (perumitan) terhadap persoalan yang sederhana.

Sebelum ini, saya sangat tidak menyepakati bahkan menggugat keberadaan dogma. Saya sempat menuliskannya mulai dari tulisan tentang pendidikan yang (tidak) membebaskan, iman dan ilmu, dan voltaire. Belakangan juga ada tulisan mengenai beberapa kesejarahan Islam yang sebelum-sebelumnya luput dari daftar khasanah pengetahuan ingin saya pelajari.

Pokoknya dogma harus dibongkar, semua fakta harus dibuka sehingga transparan. Pendekatan kebenaran yang lebih obyektif harus mungkin dipelajari. Semua produk penakut-nakutan yang membumbui bahkan akhirnya cenderung menjadi bagian utama dalam dogma harus dipreteli sampai ‘the naked truth’ terpampang lebar di mata kita.

Dengan melakukan pendekatan dogma vs ilmu ini, ternyata kesimpulan sedikit saya mulai bergeser. Kesimpulan saya sejauh ini bahwa dalam keadaan secara umum, dogma tetap diperlukan. Pada jenis keadaan lain, dogma harus mulai diilmukan alias disoftifikasikan, diperumit, dicari latar belakang kesejarahannya, dan diungkap detail-detailnya.

Mengapa begitu? Kita hidup di dunia yang overinformasi. Terlalu banyak hal yang perlu kita ketahui untuk sekedar menjalani hidup yang rata-rata. Saya jarang pernah selesai membaca koran Kompas dalam satu hari, padahal mengetahui informasi harian model ini adalah merupakan suatu standar menjalankan hidup yang rata-rata di kosmopolitan macam Jakarta. Ada hal-hal dalam kehidupan yang cukup didogmakan saja. Hal-hal yang disederhanakan tanpa perlu pusing-pusing memikirkan kerumitannya. Wisdom of crowd yang sering menjadi dogma akhirnya menentukan standar berbagai aspek kehidupan sosial.

Dalam kehidupan sehari-hari, ternyata hal-hal yang rumit tidak perlu disajikan semua, cukup di-dogma-kan alias disederhanakan agar mudah dipahami. Detail-detail dihilangkan, generalisasi dan stereotyping dilakukan, taklid buta alias mengikuti perintah tanpa pertanyaan sering kali dijanjikan jaminan keberhasilan. Faktor-faktor emosional bahkan spiritual (kalau memungkinkan) mulai ditambahkan untuk meningkatkan peluang keberhasilan tujuan proses pendogmaan ini.

Saya jadi bertanya: sampai sejauh mana proses dogma tetap diperlukan? Pada titik mana kita dapat mulai melakukan proses ilmu-isasi, pendidikan yang membebaskan dan mencerahkan? Seberapa banyak tingkat penerimaan saya terhadap sofistikasi ilmu secara objektif? Apakah sebenarnya proses ilmu-isasi, menyelam dalam dan terbang tinggi, adalah proses yang sepi dan menyendiri?

Terus terang, saya sering terkejut sendiri ketika tersadar bahwa bangunan pikiran saya ternyata banyak bertumpu pada dogma. Saya sangat sebal ketika saya harus terdiam tidak bisa menjawab ketika ada saja orang yang memberi pertanyaan yang mengusik, “Apa benar begitu?  Kenapa jalan pikiranmu kok kontradiktif? Dalam satu hal jalan pikirmu begini, hal lain jalan pikirmu menentang jalan  pikir sebelumnya? Buat apa hidup kontradiktif begitu?”, dan lain sebagainya.

Tapi akhir-akhir ini kekhawatiran saya semakin berkurang. Toh, ternyata ada dogma yang baik dan memperbaiki, meskipun ada pula yang dogma yang buruk dan menambah buruk. Seperti juga ada ilmu yang baik dan bermanfaat dan di sisi lainnya ada pula ilmu sesat dan menyesatkan. Pada akhirnya, baik atau tidaknya dogma dan ilmu dinilai dari dampaknya, seberapa besar manfaat atau malah kerugian bagi masyarakat yang dihasilkan dari suatu dogma atau ilmu.

(bersambung)

28 Desember 2009

Al-Quran : Antara Lisan dan Tulisan (Bagian 1)

Coba bayangkan apa jadinya kalau tulisan tidak pernah diciptakan? Berapa banyak ide yang harus kita jelaskan berulang kali kalau teknologi mesin cetak tidak berhasil ditemukan oleh Gutenberg? Seberapa lama inspirasi dapat bertahan sebelum terdistorsi atau punah? Seberapa cepat kita mengirim kabar kepada orang di belahan dunia lain kalau email, sms, dan Blackberry messenger tidak pernah ditemukan?

 

Penemuan tulisan berkembang paralel dengan perkembangan aspek budaya manusia lainnya. Tulisan hierogliph ditemukan oleh bangsa Mesir sekitar 3200 SM. Selanjutnya, bangsa Sumeria berhasil mengembangkan huruf cuneiform sekitar 1900 SM. Perkembangan tulisan merupakan perkembangan komunikasi tulisan sehingga mengizinkan populasi manusia melakukan koordinasi antarsesama sehingga dapat melakukan aktivitas sosial yang lebih kompleks.

Penemuan tulisan memiliki dampak signifikan bagi manusia dalam proses penyimpanan ‘keabadian informasi’. Tulisan dapat menyampaikan pesan kepada manusia lain di tempat dan waktu yang jauh melampaui bahkan penulisnya sendiri. Hingga saat ini kita masih dapat menikmati karya sastra yang disusun ribuan tahun yang lalu.

Tradisi tulisan berkembang dengan sukses hingga masyarakat modern saat ini. Di lingkungan pekerjaan, saya sering meminta kolega kantor untuk mengirimkan email dibandingkan dengan menelepon. Dalam ilmu pengetahuan pun kita bertanya, “Darimana literaturnya sehingga ada pendapat seperti itu?” Dalam agama Islam kita juga sering bertanya, “Al-Quran ayat berapa? Hadits riwayat mana?” Sepertinya, tulisan terasa lebih kuat dibandingkan dengan hanya ucapan lisan.

***

Pada sisi yang berbeda, budaya lisan atau non-tekstual juga berkembang pesat di pusat kebudayaan lainnya. Fenomena turunnya Al-Quran di dunia Arab sekitar awal abad ke-7 juga terjadi pada masyarakat Quraisy yang berkebudayaan lisan. Nabi Muhammad adalah seorang ummi yang tidak mengenal sistem penulisan. Hal ini terjadi karena tulisan bukan merupakan hal yang penting di suku-suku Arab. Ketika itu, syair dan puisi secara rutin diceritakan bahkan diperlombakan, tetapi sangat jarang ditulis. Makanya, sejauh ini belum ditemukan karya sastra yang dihasilkan oleh bangsa Arab sebelum masa kenabian Muhammad. Sementara itu, banyak tokoh syair dan puisi terkenal yang mengekspresikan karyanya melalui lisan tercatat dalam sejarah. Umar bin Khattab adalah seorang yang sangat disegani oleh suku Quraisy karena kepiawaiannya dalam berorasi dan membacakan syair.

Tentunya Al-Quran tidak turun secara makblug sempurna dalam bentuk bundelan buku yang kita tahu seperti sekarang. Al-Quran yang terdiri 6236 ayat turun selama dua puluh tiga tahun secara berangsur dalam tradisi lisan yang kuat. Satu demi satu ayat disampaikan kepada sahabat disertai dengan penjelasannya. Kadang ada beberapa pertanyaan sahabat yang tidak dapat dijawab oleh Nabi Muhammad didiamkan beberapa lama untuk kemudian belakangan dijawab oleh Al-Quran. Dari hal ini, kalau boleh kita katakan, manusia juga turut berperan aktif secara dialogis dalam pembentukkan ayat-ayat Al-Quran.

Hukum-hukum dalam Al-Quran juga ditetapkan dalam secara berangsur. Sering kali hukum mengenai suatu hal turun pada ayat dan periode yang berbeda. Misalnya, dalam masyarakat Arab yang menggemari minuman yang memabukkan, hukum mengharamkan Khamr turun secara berangsur sebanyak tiga kali sesuai dengan kebutuhan perubahan sosial yang terjadi ketika ayat-ayat ini diturunkan. Jadi, Al-Quran diturunkan secara berangsur menyesuaikan tradisi lisan yang dialogis sesuai dengan kebutuhan masyarakat Arab ketika itu.

Pada masyarakat modern yang akrab dengan tradisi tulisan seperti sekarang, ucapan lisan Al-Quran telah dikonversikan menjadi tulisan, yaitu bundelan buku kitab yang kita gunakan sehari-hari. Meskipun prosesnya tidak selalu mulus, proses tekstualisasi Al-Quran dimulai sejak masa Abu Bakar dan telah berjalan sedemikian panjang dan matang.

Proses penyusunaan Al-Quran menjadi bundelan kitab yang sekarang kita lihat sehari-hari bukan merupakan cerita yang sederhana. Ketika Nabi Muhammad wafat, banyak sahabat yang mengumpulkan koleksi suhuf (mushaf) hasil catatan perkataan Muhammad mengenai Al-Quran. Agar tidak tercampur, Muhammad melarang sahabat mencatat perkataannya selain yang berasal dari Al-Quran. Hadits yang merupakan kata-kata Muhammad selain Al-Quran hanya diceritakan secara turun temurun dan baru mulai ditulis setelah lebih dari seratus tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad.

Kembali ke sejarah Al-Quran, beberapa versi mushaf mulai berkembang setelah wafatnya Nabi Muhammad, seperti misalnya pada mushaf Ibnu Abbas, mushaf Ubay bin Ka’ab, mushaf Ibnu Mas’ud, dan mushaf Ali. Masing-masing memiliki urutan dan jumlah surat yang berbeda satu sama lain, dari mulai 108 surat hingga ada yang mencapai 116 surat. Perbedaan ini terjadi mungkin karena berbagai faktor, salah satunya penghitungan dobel terhadap jumlah surat. Sejalan dengan perkembangan daerah kekuasaan Islam pada masa Abu Bakar dan Umar, masing-masing versi mushaf ini dikirimkan ke berbagai penjuru kesultanan Islam yang ketika itu semakin meluas.

Ketika masa pemerintahan Abu Bakar atas inisiatif Umar, proses pengumpulan mushaf ini mulai dilakukan. Ada pendapat yang menyatakan latar belakang pengumpulan mushaf pada masa Abu Bakar ini terjadi karena banyaknya penghafal Al-Quran yang wafat saat perang Yamamah. Ada pula yang berpendapat sebagian korban yang mati ketika perang Yamamah ini rata-rata orang yang baru masuk Islam dan hanya sedikit saja yang merupakan penghafal Al-Quran. Ada pula versi yang menyatakan pengumpulan mushaf ini tidak pernah disetujui oleh Abu Bakar dan merupakan inisiatif Umar secara personal.

Mushaf Utsmani di Museum Topkafi - Turki

Pada masa kekhalifahan Utsman, mushaf Utsmani dinyatakan menjadi mushaf resmi. Susunan surat pada bentuk final Al-Quran hingga saat ini adalah hasil kesepakatan para ahli pada masa Utsman ini, yaitu dengan jumlah surat sebanyak 114 buah, dimulai dengan Al-Fatihah diakhiri dengan An-Nas. Tentu saja wajar kalau ada hal politis pada masa itu yang melatarbelakangi keputusan meresmikan mushaf Utsmani ini sebagai satu-satunya referensi. Dampaknya, berbagai macam mushaf lainnya yang beredar di masyarakat Islam pada masa itu ditarik dari peredaran dan dimusnahkan. Mushaf Utsmani ditulis ulang beberapa kopi dan dikirim ke seluruh Gubernuran Islam pada masa itu. Hal ini dapat dikatakan sebagai usaha penyeragaman teks Al-Quran pertama kalinya.

Mushaf Utsmani ini menggunakan alfabet yang masih sangat sederhana. Penitikan pada huruf Arab belum dikenal sehingga misalnya huruf ba’, ya’, nun masih serupa. Selain itu tanda baca seperti fathah, kasrah, dhammah juga belum dikenal. Karena masyarakat Islam bukan lagi hanya bangsa Arab saja yang bisa berbahasa Arab (Al-Quran), melainkan ada bangsa Persia, Mesir, dan lainnya, mulai terjadi keragaman bacaan karena ketidakmengertian bahasa Arab ini.

Pada abad ke-9, Dinasti Abbasyiah mulai menyempurnakan huruf alfabet Arab dalam rangka penyeragaman kembali cara membaca Al-Quran. Ketika itu, ragam cara membaca Al-Quran itu mulai dikurangi dengan mulai diperkenalkannya sistem titik huruf dan tanda baca baru pada huruf Arab. Puncaknya, Ibnu Mujtahid, cendikiawan pada masa itu memilih tujuh ragam bacaan dari begitu banyak versi bacaan Al -Quran ketika itu. Kejadian ini dapat dikatakan sebagai usaha penyeragaman teks Al-Quran yang kedua.

Al-Quran abad ke-18 di sebuah museum di Bukittinggi, Sumatera Barat

Menjelang abad ke-20, hanya tiga dari tujuh versi bacaan Al-Quran yang tersisa, yaitu versi Nafi, versi Abu Amr, dan versi Asim. Sekitar tahun 1924, Mesir menjadi negara pertama yang melakukan percetakan Al-Quran dengan menggunakan mesin cetak otomatis. Al-Quran ragam bacaan Asim yang dipilih waktu itu menjadi standar cetak menjadi paling populer di kalangan umat Islam di seluruh dunia. Terlebih lagi, Arab Saudi setelah itu menyebarkan jutaan cetakan Al-Quran ini sebagai program hibah ke berbagai negara di seluruh dunia.

Kesejarahan Al-Quran inilah yang membuat ucapan lisan Al-Quran yang awalnya memiliki variasi yang sangat tinggi dapat berubah menjadi bundelan teks yang seragam dan dapat dikatakan final. Setelah penyeragaman susunan dan jumlah ayat Al-Quran, penambahan titik huruf-tanda baca huruf Arab, percetakan modern Al-Quran yang dapat menggandakan banyak kali dalam waktu yang singkat menjadi usaha penyeragaman terkini dan mungkin paling sukses hingga saat ini.

Al-Quran modern yang dicetak dengan mesin cetak modern

Nah, kalau begitu bagaimana kira-kira caranya menyikapi Al Quran setelah proses panjang konversi tradisi lisan Al-Quran menjadi bundelan Al-Quran pada masa kini? Silakan tunggu tulisan berikutnya.

(bersambung)

9 November 2009

Festival Kebudayaan Islam : Sejarah dan Kisah

“Apa perbedaan antara sejarah dengan kisah?”, pertanyaan ini yang saya coba cari di google. Setelah saya klik pautan Yahoo!Answer yang berkaitan dengan pertanyaan ini, saya tidak puas dengan jawaban bahasa Indonesia. Lalu saya cari lagi kata kunci ini dalam bahasa Inggris, “What is the difference between history and story?” Ternyata saya temukan jawaban di wiki.answer.com seperti ini :

History is meant to be an objective narrative description of past events, while a story will be a subjective narrative description of either real past events or imaginary people and events.

Sejarah adalah rangkaian cerita yang objektif mengenai kejadian masa lalu, sedangkan kisah adalah rangkaian cerita yang subjektif bisa faktual atau imajiner mengenai kejadian masa lalu atau orang di masa lalu. Ilmu sejarah saat ini tidak lagi berada pada tingkat pengetahuan (knowlegde), tetapi telah beralih ke tingkat ilmu pengetahuan (sains). Metodologi ilmu sejarah semakin menuntut fakta objektif, seperti layaknya juga ditemui pada cabang ilmu pengetahuan lain yang juga menuntut bukti-bukti empiris.

Sejarah memiliki informasi penting sebagai sumber pengetahuan dan pembelajaran berkat tingkat objektifitas dan faktualitas yang tinggi. Dari sejarah kita dapat mengetahui secara objektif bagimana mekanisme kebudayaan suatu peradaban berkembang dan bisa mengetahui faktor keberhasilan dan kegagalan suatu peradaban.

Bagaimana posisi ‘kisah’ pada struktur pengetahuan masyarakat modern? Nilai moral dan kebijaksanaan yang terkandung di dalam suatu kisah dapat menjadi sumber pengetahuan dan pembelajaran. Mengenai faktualitas, alias terjadi atau tidaknya suatu kisah bukan menjadi nilai penting untuk dikonfirmasi kebenarannya. Kalaupun ada unsur fakta dalam suatu kisah, hal ini merupakan suatu kewajaran untuk memudahkan pemahaman pembaca terhadap nilai moral yang berusaha disampaikan.

Pada masa awal peradaban Islam, metodologi sejarah belum berkembang. Kisah mengenai tokoh politik dan keagamaan sering kali digambarkan secara metaforis dan hiperbolis. Belakangan, Ibnu Khaldun (1332-1406) asal Tunisia merupakan salah satu ilmuwan sejarah Islam yang menegaskan perbedaan antara sejarah dan kisah.

Menurut Ibnu Khaldun, para pemikir sebelum masanya cenderung tidak sistematis dalam mengemukakan analisis sejarah. Kebanyakan dari mereka bahkan tidak menggunakan analisis, melainkan deskripsi semata. Pendekatan semacam itu sangat berbahaya karena akan mereduksi realitas sebenarnya menjadi hanya yang tampak di permukaan.

Para peneliti sebelum Ibn Khaldun bahkan tidak mampu membedakan antara asumsi dan fakta sejarah. Hal itu bisa terlihat dalam fakta-fakta sejarah yang dikemukakan acapkali tidak masuk di akal. Logis tidaknya sebuah peristiwa yang diceritakan menjadi salah satu parameter kunci untuk memastikan apakah peristiwa itu memang benar terjadi atau kisah turun temurun.

Adalah sebuah kerepotan kalau kita menyamakan antara sejarah dan kisah. Sebuah sejarah cenderung realistis dan manusiawi, sedangkan kisah sering kali memasukkan unsur metafora dan melebih-lebihkan (hiperbola). Kalau detil-detil sebuah kisah dianggap sebagai fakta, kita jadi cenderung ‘ahistoris', tidak realistis, dan tidak manusiawi. Bisa jadi kita malah terpaku meyakini imajinasi dalam kisah sebagai hal yang faktual dan gagal menangkap pesan moral dalam kisah itu.

***

Isra’ Mir’aj

Kalau kita masuk ke dalam kebudayaan Islam klasik, kisah dan sejarah di masa lalu masih belum dapat dibedakan. Penulis sejarah (kisah) pertama nabi Muhammad adalah seorang tabiin bernama Ibnu Ishaq sekitar abad pertama Hijriah (d. 767M). Hasil tulisannya mempengaruhi beberapa penulis lain, antara lain Ibnu Hisyam (d. 833M) dan At-Tabari (d. 923M).

Kerepotan ‘sejarah vs kisah’ misalnya terjadi pada Isra’ Mir’raj. Versi yang kita tahu selama ini terutama berasal dari kitab Sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisyam. Lebih lengkap mengenai Sirah ini dapat dilihat di tautan ini. Berikut ini saya ambilkan cuplikan kisah yang kita ketahui secara umum dari pautan wikipedia versi Indonesia ini :

Peristiwa Isra Mi'raj terbagi dalam 2 peristiwa yang berbeda. Dalam Isra, Nabi Muhammad SAW diberangkatkan oleh Allah SWT dari Masjidil Haram hingga Masjidil Aqsa. Lalu dalam Mi'raj Nabi Muhammad SAW dinaikkan ke langit sampai ke Sidratul Muntaha yang merupakan tempat tertinggi. Di sini beliau mendapat perintah langsung dari Allah SWT untuk menunaikan shalat lima waktu.

Kisah yang diambil dari kitab Ibnu Hisyam ini adalah sumber utama cerita Isra' Mi'raj. Di belakang hari, beberapa ulama menafsirkan beberapa ayat-ayat Al-Quran sebagai referensi kisah Isra' Mi'raj ala Ibnu Hisyam. Tentang Isra' diambilkan ayat 17:1, yaitu surat Al Isra' atau bani Israel, yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia sbb:

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (17:1)”

Sedangkan ayat Mi'raj diambilkan dari surat An Najm, yaitu surat ke-53 (dalam Mushaf Utsmani). Secara literal, kata ‘Mi’raj’ tidak ditemukan pada Al-Quran. Ayat ini diambil sebagai referensi karena terdapat kata ‘Sidratil Muntaha’ yang merupakan tempat yang dikunjungi Nabi Muhammad ketika Mi’raj. Berikut ini adalah terjemahan Bahasa Indonesia ayat ini :

Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (53:13)

(yaitu) di Sidratil Muntaha. (53:14)

Di dekatnya ada syurga tempat tinggal, (53:15)

(Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. (53:16)

 

***

Ada beberapa permasalahan kalau ayat-ayat ini dijadikan referensi kisah Isra’ Mi’raj’. Pada kisah Isra’, kata ‘Masjidil Aqsa’ pada ayat 17:1 ditafsirkan sebagai Masjid Al-Aqsa di Jerusalem. Padahal  bangunan Masjidil Aqsa itu sendiri baru didirikan setelah kematian nabi Muhammad. Ada yang berpendapat pembangunan pertama pada kekhalifahan Umar. Belakangan ada versi lain yang menyebut pembangunan pertama dilakukan pada awal masa dinasti Ummayah.

Selanjutnya, pada masa Abdul Al-Malik dari Dinasti Abasyiah (690M), di sebelah Masjidil Aqsa dibangun masjid yang lebih besar lagi bernama Masjid Qubbat As-Sakhrah (Dome of Rock) yang kadang juga disamakan dengan Masjidil Aqsa (sebenarnya berbeda). Jadi pada waktu nabi Muhammad melakukan perjalanan Isra’ kedua bangunan ini belum ada.

Beberapa tafsir modern, seperti misalnya tafsir Yusuf Ali, menerjemahkan ‘Masjidil Aqsa’ pada ayat 17:1 sebagai ‘tempat sujud terjauh’. Tempat sujud terjauh pada zaman nabi hidup ditafsirkan sebagai Baitul Maqdis di Jerusalem yang saat itu masih dalam kekuasaan kerajaan Persia dan merupakan kiblat shalat umat Muslim ketika itu.  Baru pada masa kekhalifahan Umar-lah kekuasan Islam mencapai Jerusalem sehingga Masjidil Aqsa dapat direalisasikan sebagai bangunan masjid.

Sebuah alternatif tafsir yang juga berbeda, ayat 17:1 ini kalau kita lihat dalam konteks urutan ayatnya lebih cocok direferensikan pada kisah Bani Israel yang memiliki kebiasaan berjalan (hijrah) pada malam hari. Berikut ini kita lihat urutan ayat Al-Isra :

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-hambaNya (Bani Israil) pada suatu malam dari tempat sujud yang suci (Masjidil Haram) ke tempat sujud yang terjauh (Masjidil Aqsa) yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (17:1)

Dan Kami berikan kepada Musa kitab (Taurat) dan Kami jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman): "Janganlah kamu mengambil penolong selain Aku, (17:2)

(yaitu) anak cucu dari orang-orang yang Kami bawa bersama-sama Nuh. Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur. (17:3)

Ketidaksinkronan ini juga terjadi pada kisah Mir’raj’. Kita mengetahui bahwa Al-Quran yang diwahyukan ayat per ayat secara berangsur, Surat An-Najm yang dipandang sebagai ayat legitimasi Mi'raj itu secara urutan turun lebih dulu dibandingkan dengan Al-Isra’ ayat 1, paling tidak lima tahun sebelumnya.

Dari mengacu dari segi waktu turunnya ayat, berarti Isra dan Miraj tidak terjadi secara bersamaan. Apakah mungkin peristiwa Mi’raj’ tidak terjadi dalam satu malam dengan peristiwa Isra’, melainkan terjadi lima tahun lebih cepat dari Isra’ ?

***

Argumen kedua ayat ini sebagai referensi faktual Isra’ dan Mi’raj’ sulit untuk dipertahankan. Sejauh ini, kisah Isra’ Mir’aj baru dapat direferensikan oleh kitab Sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisyam. Kitab biografi Muhammad klasik yang lain tidak pernah menyebutkan kisah ini, seperti misalnya pada kitab Tarikh al-Tabari.

Memahami pesan moral yang dibangun pada kisah Isra’ Mi’raj’ ini memiliki hikmah tersendiri. Meskipun begitu, mempercayai kisah Isra’ Mi’raj versi Ibnu Hisyam secara detail sebagai hal yang benar-benar terjadi (faktual) memiliki resiko bagi kita menjadi seorang yang ahistoris dan tidak realistis.

Belum ada kesepakatan di antara ulama kapan Isra’ Mi’raj ini terjadi, bisa dilihat pada tautan ini. Di Indonesia yang penduduknya mayoritas Muslim bermazhab Syafi’i, peringatan Isra’ Mi’raj ini dirayakan setiap tanggal 27 Rajab turun-temurun secara besar-besaran dan merupakan hari libur resmi keagamaan.

Sebenarnya masih banyak lagi fenomena ‘sejarah vs kisah’ lain. Tapi kok jadi serius dan terlalu panjang ya? Pusing-pusing, buat orang Indonesia yang penting kan jadi hari libur.. Ya nggak? :)

6 Juli 2008

Senyum : Insiden, Sejarah, dan Keseharian

Beberapa hari belakangan ini saya mengamati fenomena senyum. Awalnya terjadi ketika saya sedang berada di kursi depan penumpang pada mobil berkeliling di kota Cirebon. Dengan pandangan ke depan, gurauan seorang teman yang duduk kursi belakang tidak habis-habisnya membuat saya tersenyum lebar. Tidak sengaja, segera saya sadari ternyata ada seorang perempuan di boncengan motor di depan saya yang tersenyum balik membalas sesuatu yang tidak pernah dialamatkan untuknya.

Teman di duduk belakang ini juga segera menyadari dan mengomentari dengan gurauan budaya masyarakat Cirebon dan sekitarnya, yang memang relatif terbuka terhadap interaksi antarjenis. Obrolan dan gurauan pun terus mengalir. Tapi di balik semua itu, kejadian senyum ‘nyasar’ ini ternyata membuat perasaan baik dan menginspirasi saya hingga akhir hari itu. Kecelakaan senyum ‘nyasar’ inilah yang awalnya membuat saya melihat lebih dekat dan mencari lebih dalam hal-hal seputar senyum.

***

Kalau diurut-urut, mungkin senyum yang paling terkenal adalah senyum Mona Lisa yang misterius itu. Sang pelukis, Leonardo Da Vinci, terkenal jarang menyelesaikan dan meninggalkan karya-karyanya, tapi mbak Mona Lisa yang awalnya dilukis di Itali ini ikut hijrah ke Prancis dan akhirnya terselesaikan menjelang kematian Leonardo pada 1519. Seiring dengan waktu, Monalisa dari yang biasa-biasa saja menjadi semakin terkenal. Saking terkenalnya, senyum mbak Mona Lisa tercatat memecahkan rekor asuransi lukisan termahal dan dikunjungi enam juta orang setiap tahunnya di Museum Louvre.

Senyum yang tulus akan terasa di hati, karena apa yang dari hati pasti akan ke hati juga. Senyum membawa banyak kejadian positif. Mother Teresa pernah berkata bahwa kedamaian dimulai dari senyum. Tidak tanggung-tanggung, agama Islam juga mengatakan bahwa senyum itu adalah sedekah. Jadi bisa dibayangkan berapa banyak sedekah senyum yang bisa diberikan kepada orang lain, bahkan oleh orang termiskin di dunia. Semoga Hamdan ATT tidak lagi khawatir kalau-kalau menjadi orang termiskin di dunia :)

Tetapi percaya atau tidak, para ahli Biologi meyakini ekspresi senyum itu sendiri berasal dari ekspresi takut. Seorang ahli primata meneliti senyum hingga 30 juta tahun ke belakang dan menemukan kera menunjukan gigi yang mengatup rapat untuk menunjukkan predator bahwa mereka tidak berbahaya. Pernahkah anda melihat simpanse menunjukkan katupan giginya saat takut atau terancam? Nah, para ahli Biologi meyakini bahwa seiring dengan waktu, senyum berevolusi secara berbeda antarspesies, khususnya pada manusia.

Senyum pada manusia adalah cerminan sebagai ekspresi positif, termasuk rasa senang atau bahagia. Seorang psikolog bernama Duchenne mengamati bahwa kita dapat melihat senyum tulus yang berasal dari kebahagiaan yang sejati tidak hanya ditunjukkan dari daerah sekitar mulut saja, tetapi juga terlihat dari mata orang itu. Boleh bandingkan antara senyum anak-anak dengan senyum ‘oknum’ politisi di berbagai media. Jadi mungkin benar dikatakan ketulusan bisa dilihat dari mata, karena mata adalah cerminan hati.

Secara sosial, senyum adalah interaksi antarmanusia, digunakan untuk menunjukkan keinginan mendekat, berteman dan kerja sama. Manusia tidak perlu belajar untuk tersenyum. Anak yang buta sejak lahir tidak pernah melihat senyuman siapapun, tetapi mereka menunjukkan senyum yang sama pada situasi yang sama pula seperti layaknya anak lainnya. Apalagi senyum memiliki efek menular, bukan hanya membuat orang lain ikut tersenyum, jug
a memiliki efek samping membuat perasaan merasa senang atau minimal mengurangi penderitaan pada orang yang tersenyum dan orang yang disenyumi. Terbukti dari kejadian “senyum nyasar” yang saya alami.

Kehidupan kita tidak akan pernah berhenti membutuhkan senyum. Senyum adalah bahasa universal yang dimengerti oleh semua. Di tengah segala kelelahan jiwa dan kesedihan hati, senyum datang sebagai penawar. Kejadian senyum, sengaja atau tidak sengaja, dapat membuat perubahan positif di kehidupan kita. Sebagai manusia, sudah sepatutnya kita melakukan hal-hal terbaik yang bisa membuat perubahan, termasuk di antaranya ya tersenyum itu sendiri. Jadi, berikanlah senyum kita kepada seseorang hari ini.




***

Senyum tidak membutuhkan apa-apa tetapi memberikan banyak
Senyum memperkaya orang yang menerima tanpa mempermiskin orang yang memberi
Senyum memerlukan satu detik untuk melakukannya, tetapi teringat selamanya

Tidak ada yang sebegitu miskin atau lemahnya sehingga ia tidak bisa memberi senyum
Tidak ada yang sebegitu kaya atau kuatnya sehingga ia yang tidak bisa menerima senyum

Senyum tidak bisa dibeli, diminta, dipinjam, atau dicuri
Senyum hanya bisa diberikan seseorang kepada orang lain

Bila seseorang terlalu lelah untuk tersenyum, berikan dia senyummu
Sebab dia yang tidak dapat memberi senyumnya adalah yang paling membutuhkan senyum

Dan terus tersenyumlah pada dunia.

-unknown-