26 September 2010

Celotehan tentang Buku dan Ide

Membaca beberapa buku dengan topik yang berbeda secara bersamaan sering menghasilkan ide iseng dan kadang tercampur satu sama lain. Misalnya saja, saat ini saya sedang melompat-lompat membaca secara bersamaan buku (kuliah) Intermediate Accounting-nya Donald Kieso dkk, buku (sains populer) The Grand Design-nya Stephen Hawking, dan buku Professional Blogging for Dummies-nya Susan Getgood. Tumben sekali, bisa dapat tiga buku yang secara berturut-turut menarik buat dibaca dan moga-moga bisa dibaca sampai khatam. Saya pernah beberapa kali mendapatkan buku yang hanya mampu saya baca sampai kata pengantarnya saja. Selain mungkin saya kurang cerdas, mungkin buku-buku seperti itu lebih cocok dipajang saja dibandingkan dibaca.. :)

Buku Intermediate Accounting tulisan Donald Kieso dan kawan-kawan lumayan menarik karena setiap hal dikaitkan dengan contoh yang faktual, misalnya dengan skandal korporasi besar macam Enron, Worldcom, dan Dell (saya baru pertama kali mendengar skandal akuntansi Dell ini). Memang awalnya membaca buku akunting ini adalah tugas kuliah, tapi lama-lama saya jadi cukup emosional menghayati kisah skandal korporasi raksasa yang mulai mirip sinetron. Meskipun (fotokopian) buku ini setebal bantal ukuran A4, tapi dengan dua gelas Hot Americano dan suasana yang tepat, ‘kisah 1001 malam’ dalam buku ini bisa masuk dalam otak (meskipun belum tentu bisa dikeluarkan kalau nanti ujian). Saya jadi kepikiran kalau ternyata filosofi di balik tugas akuntansi dalam perusahaan itu ternyata mulia juga. Setidaknya, saya mulai mengerti mengapa tipikal orang akunting (yang saya kenal) memiliki karakter yang serius, kaku (tegas?), dan straightforward. Untuk orang akunting yang baca, mohon jangan marah atau ngambek ya.. Ini saya beri artikel tentang perbandingan antara pengacara dan akuntan.

***

Buku The Grand Design adalah karya terbaru dari Stephen Hawking yang cukup heboh. Komentar Stephen Hawking beberapa hari sebelum peluncuran buku ini lumayan heboh dan cukup membangun word of mouth. Menurut saya, Stephen Hawking ini adalah seorang marketer sejati. Selain kemampuan membangun word of mouth, tulisan beliau yang sederhana juga membuat saya sulit berhenti walaupun baru mulai membaca buku ini beberapa bab saja. Memang dari dulu, tulisan Stephen Hawking relatif mudah dicerna oleh orang awam. Sedikit kutipan yang menarik pada kata pengantar The Grand Design :

“Untuk memahami alam semesta pada level terdalam, kita perlu mengetahui bukan hanya bagaimana alam semesta bekerja, tapi juga mengapa alam semesta ini bekerja.

mengapa ada daripada tiada?

mengapa kita ada?

mengapa susunan hukum alam yang ini, bukan yang lainnya?

Inilah pertanyaan terakhir tentang Hidup, Alam Semesta dan Segalanya…”

***

Buku Professional Blogging for Dummies tulisan Susan Getgood keluaran tahun 2010 ini juga cukup menarik.  Isinya sesuai dengan judulnya, walaupun klaim “for dummies”-nya perlu diperjelas lagi karena menurut saya bukunya cukup detail dan rumit bagi pembaca yang benar-benar dummy. Cukup mencerahkan dengan update terbaru tentang bagaimana menjadi blogger profesional. Di masa depan, menjadi blogger sebagai sebuah profesi akan menjanjikan. Informasi yang personal khas media informasi blog memang semakin diterima. Saya sendiri sering menggunakan kanal informasi blog untuk mencari macam-macam review tentang sesuatu. Saya juga jadi ingat Supian, seorang teman saya yang sukses menjalani profesi menjadi blogger ini, bahkan mengajarkan orang lain mengikuti langkahnya (dan juga sukses). Nah, ini namanya ilmu yang bermanfaat buat orang lain…

***

Otak punya kemampuan melakukan multitasking, yaitu kemampuan melakukan beberapa tugas (mikir) secara bersamaan. Saya sering menugaskan otak saya mencari jawaban atau mengingat sesuatu di ‘background’ sambil melakukan hal yang lain membutuhkan konsentrasi khusus. Biasanya dalam beberapa menit tiba-tiba keluar jawabannya dalam ingatan. Makanya, ketika membaca beberapa buku secara bersamaan, sering ada kesimpulan yang orisinal dan kadang-kadang nyeleneh.

Campur punya campur dari buku-buku yang saya ceritakan sebelumnya, ternyata saya jadi punya ide untuk membuat journey blog tentang catatan perjalanan kuliah. Isinya ada pesan dan kesan di masa kuliah, tugas-tugas yang dikumpulkan, dan syukur-syukur bisa ada kesimpulannya. Mestinya bisa sejalan dengan orang memiliki minat yang sama.

Saya sendiri sering sulit menulis secara mengali, dan juga secara teratur. Dalam menulis, saya suka ‘gatal’ mengedit tulisan sebelum dirampungkan dan sering berakibat idenya keburu lewat karena kesibukan mengedit. Sering banyak ide dan review yang terlewatkan karena masalah ini. Sangat disayangkan karena banyak ide yang hilang dan isi buku yang cepat dilupakan begitu selesai dibaca. Makanya, kalau ada blog tentang perjalanan kuliah moga-moga bisa diingat kembali.

Sedikit membaca sedikit lupa, banyak membaca banyak pula lupa..

Sedikit menulis sedikit ingat, banyak menulis mana sempaat.. *melambai* :D

20 September 2010

Ulasan Film “Sang Pencerah”

Siapa yang belum menonton film “Sang Pencerah” karya Hanung Bramantyo? Film ini menggambarkan sebuah versi kehidupan KH. Ahmad Dahlan, sang pendiri organisasi Muhamadiyyah. Bagi yang belum, sila menyempatkan diri pergi ke bioskop untuk menonton sebelum film ini habis. Perkiraan saya, film ini akan usai tayang di layar lebar dalam satu dua minggu dan mulai dipasarkan lewat media DVD atau VCD.

Yang sudah menonton, apakah Sang Pencerah cukup menghibur? Bagi saya film ini sangat menghibur dan memberikan visualisasi yang sangat baik. Momen yang terjadi saat ini juga (kebetulan?) sesuai dengan tema film Sang Pencerah ini. Ya, kebebasan beragama dan perbedaan pendapat memang menjadi topik yang hangat di Indonesia saat ini. Insiden FPI, HKBP, dan Ahmadiyyah memberikan momentum bagi larisnya film ini. Minggu ini, mungkin penonton film Sang Pencerah sudah mencapai 20 juta orang.

Detil setting Sang Pencerah yang cukup realistis sesuai jamannya menggambarkan hasil riset praproduksi yang teliti. Konon, Hanung mengambil referensi dari belasan buku tentang Muhamadiyyah dan melakukan konsultasi dengan pihak keluarga dan kerabat dekat KH. Ahmad Dahlan. Dengan riset ini, tempat shooting di Kebun Raya Bogor dapat disulap sangat mirip dengan situasi Kauman Yogyakarta satu abad yang lalu.

Materi pengembangan naskah film Sang Pencerah ini memasukkan beberapa fiksi untuk menambal cerita, misalnya pada kisah seputar masa muda Muhammad Darwis (nama kecil KH Ahmad Dahlan). Di awal cerita, penggambaran bahwa pengikut aliran Syekh Sitti Jenar mempertahankan ritual sesajen sehingga membelokkan ajaran Islam perlu dicek kembali. Konsep Sitti Jenar lebih mengajarkan orang agar meminta langsung ke Tuhan tanpa perantara benda atau manusia lain. Praktek sinkretisme dengan budaya sebelumnya (animisme dan Hindu/Budha) seperti ritual sesajen ini cenderung diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga.

Saya kurang mengerti detil tata cara memproduksi film. Tapi sepertinya dalam pembuatan film Sang Pencerah, urusan ini berada pada standar pembuatan film di Indonesia. Tidak usah dibandingkan dengan Hollywood dan Bollywood yang sangat produktif menghasilkan film layar lebar. Kita usahakan dan doakan saja perfilman Indonesia dapat segera mencapai ke level ini.

Secara keseluruhan, menurut saya film Sang Pencerah sangat menghibur dan memancing keingintahuan. Film ini lebih baik dibanding film Indonesia yang sedang sama-sama ditayangkan di bioskop saat ini seperti “Dawai 2 Asmara” dan “Lihat Boleh Pegang Jangan.”

Moga-moga modal 12 miliarnya buat film Sang Pencerah bisa balik ya, Pak Raam Punjabi. Sukses dan buat film seperti ini lagi ya Pak! :)

5 September 2010

Stephen Hawking: Tuhan dan Hal-Hal yang Tak Selesai

The Big Bang was the result of the inevitable laws of physics and did not need God to spark the creation of the Universe, Stephen Hawking has concluded.

Pada pra-peluncuran buku terbaru Stephen Hawking The Grand Design beberapa hari yang lalu, ia mengatakan bahwa proses penciptaan alam semesta, Big Bang, adalah hasil dari hukum fisika dan pada proses ini Tuhan tidak diperlukan.

“Because there is a law such as gravity, the Universe can and will create itself from nothing...

Spontaneous creation is the reason there is something rather than nothing, why the Universe exists, why we exist..

It is not necessary to invoke God to light the blue touch paper and set the Universe going.”

Tuhan tidak diperlukan pada penciptaan alam semesta. Begitulah pernyataan Stephen Hawking yang menggulirkan berbagai bantahan dan dukungan di media, bahkan sebelum buku baru The Grand Design terbit. Kaum agamawan juga ikut menanggapi secara positif maupun negatif. Kata kunci “Stephen Hawking” sendiri sempat menjadi trending topics di twitter. Pernyataannya seolah menghangatkan kembali perdebatan agama dan sains yang beberapa waktu sempat mendingin.

Saya belum berani berkomentar banyak sebelum benar-benar membaca The Grand Design. Akan tetapi, ketika membaca kontroversi seputar pernyataan Stephen Hawking ini, tiba-tiba saya jadi ingat buku Tuhan dan Hal-Hal yang Tak Selesai karya Goenawan Mohamad. Saya temukan relevansi dengan kata-kata Stephen Hawking ini: Mungkin Tuhan-nya Hawking tidak selesai dalam proses penciptaan alam semesta.

Jangan-jangan kontroversi ini juga terjadi ketika Charles Darwin mengemukakan bahwa evolusi yang bertanggung jawab terhadap terjadinya berbagai macam spesies di bumi: Tuhan-nya Darwin tidak rampung dalam proses penciptaan alam semesta. Atau juga dari perkembangan neurosains tentang terjadinya kesadaran (conciousness) dan jiwa: Tuhan tidak juga selesai pada proses terjadinya jiwa.

Selalu ada frontier baru dalam memahami “penciptaan” Tuhan. Frontier itu sendiri bukan limit yang membatasi, ia lebih pada tapal batas sementara untuk pemahaman selanjutnya masa depan. Dulu mungkin spesies, lalu jiwa, dan sekarang alam semesta, entah besok apa. Mungkin Tuhan memang tidak pernah final: Dia tak akan pernah benar-benar terang lantas kemudian selesai.

***

“Yang menyangka ada jalan pintas dalam iman akan menemukan jalan buntu dalam sejarah.

Tiap masa selalu ada orang yang mengembara dan membuka kembali pintu ke gurun pasir tempat Musa—yang tak diperkenankan melihat wajah Tuhan—mencoba menebak kehendak-Nya terus-menerus.

Di sana tanda-tanda tetap merupakan tanda-tanda, bukan kebenaran itu sendiri. Di sana banyak hal belum selesai.

Gurun pasir tak sepenuhnya dialahkan, dan cadar selalu kembali seperti kabut. Manusia bisa tersesat, tapi sejarah menunjukkan bahwa iman tak pernah jera justru ketika Tuhan tak jadi bagian benda-benda yang terang.”

(Tuhan dan Hal-Hal yang Tak Selesai, Tatal 23)