20 Agustus 2009

Pendidikan yang (Tidak) Membebaskan (Bagian 2)

Tidak akan pernah habis kita mengidentifikasi gejala-gejala dari pendidikan yang tidak membebaskan. Memang kebebasan (subjektif) adalah suatu utopia, yang lagi-lagi berada pada level pola pikir dan kejiwaan. Bisa dikatakan pencarian ‘kebebasan’ adalah suatu proses yang tidak pernah rampung.

Jauh sebelum kita membicarakan pendidikan yang membebaskan dalam skala masyarakat, dan mungkin juga masih terlalu luas kalau kita membicarakan ini dalam skala keluarga, saya lebih memilih untuk mempertanyakan bagaimana pendidikan yang membebaskan itu dapat dipraktikkan pada diri sendiri. Lho, terus terang saja, saya saja kadang-kadang ragu apa bisa saya mempraktikkannya pada diri sendiri.

Baik dalam posisi apapun, seharusnya ada suatu ‘spirit’ yang menjiwai proses pendidikan yang membebaskan. Minimal, kesadaran menjalankan adalah merupakan suatu proses itu sendiri. Baik menjadi murid atau guru, atau dalam bahasa yang lebih setara, partner intelektual, kesadaran perjalanan inilah yang ingin saya cari.

Mengenai kesadaran memerankan guru untuk pendidikan yang membebaskan ternyata memerlukan upaya yang tidak mudah. Pendidik yang membebaskan adalah yang membuka peluang seluas-luasnya agar murid bergerak melangkah sendiri mengembarai cakrawala-cakrawala kemungkinan ilmu. Kadang-kadang kita suka tidak sabar menunggu proses pembelajaran lantas buru-buru memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang disodorkan pada partner intelektual kita ini.

Selain itu, apakah tepat seorang guru memberitahukan sesuatu atau menyodorkan informasi-informasi, yang sebenarnya merupakan hak asasi murid untuk menelusuri dan memperolehnya secara mandiri? Lalu, bagaimana kesiapan seorang guru ketika muridnya memiliki jawaban yang berbeda dengan jawaban sang guru? Kitapun harus mulai mengkaji dampak seorang eksklusifis, yang menginginkan satu jawaban untuk satu pertanyaan.

Mengenai kesadaran perjalanan sebagai murid, saya jadi ingat seorang teman yang agak nyeleneh. Pada posisinya di masyarakat, teman ini memiliki status sosioekonomi yang sangat baik. Pada sisi lain, pada usia lanjutnya teman kita ini ternyata seorang pembelajar yang tidak kenal lelah. Salah satu hobinya adalah membaca. Semua jenis buku ia baca, tetapi buku yang paling dia gemari adalah jenis buku membuatnya gelisah. Makin terguncang keyakinannya, makin dia gelisah, dan makin dia semangat membaca buku ini. Ketika teman-teman seumurnya mengharapkan dan mungkin sudah mendapatkan kemapanan, dia justru membangun pola pikir anti kemapanan.

Beberapa kali saya berbincang dengannya, bulu kuduk saya selalu meremang karena wacana yang ia kemukakan; biasanya seputar teologi dan kemanusiaan. Prinsip pribadinya adalah “jangan-jangan saya salah, orang lain benar”. Dia bersedia menerima berbagai hal baru kalau memang hal baru ini logis menurutnya. Dengan segala kekuatan dan kelemahannya, teman kita ini membuka dirinya untuk pemahaman yang ekspansif, termasuk untuk konsep ketuhanan yang merupakan ruang privat dan biasanya enggan kita bicarakan. Yah, dia memang bukan tipe eksklusifis yang menganggap nilai-nilai yang dia pegang adalah yang paling benar.

Meskipun saya tidak selalu sepakat dengan pemikiran teman ini, tetapi saya selalu mengagumi ‘spirit’ yang dia pegang mengenai pembebasan diri dari kelembaban. Kelembaman bisa jadi status quo kepemimpinan, sakralisasi hal-hal seputar keagamaan, nilai filosofi yang kadaluarsa, hegemoni kebudayaan. Mengapa tidak? Kalau telah sering terbukti fatwa agama ternyata salah, penemuan ilmu keliru, kesimpulan filsafat tak bisa bertahan; maka bersedia mengakui kelemahan bisa jadi adalah sejenis kekuatan.

Saya sendiri sering merasa pada sangat banyak dogma yang melekat yang tidak pernah saya sadari mengerosi gairah skeptisisme saya dalam mempertanyakan sesuatu. Sering kali, sesuatu yang sangat halus membelokkan saya tidak mempertanyakan kembali suatu hal, menganggap hal ini taken for granted, lalu menghibur diri dengan jawaban “Sudah dari sananya.”


Begitu banyak pertanyaan yang saya sadari pernah saya lewati karena dogma yang melekat pada diri saya. Kalau memang Al-Quran versi Usmani cetakan Mesir 1904 yang kita pegang saat ini ternyata bukan satu-satunya mushaf; dan masih ada mushaf Aisyah, mushaf Umar, dan mushaf Ibnu Mas’ud; lalu masing-masing mushaf terdapat perbedaan jumlah surat, isi, dan hal-hal lainnya; apakah ke-kitabsuci-an Al-Quran boleh kita pertanyakan?

Mengapa kematian itu mesti menakutkan atau memang kita yang terbiasa ditakut-takuti? Apa benar tidak semua kebudayaan di dunia ini menakut-nakuti kematian? Apa benar ada siksa kubur? Kan tidak ada referensinya di Al-Quran?

Apakah pemanasan global itu karena ulah manusia? Ataukah pemanasan global sesuatu keniscayaan gejala alam yang natural dan tidak mungkin bisa dikendalikan oleh manusia itu sendiri?

Apa benar kehidupan adalah hasil konspirasi para selfish genes? Dan kesadaran ke-‘aku’-an hanyalah hasil kerja dari rentetan neurotransmiter yang berinteraksi satu sama lain? Kalau memang kehidupan adalah hanyalah mekanisme gen saja dan ‘aku’ sebenarnya tidak ada, apakah kita bisa benar-benar berkata ash to ash, dust to dust? Innalillahi wa inna illaihi raji’un? Itupun bagi pribadi-pribadi yang percaya kalau Tuhan ada lho ya...