19 November 2010

Tak Ada Air yang tak Bening

Negara menghendaki stabilitas. Masyarakat menghendaki ketertiban. Sejarah menghendaki keamanan. Jiwa menghendaki ketenangan. Hati menghendaki keheningan. Mental menghendaki endapan. Dan seluruh kehidupan ini, di ujungnya nanti, menghendaki ketentraman, keheningan, kemurnian. Karena itu, agama menganjurkan kembali ke fitri.

Kita berdagang, berpolitik, berperang, bergulat, bekerja banting tulang, bikin rumah, bersaing dengan tetangga. Yang tertinggi dari itu semua dan yang paling dirindukan oleh jiwa, adalah "air bening hidup". Hidup bagai gelombang samudera. Hidup bergolak. Segala pengalaman perjalanan

Anda adalah arus air sungai yang mencari muaranya.

Masa muda melonjak-lonjak. Tapi masa muda berjalan menuju masa senja. Dan masa senja bukanlah lonjakan-lonjakan, melainkan ketenangnan dan kebeningan. Maka, lewat naluri ataupun kesadaran, setiap manusia mengarungi waktu untuk pada akhirnya menemukan "air bening".

Ada orang yang dipilihkan oleh Tuhan atau memilih sendiri untuk mengembara langsung ke gunung-gunung dan menemukan sumber air murni. Orang lain menunggu saja saudaranya pulang dari gunung untuk dikasih secangkir kebeningan. Orang yang lain lagi menjumpai dunia adalah kotoran, maka ia ciptakan teknologi untuk menyaring kembali air itu dan menemukan kebeningannya.

Sementara ada orang yang hidupnya menyusur sungai, parit-parit kumuh, got-got, kubangan-kubangan. Sampai akhir hayatnya tak mungkin ia memilih sesuatu yang lain, karena mungkin tak punya kendaraan, tak punya kapal, bahkan tak punya sendal untuk melindungi kakinya dari kotoran-kotoran. Ketidakmungkinan itu mungkin karena memang 'dipilihkan' oleh Yang Empunya Nasib, tapi mungkin juga didesak oleh kekuatan-kekuatan zaman yang membuatnya senantiasa terdesak, terpinggir, dan tercampak ke got-got.

Bagaimana cara orang terakhir ini menemukan air bening?

Di dalam sembahyangnya, permenungannya, penghayatannya, kecerdasannya serta kepekaan hatinya. Ia tahu tidak ada air yang tak bening. Semua air itu bening. Tidak ada "air kotor", melainkan air bening yang dicampuri oleh kotoran.

Dengan menemukan jarak antara kotoran dengan air bening, tahulah ia dan ketemulah ia dengan sumber kebeningannya. Ia terus hidup di got-got, dan justru kotoran-kotoran itu makin menyadarkannya pada keberadaan air bening dalam got-got.

Adakah makna hal itu dalam kehidupan Anda?

clip_image002

Emha Ainun Nadjib

"Secangkir Kopi Jon Pakir"

15 November 2010

Soal Sepele, Seni, dan Lagu Indonesia Raya

Seni tidak saja bicara soal merangkai keindahan, tapi juga membuka keberanian baru memandang soal sepele kembali menjadi perhatian. Soal-soal mulai menjadi sepele saat keinginan untuk mempertanyakannya tidak perlu lagi ada. Banyak hal dianggap lumrah saja tanpa perlu diperiksa kemungkinannya salah kaprah.

Pada awal abad ke-20, realitas bagi kaum pribumi adalah sebagai warga kelas tiga setelah kaum kolonial Hindia-Belanda dan kaum bangsawan kerajaan. Saat itu, identitas kebangsaan ditandai berdasarkan daerah yang ada dalam koloni Hindia-Belanda. Kita bisa lihat kedaerahan dari Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond yang eksis pada masa itu.

Sebelum istilah ‘Indonesia’ diputuskan untuk diperjuangkan dan kemudian berhasil menjadi sebuah entitas, ia adalah sebuah istilah yang hidup dalam seni. Melalui seni kemudian ia muncul dalam Kongres Pemuda Indonesia Kedua bulan Oktober 1928. Muhammad Yamin, sang pelopor puisi modern, menyusun rumusan naskah sumpah pemuda dalam rima puisi. Lalu dalam latar belakang kemapanan suku yang ada, sertamerta lahir jargon baru : “Tanah Indonesia, Bangsa Indonesia, dan Bahasa Indonesia.”

Ketika mendengar rencana pelaksanaan Kongres Pemuda Indonesia Kedua, seorang seorang reporter  surat kabar Sin Po menghubungi pelaksana acara untuk meliput pertemuan ini. Panitia takut peliputan dapat mencurigakan pemerintah kolonial Hindia-Belanda sehingga meminta reporter ini tidak meliput pertemuan meskipun kemudian mereka tetap mengundangnya.

Sang reporter muda yang juga musisi serta guru ini terinspirasi oleh Kongres Pemuda Indonesia Kedua dan mengekspresikannya ke dalam seni musik. Di akhir kongres ini, sang reporter, Wage Rudolf Supratman, kemudian memainkan komposisi instrumental berjudul ‘Indonesia’ dengan biolanya.

WR Supratman

Teks lagu ‘Indonesia’ mulai disebarkan setelah Kongres Pemuda kedua ini. Koran Sin Po mempublikasikan teks lagu ini bulan November 1928.  Lagu ‘Indonesia’ sendiri awalnya sepele dan dianggap kurang mengandung keindahan. Menurut Rosihan Anwar dalam bukunya Petite Historie I, Dr. Ch.D. van der Plas mengatakan lagu ‘Indonesia’ mengatakan lagu ini memiliki melodi Eropa yang banal (dangkal) dan syair yang pincang sehingga awalnya pemerintah Hindia Belanda tidak melarang peredaran lagu ini.

Tapi seni memang tidak selalu bicara soal keindahan, melainkan membuka keberanian baru memandang soal sepele menjadi perhatian. Sedikit demi sedikit, lagu ‘Indonesia’ mulai dinyanyikan pada setiap rapat partai-partai politik dan kemudian menjadi salah satu tanda kelahiran pergerakan nasionalisme seluruh nusantara di Indonesia.

Menjadi pelaku seni memang membutuhkan keberanian. Soal-soal sepele yang kembali menjadi terperhatikan memang sering meresahkan, apalagi kalau akhirnya berurusan dengan otoritas. Melihat euforia kaum pribumi, pemerintah Hindia-Belanda kemudian melarang peredaran lagu ‘Indonesia’ ini.

Supratman muda kemudian diburu oleh polisi Hindia-Belanda karena dianggap memperdengarkan lagu ‘Indonesia’ pertama kali. Di awal Agustus 1938, Supratman tertangkap saat ingin menyiarkan lagu karangannya dan kemudian ditahan di penjara Kalisosok, Surabaya. Ia meninggal muda karena sakit di penjara itu pada 17 Agustus 1938 tanpa sempat menikmati kemerdekaan Indonesia tujuh tahun kemudian.

***

Perubahan selalu terjadi terjadi, bahkan seni pun bisa jadi kembali sepele. Pada tahun 1950, Jusuf Ronodipuro atas persetujuan Soekarno (versi lain: Pemerintah Belanda) meminta Jozef Cleber, seorang arranger Belanda yang populer, untuk mengaransemen kembali dan membakukan lagu Indonesia Raya. Lagu kebangsaan ‘Indonesia Raya’ yang telah menjadi baku hingga saat ini, yaitu mengambil satu dari tiga stanza lagu ‘Indonesia’ aslinya Supratman.

Tapi apakah sebenarnya arti kata ‘asli’? Remy Sylado dalam tulisannya di Kompas mengatakan bahwa nada “Indonesia” ciptaan asli W.R. Supratman sangat mirip dengan sebuah lagu Belanda berjudul Lekka Lekka Pinda Pinda. Menjiplak atau terinspirasi? Memang tidak pernah ada batas jelas antara keduanya. There is nothing new under the sun..

Pada 1953, Kusbini ingin melepaskan kemiripan lagu ‘Indonesia Raya’ dari bayang-bayang plagiarisme. Ia utarakan niat ini ke Soekarno yang saat itu menjadi presiden seumur hidup. Reaksi Bung Karno yang presiden? "Hai, kamu seniman goblok! Kamu tidak punya kesadaran politik. Apa yang sudah diterima secara politik tidak usah diperkarakan secara estetik," tulis Remy.

Semenjak itu, lagu “Indonesia Raya” berhenti dipertanyakan dan telah kembali menjadi soal yang sepele.

(Atau bukan semenjak itu ya? Biar saja lah, itu kan soal yang sepele)

Courtesy : Youtube.com

***

INDONESIA RAJA
Wage Rudolf Supratman

I

Indonesia, tanah airkoe,
Tanah toempah darahkoe,
Disanalah akoe berdiri,
Mendjaga Pandoe Iboekoe.

Indonesia kebangsaankoe,
Kebangsaan tanah airkoe,
Marilah kita berseroe:
"Indonesia Bersatoe".

Hidoeplah tanahkoe,
Hidoeplah neg'rikoe,
Bangsakoe, djiwakoe, semoea,
Bangoenlah rajatnja,
Bangoenlah badannja,
Oentoek Indonesia Raja.

Refrain :
Indones', Indones',
Moelia, Moelia,
Tanahkoe, neg'rikoe jang koetjinta.
Indones', Indones',
Moelia, Moelia,
Hidoeplah Indonesia Raja.

II

Indonesia, tanah jang moelia,
Tanah kita jang kaja,
Disanalah akoe hidoep,
Oentoek s'lama-lamanja.

Indonesia, tanah poesaka,
Poesaka kita semoeanja,
Marilah kita berseroe:
"Indonesia Bersatoe".

Soeboerlah tanahnja,
Soeboerlah djiwanja,
Bangsanja, rajatnja, semoea,
Sedarlah hatinja,
Sedarlah boedinja,
Oentoek Indonesia Raja.

Refrain

III

Indonesia, tanah jang soetji,
Bagi kita disini,
Disanalah kita berdiri,
Mendjaga Iboe sedjati.

Indonesia, tanah berseri,
Tanah jang terkoetjintai,
Marilah kita berdjandji:
"Indonesia Bersatoe"

S'lamatlah rajatnja,
S'lamatlah poet'ranja,
Poelaoenja, laoetnja, semoea,
Madjoelah neg'rinja,
Madjoelah Pandoenja,
Oentoek Indonesia Raja.

Refrain