Tampilkan postingan dengan label sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sejarah. Tampilkan semua postingan

25 April 2011

Pencerahan Dari Sejarah Sains

Pencerahan datang tanpa ada pemisahan antara pencerahan sains, spiritual, atau bisnis, dan seterusnya. Pencerahan adalah pencerahan. Ia membuka cakrawala pandang sehingga kita bisa melihat jauh, lepas dari pikiran sempit yang membatasi.

Sebelum ini, saya merasa nyaman dengan kesederhanaan pelajaran sains kimia dan fisika yang diberikan di bangku sekolah dan kuliah. Sains dipelajari secara sederhana tanpa pemahaman sejarah yang melatarbelakangi semua penemuan itu.

Kenyamanan saya terusik melihat bagaimana latar belakang sejarah penemuan bidang fisika dan kimia dalam seratus tahun belakangan ini. Herannya, saya jadi malah lebih menghargai sains dan para saintis yang memperjuangkannya. Lepas dari kerusakan yang terjadi karena sains, sangat banyak perubahan umat manusia pada abad lalu berasal dari berbagai penemuan penting sains!

***

Beberapa minggu kemarin, saya membaca buku berjudul The Disapearing Spoon. Buku sains populer karya Sam Keane ini menceritakan tentang sejarah sains kimia dan fisika elemen. The Disapearing Spoon banyak mengungkap kisah sejarah belakang layar berbagai penemuan besar di kedua bidang ini.

The Disappearing Spoon

Sejarah sains kimia fisika unsur yang diceritakan banyak terjadi pada awal abad ke-20. Pada era ini, sains tentang atom berkembang cepat dan relatif longgar. Fondasi sains kimia-fisika ketika itu dalam proses pembangunan. Aturan sains masih belum terbentuk sempurna. Semua orang memiliki kesempatan untuk memuaskan dahaga keingintahuannya dalam sains tanpa tata krama akademis yang ketat seperti sekarang.

Pemisahan cabang ilmu kimia dan fisika mulai terbentuk pada akhir abad ke-19. Penelitian tentang Uranium oleh pasangan suami istri Pierre dan Marie Curie menyibak misteri sains: bahwa sifat kimia dari suatu elemen ternyata terpisah dari sifat fisikanya. Uranium yang telah dimurnikan ternyata memiliki tingkat radioaktivitas yang sama dengan uranium dalam bentuk yang ada di alam. Ikatan elektron antara uranium dan atom lainnya (kimia) ternyata tidak mempengaruhi radioaktivitas (fisika) inti atom uranium tersebut.

Pada era ini, berbagai eksprerimen dilakukan dengan resiko tinggi. Pierre dan Marie Curie melakukan percobaan dengan bahan radioaktif di laboratorium tanpa perlindungan yang cukup. Marie Curie sendiri akhirnya menjadi korban akibat penelitian radioaktif yang dilakukannya. Ia meninggal karena aplastic anemia akibat dosis radioaktif yang didapatkannya selama penelitian.

Yang lebih menarik, hasil penelitian radioaktivitas Marie Curie juga sempat menjadi produk Revigator yang laku ribuan unit. Revigator berbentuk mirip dispenser air minum yang didalamnya mengandung bahan radioaktif.  Pada tahun 1920-30an, orang meminum air radioaktif yang berasal dari alat ini sebagai health tonik!

Air dimasukkan ke dalam alat Revigator selama satu malam dan teradiasi oleh Uranium dan Radium. Lalu, air ini dapat dikonsumsi esok harinya. Konon, air teradiasi ini dapat menyembukan penyakit, termasuk arthritis, kentut berlebihan, dan pikun. Bahkan sains pun juga dapat menghasilkan pseudosains..

***

Buku The Disapearing Spoon juga menggambarkan bahwa fakta sejarah yang terungkap akan menghilangkan mitos berlebihan dan cenderung heroik. Penelitian ideal dengan niat yang tulus mungkin hanya ada dalam kisah. Sementara manusia tetaplah makhluk ekonomi: merespon terhadap insentif. Kisah yang kita kenal saat ini kebanyakan merupakan dogma saja, yaitu penyederhanaan dari ilmu yang lebih kompleks. Penggalian ilmu sejarah sains ternyata lebih menarik.

Penemuan besar sains tidak bebas nilai dan tidak lepas dari konteks jamannya. Penemuan para saintis ini memiliki motif ekonomi, politik, dan ketenaran. Tidak jarang, usaha penemuan ini diwarnai oleh manipulasi bahkan peperangan. Perkembangan sains sesungguhnya terjadi di antara selipan-selipan ideologi, politik, ekonomi, bahkan perang pada masa itu. 

Dalam penemuan berbagai elemen/atom di abad-20, kompetisi muncul didominasi oleh berbagai negara yang sedang terlibat perang. Motif politik dan ekonomi sangat kental dalam perkembangan penelitian kimia dan fisika.

Penemuan Molibdenum dan Tungsten bersumber dari sejarah Perang Dunia I dan II. Keduanya digunakan dalam campuran baja yang lebih baik untuk membangun persenjataan Jerman.

Pada PD I, Jerman menggunakan logam Molibdenum sebagai campuran baja yang membuatnya lebih kuat. Karena pasokan Molibdenum diperketat, pada PD II Jerman menggunakan logam Tungsten untuk campuran baja. Penemuan sains menentukan keunggulan persenjataan Jerman. Big Bertha (Howitzer) yang mengandung Molibdenum menghancurkan kota Paris dengan keunggulan metalurginya ini.

Rahasianya adalah bahwa Molibdenum (Mo) dan Tungsten (W) memiliki titik leleh ribuan derajat di atas atom besi (Fe). Atom Molibdenum dan Tungsten memiliki ukuran yang lebih besar dan elektron yang lebih banyak dibandingkan dengan atom besi. Kedua faktor ini menyebabkan elektron kedua atom ini sulit tereksitasi dan mampu menyerap banyak panas. Hal inilah yang membuat keduanya tepat untuk dijadikan campuran baja untuk persenjataan perang.

Big Bertha (Howitzer)

Menariknya, hasil penemuan sains ini kemudian dapat menjadi bebas nilai. Ia diaplikasikan bagi umat manusia demi berbagai tujuan: baik atau buruk, menolong umat manusia atau malah menghancurkan. Keunggulan sains untuk dapat ditiru kembali oleh siapa saja dan mudah dimodifikasi untuk tujuan apa saja dan oleh apa saja. Manusia sebagai pelakulah yang kemudian bertanggung jawab untuk penggunaan selanjutnya.

Tambang Bartlett Mountain, Colorado, Amerika Serikat adalah penghasil utama elemen Molibdenum pada masa PD I. Pada tahun 1918, Amerika Serikat buru-buru menghentikan pasokan Molibdenum  setelah mengetahui Jerman membuat persenjataan dengan Molibdenum yang ditambang dari negaranya. Kelebihan hasil tambang Molibdenum ini kemudian digunakan Henry Ford untuk bahan baku produksi mesin mobil model-T.

Saat ini, Molibdenum dan Tungsten digunakan luas untuk campuran logam lainnya. Kemampuan Molibdenum untuk bertahan pada suhu yang ekstrim membuatnya berguna untuk aplikasi pembuatan bagian pesawat terbang, industri motor dan filamen. Tungsten digunakan sebagai bahan pembuat Tungsten Carbide (TC), sebuah materi yang tiga kali lebih keras dibandingkan baja biasa. TC ini digunakan secara luas untuk bahan bor, mesin industri untuk memotong baja, bahkan juga untuk militer sebagai amunisi penembus perisai baja.

MolibdenumTungsten Carbide

Penemuan sains juga menjadi pengungkit raksasa dalam perubahan umat manusia. Ia merevolusi semua aspek kehidupan manusia. Dalam 10 ribu tahun belakangan, manusia memang mengalami percepatan evolusi yang luar biasa. Akan tetapi, dalam 100 tahun belakangan inilah, percepatan ini harus dikatakan sebagai REVOLUSI: perubahannya sangat cepat dan liar.

Penggunaan teknologi nuklir untuk perang pada awalnya sangat merusak. Beberapa peneliti dari masing-masing negara yang berpartisipasi dalam Perang Dunia II ikut berlomba dalam penelitian pengunaan nuklir untuk senjata. Amerika Serikatlah yang pertama menggunakan nuklir sebagai senjata (dan semoga yang terakhir). Tanggal 6 Agustus dan 9 Agustus 1945, kota Hiroshima dan Nagasaki menjadi korban sejarah senjata nuklir. Hingga saat ini, diperkirakan telah ada dua ribu test senjata nuklir yang telah dilakukan oleh berbagai negara yang memilikinya.

Sisi baiknya, aplikasi nuklir untuk persenjataan ini kemudian dapat berkembang menjadi alternatif sumber energi baru yang ramah lingkungan. Terlepas dari kontroversinya, energi nuklir adalah salah satu sumber energi utama di masa depan. Sampai sebelum kehebohan reaktor Fukushima belakangan ini, Jepang menggunakan nuklir hingga 29% dari total kebutuhan energi listrik. Perancis bahkan menggunakan nuklir sebagai sumber energi listrik dengan rasio tertinggi, yaitu sekitar 75%.

***

Perkembangan sains dan teknologi terjadi dengan sangat pesat, bahkan liar. Kita sulit memprediksi apa yang akan datang selanjutnya.  Era awal abad ke-20 adalah masa perkembangan eksponensial sains kimia dan fisika elemen. Saat ini, awal abad ke-21, bidang penelitian baru di area rekayasa genetika, neurosains, dan fisika kuantum adalah gilirannya.

Seratus tahun lagi mungkin ada buku mirip dengan The Disapearing Spoon ini. Mungkin generasi selanjutnya yang pada gilirannya akan menertawakan kekonyolan sejarah sains abad ke-21, waktu kita hidup saat ini.

Atau jangan-jangan kita masih tetap hidup seratus tahun lagi? :)

15 November 2010

Soal Sepele, Seni, dan Lagu Indonesia Raya

Seni tidak saja bicara soal merangkai keindahan, tapi juga membuka keberanian baru memandang soal sepele kembali menjadi perhatian. Soal-soal mulai menjadi sepele saat keinginan untuk mempertanyakannya tidak perlu lagi ada. Banyak hal dianggap lumrah saja tanpa perlu diperiksa kemungkinannya salah kaprah.

Pada awal abad ke-20, realitas bagi kaum pribumi adalah sebagai warga kelas tiga setelah kaum kolonial Hindia-Belanda dan kaum bangsawan kerajaan. Saat itu, identitas kebangsaan ditandai berdasarkan daerah yang ada dalam koloni Hindia-Belanda. Kita bisa lihat kedaerahan dari Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond yang eksis pada masa itu.

Sebelum istilah ‘Indonesia’ diputuskan untuk diperjuangkan dan kemudian berhasil menjadi sebuah entitas, ia adalah sebuah istilah yang hidup dalam seni. Melalui seni kemudian ia muncul dalam Kongres Pemuda Indonesia Kedua bulan Oktober 1928. Muhammad Yamin, sang pelopor puisi modern, menyusun rumusan naskah sumpah pemuda dalam rima puisi. Lalu dalam latar belakang kemapanan suku yang ada, sertamerta lahir jargon baru : “Tanah Indonesia, Bangsa Indonesia, dan Bahasa Indonesia.”

Ketika mendengar rencana pelaksanaan Kongres Pemuda Indonesia Kedua, seorang seorang reporter  surat kabar Sin Po menghubungi pelaksana acara untuk meliput pertemuan ini. Panitia takut peliputan dapat mencurigakan pemerintah kolonial Hindia-Belanda sehingga meminta reporter ini tidak meliput pertemuan meskipun kemudian mereka tetap mengundangnya.

Sang reporter muda yang juga musisi serta guru ini terinspirasi oleh Kongres Pemuda Indonesia Kedua dan mengekspresikannya ke dalam seni musik. Di akhir kongres ini, sang reporter, Wage Rudolf Supratman, kemudian memainkan komposisi instrumental berjudul ‘Indonesia’ dengan biolanya.

WR Supratman

Teks lagu ‘Indonesia’ mulai disebarkan setelah Kongres Pemuda kedua ini. Koran Sin Po mempublikasikan teks lagu ini bulan November 1928.  Lagu ‘Indonesia’ sendiri awalnya sepele dan dianggap kurang mengandung keindahan. Menurut Rosihan Anwar dalam bukunya Petite Historie I, Dr. Ch.D. van der Plas mengatakan lagu ‘Indonesia’ mengatakan lagu ini memiliki melodi Eropa yang banal (dangkal) dan syair yang pincang sehingga awalnya pemerintah Hindia Belanda tidak melarang peredaran lagu ini.

Tapi seni memang tidak selalu bicara soal keindahan, melainkan membuka keberanian baru memandang soal sepele menjadi perhatian. Sedikit demi sedikit, lagu ‘Indonesia’ mulai dinyanyikan pada setiap rapat partai-partai politik dan kemudian menjadi salah satu tanda kelahiran pergerakan nasionalisme seluruh nusantara di Indonesia.

Menjadi pelaku seni memang membutuhkan keberanian. Soal-soal sepele yang kembali menjadi terperhatikan memang sering meresahkan, apalagi kalau akhirnya berurusan dengan otoritas. Melihat euforia kaum pribumi, pemerintah Hindia-Belanda kemudian melarang peredaran lagu ‘Indonesia’ ini.

Supratman muda kemudian diburu oleh polisi Hindia-Belanda karena dianggap memperdengarkan lagu ‘Indonesia’ pertama kali. Di awal Agustus 1938, Supratman tertangkap saat ingin menyiarkan lagu karangannya dan kemudian ditahan di penjara Kalisosok, Surabaya. Ia meninggal muda karena sakit di penjara itu pada 17 Agustus 1938 tanpa sempat menikmati kemerdekaan Indonesia tujuh tahun kemudian.

***

Perubahan selalu terjadi terjadi, bahkan seni pun bisa jadi kembali sepele. Pada tahun 1950, Jusuf Ronodipuro atas persetujuan Soekarno (versi lain: Pemerintah Belanda) meminta Jozef Cleber, seorang arranger Belanda yang populer, untuk mengaransemen kembali dan membakukan lagu Indonesia Raya. Lagu kebangsaan ‘Indonesia Raya’ yang telah menjadi baku hingga saat ini, yaitu mengambil satu dari tiga stanza lagu ‘Indonesia’ aslinya Supratman.

Tapi apakah sebenarnya arti kata ‘asli’? Remy Sylado dalam tulisannya di Kompas mengatakan bahwa nada “Indonesia” ciptaan asli W.R. Supratman sangat mirip dengan sebuah lagu Belanda berjudul Lekka Lekka Pinda Pinda. Menjiplak atau terinspirasi? Memang tidak pernah ada batas jelas antara keduanya. There is nothing new under the sun..

Pada 1953, Kusbini ingin melepaskan kemiripan lagu ‘Indonesia Raya’ dari bayang-bayang plagiarisme. Ia utarakan niat ini ke Soekarno yang saat itu menjadi presiden seumur hidup. Reaksi Bung Karno yang presiden? "Hai, kamu seniman goblok! Kamu tidak punya kesadaran politik. Apa yang sudah diterima secara politik tidak usah diperkarakan secara estetik," tulis Remy.

Semenjak itu, lagu “Indonesia Raya” berhenti dipertanyakan dan telah kembali menjadi soal yang sepele.

(Atau bukan semenjak itu ya? Biar saja lah, itu kan soal yang sepele)

Courtesy : Youtube.com

***

INDONESIA RAJA
Wage Rudolf Supratman

I

Indonesia, tanah airkoe,
Tanah toempah darahkoe,
Disanalah akoe berdiri,
Mendjaga Pandoe Iboekoe.

Indonesia kebangsaankoe,
Kebangsaan tanah airkoe,
Marilah kita berseroe:
"Indonesia Bersatoe".

Hidoeplah tanahkoe,
Hidoeplah neg'rikoe,
Bangsakoe, djiwakoe, semoea,
Bangoenlah rajatnja,
Bangoenlah badannja,
Oentoek Indonesia Raja.

Refrain :
Indones', Indones',
Moelia, Moelia,
Tanahkoe, neg'rikoe jang koetjinta.
Indones', Indones',
Moelia, Moelia,
Hidoeplah Indonesia Raja.

II

Indonesia, tanah jang moelia,
Tanah kita jang kaja,
Disanalah akoe hidoep,
Oentoek s'lama-lamanja.

Indonesia, tanah poesaka,
Poesaka kita semoeanja,
Marilah kita berseroe:
"Indonesia Bersatoe".

Soeboerlah tanahnja,
Soeboerlah djiwanja,
Bangsanja, rajatnja, semoea,
Sedarlah hatinja,
Sedarlah boedinja,
Oentoek Indonesia Raja.

Refrain

III

Indonesia, tanah jang soetji,
Bagi kita disini,
Disanalah kita berdiri,
Mendjaga Iboe sedjati.

Indonesia, tanah berseri,
Tanah jang terkoetjintai,
Marilah kita berdjandji:
"Indonesia Bersatoe"

S'lamatlah rajatnja,
S'lamatlah poet'ranja,
Poelaoenja, laoetnja, semoea,
Madjoelah neg'rinja,
Madjoelah Pandoenja,
Oentoek Indonesia Raja.

Refrain

20 September 2010

Ulasan Film “Sang Pencerah”

Siapa yang belum menonton film “Sang Pencerah” karya Hanung Bramantyo? Film ini menggambarkan sebuah versi kehidupan KH. Ahmad Dahlan, sang pendiri organisasi Muhamadiyyah. Bagi yang belum, sila menyempatkan diri pergi ke bioskop untuk menonton sebelum film ini habis. Perkiraan saya, film ini akan usai tayang di layar lebar dalam satu dua minggu dan mulai dipasarkan lewat media DVD atau VCD.

Yang sudah menonton, apakah Sang Pencerah cukup menghibur? Bagi saya film ini sangat menghibur dan memberikan visualisasi yang sangat baik. Momen yang terjadi saat ini juga (kebetulan?) sesuai dengan tema film Sang Pencerah ini. Ya, kebebasan beragama dan perbedaan pendapat memang menjadi topik yang hangat di Indonesia saat ini. Insiden FPI, HKBP, dan Ahmadiyyah memberikan momentum bagi larisnya film ini. Minggu ini, mungkin penonton film Sang Pencerah sudah mencapai 20 juta orang.

Detil setting Sang Pencerah yang cukup realistis sesuai jamannya menggambarkan hasil riset praproduksi yang teliti. Konon, Hanung mengambil referensi dari belasan buku tentang Muhamadiyyah dan melakukan konsultasi dengan pihak keluarga dan kerabat dekat KH. Ahmad Dahlan. Dengan riset ini, tempat shooting di Kebun Raya Bogor dapat disulap sangat mirip dengan situasi Kauman Yogyakarta satu abad yang lalu.

Materi pengembangan naskah film Sang Pencerah ini memasukkan beberapa fiksi untuk menambal cerita, misalnya pada kisah seputar masa muda Muhammad Darwis (nama kecil KH Ahmad Dahlan). Di awal cerita, penggambaran bahwa pengikut aliran Syekh Sitti Jenar mempertahankan ritual sesajen sehingga membelokkan ajaran Islam perlu dicek kembali. Konsep Sitti Jenar lebih mengajarkan orang agar meminta langsung ke Tuhan tanpa perantara benda atau manusia lain. Praktek sinkretisme dengan budaya sebelumnya (animisme dan Hindu/Budha) seperti ritual sesajen ini cenderung diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga.

Saya kurang mengerti detil tata cara memproduksi film. Tapi sepertinya dalam pembuatan film Sang Pencerah, urusan ini berada pada standar pembuatan film di Indonesia. Tidak usah dibandingkan dengan Hollywood dan Bollywood yang sangat produktif menghasilkan film layar lebar. Kita usahakan dan doakan saja perfilman Indonesia dapat segera mencapai ke level ini.

Secara keseluruhan, menurut saya film Sang Pencerah sangat menghibur dan memancing keingintahuan. Film ini lebih baik dibanding film Indonesia yang sedang sama-sama ditayangkan di bioskop saat ini seperti “Dawai 2 Asmara” dan “Lihat Boleh Pegang Jangan.”

Moga-moga modal 12 miliarnya buat film Sang Pencerah bisa balik ya, Pak Raam Punjabi. Sukses dan buat film seperti ini lagi ya Pak! :)

22 Juli 2010

Sejarah Pembentukan Hadits

Mempelajari sejarah keagamaan merupakan salah satu hal penting sangat penting dalam ‘menghidupkan’ pemahaman dan keyakinan beragama. Pemahaman agama yang dogmatis saja semakin tidak memadai untuk tetap mencerahkan kehidupan kita. Mempelajari sejarah perkembangan Islam sendiri membantu saya memahami bagaimana keragaman dalam Islam yang kita temui saat ini ternyata memiliki latar belakang sejarah yang kuat. Beberapa waktu lalu, saya melihat sebuah perdebatan tentang hadits dalam sebuah diskusi online dan membuat saya tertarik untuk menengok sedikit tentang sejarah pembentukan hadits. Berikut ini adalah sedikit laporan tentang apa yang telah saya temui.
Al-hadits (literal: perkataan/narasi) adalah kumpulan catatan dari perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad. Saat ini, makna hadits meluas dan identik dengan As-sunnah (tradisi) yang bermakna bahwa semua perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad dapat dijadikan sebagai referensi dalam hukum Islam. Bila Al-Quran relatif seragam, koleksi hadits yang dimiliki masing-masing kelompok Islam, seperti misalnya Muslim Sunni dan Syiah, terdapat perbedaan.
Hadits memiliki sumber dari perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad. Akan tetapi, penulisan hadits sendiri baru dimulai pada era Umar bin Abdul Aziz (Khalifah ke-8 Dinasti Umayyah). Penulisan hadits ini terjadi sekitar akhir abad pertama Hijriah (720an M) sekitar 90-an tahun setelah wafatnya Muhammad. Pada masa kehidupan Nabi Muhammad, beliau sendiri melarang sahabat untuk menulis perkataannya karena khawatir tercampur dengan Al-Quran. Hal ini tercatat pada Shahih Muslim dan beberapa koleksi hadits lain.
“Janganlah kalian semua menulis dariku, barang siapa menulis dariku selain al-Quran maka hendaklah menghapusnya” (Shahih Muslim Juz II, hal 710)
Pada era Khalafaur Rasyidin, mushaf Al-Quran sudah mulai diformalisasi dan mencapai bentuk nyata pada masa Utsman. Di sisi lain, perkataan dan perbuatan Nabi masih diceritakan dari mulut ke mulut dan belum mulai dituliskan. Mengapa perkataan Nabi Muhammad akhirnya dituliskan menjadi koleksi hadits? Perkembangan penulisan koleksi hadits salah satunya dapat dilihat secara paralel dengan perkembangan politik Arab dimulai pada era dinasti Umayyah seperti berikut ini.
Menjelang berakhirnya masa Khalafaur Rasyidin terjadi konflik Ali bin Abi Thalib dan Muawiyyah bin Abu Sufyan. Dengan terjadinya pembunuhan Ali, maka masa Khalafaur Rasyidin berakhir dan kekuasaan digantikan oleh Muawiyyah yang kemudian mendirikan Dinasti Umayyah. Pemerintahan Muawiyyah dan khalifah pelanjutnya yang ekspansif, tidak stabil, dan otoriter menggunakan banyak kutipan perkataan Nabi sebagai legitimasi pemerintahan. Beberapa khalifah dari Dinasti Umayyah melakukan legitimasi melalui pengutipan perkataan Nabi untuk menanggapi suatu isu atau menjalankan suatu kebijakan. Di samping itu, lawan politik Dinasti Umayyah, seperti misalnya kaum Syiah dan Khawarij juga mengutip perkataan nabi sebagai legitimasi tindakan-tindakan masing-masing.
Tindakan khalifah ini membuat kutipan yang diklaim sebagai perkataan Muhammad digandakan sehingga jumlahnya berkembang pesat. Dalam beberapa riwayat, jumlah perkataan Nabi pada masa ini mencapai satu juta kutipan. Hingga saat ini, kita dapat melihat beberapa hadits yang bersifat kedaerahan dan menggambarkan budaya Arab pada era pertengahan. Hadits ini bisa jadi pernah digunakan untuk mendukung kekuasan khalifah pada era pasca-Muhammad. Salah satunya adalah hadits yang mengambarkan kaum Quraisy (termasuk Bani Umayyah) lebih tinggi daripada kaum lain. Sebagai upaya administrasi, Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah Umayyah ke-8 mulai memerintahkan kaum ulama para era pemerintahannya yang singkat untuk memulai penulisan hadits yang berkembang dari mulut ke mulut pada masyarakat Arab kala itu.

"Para Imam itu dari golongan Quraisy, jika mereka memimpin mereka adil, jika mereka berjanji mereka tepati, dan jika dimintai kasih sayangnya, mereka akan memberikan”(HR. Ahmad)

Setelah dinasti Umayyah runtuh, Dinasti Abbassiyah mulai berdiri pada tahun 758M. Ulama pada dinasti Abbasiyah menghadapi sangat banyak tulisan hadits dan beberapa di antaranya kontradiktif satu sama lain. Menanggapi hal ini, ulama Abbassiyah mulai mengembangkan metode seleksi hadits untuk keperluan politik dan keagamaan. Berkat pengenalan teknologi kertas ke dunia muslim sebelumnya sekitar tahun 751 M, perkembangan ilmu hadits sebagai metode seleksi hadits ini makin berjalan sangat pesat.
***
Ilmu hadits sebagai metode seleksi hadits memiliki dua komponen penting, yaitu matan dan sanad. Matan adalah redaksional urutan kata yang mengandung narasi perkataan atau perbuatan Nabi. Dalam matan ini, urutan kata-kata diperhatikan secara detil. Sanad adalah urutan rantai satu per satu orang yang meriwayatkan hadits hingga ke Nabi. Ketersambungan rantai urutan sanad ini juga mempertimbangkan reputasi orang yang meriwayatkan hadits. Berdasarkan kedua komponen ini, maka didapatkan suatu derajat kekuatan hadits. Dikatakan sebagai hadits shahih (kuat/sound) karena redaksional pesan dan urutan pencerita konsisten satu sama lain, sedangkan dikatakan sebagai hadits dhaif (lemah) karena kedua komponen ini kurang konsisten. Selain itu, berkembang pula berbagai klasifikasi lain yang lebih kompleks mengenai hadits.
Dengan metodologi seleksi hadits yang sedemikian ketat, pendekatan terhadap keaslian koleksi dari hadits shahih ini dapat dilakukan. Meskipun begitu, keshahihan hadits tidak mempastikan bahwa hadits ini benar-benar dikatakan oleh Muhammad sendiri. Tetap ada ruang dalam perdebatan antarulama hingga saat ini mengenai otentisitas hadits meskipun telah dinyatakan sebagai hadits shahih oleh ulama lain. Imam Muslim sebagai ulama yang menyeleksi hadits dengan ketat sendiri tidak pernah mengklaim koleksi haditsnya sebagai hadits yang pasti dikatakan oleh Muhammad. Imam Muslim mengatakan bahwa tujuannya adalah mengumpulkan koleksi hadits yang disetujui keakuratannya oleh umat Islam. Jadi, proses pembentukan hadits hingga menjadi bentuk formal hingga saat ini merupakan kesepakatan ulama pada masa abad kedua dan ketiga Hijriah dalam upaya mengumpulkan riwayat kenabian melalui metode pendekatan sejarah yang kuat.
Koleksi hadits memiliki variasi dalam pada berbagai kelompok Muslim, seperti misalnya pada Muslim Sunni dan Syiah. Muslim Syiah hanya menggunakan kumpulan hadits yang diriwayatkan oleh keturunan Nabi Muhammad melalui Fatimah (Istri Ali sekaligus anak Muhammad) atau sahabat yang memihak Ali bin Abi Thalib. Riwayat yang berasal dari sahabat Nabi yang diklaim memusuhi Ali, seperti misalnya Aisyah (istri Muhammad) yang melawan dengan Ali dalam perang Jamal, tidak dimasukkan dalam koleksi hadits Syiah. Secara umum, koleksi hadits Syiah memiliki sudut pandang keluarga Muhammad, sedangkan koleksi hadits Sunni memiliki banyak sudut pandang sahabat Nabi.
Dalam tradisi muslim Sunni, sejarah menunjukkan proses formalisasi hadits dimulai sejak 90 tahun hingga 230 tahun setelah wafatnya Muhammad. Dalam tradisi Sunni, terdapat enam koleksi hadits utama yang sering digunakan, yaitu Shahih Bukhari dan Muslim serta Sunan An-Nasa’i, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Dua koleksi yang pertama, Shahih Bukhari dan Muslim dianggap memiliki otoritas tertinggi. Imam Bukhari menyeleksi 300 ribu hadits menjadi tinggal 2600an hadits saja melalui penelitian yang sangat ketat selama enam belas tahun. Melengkapi metode ketatnya, konon pada setiap memulai penulisan hadits Bukhari melakukan shalat untuk meneguhkan pikirannya. Metode seleksi yang ketat, meskipun berbeda, juga dilakukan oleh Imam Muslim yang merupakan murid dari Iman Bukhari. Dengan perbedaan metode ini, hadits yang sama-sama terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih muslim menjadi hanya 1400an hadits saja.
***
Hadits secara umum diletakkan sebagai sumber hukum Islam, kecuali oleh beberapa kelompok muslim yang hanya mempercayai Al-Quran saja dan tidak mempercayai hadits. Kelompok ini minoritas dan mengalami tekanan dalam komunitas Muslim mayoritas. Kita juga perlu mengetahui  bahwa kritik kelompok ini ditekankan pada keabsahan proses penulisan perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad. Kelompok ini mempertanyakan keotentikan periwayatan dan apakah berasal langsung dari Muhammad.
Dalam tradisi muslim Sunni, masing-masing mazhab memiliki variasi dalam penggunaan hadits sebagai sumber hukum. Imam Syafi’i yang dijuluki Natsir As-sunnah (Pembela As-sunnah) sangat menekankan penggunaan hadits sebagai referensi utama, baik dalam ibadah maupun sosial. Imam Hanafi yang lebih rasionalistik menggunakan hadits secara ketat pada ibadah, sedangkan pada kegiatan sosial, beliau lebih menekankan penggunaan nalar. Imam Maliki yang lebih longgar dalam penggunaan hadits memasukkan tradisi yang dilakukan oleh para Sahabat Madinah pasca-Muhammad sebagai living hadits.
Perkembangan hadits selanjutnya semakin menarik, terutama dengan berkembangnya gerakan reformasi Islam untuk kembali ke tradisi masa kehidupan Nabi oleh Ahlul Hadits atau juga biasa dikatakan sebagai kaum Salafi. Hal ini moga-moga dapat saya laporkan pada tulisan selanjutnya. Demikianlah sedikit serba-serbi tentang sejarah pembentukan hadits. Semoga berguna.. :)

5 Mei 2010

Sejarah yang Objektif : Perang Salib

image

Beberapa hari ini, saya jadi mendalami sejarah mengenai perang salib. Awalnya bermula dari obrolan iseng dengan beberapa teman melalui situs jaringan sosial seputar Shalahuddin Al-Ayyubi, seorang tokoh Islam pada perang salib. Akhirnya, rasa penasaran menghampiri saya dan mengajak saya menyelami sejarah tentang perang salib.

Sudah banyak sumber yang menceritakan perang salib sehingga saya memilih tidak menuliskan kembali sejarah secara detail dalam tulisan ini. Kali ini, lebih baik saya menceritakan bagaimana kesimpulan saya terhadap usaha penelitian kecil terhadap pendekatan objektif mengenai sejarah perang salib. Dan kembali lagi, saya takjub dengan berbagai versi sejarah perang salib yang saya temui.

Ternyata berusaha memahami sejarah perang salib secara objektif dapat memberikan pencerahan untuk saya. Secara umum, pemahaman ini membantu mendefinisikan kembali pemahaman mengenai toleransi (dan perselisihan) agama, diantaranya adalah  Islam, Kristen, dan Yahudi. Secara khusus, usaha pemahaman ini juga mendefinisikan kembali dogma yang dibangun seputar perang salib berkaitan dengan perang Israel-Palestina yang hingga saat ini belum terlihat penyelesaiannya.

http://zioneocon.blogspot.com/map%20israel%20b-%20bbc.gif

Usaha memahami sejarah secara objektif ternyata membutuhkan kita mempelajari berbagai sudut pandang suatu kejadian. Bagi yang sudah menonton film Vantage Point (2008) tentunya akan paham bahwa sebuah kejadian dapat dipahami secara berbeda dari sudut pandang orang-orang yang ada di TKP. Film ini sangat sukses (bagi saya) untuk memberikan pemahaman bahwa persoalan multitafsir adalah sebuah keniscayaan. Oleh karena itu, usaha memahami suatu kejadian secara objektif membutuhkan kita memahami berbagai sudut pandang dari pihak-pihak yang berkepentingan, baik yang pihak berlawanan: pihak yang menang, pihak yang kalah, maupun pihak yang nonton.

Sejarah perang salib ini sendiri cukup unik karena versi sejarah masing-masing pihak ini tersedia secara luas. Rentetan sejarah ini ditulis dan diceritakan turun temurun sesuai sesuai sudut pandang dari masing-masing pihak. Hal ini memudahkan orang awam macam saya untuk tengok sana sini mencari persamaan-persamaan secara umum, menemui perbedaan-perbedaan pada detail, dan akhirnya mendapatkan kesimpulan (sementara). Mestinya para sejarahwan telah mendapatkan kesimpulan yang jauh lebih maju mengenai perang salib ini.

***

Sebelum saya melakukan penelitian kecil ini, perang salib yang saya pahami adalah perang antara penganut agama Islam dan Kristen. Tidak jelas (dan tidak tertarik untuk tahu) siapa yang menang. Dari berbagai informasi saat itu, saya berpandangan bahwa pada dasarnya perang salib ini tetap terus tersimpan dan berpotensi meletus kembali hingga saat ini. Kesimpulan ini sering juga dikaitkan dengan terjadinya perang Israel-Palestina yang terjadi pada daerah yang sama. Demo-demo dari berbagai ormas saat ini sering mengaitkan antara perang Israel-Palestina sebagai perang atas nama agama. Hal-hal macam ini memudahkan kesimpulan bahwa perang ini harus didukung dengan solidaritas keagamaan. Penganut agama Islam mendukung negara Palestina, sedangkan penganut agama Yahudi mendukung negara Israel.

Latar belakang yang saya miliki berasal dari lingkungan keluarga Islam. Dari latar belakang ini, tentunya banyak informasi masuk sehingga membangun kesimpulan sementara saya tentang sejarah perang salib dan implikasinya saat ini. Ternyata kesimpulan saya sedikit mengalami perubahan dengan usaha penggalian mengenai sejarah perang salib ini.

Sebagai bahan pemikiran tentang perang salib ini, saya sempat membaca Islam :  a short history  dan History of God (Karen Armstrong) serta History of Arabs (Phillip Hitti). Ketiga buku ini menurut saya cukup baik dalam usaha memberikan tinjauan yang objektif mengenai sejarah Islam, termasuk diantaranya sejarah perang Salib. Di sisi lain, masing-masing buku ini juga memberikan detail dan kesimpulan yang sedikit berbeda sehingga justru memperkaya sudut pandang saya tentang perang salib. Menurut teman saya, ada sebuah buku lagi yang bagus mengenai kisah perang salib ini, yaitu Holy War (Karen Armstrong).

image

Sebagai tambahan, saya juga sempat menggali Wikipedia, termasuk di antaranya halaman Shalahuddin Al-Ayyubi, Crusades, Richard the Lionheart, pertempuran Hattin. Selain itu ada juga beberapa situs yang ‘subjektif’ yang berkaitan dengan sejarah perang salib ini, baik dari sisi Islam, maupun dari sisi Kristen. Sejauh ini, bagi yang ingin mengetahui mengenai perang salib secara mudah, silakan bisa membaca di sini. Thread ini saya temukan terakhir, tetapi memberikan justifikasi final saya untuk menulis obrolan ini. Menurut saya, rasanya thread ini relatif objektif.

***

Kesimpulan yang saya dapatkan berdasarkan penelitian kecil (dan awam) ini adalah bahwa sejarah perang salib ini sangat kompleks, tidak sesederhana perang antaragama, Islam Arab dan Kristen Eropa. Sedikit gambaran, perang salib terjadi selama hampir dua abad ini sering dibagi menjadi sembilan peperangan. Meskipun begitu, sulit membagi secara pasti berapa kali tahapan perang ini terjadi karena peperangan ini terjadi secara terus menerus tidak terputus.

Selanjutnya, ketika perang salib ini berlangsung, selain penguasa Islam berperang melawan penguasa Kristen, ada pula penguasa dari satu agama juga satu bertarung satu sama lain (Islam-Islam dan Kristen-Kristen). Bahkan, beberapa kali penguasa Islam meminta bantuan penguasa Kristen untuk memerangi penguasa Islam lainnya dan juga sebaliknya. Jadi, sebenarnya cerita mengenai pemihakan masing-masing penguasa terhadap masing-masing agama, baik Islam maupun Kristen, tidak sesuai dengan detil mengenai apa yang terjadi.

Dilihat secara umum dari sisi tokoh-tokoh yang terlibat, saya juga menyimpulkan perang salib ini bukan murni merupakan perang atas nama agama (apalagi atas nama Tuhan). Tetap ada landasan keagamaan yang terdapat di dalamnya, tetapi sulit untuk disederhanakan hanya urusan agama saja. Ada landasan lain yang lebih ‘manusiawi’ yang menjadi motivasi peperangan panjang ini, mulai dari keinginan berkuasa, motivasi ekonomi berupa harta dan uang, kehormatan pribadi, kebanggaan kesukuan, hingga balas dendam yang juga mewarnai perang salib ini. Sepertinya aspek manusiawi inilah yang sering tidak digambarkan secara detailnya dalam membangun dogma penafsiran perang salib ini.

Perang salib secara gambaran besar merupakan usaha perebutan memperebutkan Jerusalem kembali yang merupakan tempat suci masing-masing agama. Tetapi pada waktu yang sama, harus dipahami juga bahwa ketika itu juga perebutan kekuasaan antarpemerintahan Islam antara Dinasti Abassiyah  dan Dinasti Fatimiyyah. Akhirnya, Dinasti Fatimiyyah kalah dan dibubarkan saat Shalahuddin Al-Ayyubi (Eropa : Saladin) menjadi wazir Dinasti Fatimiyyah. Pada khutbah Jumat setelah kematian Al-Adid khalifah terakhir Dinasti Fatimiyyah, Shalahuddin mengatakan bahwa mulai saat itu, khalifah adalah Al-Mustadi dari Dinasti Abbasiyah.

Shalahuddin selanjutnya menjadi penting dalam perang salib ketiga. Ketika bertarung melawan Richard the Lion Heart, akhirnya mereka sepakat untuk menjaga perdamaian dan mengusung kembali toleransi beragama di kota Jerusalem. Sebelum kesepakatan ini, pembunuhan atas nama agama di kota Jerusalem terjadi silih berganti. Awalnya, orang Kristen dan Yahudi dieksekusi ketika pendudukan Jerusalem oleh Dinasti Fatimiyyah. Ini adalah merupakan salah satu pemicu terjadinya perang salib. Sebagai balasan, orang Islam dan Yahudi dibunuh secara massal pada masa perang salib pertama.  Shalahuddin dan Richard akhirnya berhasil membuat kesepakatan perdamaian melalui pernikahan antarkeluarga Shalahuddin dan Richard. Memang cinta (baca: pernikahan) dapat menghapuskan (baca : menunda) permusuhan, meskipun perdamaian ini tidak bertahan lama.

imageimage

Shalahuddin merupakan tokoh yang dikagumi di negara Barat dan Timur. Di negara Barat, dia dikagumi karena kapasitas kepemimpinan, sikap menepati janji, dan kepatuhan terhadap atasan. Kekuatan militer yang dibangunnya sangat efektif, berbagai perjanjian dengan pihak Kristen Eropa ditepati, dan perselisihan politik dengan atasannya tidak lantas disertai dengan kudeta secara langsung. Sifat-sifat Shalahuddin ini menjadi sikap-sikap luhur ksatria dan menginspirasi karya sastra sejak abad ke-14 di negara Barat.

Shalahuddin sering dipandang manusia sempurna dalam berbagai kisah perang salib versi Islam. Di dunia Arab, ketokohan Shalahuddin sempat terlupakan karena dinastinya hanya bertahan 57 tahun dan tertutupi oleh kebesaran dinasti Baibar Mesir. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya tulisan yang mengacu pada ketokohannya setelah abad pertengahan. Baru abad ke-20, kisah Shalahuddin memperoleh tempat pentingnya kembali, secara umum karena nasionalisme Arab, terutama untuk menanggapi konflik Israel-Palestina. Kisah heroik tentang kepahlawanan Shalahuddin merebut Jerusalem menjadi doktrin keagamaan penting dari sisi Islam sebagai inspirasi melawan zionisme.

Perselisihan Shalahuddin dengan pemimpinnya Nuruddin dan Ismail anak Nuruddin, ekspansi wilayahnya ke Suriah dan Yaman, dan pembantaian musuhnya merupakan detil yang perlu digali untuk memahami sejarah perang salib ini secara wajar. Dengan detil ini dimasukkan dalam bangunan kesimpulan kita tentang perang salib, tentunya akan menambah objektivitas dalam menyikapinya.

***

Itulah kesimpulan (sementara) saya tentang usaha memahami sejarah perang salib secara objektif. Tentunya kesimpulan ini masih sangat awal dan dangkal. Diusahakan akan ada updatenya lagi.

28 Desember 2009

Al-Quran : Antara Lisan dan Tulisan (Bagian 1)

Coba bayangkan apa jadinya kalau tulisan tidak pernah diciptakan? Berapa banyak ide yang harus kita jelaskan berulang kali kalau teknologi mesin cetak tidak berhasil ditemukan oleh Gutenberg? Seberapa lama inspirasi dapat bertahan sebelum terdistorsi atau punah? Seberapa cepat kita mengirim kabar kepada orang di belahan dunia lain kalau email, sms, dan Blackberry messenger tidak pernah ditemukan?

 

Penemuan tulisan berkembang paralel dengan perkembangan aspek budaya manusia lainnya. Tulisan hierogliph ditemukan oleh bangsa Mesir sekitar 3200 SM. Selanjutnya, bangsa Sumeria berhasil mengembangkan huruf cuneiform sekitar 1900 SM. Perkembangan tulisan merupakan perkembangan komunikasi tulisan sehingga mengizinkan populasi manusia melakukan koordinasi antarsesama sehingga dapat melakukan aktivitas sosial yang lebih kompleks.

Penemuan tulisan memiliki dampak signifikan bagi manusia dalam proses penyimpanan ‘keabadian informasi’. Tulisan dapat menyampaikan pesan kepada manusia lain di tempat dan waktu yang jauh melampaui bahkan penulisnya sendiri. Hingga saat ini kita masih dapat menikmati karya sastra yang disusun ribuan tahun yang lalu.

Tradisi tulisan berkembang dengan sukses hingga masyarakat modern saat ini. Di lingkungan pekerjaan, saya sering meminta kolega kantor untuk mengirimkan email dibandingkan dengan menelepon. Dalam ilmu pengetahuan pun kita bertanya, “Darimana literaturnya sehingga ada pendapat seperti itu?” Dalam agama Islam kita juga sering bertanya, “Al-Quran ayat berapa? Hadits riwayat mana?” Sepertinya, tulisan terasa lebih kuat dibandingkan dengan hanya ucapan lisan.

***

Pada sisi yang berbeda, budaya lisan atau non-tekstual juga berkembang pesat di pusat kebudayaan lainnya. Fenomena turunnya Al-Quran di dunia Arab sekitar awal abad ke-7 juga terjadi pada masyarakat Quraisy yang berkebudayaan lisan. Nabi Muhammad adalah seorang ummi yang tidak mengenal sistem penulisan. Hal ini terjadi karena tulisan bukan merupakan hal yang penting di suku-suku Arab. Ketika itu, syair dan puisi secara rutin diceritakan bahkan diperlombakan, tetapi sangat jarang ditulis. Makanya, sejauh ini belum ditemukan karya sastra yang dihasilkan oleh bangsa Arab sebelum masa kenabian Muhammad. Sementara itu, banyak tokoh syair dan puisi terkenal yang mengekspresikan karyanya melalui lisan tercatat dalam sejarah. Umar bin Khattab adalah seorang yang sangat disegani oleh suku Quraisy karena kepiawaiannya dalam berorasi dan membacakan syair.

Tentunya Al-Quran tidak turun secara makblug sempurna dalam bentuk bundelan buku yang kita tahu seperti sekarang. Al-Quran yang terdiri 6236 ayat turun selama dua puluh tiga tahun secara berangsur dalam tradisi lisan yang kuat. Satu demi satu ayat disampaikan kepada sahabat disertai dengan penjelasannya. Kadang ada beberapa pertanyaan sahabat yang tidak dapat dijawab oleh Nabi Muhammad didiamkan beberapa lama untuk kemudian belakangan dijawab oleh Al-Quran. Dari hal ini, kalau boleh kita katakan, manusia juga turut berperan aktif secara dialogis dalam pembentukkan ayat-ayat Al-Quran.

Hukum-hukum dalam Al-Quran juga ditetapkan dalam secara berangsur. Sering kali hukum mengenai suatu hal turun pada ayat dan periode yang berbeda. Misalnya, dalam masyarakat Arab yang menggemari minuman yang memabukkan, hukum mengharamkan Khamr turun secara berangsur sebanyak tiga kali sesuai dengan kebutuhan perubahan sosial yang terjadi ketika ayat-ayat ini diturunkan. Jadi, Al-Quran diturunkan secara berangsur menyesuaikan tradisi lisan yang dialogis sesuai dengan kebutuhan masyarakat Arab ketika itu.

Pada masyarakat modern yang akrab dengan tradisi tulisan seperti sekarang, ucapan lisan Al-Quran telah dikonversikan menjadi tulisan, yaitu bundelan buku kitab yang kita gunakan sehari-hari. Meskipun prosesnya tidak selalu mulus, proses tekstualisasi Al-Quran dimulai sejak masa Abu Bakar dan telah berjalan sedemikian panjang dan matang.

Proses penyusunaan Al-Quran menjadi bundelan kitab yang sekarang kita lihat sehari-hari bukan merupakan cerita yang sederhana. Ketika Nabi Muhammad wafat, banyak sahabat yang mengumpulkan koleksi suhuf (mushaf) hasil catatan perkataan Muhammad mengenai Al-Quran. Agar tidak tercampur, Muhammad melarang sahabat mencatat perkataannya selain yang berasal dari Al-Quran. Hadits yang merupakan kata-kata Muhammad selain Al-Quran hanya diceritakan secara turun temurun dan baru mulai ditulis setelah lebih dari seratus tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad.

Kembali ke sejarah Al-Quran, beberapa versi mushaf mulai berkembang setelah wafatnya Nabi Muhammad, seperti misalnya pada mushaf Ibnu Abbas, mushaf Ubay bin Ka’ab, mushaf Ibnu Mas’ud, dan mushaf Ali. Masing-masing memiliki urutan dan jumlah surat yang berbeda satu sama lain, dari mulai 108 surat hingga ada yang mencapai 116 surat. Perbedaan ini terjadi mungkin karena berbagai faktor, salah satunya penghitungan dobel terhadap jumlah surat. Sejalan dengan perkembangan daerah kekuasaan Islam pada masa Abu Bakar dan Umar, masing-masing versi mushaf ini dikirimkan ke berbagai penjuru kesultanan Islam yang ketika itu semakin meluas.

Ketika masa pemerintahan Abu Bakar atas inisiatif Umar, proses pengumpulan mushaf ini mulai dilakukan. Ada pendapat yang menyatakan latar belakang pengumpulan mushaf pada masa Abu Bakar ini terjadi karena banyaknya penghafal Al-Quran yang wafat saat perang Yamamah. Ada pula yang berpendapat sebagian korban yang mati ketika perang Yamamah ini rata-rata orang yang baru masuk Islam dan hanya sedikit saja yang merupakan penghafal Al-Quran. Ada pula versi yang menyatakan pengumpulan mushaf ini tidak pernah disetujui oleh Abu Bakar dan merupakan inisiatif Umar secara personal.

Mushaf Utsmani di Museum Topkafi - Turki

Pada masa kekhalifahan Utsman, mushaf Utsmani dinyatakan menjadi mushaf resmi. Susunan surat pada bentuk final Al-Quran hingga saat ini adalah hasil kesepakatan para ahli pada masa Utsman ini, yaitu dengan jumlah surat sebanyak 114 buah, dimulai dengan Al-Fatihah diakhiri dengan An-Nas. Tentu saja wajar kalau ada hal politis pada masa itu yang melatarbelakangi keputusan meresmikan mushaf Utsmani ini sebagai satu-satunya referensi. Dampaknya, berbagai macam mushaf lainnya yang beredar di masyarakat Islam pada masa itu ditarik dari peredaran dan dimusnahkan. Mushaf Utsmani ditulis ulang beberapa kopi dan dikirim ke seluruh Gubernuran Islam pada masa itu. Hal ini dapat dikatakan sebagai usaha penyeragaman teks Al-Quran pertama kalinya.

Mushaf Utsmani ini menggunakan alfabet yang masih sangat sederhana. Penitikan pada huruf Arab belum dikenal sehingga misalnya huruf ba’, ya’, nun masih serupa. Selain itu tanda baca seperti fathah, kasrah, dhammah juga belum dikenal. Karena masyarakat Islam bukan lagi hanya bangsa Arab saja yang bisa berbahasa Arab (Al-Quran), melainkan ada bangsa Persia, Mesir, dan lainnya, mulai terjadi keragaman bacaan karena ketidakmengertian bahasa Arab ini.

Pada abad ke-9, Dinasti Abbasyiah mulai menyempurnakan huruf alfabet Arab dalam rangka penyeragaman kembali cara membaca Al-Quran. Ketika itu, ragam cara membaca Al-Quran itu mulai dikurangi dengan mulai diperkenalkannya sistem titik huruf dan tanda baca baru pada huruf Arab. Puncaknya, Ibnu Mujtahid, cendikiawan pada masa itu memilih tujuh ragam bacaan dari begitu banyak versi bacaan Al -Quran ketika itu. Kejadian ini dapat dikatakan sebagai usaha penyeragaman teks Al-Quran yang kedua.

Al-Quran abad ke-18 di sebuah museum di Bukittinggi, Sumatera Barat

Menjelang abad ke-20, hanya tiga dari tujuh versi bacaan Al-Quran yang tersisa, yaitu versi Nafi, versi Abu Amr, dan versi Asim. Sekitar tahun 1924, Mesir menjadi negara pertama yang melakukan percetakan Al-Quran dengan menggunakan mesin cetak otomatis. Al-Quran ragam bacaan Asim yang dipilih waktu itu menjadi standar cetak menjadi paling populer di kalangan umat Islam di seluruh dunia. Terlebih lagi, Arab Saudi setelah itu menyebarkan jutaan cetakan Al-Quran ini sebagai program hibah ke berbagai negara di seluruh dunia.

Kesejarahan Al-Quran inilah yang membuat ucapan lisan Al-Quran yang awalnya memiliki variasi yang sangat tinggi dapat berubah menjadi bundelan teks yang seragam dan dapat dikatakan final. Setelah penyeragaman susunan dan jumlah ayat Al-Quran, penambahan titik huruf-tanda baca huruf Arab, percetakan modern Al-Quran yang dapat menggandakan banyak kali dalam waktu yang singkat menjadi usaha penyeragaman terkini dan mungkin paling sukses hingga saat ini.

Al-Quran modern yang dicetak dengan mesin cetak modern

Nah, kalau begitu bagaimana kira-kira caranya menyikapi Al Quran setelah proses panjang konversi tradisi lisan Al-Quran menjadi bundelan Al-Quran pada masa kini? Silakan tunggu tulisan berikutnya.

(bersambung)

29 November 2009

Haji dulu, Haji sekarang..

Haji merupakan ibadah yang diperintahkan pada akhir-akhir masa hidup Nabi Muhammad. Pelaksanaan haji dalam Islam adalah suatu penghormatan nabi Muhammad terhadap tradisi Arab yang dijejak balik ke masa Nabi Ibrahim. Ibadah haji ini memang merupakan ibadah ‘asli’ dari Arab dibandingkan dengan ibadah shalat, puasa, zakat yang diadaptasi dari agama Ibrahimiyyah sebelumnya, yaitu Yahudi dan Kristen.

Historical picture of kaa'ba taken in 1880.

Semenjak periode pra-Muhammad, haji merupakan ibadah tradisional bangsa Arab. Pada kala itu, umumnya suku-suku Arab memiliki dewa pelindung yang biasanya diwakili oleh sebuah patung batu. Suku Quraisy mengumpulkan patung-patung batu ini di Haram yang merupakan zona dengan radius 30 km yang berpusat di Ka’bah. Berkat kepiawaian Suku Quraisy menjaga Haram, segala bentuk kekerasan di dalamnya terlarang. Keamanan Haram yang terjamin ini membuat para anggota suku-suku Arab lain bisa dengan aman menyembah dewa pelindungnya ketika berziarah ke Makkah.

Ritual haji memberikan perasaan spiritualitas yang luar biasa bagi anggota suku Arab yang melakukannya. Saat berziarah ke Makkah yang merupakan titik puncak siklus tahunan mereka, ada perasaan berhasil dan gembira. Karavan-karavan diperiksa oleh suku Quraisy, unta dibebaskan dari pikulan beban, dan setelah membayar biaya yang rendah, pada pedagang dan budak bebas untuk menunaikan perhormatan mereka kepada Haram. Sambil menyusuri lorong pinggiran kota yang sempit, mereka menyerukan seruan ritual menyerukan kehadiran mereka kepada dewa yang menanti kedatangan mereka. Perasaan mereka seperti kembali pulang ke rumah setelah dari perjalanan panjang.

Ketika para anggota suku Arab tiba di Ka’bah yang dikelilingi ratusan patung dari masing-masing suku Arab, mereka mulai melaksanakan ritual Haji yang paling terkenal: tawaf, yaitu mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali dengan putaran berlawanan arah jarum jam. Saat peziarah berlari kecil di seputar Ka’bah, mereka menempatkan diri menyerupai arah tatanan fundamental kosmos. Dengan memutari Ka’bah, mereka belajar menemukan orientasi sejati dan pusat batin mereka. Ritme lari kecil yang tetap secara mengosongkan benak mereka dari pikiran yang dangkal dan membantu mereka memasuki keadaan yang lebih meditatif.

Selanjutnya, dilakukan ritual Haji berlari tujuh kali antara Bukit Shafa dan Marwah sebelah timur Ka’bah; berlari ke Lembah Muzdalifah; melakukan wukuf di Gunung Arafah, dua puluh lima kilometer di luar kota; melempar kerikil ke arah tiga tonggak di lembah Mina; dan pada akhir ziarah mereka, mengurbankan unta betina mereka yang paling berharga, simbol kekayaan dan dengan demikian mereka sendiri.

Pada tahun 632, Nabi Muhammad memimpin kaum Muslimin melakukan ritual Haji. Ritualnya mirip dengan apa yang dilakukan suku Arab pada umumnya waktu itu. Tambahannya adalah ritual mencium Hajar Aswad, sebuah batu hitam di sudut Timur Ka’bah yang berjasa menaikkan reputasi sebagai Al-Amin (yang dapat dipercaya) sewaktu beliau masih muda. Selain itu, seruan kepada dewa juga diganti dengan seruan kepada Allah: Labbaik Allahumma Labbaik, Ya Allah atas panggilanMu aku datang.

Pada masa Haji pertama ini, kaum Muslimin berada di atas angin memenangkan banyak pertempuran dengan kaum Musyrikin Quraisy yang menjaga Ka’bah. Hal ini memudahkan Nabi Muhamad menghancurkan patung-patung batu. Konon katanya semua patung batu dihancurkan, kecuali patung Maria dan Yesus. Tindakan penghancuran patung batu ini meneguhkan Ka’bah sebagai rumah Allah untuk mempromosikan ketauhidan kepada Allah: Tidak ada tuhan-tuhan, kecuali Tuhan.

***

Saat ini, Haji merupakan ziarah keagamaan terbesar di dunia dengan peziarah lebih kurang tiga juta orang. Bisa dibayangkan dengan jumlah sebanyak ini, bagaimana urusan haji menjadi hal semakin kompleks. Dengan sistem pendukung juga menjadi lebih canggih, tetap saja korban kecelakaan tidak dapat dihindarkan dan menimbulkan kematian ratusan orang setiap tahunnya. Misalnya pada tahun 2009 ini, terjadinya cuaca buruk dan banjir besar di Arab Saudi saja menewaskan 83 orang. Belum lagi korban yang disebabkan oleh berdesak-desakan dan terinjak-injak saat melempar Jumrah di Mina.

A picture of people performing {{w|Tawaf}} (ci...

Berbagai kejadian ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan beberapa pihak mengusulkan pemikiran agar pelaksanaan Haji dilaksanakan beberapa kali setahun. Di Al Quran seperti pada surat Al Baqarah ayat 97 tertulis bahwa terdapat beberapa bulan Haji dalam satu tahun. Meskipun begitu, Nabi Muhammad pada masa hidupnya hanya melakukan dua kali ibadah Haji dan keduanya pada bulan Dzulhijah, setelah kembali ke Madinah pada Haji yang kedua, beliau wafat. Hal ini menimbulkan perdebatan di antara para Ulama.

Pro dan kontra saat ini masih terjadi seputar berhaji di luar bulan Dzulhijah. Tetapi saya pikir dengan jumlah peserta Haji yang sudah melebihi kapasitas, lambat laun pelaksanaan Haji ini akan dilakukan dalam bulan lain juga selain Dzulhijah.

Semakin sulit untuk umat Islam saat ini meng-copy paste ibadah haji persis seperti Nabi Muhammad melakukannya 1400 tahun yang lalu. Salah satu contoh, hampir tidak mungkin tiga juta orang melakukan wukuf tanggal 9 Dzulhijah secara bersamaan tumplek plek di Arafah yang luasnya hanya sekitar 3,5 x 3,5 km² ini, sekitar setengahnya Bandara Soekarno-Hatta lebih sedikit. Kalau dikatakan Wukuf itu adalah inti dari ibadah Haji, apa berarti peserta yang nongkrong di luar Arafah karena tidak kebagian tempat tidak dapat disebut berhaji? Hayo?

(bersambung)

9 November 2009

Festival Kebudayaan Islam : Sejarah dan Kisah

“Apa perbedaan antara sejarah dengan kisah?”, pertanyaan ini yang saya coba cari di google. Setelah saya klik pautan Yahoo!Answer yang berkaitan dengan pertanyaan ini, saya tidak puas dengan jawaban bahasa Indonesia. Lalu saya cari lagi kata kunci ini dalam bahasa Inggris, “What is the difference between history and story?” Ternyata saya temukan jawaban di wiki.answer.com seperti ini :

History is meant to be an objective narrative description of past events, while a story will be a subjective narrative description of either real past events or imaginary people and events.

Sejarah adalah rangkaian cerita yang objektif mengenai kejadian masa lalu, sedangkan kisah adalah rangkaian cerita yang subjektif bisa faktual atau imajiner mengenai kejadian masa lalu atau orang di masa lalu. Ilmu sejarah saat ini tidak lagi berada pada tingkat pengetahuan (knowlegde), tetapi telah beralih ke tingkat ilmu pengetahuan (sains). Metodologi ilmu sejarah semakin menuntut fakta objektif, seperti layaknya juga ditemui pada cabang ilmu pengetahuan lain yang juga menuntut bukti-bukti empiris.

Sejarah memiliki informasi penting sebagai sumber pengetahuan dan pembelajaran berkat tingkat objektifitas dan faktualitas yang tinggi. Dari sejarah kita dapat mengetahui secara objektif bagimana mekanisme kebudayaan suatu peradaban berkembang dan bisa mengetahui faktor keberhasilan dan kegagalan suatu peradaban.

Bagaimana posisi ‘kisah’ pada struktur pengetahuan masyarakat modern? Nilai moral dan kebijaksanaan yang terkandung di dalam suatu kisah dapat menjadi sumber pengetahuan dan pembelajaran. Mengenai faktualitas, alias terjadi atau tidaknya suatu kisah bukan menjadi nilai penting untuk dikonfirmasi kebenarannya. Kalaupun ada unsur fakta dalam suatu kisah, hal ini merupakan suatu kewajaran untuk memudahkan pemahaman pembaca terhadap nilai moral yang berusaha disampaikan.

Pada masa awal peradaban Islam, metodologi sejarah belum berkembang. Kisah mengenai tokoh politik dan keagamaan sering kali digambarkan secara metaforis dan hiperbolis. Belakangan, Ibnu Khaldun (1332-1406) asal Tunisia merupakan salah satu ilmuwan sejarah Islam yang menegaskan perbedaan antara sejarah dan kisah.

Menurut Ibnu Khaldun, para pemikir sebelum masanya cenderung tidak sistematis dalam mengemukakan analisis sejarah. Kebanyakan dari mereka bahkan tidak menggunakan analisis, melainkan deskripsi semata. Pendekatan semacam itu sangat berbahaya karena akan mereduksi realitas sebenarnya menjadi hanya yang tampak di permukaan.

Para peneliti sebelum Ibn Khaldun bahkan tidak mampu membedakan antara asumsi dan fakta sejarah. Hal itu bisa terlihat dalam fakta-fakta sejarah yang dikemukakan acapkali tidak masuk di akal. Logis tidaknya sebuah peristiwa yang diceritakan menjadi salah satu parameter kunci untuk memastikan apakah peristiwa itu memang benar terjadi atau kisah turun temurun.

Adalah sebuah kerepotan kalau kita menyamakan antara sejarah dan kisah. Sebuah sejarah cenderung realistis dan manusiawi, sedangkan kisah sering kali memasukkan unsur metafora dan melebih-lebihkan (hiperbola). Kalau detil-detil sebuah kisah dianggap sebagai fakta, kita jadi cenderung ‘ahistoris', tidak realistis, dan tidak manusiawi. Bisa jadi kita malah terpaku meyakini imajinasi dalam kisah sebagai hal yang faktual dan gagal menangkap pesan moral dalam kisah itu.

***

Isra’ Mir’aj

Kalau kita masuk ke dalam kebudayaan Islam klasik, kisah dan sejarah di masa lalu masih belum dapat dibedakan. Penulis sejarah (kisah) pertama nabi Muhammad adalah seorang tabiin bernama Ibnu Ishaq sekitar abad pertama Hijriah (d. 767M). Hasil tulisannya mempengaruhi beberapa penulis lain, antara lain Ibnu Hisyam (d. 833M) dan At-Tabari (d. 923M).

Kerepotan ‘sejarah vs kisah’ misalnya terjadi pada Isra’ Mir’raj. Versi yang kita tahu selama ini terutama berasal dari kitab Sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisyam. Lebih lengkap mengenai Sirah ini dapat dilihat di tautan ini. Berikut ini saya ambilkan cuplikan kisah yang kita ketahui secara umum dari pautan wikipedia versi Indonesia ini :

Peristiwa Isra Mi'raj terbagi dalam 2 peristiwa yang berbeda. Dalam Isra, Nabi Muhammad SAW diberangkatkan oleh Allah SWT dari Masjidil Haram hingga Masjidil Aqsa. Lalu dalam Mi'raj Nabi Muhammad SAW dinaikkan ke langit sampai ke Sidratul Muntaha yang merupakan tempat tertinggi. Di sini beliau mendapat perintah langsung dari Allah SWT untuk menunaikan shalat lima waktu.

Kisah yang diambil dari kitab Ibnu Hisyam ini adalah sumber utama cerita Isra' Mi'raj. Di belakang hari, beberapa ulama menafsirkan beberapa ayat-ayat Al-Quran sebagai referensi kisah Isra' Mi'raj ala Ibnu Hisyam. Tentang Isra' diambilkan ayat 17:1, yaitu surat Al Isra' atau bani Israel, yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia sbb:

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (17:1)”

Sedangkan ayat Mi'raj diambilkan dari surat An Najm, yaitu surat ke-53 (dalam Mushaf Utsmani). Secara literal, kata ‘Mi’raj’ tidak ditemukan pada Al-Quran. Ayat ini diambil sebagai referensi karena terdapat kata ‘Sidratil Muntaha’ yang merupakan tempat yang dikunjungi Nabi Muhammad ketika Mi’raj. Berikut ini adalah terjemahan Bahasa Indonesia ayat ini :

Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (53:13)

(yaitu) di Sidratil Muntaha. (53:14)

Di dekatnya ada syurga tempat tinggal, (53:15)

(Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. (53:16)

 

***

Ada beberapa permasalahan kalau ayat-ayat ini dijadikan referensi kisah Isra’ Mi’raj’. Pada kisah Isra’, kata ‘Masjidil Aqsa’ pada ayat 17:1 ditafsirkan sebagai Masjid Al-Aqsa di Jerusalem. Padahal  bangunan Masjidil Aqsa itu sendiri baru didirikan setelah kematian nabi Muhammad. Ada yang berpendapat pembangunan pertama pada kekhalifahan Umar. Belakangan ada versi lain yang menyebut pembangunan pertama dilakukan pada awal masa dinasti Ummayah.

Selanjutnya, pada masa Abdul Al-Malik dari Dinasti Abasyiah (690M), di sebelah Masjidil Aqsa dibangun masjid yang lebih besar lagi bernama Masjid Qubbat As-Sakhrah (Dome of Rock) yang kadang juga disamakan dengan Masjidil Aqsa (sebenarnya berbeda). Jadi pada waktu nabi Muhammad melakukan perjalanan Isra’ kedua bangunan ini belum ada.

Beberapa tafsir modern, seperti misalnya tafsir Yusuf Ali, menerjemahkan ‘Masjidil Aqsa’ pada ayat 17:1 sebagai ‘tempat sujud terjauh’. Tempat sujud terjauh pada zaman nabi hidup ditafsirkan sebagai Baitul Maqdis di Jerusalem yang saat itu masih dalam kekuasaan kerajaan Persia dan merupakan kiblat shalat umat Muslim ketika itu.  Baru pada masa kekhalifahan Umar-lah kekuasan Islam mencapai Jerusalem sehingga Masjidil Aqsa dapat direalisasikan sebagai bangunan masjid.

Sebuah alternatif tafsir yang juga berbeda, ayat 17:1 ini kalau kita lihat dalam konteks urutan ayatnya lebih cocok direferensikan pada kisah Bani Israel yang memiliki kebiasaan berjalan (hijrah) pada malam hari. Berikut ini kita lihat urutan ayat Al-Isra :

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-hambaNya (Bani Israil) pada suatu malam dari tempat sujud yang suci (Masjidil Haram) ke tempat sujud yang terjauh (Masjidil Aqsa) yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (17:1)

Dan Kami berikan kepada Musa kitab (Taurat) dan Kami jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman): "Janganlah kamu mengambil penolong selain Aku, (17:2)

(yaitu) anak cucu dari orang-orang yang Kami bawa bersama-sama Nuh. Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur. (17:3)

Ketidaksinkronan ini juga terjadi pada kisah Mir’raj’. Kita mengetahui bahwa Al-Quran yang diwahyukan ayat per ayat secara berangsur, Surat An-Najm yang dipandang sebagai ayat legitimasi Mi'raj itu secara urutan turun lebih dulu dibandingkan dengan Al-Isra’ ayat 1, paling tidak lima tahun sebelumnya.

Dari mengacu dari segi waktu turunnya ayat, berarti Isra dan Miraj tidak terjadi secara bersamaan. Apakah mungkin peristiwa Mi’raj’ tidak terjadi dalam satu malam dengan peristiwa Isra’, melainkan terjadi lima tahun lebih cepat dari Isra’ ?

***

Argumen kedua ayat ini sebagai referensi faktual Isra’ dan Mi’raj’ sulit untuk dipertahankan. Sejauh ini, kisah Isra’ Mir’aj baru dapat direferensikan oleh kitab Sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisyam. Kitab biografi Muhammad klasik yang lain tidak pernah menyebutkan kisah ini, seperti misalnya pada kitab Tarikh al-Tabari.

Memahami pesan moral yang dibangun pada kisah Isra’ Mi’raj’ ini memiliki hikmah tersendiri. Meskipun begitu, mempercayai kisah Isra’ Mi’raj versi Ibnu Hisyam secara detail sebagai hal yang benar-benar terjadi (faktual) memiliki resiko bagi kita menjadi seorang yang ahistoris dan tidak realistis.

Belum ada kesepakatan di antara ulama kapan Isra’ Mi’raj ini terjadi, bisa dilihat pada tautan ini. Di Indonesia yang penduduknya mayoritas Muslim bermazhab Syafi’i, peringatan Isra’ Mi’raj ini dirayakan setiap tanggal 27 Rajab turun-temurun secara besar-besaran dan merupakan hari libur resmi keagamaan.

Sebenarnya masih banyak lagi fenomena ‘sejarah vs kisah’ lain. Tapi kok jadi serius dan terlalu panjang ya? Pusing-pusing, buat orang Indonesia yang penting kan jadi hari libur.. Ya nggak? :)

13 Oktober 2009

Festival Budaya Islam : Bagian 3 – A La Indonesia (Fosil)

Komodo (Varanus komodoensis) adalah hewan khas Indonesia yang hanya ada di Pulau Komodo saja. Penemuan fosil terbaru menunjukkan bahwa nenek moyang Komodo ternyata berasal dari Australia. Dalam waktu jutaan tahun, nenek moyang Komodo berevolusi hingga menjadi Komodo 'modern' menyesuaikan dengan kondisi lingkungan di Pulau Komodo. Di tempat lain, ternyata nenek moyang Komodo ini tidak berhasil menyesuaikan diri dengan lingkungan dan punah. Saat ini, kita hanya melihat Komodo sebagai ‘fosil hidup’ di Pulau Komodo saja; tidak di Australia tempat asalnya, ataupun di tempat lain.

Proses evolusi yang sama juga terjadi pada penyebaran pemikiran agama, diantaranya Islam. Kita mungkin masih sempat melihat ‘fosil hidup’ sisa-sisa evolusi penyebaran agama Islam di berbagai tempat di Indonesia. Atau mungkin pula, kita benar-benar hanya melihat fosil mati sisa-sisa kepunahan budaya Islam yang sempat berkembang di Nusantara ini.

Seiring dengan perkembangan komunikasi dan transportasi, Islam mazhab Syafii ala mayoritas penduduk Indonesia semakin mudah untuk menyebar hingga ke daerah pelosok Indonesia. Tidak jarang proses penyebaran ini diikuti proses seragam-menyeragamkan, baik dengan cara damai maupun dengan cara kekerasan.

Pada skala yang lebih besar, penyebaran berbagai pemikiran Islam secara global saling berkompetisi pengaruh-mempengaruhi satu sama lain. Misalnya, kita mungkin merasakan gelombang Islam ala Timur Tengah yang mulai dirasakan pengaruhnya belakangan ini di Indonesia. Misalnya, kelahiran Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mengadopsi ideologi organisasi Ikhwanul Muslimin asal Mesir; atau juga munculnya organisasi ‘impor’ macam Hizbut Tahrir.


Seperti hukum alam kehidupan, ada jenis-jenis pemikiran yang berhasil tumbuh berkembang hingga saat ini, ada pula yang makin tergeser dan hampir punah. Berikut ini bisa kita lihat beberapa jenis pemikiran Islam yang makin tergeser dan hampir punah.

Islam Telu Wetu
Kalau kita sempat jalan-jalan ke Pulau Lombok, mungkin kita masih bisa menemui Islam Sasak yang bernama asli Wetu Telu. Islam Sasak ini merupakan sinkretisme dari agama Islam dengan kebudayaan lokal setempat. Pada masyarakat ini, terdapat tradisi asli Islam seperti jabatan Kyai dan bangunan masjid sebagai pusat keagamaan. Di sisi lain, ritualnya disesuaikan dengan budaya setempat, misalnya saja waktu shalatnya 3 kali sehari.


Islam diperkirakan masuk sekitar akhir abad ke-16 ke Pulau Lombok dari pengaruh Sunan Giri atau Sunan Prapen. Pemahaman Islam Sasak ini sinkretis antara agama Islam Jawa dengan animisme lokal. Islam Jawa sendiri merupakan campuran budaya Islam yang berasal dari Gujarat (India), Hadramaut (Yaman), dan/atau Cina yang berakulturasi dengan pemahaman Pantesime dan Hinduisme yang sudah berada sebelumnya di Jawa. Ruwet kan?

Saat ini, Islam Sasak di Lombok semakin tergeser dan terancam punah. Salah satu titik penting adalah tahun 1965 setelah terjadinya pemberontakan G30S PKI. Akhir tahun 1965, pemerintah memberikan tekanan untuk memilih salah satu dari lima agama resmi. Salah satu prakteknya adalah kewajiban memilih agama dalam KTP yang dimiliki oleh setiap orang yang berusia 17 tahun.

Islam Wetu Telu pada masa itu dianggap sebagai ‘agama belum sempurna' karena prakteknya memiliki banyak ketidaksamaan dengan interpretasi Islam di Indonesia saat itu (dan juga saat ini). Hal ini menyebabkan banyak penganut Islam Wetu Telu yang terpaksa 'berpindah agama' menjadi Islam Waktu Lima seiring dengan menguatnya tekanan dari penganut Islam Waktu Lima yang didukung militer dan pemerintah pusat. Bila sebelum tahun 1965 populasi Islam Waktu Telu sekitar 20% dari penduduk Lombok, tahun 1967 populasinya sudah kurang dari 1%.

Waktu belakangan ini, proses pengaruh-mempengaruhi praktek Islam ini datang dengan cara lebih damai. Hadirnya Tuan Guru datang dari berbagai daerah menyebarkan Islam 'modern' dengan cara dakwah pada masyarakat Sasak. Selain itu, penyebaran Islam ‘modern’ untuk anak-anak dan remaja dilakukan melalui pendidikan agama Islam untuk SD, SMP, SMU telah distandardisasi berdasarkan kurikulum dari Departemen Pendidikan Pusat.

Muslim-Cina di Indonesia
Kisah yang mirip juga terjadi dengan masyarakat pendatang dari Cina yang menganut agama Islam. Kedatangan yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho ini adalah salah satu dari beberapa gelombang kedatangan penduduk Cina ke Indonesia. Pada awal abad ke-15, Cheng Ho ditugaskan oleh Kaisar Zhu Di dari Dinasti Ming melakukan ekspedisi bahari ke Samudera Hindia (Barat). Tujuan utamanya adalah melakukan politik luar negeri yang damai dengan harapan berkembangnya perdagangan ekspor-impor. Selain itu, Zhu Di menugaskan Cheng Ho untuk mencari mantan Kaisar Zhu Yunwen yang digulingkannya dan konon melarikan diri ke luar negeri Cina.

Cheng Ho adalah seorang Cina penganut Islam mazhab Hanafi. Di pelabuhan yang dikunjunginya, Cheng Ho dan pengikutnya secara aktif berdakwah, dan membangun komunitas Islam Cina, dan mendirikan mesjid. Dia disebut-sebut salah satu peletak dasar keimanan Islam di Indonesia dengan mazhab Hanafi dalam bahasa Cina. Sisa-sisa peninggalannya dapat kita lihat di Palembang, Sambas, dan Jawa. Salah satunya adalah kelenteng Sam Po Kong di Semarang yang namanya diambil dari nama kecil Cheng Ho.


Setelah kematian Cheng Ho, Bong Swie Ho (Sunan Ampel) mengambil prakarsa untuk melakukan proses ‘Jawanisasi’. Dia meninggalkan komunitas Tionghoa muslim hijrah bersama orang-orang Jawa yang baru diislamkannya. Ekspedisi kelautan Cina kemudian dihentikan dari pusat kekaisarannya. Islam mazhab Hanafi yang dikembangkan oleh Cheng Ho hilang kontak dengan negeri Cina dan secara gradual ajarannya hilang terdilusi dengan Islam mazhab Syafi’i yang lebih diterima oleh penduduk lokal saat itu. Seiring dengan meredupnya ajaran Islam Hanafi asal Cina ini, banyak masjid Muslim-Cina yang berubah menjadi kelenteng.

Pada masa itu, diperkirakan terjadi perpindahan mazhab muslim secara umum dari Hanafi ke Syafi’i. Hal itu didorong oleh realitas sosiologis masyarakat Jawa yang tidak memungkinkan persemaian mazhab Hanafi yang rasionalistik. Sebaliknya mazhab Syafi’i dinilai lebih kompatibel dengan semangat kebudayaan masyarakat Jawa yang tidak bisa dilepaskan dari tradisi lokal.

Perkembangan selanjutnya, berbagai perjalanan sejarah memojokkan etnis keturunan Cina di Indonesia. Salah satu yang menyebabkan hal ini terjadi adalah warisan VOC kepada masyarakat Jawa saat perkembangannya. Sikap antipati yang diwarisi VOC berawal dari keharmonisan yang terjalin antara masyarakat Jawa dengan etnis Cina di bidang ekonomi, sosial, dan politik. Belanda merasa tersaingi, terutama di dalam bidang perdagangan. Puncaknya, VOC mengadakan pembantaian massal atas etnis Cina, yang kemudian dikenal dengan chinezenmoord (pembantaian orang Cina) yang terjadi pada Oktober 1740. Setelah tragedi itu, berbagai peraturan VOC dibuat untuk membatasi gerak etnis Cina ini.

Setelah kemerdekaan Indonesia, pelaksanaan politik Presiden Soekarno dan Soeharto juga sering kali memojokkan etnis keturunan Cina. Di samping itu, terjadi pula berbagai peristiwa berdarah di negeri ini yang tertuju pada etnis Cina. Berbagai kerusuhan anti-Cina beberapa kali terjadi, misalnya pada tragedi Kerusuhan Jakarta 1998. Setelah masa reformasi hingga saat ini, kebijakan pemerintah relatif lebih ramah terhadap etnis Cina. Meskipun begitu, tetap saja masih ada ‘jarak’ perlu dihilangkan antara kaum pribumi dengan etnis keturunan Cina.

So What Gitu Loh?
Lalu apa selanjutnya? Melihat kisah-kisah di atas ini, kalau kita telusuri lagi ternyata ada berbagai macam rupa pemikiran Islam yang berkembang di Indonesia. Misalnya pada, Islamisasi Jawa oleh pendatang Cina-Muslim yang datang bersama dengan Cheng Ho. Fakta ini cenderung telah menjadi fosil sejarah yang telah lama terlupakan oleh masyarakat Islam Indonesia. Dengan menggali sejarah, kita jadi lebih mengerti proses terjadinya keragaman hingga saat ini.

Moga-moga kita bisa lebih santai dan rasional dalam menanggapi keragaman dalam perkembangan Islam di Indonesia. Begitu pula dengan polarisasi antara Islam pribumi dengan etnis keturunan Cina. Moga-moga suatu saat nanti jarak antara kaum pribumi dan etnis keturunan Cina bisa perlahan-lahan menghilang.