Tampilkan postingan dengan label Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Indonesia. Tampilkan semua postingan

24 November 2011

Korupsi (tapi) Budaya Khas Indonesia

Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama!
(Soekarno)


“KORUPSI” adalah trending topic di Indonesia pada beberapa tahun belakangan. Mulai dari media konvensional macam koran, televisi, radio, hingga media sosial macam Twitter dan Facebook membanjiri kita dengan berbagai berita korupsi. Terus terang saya mulai bosan dengan omongan ‘pakar’ tentang korupsi. Meskipun saya sepakat bahwa korupsi merupakan hal yang salah dan patut diberantas, tapi apa korupsi benar-benar bisa hilang dari Indonesia?

Karena, kalau boleh jujur, korupsi sangat dekat dengan realita kehidupan kita. Untuk mengurus KTP, kita memberikan uang lelah pada Petugas Kelurahan sebagai ganti ‘kerepotannya’ (tanpa diminta). Ketika ditilang, kita menyelipkan lima puluh ribu rupiah saat menunjukkan SIM dan STNK kepada Polantas. Kita juga setengah bangga memajang kiriman parsel lebaran dari supplier perusahaan kita. Dalam hati kita berkata, “Hey, ini bukan korupsi, tapi budaya ramah tamah, kekeluargaan, gotong royong khas Indonesia. Lagi pula, kalau pemberian dilakukan dengan ikhlas maka akan diterima di sisi-Nya.”

Menjadi kontradiksi saat mengikuti dan mengomentari media massa dan media sosial, kita mengutuk keras perilaku korupsi aparat pemerintah yang menerima kick-back dari rekanan tender, para anggota DPR yang memperjualbelikan pasal, para polisi, jaksa, dan hakim makelar kasus, para devil advocate pembela klien koruptor, dan para pengusaha yang tertangkap tangan oleh KPK membawa uang sogokan tunai. Mereka ‘oknum’ koruptor adalah penjahat dan harus dihukum seberat-beratnya. Sedangkan, kita sendiri adalah korban atas ulah mereka.

Apakah mengutuk koruptor sambil menonton acara Indonesian Lawyer Club, sementara tetap memberikan uang lelah bagi petugas kelurahan bisa dikatakan sebagai sikap hipokrit alias munafik? Ah, terlalu kasar kedengarannya bagi bangsa Indonesia yang halus tutur kata budi bahasanya ini. Tapi jangan khawatir, beberapa ahli neurosains memang berteori bahwa kemunafikan merupakan sifat yang alami pada manusia.

Robert Kurzban, seorang ahli psikologi evolusi dari Princeton, dalam bukunya yang menarik, “Why Everyone (Else) Is a Hypocrite: Evolution and the Modular Mind” berpendapat bahwa evolusi manusia membuat pikirannya menjadi sangat canggih dan kompleks. Karena kompleksitasnya, pikiran manusia terdiri dari berbagai modul yang tidak koheren satu sama lain. Inkoherensi modul-modul pikiran inilah yang menjelaskan mengapa sikap munafik menjadi sesuatu yang tertanam dalam pikiran manusia.

Sementara di satu sisi moralitas menjadi modul panduan supaya kita tidak melakukan tindakan tidak bermoral (termasuk korupsi), di sisi lain modul pikiran lain dapat memerintahkan kita untuk mengambil keuntungan di atas kerugian orang lain. Masing-masing modul pikiran ini tanpa disadari tidak bertalian logis satu dengan lainnya, bahkan bisa saling bertentangan. Apa yang terlihat dari luar adalah ketidaksinkronan antara sikap dan perbuatan. Kesimpulan Kurzban, sifat munafik pada dasarnya kompetisi yang secara alamiah terjadi pada level pikiran. Hasilnya, standar moral memang membuat kita memenuhi time-line twitter dengan cercaan terhadap koruptor, tapi kita tetap menerima legowo ‘oleh-oleh’ dari para supplier kita.

Why Everyone (Else) Is a Hypocrite: Evolution and the Modular Mind

Dari kacamata evolusi perilaku, tindakan koruptif malah menjadi rasional apabila dilakukan ‘berjamaah’. Ketika banyak orang lain melakukan korupsi dan mendapatkan keuntungan dari tindakan ini, menjadi orang yang tetap jujur malah menjadi pilihan yang tidak rasional, bahkan tidak menguntungkan. Hal ini menyebabkan penurunan frekuensi perilaku jujur pada lingkungan koruptif.  Dari sudut pandang evolusi, perilaku jujur menjadi tidak fit dan sintas dalam lingkungan koruptif. Pendeknya, dari perspektif evolusi perilaku, kebiasaan korupsi dapat berkembang biak sangat cepat dibandingkan sifat jujur apabila telah mencapai massa kritis tertentu.

Sudut pandang evolusi perilaku terhadap korupsi ini menjelaskan bagaimana budaya sekitar dapat mempengaruhi tingkat korupsi. Setiap tahun Transparency International merilis Corruption Perception Index (CPI) yang merupakan penilaian tingkat korupsi di sektor publik setiap negara. Tahun 2010, Denmark, Selandia Baru, dan Singapura memiliki nilai index tertinggi (terbaik), yaitu sebesar 9,3. Sedangkan negara dengan index persepsi korupsi terendah (terburuk) adalah Somalia (1,1), Burma (1,4), dan Afganistan (1,4). Indonesia sendiri memiliki nilai indeks persepsi korupsi 2,8.

Corruption Perception Index result 2010

Bagaimana hubungan antara index persepsi korupsi dengan perilaku korupsi di masyarakat sehari-hari ini? Abigail Barr, seorang ekonom Oxford, meneliti sekelompok mahasiswa Oxford dari berbagai negara tentang seberapa mungkin mereka menyogok petugas pelayanan umum di Inggris untuk dapat keuntungan lebih. Kesimpulannya, ternyata probabilitas mahasiswa sarjana mau menyogok demi keuntungan lebih memiliki korelasi dengan index persepsi korupsi asal negaranya. Berdasarkan kesimpulan ini, orang Denmark, Selandia Baru, dan Singapura cenderung untuk tidak menyogok untuk mendapatkan keuntungan dibandingkan orang Somalia, Birma, dan Afganistan, juga termasuk Indonesia.

Di New York, Raymond Fishman dan Edward Miguel melakukan penelitian sejenis terhadap para diplomat berbagai negara untuk PBB. Sebelum tahun 2002, kekebalan diplomatik melindungi diplomat PBB dari denda pelanggaran parkir di kota New York. Hal ini membuat faktor penegakan hukum tidak dapat mengontrol perilaku koruptif dan menyisakan hanya norma budaya untuk menangkal korupsi. Ternyata, penelitian Fishman dan Miguel juga memberikan kesimpulan yang sama dengan penelitian Barr.

Hasilnya, para diplomat Denmark tidak melakukan pelanggaran parkir sama sekali, Selandia Baru memiliki 0,1 pelanggaran/diplomat, dan Singapura memiliki 3,6 pelanggaran/diplomat. Tidak ada data untuk tiga negara dengan indeks persepsi korupsi terburuk, tetapi Indonesia sendiri memiliki 36,5 pelanggaran/diplomat. Setelah tahun 2002, kekebalan diplomatik terhadap denda parkir ini dihilangkan dan pada tahun 2011 ini, hutang denda akibat pelanggaran parkir para diplomat Indonesia untuk PBB di New York sempat menjadi terbesar ke-3, sebesar 750 ribu dollar alias 6,7 miliar rupiah!

Denda Parkir Diplomat New York

***

Apakah wajar kita menolak pemberian orang yang bermaksud ramah tamah? Seorang teman mengatakan bahwa petugas badan antikorupsi menolak minuman air putih saat berkunjung ke tempatnya. Sopankah perilaku ini di negara dengan budaya konformitas dan kohesi sosial yang tinggi seperti Indonesia? Masa menyajikan air putih saja saja dibilang menawarkan korupsi?

Saya punya teman seorang Amerika. Meskipun telah tinggal belasan tahun di Indonesia, ia tidak bisa memahami perilaku orang Indonesia. Pada minggu pertama kedatangannya di Indonesia, mobil yang ia tumpangi ditilang polisi. Saat supirnya akan memberikan uang ‘titip sidang’ kepada Polantas, ia kaget dan mencegahnya. Ia minta polisi itu tetap menilang supir mobilnya.

Dalam diskusi beberapa bulan lalu, teman Amerika ini mengklaim tidak pernah melakukan kegiatan sogok sedikitpun di Indonesia selama belasan tahun di Indonesia. Sebuah klaim yang terus terang sulit saya percayai. Ia berargumen tanpa maksud menghina, “’Kekeluargaan’ is a slippery slope. Once you slip in it, you will race to the bottom.

Nah lho.. Saya jadi bingung: apa pemberantasan korupsi berarti melunturkan budaya khas Indonesia?

Inspirasi:
The underhand ape: Why corruption is normal
Corruption and culture: An experimental analysis
Corruption Perception Index Result 2010
Why Everyone (Else) Is a Hypocrite: Evolution and the Modular Mind
Corruption, Norms, and Legal Enforcement: Evidence from Diplomatic Parking Tickets

15 November 2010

Soal Sepele, Seni, dan Lagu Indonesia Raya

Seni tidak saja bicara soal merangkai keindahan, tapi juga membuka keberanian baru memandang soal sepele kembali menjadi perhatian. Soal-soal mulai menjadi sepele saat keinginan untuk mempertanyakannya tidak perlu lagi ada. Banyak hal dianggap lumrah saja tanpa perlu diperiksa kemungkinannya salah kaprah.

Pada awal abad ke-20, realitas bagi kaum pribumi adalah sebagai warga kelas tiga setelah kaum kolonial Hindia-Belanda dan kaum bangsawan kerajaan. Saat itu, identitas kebangsaan ditandai berdasarkan daerah yang ada dalam koloni Hindia-Belanda. Kita bisa lihat kedaerahan dari Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond yang eksis pada masa itu.

Sebelum istilah ‘Indonesia’ diputuskan untuk diperjuangkan dan kemudian berhasil menjadi sebuah entitas, ia adalah sebuah istilah yang hidup dalam seni. Melalui seni kemudian ia muncul dalam Kongres Pemuda Indonesia Kedua bulan Oktober 1928. Muhammad Yamin, sang pelopor puisi modern, menyusun rumusan naskah sumpah pemuda dalam rima puisi. Lalu dalam latar belakang kemapanan suku yang ada, sertamerta lahir jargon baru : “Tanah Indonesia, Bangsa Indonesia, dan Bahasa Indonesia.”

Ketika mendengar rencana pelaksanaan Kongres Pemuda Indonesia Kedua, seorang seorang reporter  surat kabar Sin Po menghubungi pelaksana acara untuk meliput pertemuan ini. Panitia takut peliputan dapat mencurigakan pemerintah kolonial Hindia-Belanda sehingga meminta reporter ini tidak meliput pertemuan meskipun kemudian mereka tetap mengundangnya.

Sang reporter muda yang juga musisi serta guru ini terinspirasi oleh Kongres Pemuda Indonesia Kedua dan mengekspresikannya ke dalam seni musik. Di akhir kongres ini, sang reporter, Wage Rudolf Supratman, kemudian memainkan komposisi instrumental berjudul ‘Indonesia’ dengan biolanya.

WR Supratman

Teks lagu ‘Indonesia’ mulai disebarkan setelah Kongres Pemuda kedua ini. Koran Sin Po mempublikasikan teks lagu ini bulan November 1928.  Lagu ‘Indonesia’ sendiri awalnya sepele dan dianggap kurang mengandung keindahan. Menurut Rosihan Anwar dalam bukunya Petite Historie I, Dr. Ch.D. van der Plas mengatakan lagu ‘Indonesia’ mengatakan lagu ini memiliki melodi Eropa yang banal (dangkal) dan syair yang pincang sehingga awalnya pemerintah Hindia Belanda tidak melarang peredaran lagu ini.

Tapi seni memang tidak selalu bicara soal keindahan, melainkan membuka keberanian baru memandang soal sepele menjadi perhatian. Sedikit demi sedikit, lagu ‘Indonesia’ mulai dinyanyikan pada setiap rapat partai-partai politik dan kemudian menjadi salah satu tanda kelahiran pergerakan nasionalisme seluruh nusantara di Indonesia.

Menjadi pelaku seni memang membutuhkan keberanian. Soal-soal sepele yang kembali menjadi terperhatikan memang sering meresahkan, apalagi kalau akhirnya berurusan dengan otoritas. Melihat euforia kaum pribumi, pemerintah Hindia-Belanda kemudian melarang peredaran lagu ‘Indonesia’ ini.

Supratman muda kemudian diburu oleh polisi Hindia-Belanda karena dianggap memperdengarkan lagu ‘Indonesia’ pertama kali. Di awal Agustus 1938, Supratman tertangkap saat ingin menyiarkan lagu karangannya dan kemudian ditahan di penjara Kalisosok, Surabaya. Ia meninggal muda karena sakit di penjara itu pada 17 Agustus 1938 tanpa sempat menikmati kemerdekaan Indonesia tujuh tahun kemudian.

***

Perubahan selalu terjadi terjadi, bahkan seni pun bisa jadi kembali sepele. Pada tahun 1950, Jusuf Ronodipuro atas persetujuan Soekarno (versi lain: Pemerintah Belanda) meminta Jozef Cleber, seorang arranger Belanda yang populer, untuk mengaransemen kembali dan membakukan lagu Indonesia Raya. Lagu kebangsaan ‘Indonesia Raya’ yang telah menjadi baku hingga saat ini, yaitu mengambil satu dari tiga stanza lagu ‘Indonesia’ aslinya Supratman.

Tapi apakah sebenarnya arti kata ‘asli’? Remy Sylado dalam tulisannya di Kompas mengatakan bahwa nada “Indonesia” ciptaan asli W.R. Supratman sangat mirip dengan sebuah lagu Belanda berjudul Lekka Lekka Pinda Pinda. Menjiplak atau terinspirasi? Memang tidak pernah ada batas jelas antara keduanya. There is nothing new under the sun..

Pada 1953, Kusbini ingin melepaskan kemiripan lagu ‘Indonesia Raya’ dari bayang-bayang plagiarisme. Ia utarakan niat ini ke Soekarno yang saat itu menjadi presiden seumur hidup. Reaksi Bung Karno yang presiden? "Hai, kamu seniman goblok! Kamu tidak punya kesadaran politik. Apa yang sudah diterima secara politik tidak usah diperkarakan secara estetik," tulis Remy.

Semenjak itu, lagu “Indonesia Raya” berhenti dipertanyakan dan telah kembali menjadi soal yang sepele.

(Atau bukan semenjak itu ya? Biar saja lah, itu kan soal yang sepele)

Courtesy : Youtube.com

***

INDONESIA RAJA
Wage Rudolf Supratman

I

Indonesia, tanah airkoe,
Tanah toempah darahkoe,
Disanalah akoe berdiri,
Mendjaga Pandoe Iboekoe.

Indonesia kebangsaankoe,
Kebangsaan tanah airkoe,
Marilah kita berseroe:
"Indonesia Bersatoe".

Hidoeplah tanahkoe,
Hidoeplah neg'rikoe,
Bangsakoe, djiwakoe, semoea,
Bangoenlah rajatnja,
Bangoenlah badannja,
Oentoek Indonesia Raja.

Refrain :
Indones', Indones',
Moelia, Moelia,
Tanahkoe, neg'rikoe jang koetjinta.
Indones', Indones',
Moelia, Moelia,
Hidoeplah Indonesia Raja.

II

Indonesia, tanah jang moelia,
Tanah kita jang kaja,
Disanalah akoe hidoep,
Oentoek s'lama-lamanja.

Indonesia, tanah poesaka,
Poesaka kita semoeanja,
Marilah kita berseroe:
"Indonesia Bersatoe".

Soeboerlah tanahnja,
Soeboerlah djiwanja,
Bangsanja, rajatnja, semoea,
Sedarlah hatinja,
Sedarlah boedinja,
Oentoek Indonesia Raja.

Refrain

III

Indonesia, tanah jang soetji,
Bagi kita disini,
Disanalah kita berdiri,
Mendjaga Iboe sedjati.

Indonesia, tanah berseri,
Tanah jang terkoetjintai,
Marilah kita berdjandji:
"Indonesia Bersatoe"

S'lamatlah rajatnja,
S'lamatlah poet'ranja,
Poelaoenja, laoetnja, semoea,
Madjoelah neg'rinja,
Madjoelah Pandoenja,
Oentoek Indonesia Raja.

Refrain

20 September 2010

Ulasan Film “Sang Pencerah”

Siapa yang belum menonton film “Sang Pencerah” karya Hanung Bramantyo? Film ini menggambarkan sebuah versi kehidupan KH. Ahmad Dahlan, sang pendiri organisasi Muhamadiyyah. Bagi yang belum, sila menyempatkan diri pergi ke bioskop untuk menonton sebelum film ini habis. Perkiraan saya, film ini akan usai tayang di layar lebar dalam satu dua minggu dan mulai dipasarkan lewat media DVD atau VCD.

Yang sudah menonton, apakah Sang Pencerah cukup menghibur? Bagi saya film ini sangat menghibur dan memberikan visualisasi yang sangat baik. Momen yang terjadi saat ini juga (kebetulan?) sesuai dengan tema film Sang Pencerah ini. Ya, kebebasan beragama dan perbedaan pendapat memang menjadi topik yang hangat di Indonesia saat ini. Insiden FPI, HKBP, dan Ahmadiyyah memberikan momentum bagi larisnya film ini. Minggu ini, mungkin penonton film Sang Pencerah sudah mencapai 20 juta orang.

Detil setting Sang Pencerah yang cukup realistis sesuai jamannya menggambarkan hasil riset praproduksi yang teliti. Konon, Hanung mengambil referensi dari belasan buku tentang Muhamadiyyah dan melakukan konsultasi dengan pihak keluarga dan kerabat dekat KH. Ahmad Dahlan. Dengan riset ini, tempat shooting di Kebun Raya Bogor dapat disulap sangat mirip dengan situasi Kauman Yogyakarta satu abad yang lalu.

Materi pengembangan naskah film Sang Pencerah ini memasukkan beberapa fiksi untuk menambal cerita, misalnya pada kisah seputar masa muda Muhammad Darwis (nama kecil KH Ahmad Dahlan). Di awal cerita, penggambaran bahwa pengikut aliran Syekh Sitti Jenar mempertahankan ritual sesajen sehingga membelokkan ajaran Islam perlu dicek kembali. Konsep Sitti Jenar lebih mengajarkan orang agar meminta langsung ke Tuhan tanpa perantara benda atau manusia lain. Praktek sinkretisme dengan budaya sebelumnya (animisme dan Hindu/Budha) seperti ritual sesajen ini cenderung diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga.

Saya kurang mengerti detil tata cara memproduksi film. Tapi sepertinya dalam pembuatan film Sang Pencerah, urusan ini berada pada standar pembuatan film di Indonesia. Tidak usah dibandingkan dengan Hollywood dan Bollywood yang sangat produktif menghasilkan film layar lebar. Kita usahakan dan doakan saja perfilman Indonesia dapat segera mencapai ke level ini.

Secara keseluruhan, menurut saya film Sang Pencerah sangat menghibur dan memancing keingintahuan. Film ini lebih baik dibanding film Indonesia yang sedang sama-sama ditayangkan di bioskop saat ini seperti “Dawai 2 Asmara” dan “Lihat Boleh Pegang Jangan.”

Moga-moga modal 12 miliarnya buat film Sang Pencerah bisa balik ya, Pak Raam Punjabi. Sukses dan buat film seperti ini lagi ya Pak! :)

21 Juni 2010

Iklan BBM Non-subsidi

Iklan anjuran penggunaan BBM (Bahan Bakar Minyak) non-subsidi di televisi saya sambut dengan baik. Iklan ini merupakan salah satu upaya dalam pengurangan subsidi BBM oleh pemerintah. Wacana pengurangan subsidi BBM telah menjadi permasalahan kompleks karena masyarakat Indonesia kita sudah lama terbiasa menikmati subsidi BBM oleh pemerintah. Wacana pengurangan subsidi BBM untuk  beberapa jenis kendaraan ditentang oleh berbagai pihak. Tahun 2010 ini, volume BBM subsidipun berusaha dijaga pada level 36,5 juta kiloliter saja, kurang dari estimasi volume kebutuhan nyata tahun 2010 sebesar 40 juta kiloliter.

image

Meskipun wacana pengurangan subsidi BBM ini telah berkembang, pemerintah sendiri tetap mengusulkan ke DPR tambahan BBM bersubsidi untuk tahun 2011 mencapai hingga 42,5 juta KL. Hal ini menunjukkan bahwa dalam satu tahun ke depan subsidi BBM masih tetap akan naik. Tindakan pemerintah saat ini lebih mengarah kepada mengerem laju peningkatan volume subsidi ini, dibandingkan menguranginya secara drastis.

Saya sendiri tidak setuju dengan subsidi BBM terus membebani belanja pemerintah Indonesia dan bahkan meningkat tahun depan. Subsidi BBM ini harus dikurangi dan pada gilirannya harus dihentikan. Bentuk subsidi dari pemerintah lebih tepat tidak dikenakan kepada suatu jenis produk, melainkan subsidi langsung pada kelompok masyarakat tertentu. Jadi, bentuk subsidi model langsung ke masyarakat seperti BLT (Bantuan Langsung Tunai) atau sistem kupon makanan bagi orang yang hidup di jalanan adalah lebih tepat sasaran dibandingkan subsidi BBM, subsidi listrik, subsidi air, atau subsidi jenis produk lainnya.

Harga minyak mentah sebagai bahan baku BBM beberapa tahun belakangan ini juga berfluktuasi sangat liar. Dalam jangka waktu lima tahun belakangan, harga minyak mentah pernah turun drastis berada pada titik terendah US$30 perbarel dan mencapai titik tertinggi US$145 perbarel. Saat ini, harga minyak mentah berada pada tengah-tengah, sekitar US$70an perbarel. Harga BBM nonsubsidi seperti bensin Pertamax 92 bergerak mengikuti fluktuasi harga minyak mentah ini, sekitar Rp 6500 perliter. Di sisi lain, BBM bersubsidi, seperti bensin Premium memiliki harga jual yang tetap sehingga fluktuasi selisih harga ini menjadi ditanggung oleh subsidi pemerintah. Bisa dibayangkan bagaimana angggaran belanja subsidi BBM tahun ini bila dapat dialihkan untuk pembangunan di daerah tertinggal di Indonesia. Atau bagaimana kalau uang ini digunakan untuk perluasan lapangan kerja?

***

Di samping anggaran subsidi BBM, kita juga perlu bertanya: Berapa sebenarnya biaya yang terkandung dalam BBM? Kita dapat mengetahui berapa harga minyak mentah di pasaran, biaya proses produksi dari minyak mentah menjadi BBM, dan harga BBM yang sampai ke tangki bensin kita. Akan tetapi, biaya sesungguhnya dari penggunaan BBM ini memiliki perhitungan lebih rumit. Ada suatu biaya yang tersembunyi, yang oleh ahli ekonomi disebut sebagai “eksternalitas”. Gangguan kesehatan karena polusi udara hasil pembakaran BBM dan dampak kerusakan lingkungan adalah beberapa contoh dari eksternalitas. Komponen biaya eksternalitas tidak tercermin dalam harga BBM saat ini, tetapi secara tidak langsung akan membebani masyarakat.

Sebuah badan bernama Resource for Future pernah melakukan perhitungan dan menyarankan bahwa harga BBM harus dinaikkan sekitar Rp 3.000 perliter kalau kita ingin memasukkan biaya eksternalitas. Kalau kita khawatir dengan global warming, kita malah perlu menambahkan Rp 4.500 untuk setiap liter BBM. Jadi kira-kira biaya BBM sebenarnya yang mencakup biaya eksternalitas diestimasikan sekitar Rp 11.000 perliter. Jadi, BBM mestinya tidak perlu disubsidi, melainkan harus dipajaki : Rp 6.500  masuk ke kantong perusahaan minyak dan Rp 4.500 masuk sebagai pajak pemerintah. Pajak BBM ini dapat digunakan untuk membiayai eksternalitas berupa perbaikan kerusakan yang ditimbulkan akibat penggunaan BBM ini.

Perhitungan biaya eksternalitas sebenarnya lebih rumit lagi. Kita tidak bisa menghitung berapa ongkos dari kepunahan burung Pelikan akibat kerusakan karena produksi minyak. Kita juga belum tahu secara menilai kerusakan suatu ekosistem akibat eksploitasi minyak. Isu yang sedang hangat di Amerika saat ini adalah kerusakan yang ditimbulkan akibat tumpahnya minyak oleh BP (British Petroleum) di Teluk Meksiko. Kerusakan akibat tumpahan minyak BP ini adalah kecelakaan lingkungan terbesar di dunia. Presiden Obama membatalkan kunjungannya ke Asia, termasuk Indonesia, untuk mengurusi langsung permasalahan tumpahan minyak ini. BP sendiri akhirnya setuju untuk membayar dana kompensasi lebih dari Rp180 triliun, dua kali lipat lebih besar dari anggaran subsidi BBM Indonesia setahun.

image

***

Lalu kalau subsidi BBM dihapuskan, bagaimana dengan masyarakat yang tidak mampu? Apakah itu adil bagi masyarakat miskin kalau BBM mencapai harga Rp 11.000? Kemampuan ekonomi masyarakat miskin pasti akan kesulitan dengan harga BBM ini. Di sinilah mekanisme BLT akan mensubsidi masyarakat tidak mampu. Uang tunai atau kupon pembelian akan dialirkan langsung ke masyarakat miskin dan dapat digunakan untuk konsumsi, termasuk diantaranya membeli BBM. Anggaran belanja pemerintah yang telah lebih ringan karena tambahan pendapatan dari pengalihan subsidi dan pendapatan pajak BBM dapat dialirkan untuk kebutuhan subsidi BLT ini.

Memang proses penyaluran BLT  seperti yang pemerintah lakukan sebelumnya membutuhkan biaya ekonomi yang cukup besar, bahkan ada potensi kebocoran dalam mekanisme BLT ini. Birokrasi menjadi rumit, pungli memotong subsidi di sana-sini, dan penyaluran bantuan bisa jadi mengalir ke pihak yang tidak tepat. Akan tetapi, BLT berikut permasalahannya dapat dengan mudah dibatasi sasarannya dan periode waktunya. Bantuan berupa uang tunai kepada kelompok masyarakat tidak mampu ini lebih baik daripada membagi-bagikan uang dalam bentuk subsidi BBM ke seluruh masyarakat, baik yang mampu maupun yang tidak mampu.

Selain untuk BLT, anggaran tambahan yang masih tersisa cukup banyak dari pengalihan subsidi dan pajak BBM ini juga dapat digunakan untuk subsidi pendidikan, perawatan kesehatan, dan bentuk subsidi jaring pengaman sosial lainnya. Anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN dapat mudah terpenuhi dan hal ini dapat mendukung pengembangan pendidikan nasional. Asuransi kesehatan yang disediakan oleh pemerintah model Jamkesmas dan Askes dapat menyediakan lebih banyak premi untuk mencakup lebih banyak lapisan masyarakat. Saya senang melihat pemerintah Korea Selatan yang menggratiskan kesehatan bagi seluruh warga negaranya, meskipun hanya untuk perawatan kesehatan dasar saja. Saya berharap suatu hari, pemerintah Indonesia akan bisa menyediakan pelayanan macam itu kepada warga negaranya. Ini akan mudah bila uang pemerintah tidak lagi harus digunakan untuk mensubsidi BBM.

Jadi pertanyaannya: apakah kita siap menghilangkan subsidi BBM? :)

16 Mei 2010

Buku Anekdot tentang Globalisasi

Globalisasi itu sangat kompleks. Makanya, kalau ada orang yang mau tahu bagaimana T-shirt berpartisipasi dalam globalisasi, mestinya orang ini cukup ajaib, kalau tidak setengah gila. Tapi ternyata Pietra Rivoli adalah seorang yang cukup ajaib untuk mencari tahu tentang perjalanan T-shirt miliknya dari berkeliling dunia mulai dari proses produksi bahan baku hingga hancurnya benda miliknya ini. Dan karena dirinya tidak sepenuhnya gila, Rivoli menuliskan pengalaman pencariannya ini pada tahun 2005 ke dalam sebuah buku yang berjudul “The Travels of A T-Shirt on The Global Economy”.

The Travels of a T-Shirt in the Global Economy

Buku The Travels of A T-Shirt on The Global Economy ini adalah sebuah anekdot mengenai topik globalisasi, setidaknya terlihat dari judulnya yang cukup panjang dan menggelitik ini. Bila sebelumnya banyak buku yang membicarakan globalisasi dengan cara serius, buku ini lebih banyak menceritakan globalisasi melalui sebuah benda sederhana dan sepele, yaitu T-shirt. Dalam buku ini, Rivoli banyak membicarakan sejarah industri tekstil di negara yang pernah, masih, dan mungkin akan menjadi episentrum produksi sandang.

Industri tekstil adalah sebuah industri yang padat karya. Tahapan produksinya yang terentang luas dari hulu hingga hilir menyerap tenaga kerja yang banyak. Pada proses hulu, kapas yang merupakan bahan baku tekstil dihasilkan oleh pertanian kapas. Kemudian, kapas ini dikirimkan ke pemintalan menjadi benang. Selanjutnya, benang dirajut menjadi kain. Kain inilah yang merupakan bahan setengah jadi yang kemudian dijahit menjadi pakaian jadi. Dengan adanya modernisasi teknologi dalam industri tekstil, industri padat karya ini berangsur mulai berubah menjadi padat modal. Sejak tiga abad yang lalu, jumlah tenaga kerja industri tekstil mulai menurun dengan ditemukannya traktor, mesin pemintal benang, mesin perajut, dan mesin jahit. Jadi, industri tekstil ini turut memicu revolusi industri dan penghapusan perbudakan.

File:Catalonia Terrassa mNATEC 
Pentinadora.jpg

Karena berbagai kepentingan, industri tekstil merupakan salah satu jenis industri yang sering kali diproteksi oleh negara. Proteksi industri oleh suatu negara dilakukan dengan beberapa cara. Yang pertama, melalui pemberian subsidi kepada industri dalam negeri. Subsidi bisa diberikan pada harga pupuk, bibit, serta alat dan bahan produksi lainnya disamping pula ongkos distribusi. Yang kedua, melalui pemberlakukan tarif dan quota untuk impor mendatangkan barang sejenis dari luar negeri. Tarif merupakan sejumlah biaya tambahan yang disetor ke negara tujuan saat mengimpor barang, sedangkan quota merupakan jumlah barang terbanyak yang dapat diimpor dari masing-masing negara dalam satu tahun. Melalui berbagai insentif, industri tekstil dalam negeri diharapkan bisa tumbuh cepat dan menjadi kompetitif setelah masa proteksi.

Amerika Serikat (AS) telah memproteksi sangat ketat industri kapas dalam negeri sejak 40 tahun yang lalu dan baru mulai menguranginya pada tahun 2005. Fakta ini bertentangan dengan fakta bahwa negara AS adalah pendukung utama globalisasi dan perdagangan bebas. Meskipun AS mengalami defisit perdagangan secara keseluruhan sejak tahun 1975, komoditi kapas tetap menjadi komoditas ekspor yang paling sukses. Pada tahun 2009, ekspor kapas Amerika sebesar 12 juta bal merupakan jumlah terbesar di seluruh dunia. Karena banyaknya jumlah orang dan perusahaan yang terlibat dalam industri tekstil, proteksi tekstil di AS adalah hasil tawar menawar politik untuk dapat memenangkan kursi pemilihan. Memang dari sananya, politik itu inkonsisten karena semua pihak harus disenangkan.

Meskipun begitu, kalau kita mempelajari sejarah, proteksi suatu negara hampir selalu dapat ditembus oleh para wirausahawan. Kewirausahaan selalu kreatif menemukan celah dari setiap proteksi yang diberlakukan suatu negara. Bagaimanapun proteksi diberlakukan, pusat perkembangan industri tekstil tetap saja berpindah dari satu negara ke negara lainnya. Pergeseran keuntungan komparatif dari masing-masing negara selalu terjadi sehingga memicu hal ini tetap dan akan terus terjadi. Inggris adalah negara utama yang mengembangkan industri tekstil pada tahun 1700an, diikuti oleh Amerika Serikat pada tahun 1900an, dan pada abad ini Cina muncul sebagai kuda hitam dalam industri tekstil.

Proteksi perdagangan itu sering kali menggelikan. Pada awal abad ke-17, industri wol Inggris tidak memiliki saingan meskipun harganya mahal. Bahan wol merupakan bahan yang tidak nyaman digunakan karena menyebabkan gatal di kulit dan proses pencuciannya sulit. Bahan katun dari India mulai memasuki Inggris pada pertengahan 1600an dan segera populer karena murah, ringan, dan mudah dibersihkan. Kesuksesan wol ini mengkhawatirkan karena mengganggu industri wol yang telah maju. Di beberapa daerah, pengangguran akibat ditutupnya pabrik wol ini dapat mencapai di atas 50%.

Kegoncangan sosial ekonomi akibat katun ini menjadi perdebatan panjang di parlemen Inggris yang didukung oleh perusahaan penghasil wol. Akhirnya, pada tahun 1689, ada peraturan yang mengizinkan orang berpakaian katun hanya pada musim panas. Pada tahun 1699, ada aturan baru yang membuat semua hakim, juri, mahasiswa, dan profesor harus berpakaian wol setiap saat. Tentu saja, aturan yang mendikte cara berpakaian ini gagal. Jadi, industri wol berpaling ke pihak yang lebih lemah dan tidak melawan. Aturan selanjutnya adalah wanita pelayan inggris diwajibkan memakai topi dari wol. Puncaknya adalah pemaksaan berpakaian wol kepada pihak yang sangat lemah dan tidak bisa melawan dengan disahkannya sebuah aturan yang menyatakan bahwa :

Tidak ada jenazah dari siapapun.. akan dikubur dengan mengenakan pakaian, pakaian longgar, selimut, atau kain selubung.., kecuali dengan pakaian yang terbuat dari wol dari domba.

Karena pada masa itu harga kain wol sangat mahal dan tidak banyak kaum miskin dan menengah yang menggunakannya, untuk acara-acara kematian dan penguburan, ada puisi indah yang berkaitan dengan aturan ini :

Karena semasa mereka yang hidup tidak sanggup memakainya (wol), mereka di saat mati berkesempatan memakainya.

***

Jadi, tidak ada yang bebas di pasar bebas (sementara ini), kecuali slogannya. Globalisasi dan perdagangan bebas masih tetap menjadi bahasan politik ketimbang ekonomi. Buku The Travels of a T-Shirt in the Global Economy menggunakan kisah sederhana tentang T-shirt untuk mengungkapkan sisi-sisi politik dan manusiawi tentang perdebatan mengenai globalisasi. Di dalamnya, terdapat bisnis yang mencenangkan, politik baik dan buruk, sejarah yang memberikan pencerahan, terutama harapan dan impian yang nyata.

Indonesia sendiri telah masuk ke dalam pusaran globalisasi. Tahun 2010 ini CAFTA sudah dimulai. Tidak ada lagi batas perdagangan antara Cina dan ASEAN. Industri dalam negeri yang paling menderita salah satunya adalah industri tekstil dan produk tekstil (TPT).

Tekstil dari Cina yang sangat murah sudah bertebaran di pasar-pasar mulai dari yang tradisional hingga yang modern. Di sisi satu menyenangkan konsumen, di sisi lain membunuh industri dalam negeri. Saat ini sudah ratusan ribu pengangguran akibat ditutupnya pabril tekstil dalam negeri. Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu dan Menteri Perindustrian MS Hidayat yang tidak biasanya bersama-sama hadir dalam satu acara pelaku usaha, tetapi kali ini mereka hadir di Munas Nasional Asosiasi Pertekstilan Indonesia bulan lalu untuk menunjukkan dukungannya pada industri tekstil dalam negeri. Dan masih banyak lagi pihak yang khawatir, apakah industri tekstil Indonesia mampu kompetitif di era globalisasi dan pasar bebas ini.

Memang mudah menyalahkan semua orang. Satu paragraf ini dengan mudah saya isi dengan menyalahkan orang lain. Pemerintah Indonesia salah tidak memproteksi industri tekstil, pengusaha Indonesia salah tidak kompetitif di pasar tekstil, pekerja di Indonesia salah produktivitasnya rendah, konsumen Indonesia salah tidak cinta produk dalam negeri, Cina salah karena membanjiri pasar dengan produk di bawah standar, dan pasti ini ujung-ujungnya Amerika Serikat bergerak bentuk neokolonialisme dan neoliberalismenya, malah boleh ditambahkan lagi ini pasti Israel yang memiliki agenda Zionisme. Pokoknya semua bisa disalahkan, bahkan bisa dikaitkan dengan teori konspirasi.

Tapi menurut saya daripada sibuk menunjuk hidung satu sama lain, yang lebih penting dan lebih baik adalah pertanyaan, “Jadi bagaimana solusinya?”

5 Maret 2010

Delhi-India : Elang di atas kepala (Bagian Kedua)

Jangan salah paham, saya sendiri sangat mengagumi India sebagai sebuah masyarakat. Selama lebih lima ribu tahun, mulai dari tiga ribu empat ratus tahun sebelum Masehi di lembah Indus hingga saat ini menjadi sebuah negara anak benua India bukanlah waktu yang pendek untuk membangun sebuah kebudayaan. Dari bencana alam ke bencana alam, krisis politik ke krisis politik lain, berbagai permasalahan ekonomi dan sosial, dan tingkat keragaman tinggi antarkebudayaan di dalamnya, serta konflik antaragama Hindu dan Islam,  India masih tetap bertahan berdiri sebagai sebuah masyarakat yang (relatif) utuh.

Mestinya ada sebuah sistem yang luar biasa yang bisa mendukung berkembangnya populasi hingga 1,2 miliar manusia dalam satu negara. Malah, diperkirakan dekade selanjutnya populasi India akan melebihi Cina menjadi negara dengan populasi terbanyak di dunia. Pengaturan tingkat kelahiran di India lebih longgar dibandingkan Cina yang hanya mengizinkan satu orang anak dalam satu keluarga. Seorang teman India saya berkata, “India is democratic country, my friend. We can have as many children as we like..

Saya jadi membayangkan bagaimana evolusi biologis mampu membuat masyarakat India beradaptasi terhadap jumlah populasi sebesar ini. Di sisi biologis, yang pasti fisiologi manusia India memiliki efisiensi lebih tinggi, termasuk sistem imunitas sangat berkembang untuk beradaptasi dengan tingkat sanitasi yang rendah dan sumber makanan yang terbatas. Seperti yang saya katakan di atas, orang Malaysia saja evolusinya tertinggal, apalagi orang Eropa!

Ditinjau dari evolusi kebudayaan, entah bagaimana caranya populasi dengan tingkat kepadatan seperti ini masih bisa menjaga sistem kemasyarakatannya. Evolusi kebudayaan lima ribu tahun di India ternyata berhasil mempertahankan hidupnya sistem kemasyarakatan ini. Jangan-jangan sistem stratifikasi kasta di masyarakat India yang selama ini kita anggap feodal, ternyata merupakan sistem yang ajeg yang mampu mempertahankan ukuran populasi sebesar ini. Kalau kita lihat orang Eropa dan Amerika secara ekonomi dan sosial akhirnya mengurangi tingkat kelahirannya secara alami sebelum mencapai ukuran populasi miliar, bahkan tanpa banyak peran pemerintahnya.

Jangan juga dilupakan bagaimana masyarakat India dapat hidup (harmonis?) dengan alam. Kita sering mendengar sapi di India dianggap sebagai hewan suci yang benar-benar dihormati. Kalau ada sapi yang mati di depan rumah kita, siap-siap urusannya akan sangat panjang. Jadi sapi ini mendapatkan kemudahan bebas berkeliaran ke mana saja. Bukan hanya itu, saya juga lihat anjing, monyet, kambing, kucing, bahkan babi berseliweran di pinggir (dan juga di tengah) jalan bersama-sama manusia. Malah saya lebih tidak habis pikir lagi, sering kali saya lihat kawanan elang liar yang terbang rendah di atas kepala kita di tengah perempatan lalu lintas yang luar biasa padat dan semrawut Delhi. Coba bayangkan, interaksi dengan alam macam apa yang membuat hal-hal seperti ini mungkin bisa terjadi?

***

Di perjalanan ini, saya lagi-lagi menginsyafi pandangan stereotyping saya. Di India, terdapat dua puluh delapan state dan ratusan suku yang memiliki subkebudayaan yang sangat berbeda satu sama lain. Setiap suku memiliki kebudayaannya masing-masing: masakan sendiri, bahasa sendiri, dan hasil kerajinan sendiri. Kolonialisasi Inggris, yang berawal dari ekspedisi negara-negara Eropa semenjak abad ke-16 ternyata mampu mempersatukan keragaman India. Faktanya, lebih banyak orang yang mampu berbahasa Inggris dibandingan berbahasa Hindi yang notabene merupakan bahasa nasional negara India.

Dan kalau kita sedikit mengintip sejarah Indonesia, India adalah ibu kebudayaan Indonesia. Mulai dari dua ratus tahun sebelum Masehi, penyebaran Hindu,  dan Budha, kemudian Islam berdatangan dari berbagai suku di India ke Indonesia (Sumatera dan Jawa). Jangan salah, kebudayaan Islam Indonesia yang berdatangan dari India kebanyakan berasal dari state Goa dan Gujarat.

Masjid Dian Al Mahri di Depok kuilindia155_thumb3[6]

Jadi, Hindu-nya Indonesia, Budha-nya Indonesia, Islam-nya Indonesia, banyak sekali terpengaruh oleh beberapa kebudayaan saja dari India. Salah satunya bentuk kubah mesjid di Indonesia pada umumnya adalah copy paste dari banyak bangunan di India. Di India, Bentuk kuil Hindu-pun mirip mesjid di Indonesia. Dan masih ada banyak kebudayaan India lainnya yang belum sempat berakulturasi dengan masyarakat Indonesia. Yang baru-baru ini muncul, ya salah satunya kebudayaan Bollywood yang sering mengunjungi layar televisi dan bioskop kita akhir-akhir ini. Hayo, sudah nonton film “3 Idiots”, belum? :)

Delhi-India : Elang di atas kepala (Bagian pertama)

India MapKalau boleh jujur, peluang saya untuk secara sukarela kembali mengunjungi India lagi bisa dikatakan sangat rendah. Atau mungkin saya perkecil lagi scope-nya, dari luasnya negara India menjadi kota Delhi saja lah. Pengurangan ini saya lakukan dalam rangka mencegah stereotyping yang lagi-lagi saya lakukan tanpa sengaja di luar sadar.

 

Cukup banyak ketidakkompatibelan saya dengan kebudayaaan di India. Setidaknya pada kunjungan pertama kali ke Delhi, banyak sekali waktu-waktu di mana saya mengelengkan kepala karena takjub, heran, sekaligus terkejut. Kembali lagi saya mengalami yang biasa dikatakan orang sebagai gegar budaya.

Melintasi kehidupan di Delhi, saya jadi teringat beberapa kombinasi berbagai hal yang pernah saya temui. Ketidakpatuhan lalu lintas kota Medan dengan derajat tiga kali lipat. Kekumuhan bantaran sungai Banjarmasin dengan kepadatan yang lebih tinggi dan penyebaran yang lebih luas. Kesemerawutan angkot-angkot terminal Baranangsiang di Bogor ditambah dengan seliweran Bajaj berpenumpang lebih dari 6 orang, kemudian ditambah lagi traktor yang masuk jalan utama dengan gandengan besar berisi hasil bumi. Banyak hal pula yang tambahan yang membuat diskusi lebih lanjut berhenti hanya dengan penjelasan “Because this is India, you can do anything.”   *Teman India saya ngomong hal ini sambil geleng-geleng kepala*

 Auto rickshaw

Saya menjadi waspada memakan berbagai jenis makanan di India, bahkan di hotel bintang lima sekalipun. Hingga kemarin, sudah ada korban dua orang. Teman asal Jerman yang mengalami muntah-muntah yang menurut dokter terjadi karena keracunan makanan, sedangkan teman asal Malaysia mengalami diare ringan.

Saya merasa cukup sukses menahan mual perut agar tidak mengalami komplikasi yang lebih merepotkan setiap kali naik mobil di Delhi. Macam-macam penyebabnya, mulai dari manuver supir salip-menyalip, klakson-mengklakson, dan rem mendadak yang mengocok perut. Apalagi ditambah debu yang menyemprot dari sistem pendingin udara benar-benar membuat sistem keseimbangan di otak saya hampir tidak mampu mengkompensasi berbagai gangguan ini.

***

Ini bukannya SARA, saya kutip kata pengantar buku Superfreakonomics karangan Levitt dan Dubner. Kalau bisa memilih tempat kelahiran Anda atau anak Anda (memangnya bisa?), memilih India sebagai tempat kelahiran bukan pilihan yang bijaksana. Di luar pertumbuhannya yang luar biasa sebagai pemain penting dalam ekonomi global, negara India secara keseluruhan masih berada di bawah garis kemiskinan. Sanitasi dan harapan hidup relatif rendah. Di pedesaan, hanya satu dari empat rumah yang memiliki toilet. Sisanya, silakan cari jamban terdekat..

Di kebudayaan India yang lebih mengutamakan anak laki-laki, peran perempuan sering kali dipinggirkan. Melahirkan anak laki-laki seperti melahirkan asuransi pensiun. Orang tua yang memiliki anak laki-laki dan memeliharanya dengan baik hingga dewasa akan meningkatkan jaminan selamat dipelihara oleh anak laki-lakinya ini sampai hari tua. Bahkan hingga meninggal, orang tua ini akan diurusi kremasinya meskipun biayanya semakin hari semakin mahal.

Lebih tidak beruntung kalau Anda dilahirkan sebagai seorang perempuan. Anak perempuan adalah beban, sehingga kalau ibu hamil mendapati hasil USGnya menunjukkan calon bayi adalah perempuan, sering kali sang ibu mengaborsi jabang bayinya perempuannya ini. Hasilnya, jumlah perempuan lebih sedikit daripada laki-laki di India. Bahkan kalau sudah dewasa pun, perempuan tetap mengalami marginalisasi. Kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan adalah hal yang diterima secara sosial. Lebih dari seratus ribu perempuan India setiap tahunnya meninggal karena berbagai bentuk kekerasan, termasuk  di dalamnya pembakaran pasangan. Di pedesaan India, kalau ada seorang pria yang beristri meninggal, istrinya sering kali ikut dalam pembakaran pasangannya alias dikremasi (hidup-hidup)!

(Bersambung)