21 Februari 2010

Bicara Soal Sarjana Biologi (Lagi)

HimaBio Nymphaea

Sekarang saya mau kembali urun bicara soal sarjana Biologi. Pada tulisan dulu sebelumnya, saya sudah pernah bicara mengenai urusan sarjana Biologi ini. Saat ini, saya hanya mau sekedar melakukan update saja mengenai perubahan kesimpulan apa saja yang terjadi setelah hampir tujuh tahun saya menyelesaikan pendidikan sarjana Biologi dan melanjutkan pelajaran saya ke dunia kerja.

Sebenarnya, corat-coret iseng mengenai sarjana Biologi ini adalah pe-er yang sangat sengaja saya berikan ke diri saya sendiri untuk dikerjakan secepatnya. Bukannya apa-apa, dari beberapa interaksi dengan sahabat  serta melihat beberapa hit pencarian di blog saya, ternyata banyak orang yang memerlukan informasi seputar pekerjaan untuk para sarjana Biologi.

Setelah saya lihat lagi di situs pencarian google, ternyata urusan pekerjaan untuk sarjana Biologi ini memang agak jarang ditemui. Saya jadi bertanya: apa iya keahlian sarjana Biologi tidak banyak dibutuhkan di lapangan pekerjaan di Indonesia? Ataukah memang dunia tenaga kerja memang hanya sedikit yang membutuhkan secara spesifik lulusan Biologi? Atau malah jangan-jangan sarjana Biologi ini dihindari dalam pencarian kebutuhan tenaga kerja?

Kalau boleh sedikit berkata sarkastik (jangan marah lho ya..), pandangan orang umum tentang sarjana Biologi saat ini adalah seputar orang-orang yang memperhatikan lingkungan, atau jago menghafal bentuk dan nama latin hewan dan tumbuhan, atau peneliti di lab dengan jas putih, atau malah kutu buku (geek). Sementara sarjana Biologi yang telah jauh meninggalkan dunia Biologi, melepaskan sejarah ke-Biologi-annya bergerak ke dunia yang lebih ‘nyata’.

Apa memang begitu ya?

***

Saya mengklasifikasikan diri saya sebagai orang yang kuper untuk mengetahui dunia pekerjaan untuk lulusan Biologi. Baik di pekerjaan maupun lingkungan permainan saya, jarang sekali ada lulusan Biologi yang saya temui. Kabar tentang lulusan Biologi ini paling-paling saya ketahui melalui kabar burung atau kabar elektronik dari teman-teman seperjuangan ketika masa perkuliahan. Makanya, dengan rendah diri (bukan rendah hati ya? :D) saya mengakui ke-kuper-an saya terhadap para lulusan Biologi lain.

Misalnya saja, di pekerjaan yang saat ini sedang saya tekuni di dunia perawatan kesehatan (healthcare), tidak banyak sarjana Biologi yang nyangkut. Kalaupun ada, biasanya terjadi karena kebetulan-kebetulan, ketidaksengajaan-ketidaksengajaan, atau malah kecelakaan-kecelakaan. Jadi bukan sesuatu yang by-design, melainkan lebih banyak yang by-accident.

Negara Indonesia lumayan tertinggal di bidang perawatan kesehatan dibandingkan negara lain. Bahkan di ASEAN, sistem perawatan kesehatan kita hanya sedikit lebih baik dibandingkan Myanmar. Sedangkan, negara Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei, bahkan Vietnam sudah cukup jauh meninggalkan kita. Kita membutuhkan “akselerasi intelektual” untuk menjawab permasalahan dunia kesehatan dan untuk itu dibutuhkan isi kepala sarjana Biologi untuk menjawab sebagian tantangan ini. 

Oleh karena itu, dunia perawatan kesehatan dapat lebih berkembang kalau sarjana Biologi dapat by-design dapat mengintegrasikan diri ke dalamnya. Sejauh ini, dari beberapa kali saya terlibat membantu wawancara untuk mengisi lowongan pekerjaan di perusahaan, tidak ada lulusan Biologi yang by-design bergabung untuk mengembangkan karir di dunia perawatan kesehatan. Lebih tepatnya, saya belum pernah mewawancarai lulusan Biologi untuk lowongan pekerjaan di perusahaan saya! Padahal, perusahaan saya tidak malu-maluin, lho (promosi sedikit ah..)

Sumbangsih lulusan Biologi terhadap dunia perawatan kesehatan ini memang agak ketinggalan. Entahlah saat ini apakah sudah ada perubahan kurikulum atau belum, tetapi tujuh tahun yang lalu ketika saya meninggalkan dunia sekolahan Biologi, lulusannya belum dididik untuk siap kerja di dunia perawatan kesehatan. Paling jauh, baru siap didik dan latih untuk belajar lagi mengenai dunia perawatan kesehatan.

Masalahnya, di dunia perawatan kesehatan Indonesia yang lumayan ‘feodal’, sangat jarang perusahaan yang mau melatih dari awal. Kebanyakan perusahaan farmasi atau alat kesehatan pragmatis, hanya mau melatih sumber daya manusia-nya untuk keterampilan hilir saja. Bidang hulu memakan biaya investasi cukup besar dan pengembalian yang lama sehingga resikonya menjadi sangat tinggi dan sedapat mungkin dihindari. Tetapi dengan tingkat kebutuhan pengembangan dunia perawatan kesehatan yang tinggi, apa iya keterampilan hilir saja cukup untuk mengembangkan dunia perawatan kesehatan ini?

Sekali lagi, ini mungkin saja karena kekurang-gaulan saya saja bisa-bisanya menyimpulkan hal yang begini-begini. Entah ada apa yang lain? :)

(bersambung)

 

6 Februari 2010

Antara Dogma dan Ilmu (Bagian Kedua)

Bicara soal dogma, saya jadi ingat perdebatan antara pemikiran di dunia Islam antara Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd. Abu Hamid Al-Ghazali (d. 1111) adalah seorang tokoh Islam yang  pendapatnya sangat beken diikuti oleh ulama. Ia mendapat julukan “Juru Bicara Islam” (Hujjatul Islam). Kitab kuning yang dipelajari santri pesantren banyak memuat hasil pemikiran Si Abang Gozali ini. Pada masanya, ia merupakan ulama yang sangat produktif dengan menulis hingga lebih dari 70 buku. Buku masterpiece-nya “Membangkitkan Kembali Ilmu Agama” (Ihya’ ‘ulum al-Din) menjadi referensi banyak ulama hingga saat ini.

Al-Ghazali

Al-Ghazali merupakan penentang teologi rasional dan filsafat Islam yang dipengaruhi oleh pemikiran Yunani kuno. Pada masa kehidupan Ghazali, pemikiran teologi rasional dan filsafat berkembang di dunia Islam bersama dengan berbagai pemikiran lainnya. Melalui buku “Kerancuan para filsuf” (Tahafut al-Falasifah), Al-Ghazali menentang dan melabeli bid’ah dan kafir pada Aristoteles dan Plato serta para tokoh Islam yang mempelajarinya, antara lain Ibnu Sina dan Al-Farabi.

Pengkafiran oleh Al-Ghazali ini membuat orang di dunia Islam bagian Timur menjauhi dengan filsafat, termasuk kota Baghdad yang menjadi pusat  pemikiran Islam pada masa itu. Al-Ghazali juga berpendapat  bahwa  jalan sebenarnya untuk mencapai hakikat bukanlah  filsafat  tetapi  tasawuf. Ia berpendapat bahwa yang membawa orang kepada kebenaran bukan akal tetapi hati.

Sementara itu di dunia Islam bagian Barat, yaitu di Spanyol, ilmu filsafat di kalangan Islam tetap masih berkembang meskipun pemikiran Al-Ghazali  di Islam bagian Timur semakin mendominasi. Hal ini membuat secara berangsur ilmu pengetahuan dan filsafat di wilayah Timur beralih ke wilayah Barat. Hal itu terlihat dengan banyaknya buku-buku ilmu dan filsafat yang beredar di wilayah Barat, terutama di Spanyol dan Sisilia.

Lima belas tahun sesudah kematian Al-Ghazali, lahir seorang tokoh dari dunia Islam bagian Barat bernama Abu Al-Walid Muhammad Ibnu Rusyd (d. 1198). Ia juga adalah seorang tokoh Islam yang terkenal pada masanya dengan menulis lebih dari 67 tulisan asli di samping komentarnya pada karya Aristoteles dan Plato.

Ibnu Rusyd

Ibnu Rusyd membantah buku Al-Ghazali dengan sebuah kitab berjudul “Rancunya Kitab Kerancuan” (Tahâfut at-Tahâfut). Pada buku ini, Ibnu Rusyd membela para filsuf yang dikafirkan Al-Ghazali, melakukan klarifikasi paham filsafat, dan menyanggah paham Al-Ghazali. Kemudian, Ibnu Rusyd ‘mengembangkan argumen secara logika maupun dari kitab suci Al-Quran bahwa tidak ada pertentangan bahkan terdapat hubungan yang harmonis antara agama dan filsafat.

Seiring dengan perkembangan sejarah, Islam bagian Barat akhirnya tenggelam dengan runtuhnya Dinasti Ummayah oleh bangsa Eropa pada abad ke-15. Sementara Islam bagian Timur terus berkembang hingga menjadi wajah Islam saat ini. Perkembangan sejarah ini menyebabkan pemikiran rasional dan ilmiah dari dunia  Islam dari bagian Barat mulai menghilang, sedangkan pemikiran Al-Ghazali mendominasi dan akhirnya menjadi dogma umum kaum Islam hingga saat ini.

Pemikiran Al-Ghazali sukses berkembang secara luas dan diterima menjadi dogma di dunia Islam hingga masa kini. Umat Islam saat ini umumnya lebih memandang hati (kalbu)  lebih tinggi dibandingkan akal sebagai instrumen untuk menjalankan kehidupan. Ulama memisahkan ilmu agama dengan ilmu dunia. Tindakan pelabelan bid’ah, murtad, bahkan kafir juga umum terjadi di kalangan Islam, terutama untuk pihak yang memiliki perbedaan pendapat di bidang keagamaan.

Di sisi lain, pada dunia Barat pemikiran Ibnu Rusyd membuat filsafat menjadi bidang yang menarik minat orang Eropa untuk mempelajarinya. Komentarnya atas karya Aristoteles dan Plato sangat diakui di kalangan Barat. Hal ini dapat dilihat dari munculnya sebuah kelompok pengikut Ibnu Rusyd dalam bidang filsafat di Eropa yang menamakan diri Averroisme. Munculnya paham Averroisme ini adalah lompatan besar dalam pemikiran dan semangat keilmuan bangsa Eropa, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat.

Kelompok Averroisme terkenal di dunia Barat bersaing dengan paham dogmatis gereja yang telah menguasai kehidupan masyarakat Eropa selama lebih dari sebelas abad. Selanjutnya, kelompok ini menjadi salah satu faktor penting yang menyebabkan berkembangnya era Renaissance di Eropa abad ke-14 hingga ke-17. Dari era Renaissance ini, bangsa Eropa mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ada pencarian sumber rempah-rempah ke Hindia oleh Portugis dan Spanyol, kolonialisasi dimulai, pengaliran sumber daya dari Asia dan Afrika ke Eropa, dan sisanya adalah sejarah yang kita ketahui hingga saat ini.

Peta Kekuasan Islam : Baghdad (Timur) dan Andalusia (Barat)

Nurcholis Majid pernah mengatakan bahwa di dunia Timur, pemikiran Al-Ghazali begitu mendominasi, sedangkan di dunia Barat, pemikiran Ibnu Rusyd yang lebih banyak berpengaruh. Dia mengatakan bahwa penjajahan dunia Barat terhadap dunia Timur adalah simbol penjajahan Ibnu Rusyd terhadap Al-Ghazali.

Kembali lagi, pastilah pemikiran dan dogma Al-Ghazali ada kelebihan dan kelemahannya. Begitu pula pemikiran dan dogma Ibnu Rusyd ada baik buruknya. Jadi pendapat keduanya sah-sah saja untuk diikuti. Lho, cuma mengikuti pendapat kok harus dilarang-larang untuk diikuti?

(Catatan: Dalam hal-hal yang saya tulis ini, saya sendiri lebih setuju dengan pemikiran Ibnu Rusyd. Hal-hal yang lain belum tentu lho ya..)

2 Februari 2010

Antara Dogma dan Ilmu (Bagian Pertama)

Beberapa waktu kemarin saya menemukan definisi sekaligus perbandingan yang menarik mengenai dua buah kata yang hingga sekarang saya sendiri belum rampung mendefinisikannya. Kata yang pertama adalah ilmu dan kata yang kedua yang kedua adalah dogma. Berbicara mengenai berbagai aspek kehidupan manusia, mulai dari politik, agama, manajemen, sains, sampai tradisi suatu masyarakat ternyata bisa didekati dari perbandingan antara ilmu dan dogma ini :

Dogma adalah sebuah proses simplifikasi (penyederhanaan) terhadap persoalan yang rumit, sedangkan ilmu adalah proses sofistikasi (perumitan) terhadap persoalan yang sederhana.

Sebelum ini, saya sangat tidak menyepakati bahkan menggugat keberadaan dogma. Saya sempat menuliskannya mulai dari tulisan tentang pendidikan yang (tidak) membebaskan, iman dan ilmu, dan voltaire. Belakangan juga ada tulisan mengenai beberapa kesejarahan Islam yang sebelum-sebelumnya luput dari daftar khasanah pengetahuan ingin saya pelajari.

Pokoknya dogma harus dibongkar, semua fakta harus dibuka sehingga transparan. Pendekatan kebenaran yang lebih obyektif harus mungkin dipelajari. Semua produk penakut-nakutan yang membumbui bahkan akhirnya cenderung menjadi bagian utama dalam dogma harus dipreteli sampai ‘the naked truth’ terpampang lebar di mata kita.

Dengan melakukan pendekatan dogma vs ilmu ini, ternyata kesimpulan sedikit saya mulai bergeser. Kesimpulan saya sejauh ini bahwa dalam keadaan secara umum, dogma tetap diperlukan. Pada jenis keadaan lain, dogma harus mulai diilmukan alias disoftifikasikan, diperumit, dicari latar belakang kesejarahannya, dan diungkap detail-detailnya.

Mengapa begitu? Kita hidup di dunia yang overinformasi. Terlalu banyak hal yang perlu kita ketahui untuk sekedar menjalani hidup yang rata-rata. Saya jarang pernah selesai membaca koran Kompas dalam satu hari, padahal mengetahui informasi harian model ini adalah merupakan suatu standar menjalankan hidup yang rata-rata di kosmopolitan macam Jakarta. Ada hal-hal dalam kehidupan yang cukup didogmakan saja. Hal-hal yang disederhanakan tanpa perlu pusing-pusing memikirkan kerumitannya. Wisdom of crowd yang sering menjadi dogma akhirnya menentukan standar berbagai aspek kehidupan sosial.

Dalam kehidupan sehari-hari, ternyata hal-hal yang rumit tidak perlu disajikan semua, cukup di-dogma-kan alias disederhanakan agar mudah dipahami. Detail-detail dihilangkan, generalisasi dan stereotyping dilakukan, taklid buta alias mengikuti perintah tanpa pertanyaan sering kali dijanjikan jaminan keberhasilan. Faktor-faktor emosional bahkan spiritual (kalau memungkinkan) mulai ditambahkan untuk meningkatkan peluang keberhasilan tujuan proses pendogmaan ini.

Saya jadi bertanya: sampai sejauh mana proses dogma tetap diperlukan? Pada titik mana kita dapat mulai melakukan proses ilmu-isasi, pendidikan yang membebaskan dan mencerahkan? Seberapa banyak tingkat penerimaan saya terhadap sofistikasi ilmu secara objektif? Apakah sebenarnya proses ilmu-isasi, menyelam dalam dan terbang tinggi, adalah proses yang sepi dan menyendiri?

Terus terang, saya sering terkejut sendiri ketika tersadar bahwa bangunan pikiran saya ternyata banyak bertumpu pada dogma. Saya sangat sebal ketika saya harus terdiam tidak bisa menjawab ketika ada saja orang yang memberi pertanyaan yang mengusik, “Apa benar begitu?  Kenapa jalan pikiranmu kok kontradiktif? Dalam satu hal jalan pikirmu begini, hal lain jalan pikirmu menentang jalan  pikir sebelumnya? Buat apa hidup kontradiktif begitu?”, dan lain sebagainya.

Tapi akhir-akhir ini kekhawatiran saya semakin berkurang. Toh, ternyata ada dogma yang baik dan memperbaiki, meskipun ada pula yang dogma yang buruk dan menambah buruk. Seperti juga ada ilmu yang baik dan bermanfaat dan di sisi lainnya ada pula ilmu sesat dan menyesatkan. Pada akhirnya, baik atau tidaknya dogma dan ilmu dinilai dari dampaknya, seberapa besar manfaat atau malah kerugian bagi masyarakat yang dihasilkan dari suatu dogma atau ilmu.

(bersambung)