Mempelajari sejarah keagamaan merupakan salah satu hal penting sangat penting dalam ‘menghidupkan’ pemahaman dan keyakinan beragama. Pemahaman agama yang dogmatis saja semakin tidak memadai untuk tetap mencerahkan kehidupan kita. Mempelajari sejarah perkembangan Islam sendiri membantu saya memahami bagaimana keragaman dalam Islam yang kita temui saat ini ternyata memiliki latar belakang sejarah yang kuat. Beberapa waktu lalu, saya melihat sebuah perdebatan tentang hadits dalam sebuah diskusi online dan membuat saya tertarik untuk menengok sedikit tentang sejarah pembentukan hadits. Berikut ini adalah sedikit laporan tentang apa yang telah saya temui.
Al-hadits (literal: perkataan/narasi) adalah kumpulan catatan dari perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad. Saat ini, makna hadits meluas dan identik dengan As-sunnah (tradisi) yang bermakna bahwa semua perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad dapat dijadikan sebagai referensi dalam hukum Islam. Bila Al-Quran relatif seragam, koleksi hadits yang dimiliki masing-masing kelompok Islam, seperti misalnya Muslim Sunni dan Syiah, terdapat perbedaan.
Hadits memiliki sumber dari perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad. Akan tetapi, penulisan hadits sendiri baru dimulai pada era Umar bin Abdul Aziz (Khalifah ke-8 Dinasti Umayyah). Penulisan hadits ini terjadi sekitar akhir abad pertama Hijriah (720an M) sekitar 90-an tahun setelah wafatnya Muhammad. Pada masa kehidupan Nabi Muhammad, beliau sendiri melarang sahabat untuk menulis perkataannya karena khawatir tercampur dengan Al-Quran. Hal ini tercatat pada Shahih Muslim dan beberapa koleksi hadits lain.
“Janganlah kalian semua menulis dariku, barang siapa menulis dariku selain al-Quran maka hendaklah menghapusnya” (Shahih Muslim Juz II, hal 710)
Pada era Khalafaur Rasyidin, mushaf Al-Quran sudah mulai diformalisasi dan mencapai bentuk nyata pada masa Utsman. Di sisi lain, perkataan dan perbuatan Nabi masih diceritakan dari mulut ke mulut dan belum mulai dituliskan. Mengapa perkataan Nabi Muhammad akhirnya dituliskan menjadi koleksi hadits? Perkembangan penulisan koleksi hadits salah satunya dapat dilihat secara paralel dengan perkembangan politik Arab dimulai pada era dinasti Umayyah seperti berikut ini.
Menjelang berakhirnya masa Khalafaur Rasyidin terjadi konflik Ali bin Abi Thalib dan Muawiyyah bin Abu Sufyan. Dengan terjadinya pembunuhan Ali, maka masa Khalafaur Rasyidin berakhir dan kekuasaan digantikan oleh Muawiyyah yang kemudian mendirikan Dinasti Umayyah. Pemerintahan Muawiyyah dan khalifah pelanjutnya yang ekspansif, tidak stabil, dan otoriter menggunakan banyak kutipan perkataan Nabi sebagai legitimasi pemerintahan. Beberapa khalifah dari Dinasti Umayyah melakukan legitimasi melalui pengutipan perkataan Nabi untuk menanggapi suatu isu atau menjalankan suatu kebijakan. Di samping itu, lawan politik Dinasti Umayyah, seperti misalnya kaum Syiah dan Khawarij juga mengutip perkataan nabi sebagai legitimasi tindakan-tindakan masing-masing.
Tindakan khalifah ini membuat kutipan yang diklaim sebagai perkataan Muhammad digandakan sehingga jumlahnya berkembang pesat. Dalam beberapa riwayat, jumlah perkataan Nabi pada masa ini mencapai satu juta kutipan. Hingga saat ini, kita dapat melihat beberapa hadits yang bersifat kedaerahan dan menggambarkan budaya Arab pada era pertengahan. Hadits ini bisa jadi pernah digunakan untuk mendukung kekuasan khalifah pada era pasca-Muhammad. Salah satunya adalah hadits yang mengambarkan kaum Quraisy (termasuk Bani Umayyah) lebih tinggi daripada kaum lain. Sebagai upaya administrasi, Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah Umayyah ke-8 mulai memerintahkan kaum ulama para era pemerintahannya yang singkat untuk memulai penulisan hadits yang berkembang dari mulut ke mulut pada masyarakat Arab kala itu.
"Para Imam itu dari golongan Quraisy, jika mereka memimpin mereka adil, jika mereka berjanji mereka tepati, dan jika dimintai kasih sayangnya, mereka akan memberikan”(HR. Ahmad)
Setelah dinasti Umayyah runtuh, Dinasti Abbassiyah mulai berdiri pada tahun 758M. Ulama pada dinasti Abbasiyah menghadapi sangat banyak tulisan hadits dan beberapa di antaranya kontradiktif satu sama lain. Menanggapi hal ini, ulama Abbassiyah mulai mengembangkan metode seleksi hadits untuk keperluan politik dan keagamaan. Berkat pengenalan teknologi kertas ke dunia muslim sebelumnya sekitar tahun 751 M, perkembangan ilmu hadits sebagai metode seleksi hadits ini makin berjalan sangat pesat.
***
Ilmu hadits sebagai metode seleksi hadits memiliki dua komponen penting, yaitu matan dan sanad. Matan adalah redaksional urutan kata yang mengandung narasi perkataan atau perbuatan Nabi. Dalam matan ini, urutan kata-kata diperhatikan secara detil. Sanad adalah urutan rantai satu per satu orang yang meriwayatkan hadits hingga ke Nabi. Ketersambungan rantai urutan sanad ini juga mempertimbangkan reputasi orang yang meriwayatkan hadits. Berdasarkan kedua komponen ini, maka didapatkan suatu derajat kekuatan hadits. Dikatakan sebagai hadits shahih (kuat/sound) karena redaksional pesan dan urutan pencerita konsisten satu sama lain, sedangkan dikatakan sebagai hadits dhaif (lemah) karena kedua komponen ini kurang konsisten. Selain itu, berkembang pula berbagai klasifikasi lain yang lebih kompleks mengenai hadits.
Dengan metodologi seleksi hadits yang sedemikian ketat, pendekatan terhadap keaslian koleksi dari hadits shahih ini dapat dilakukan. Meskipun begitu, keshahihan hadits tidak mempastikan bahwa hadits ini benar-benar dikatakan oleh Muhammad sendiri. Tetap ada ruang dalam perdebatan antarulama hingga saat ini mengenai otentisitas hadits meskipun telah dinyatakan sebagai hadits shahih oleh ulama lain. Imam Muslim sebagai ulama yang menyeleksi hadits dengan ketat sendiri tidak pernah mengklaim koleksi haditsnya sebagai hadits yang pasti dikatakan oleh Muhammad. Imam Muslim mengatakan bahwa tujuannya adalah mengumpulkan koleksi hadits yang disetujui keakuratannya oleh umat Islam. Jadi, proses pembentukan hadits hingga menjadi bentuk formal hingga saat ini merupakan kesepakatan ulama pada masa abad kedua dan ketiga Hijriah dalam upaya mengumpulkan riwayat kenabian melalui metode pendekatan sejarah yang kuat.
Koleksi hadits memiliki variasi dalam pada berbagai kelompok Muslim, seperti misalnya pada Muslim Sunni dan Syiah. Muslim Syiah hanya menggunakan kumpulan hadits yang diriwayatkan oleh keturunan Nabi Muhammad melalui Fatimah (Istri Ali sekaligus anak Muhammad) atau sahabat yang memihak Ali bin Abi Thalib. Riwayat yang berasal dari sahabat Nabi yang diklaim memusuhi Ali, seperti misalnya Aisyah (istri Muhammad) yang melawan dengan Ali dalam perang Jamal, tidak dimasukkan dalam koleksi hadits Syiah. Secara umum, koleksi hadits Syiah memiliki sudut pandang keluarga Muhammad, sedangkan koleksi hadits Sunni memiliki banyak sudut pandang sahabat Nabi.
Dalam tradisi muslim Sunni, sejarah menunjukkan proses formalisasi hadits dimulai sejak 90 tahun hingga 230 tahun setelah wafatnya Muhammad. Dalam tradisi Sunni, terdapat enam koleksi hadits utama yang sering digunakan, yaitu Shahih Bukhari dan Muslim serta Sunan An-Nasa’i, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Dua koleksi yang pertama, Shahih Bukhari dan Muslim dianggap memiliki otoritas tertinggi. Imam Bukhari menyeleksi 300 ribu hadits menjadi tinggal 2600an hadits saja melalui penelitian yang sangat ketat selama enam belas tahun. Melengkapi metode ketatnya, konon pada setiap memulai penulisan hadits Bukhari melakukan shalat untuk meneguhkan pikirannya. Metode seleksi yang ketat, meskipun berbeda, juga dilakukan oleh Imam Muslim yang merupakan murid dari Iman Bukhari. Dengan perbedaan metode ini, hadits yang sama-sama terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih muslim menjadi hanya 1400an hadits saja.
***
Hadits secara umum diletakkan sebagai sumber hukum Islam, kecuali oleh beberapa kelompok muslim yang hanya mempercayai Al-Quran saja dan tidak mempercayai hadits. Kelompok ini minoritas dan mengalami tekanan dalam komunitas Muslim mayoritas. Kita juga perlu mengetahui bahwa kritik kelompok ini ditekankan pada keabsahan proses penulisan perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad. Kelompok ini mempertanyakan keotentikan periwayatan dan apakah berasal langsung dari Muhammad.
Dalam tradisi muslim Sunni, masing-masing mazhab memiliki variasi dalam penggunaan hadits sebagai sumber hukum. Imam Syafi’i yang dijuluki Natsir As-sunnah (Pembela As-sunnah) sangat menekankan penggunaan hadits sebagai referensi utama, baik dalam ibadah maupun sosial. Imam Hanafi yang lebih rasionalistik menggunakan hadits secara ketat pada ibadah, sedangkan pada kegiatan sosial, beliau lebih menekankan penggunaan nalar. Imam Maliki yang lebih longgar dalam penggunaan hadits memasukkan tradisi yang dilakukan oleh para Sahabat Madinah pasca-Muhammad sebagai living hadits.
Perkembangan hadits selanjutnya semakin menarik, terutama dengan berkembangnya gerakan reformasi Islam untuk kembali ke tradisi masa kehidupan Nabi oleh Ahlul Hadits atau juga biasa dikatakan sebagai kaum Salafi. Hal ini moga-moga dapat saya laporkan pada tulisan selanjutnya. Demikianlah sedikit serba-serbi tentang sejarah pembentukan hadits. Semoga berguna.. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar