23 Maret 2008

Cinta Laura dan Ahmad Mushaddeq

Ada beberapa hal yang perlu ditelaah kembali dalam menyikapi perbedaan. Misalnya saja pada cerita yang terdengar sepele seperti logat ‘kebarat-baratan’ Cinta Laura Kiehl (baca : Cincha Laura Kiehl). Logat bicara dan campuran bahasa Inggris-Indonesia yang digunakan ketika berbicara di depan publik terdengar ‘berbeda’. Beberapa orang yang saya temui, sadar atau tidak, sering membuat bahan ejekan terhadap logat nona cantik keturunan Jerman-Indonesia ini berbicara. Pertama kali mendengar Cinta Laura bicara ternyata memang membangkitkan kegelian siap untuk menertawakan.

Kasus mirip seperti kisah Cinta Laura, saya pernah menemukan seorang teman Korea yang pernah tinggal beberapa tahun di Amerika Serikat untuk wajib militer. Teman-teman sesama Korea menertawakannya saat beliau berbicara dalam bahasa Inggris dengan dialek Inggris Amerika di lingkungan Korea. Sepertinya memang sangat mengganggu menemui perbedaan di tengah lingkungan sendiri, apalagi bila perbedaan itu berasal dari golongan yang sama dengan kita.


Padahal, selama ini saya belum pernah menjadi tertawaan ketika berusaha berbahasa asing dengan logat Indonesia di lingkungan asing. Beberapa waktu lalu saya bertemu dengan orang Indonesia yang sudah tidak terhitung berada di lingkungan asing, tetapi dengan bangga menggunakan logat Indonesia dalam berbicara dalam berbagai bahasa asing. Menurut beliau yang penting lawan bicara mengerti mengenai isi yang dibicarakan.


Menyikapi perbedaan membutuhkan keahlian penanganan tertentu. Lebih tepatnya membutuhkan keahlian menangani perasaan hati kita. Mungkin kisah Cinta Laura hanya terdengar lucu dan sepele. Tetapi bila hal sensitif seperti pada agama, hal ini berpotensi menjadi besar dan serius.



Sejak kecil kita sering dibenturkan pada perbedaan ritual tata cara keagamaan keluarga kita dengan orang-orang di lingkungan sekitar. Kadang-kadang memang hanya komentar tipis yang menunjukan bahwa perbedaan itu dianggap suatu yang aneh dan mengganggu, tetapi tidak jarang perbedaan itu dilabeli kesesatan. Ahmad Mushaddeq aliran Al Qiyadah Al Islamiyah itu sesat atau tidak? Katolik atau Kristen? Fundamental atau moderat?


Tidak menyikapi perbedaan seperti seharusnya dapat menimbulkan simptom dunia hitam putih. Dikotomi antara benar salah, baik buruk adalah hal utama di dunia hitam putih. Kenapa begitu? Karena, kalau bukan teman, pasti dia adalah musuh. Karena tentang hidup setelah mati, kalau agama anu masuk surga kalau agama selain anu itu kafir, jadi masuk neraka.

Emha Ainun Najib pernah menulis bahwa malaikat dan setan adalah makhluk pasti, yang satu diperintahkan berbuat baik, yang satu lagi diperintahkan membisiki keburukan pada manusia. Sudah pasti diharuskan melakukan hal ini oleh Tuhan. Sedangkan manusia adalah makhluk kemungkinan, dipersilakan melakukan apa yang ia pilih, tentunya dengan konsekuensinya masing-masing.

Moga-moga kita tidak seperti cerita orang buta yang bertengkar karena perbedaan mendeskripsikan gajah berdasarkan perbedaan bagian tubuh gajah yang terpegang. Manusia hanya bisa memandang dari sudut pandang ia berdiri, jadi mestinya ada bagian-bagian ‘kebenaran’ yang tidak tampak oleh kita dan mungkin terlihat pada sudut pandang orang lain yang berdiri tepat di sebelah kita.

Perbedaan adalah keniscayaan bagi manusia, memang sudah spesifikasinya seperti itu. “Kebenaran sejati” adalah satu dan universal untuk seluruh manusia, tetapi pemahamannnya bersifat personal dan berbeda antara manusia satu dengan manusia lain. Tuhan saja mengizinkan kita untuk memilih, jadi patut dipertanyakan apakah kita berhak menghakimi manusia lain memilih selain dari apa yang kita pilih?