18 September 2009

Festival Budaya Islam : Bagian 1 - Mudik

Ritual mudik Idul Fitri yang mulai terjadi hari ini adalah merupakan budaya khas Indonesia. Sewaktu pulang ke rumah tadi, di jalan sudah mulai tampak lautan motor dengan bagasi dadakannya yang khas di bagian belakang motor. Tahun 2009 ini, diperkirakan ada dua puluh tujuh juta pemudik, lebih dari sepersepuluh populasi Indonesia, kembali ke daerah asalnya. Sebagian menggunakan motor, bermacet-macet ria melakukan ritual suci khas Indonesia yang bernama Mudik.

Kultur yang bernama mudik merupakan jelmaan dari Idul Fitri yang merupakan budaya Islam berakulturasi dengan budaya kekeluargaan khas Indonesia. Saya baru beberapa tahun belakangan menyadari bahwa mudik merupakan budaya lokal asli Indonesia. Sebelumnya, saya menyangka ritual ‘pulkam’ ini dilakukan oleh semua umat Islam, bukan hanya di Indonesia saja, melainkan dilakukan umat Islam di seluruh dunia. Produk cap Indonesia ini sudah dilakukan turun temurun dan menjadi sebuah keniscayaan yang saya anggap sebuah budaya asli Islam dari sono-nya.

Lagipula, saya terlalu malas untuk memeriksa lagi sejarah pemikiran dan praktek Islam sehingga sering kali terjebak pada perkara-perkara macam ini. Bukannya apa-apa, terus terang saya sering mengalami sindrom kacamata kuda: merasa praktek keagamaan yang dijalani di lingkungan saya adalah sesuatu yang final dan seragam dengan orang lain di seantero bumi ini. Kalau saya sedang (tidak) waras, barulah saya kadang-kadang berpikir apa iya kita sama semua begitu? Apa jangan-jangan tidak begitu?

Logikanya, setiap tempat dan waktu pasti memiliki ciri khas dalam menjalankan praktek beragama. Praktek ini dilaksanakan secara turun-temurun, sehingga secara alami terjadi akulturasi kebudayaan asli dengan budaya keagamaan yang datang. Misalnya saja, orang bilang Islamnya Indonesia itu sinkretis alias berusaha menyesuaikan dengan kepercayaan yang telah ada di Indonesia.

Saya rasa pernyataan ini ada unsur benarnya, misalnya dilihat dari cara Sunan Kalijaga berdakwah dengan wayang, serapan dari Mahabarata dan Ramayana asal India yang dibumbui dengan berbagai tambahan seperti misalnya tokoh carangan. Meskipun begitu, ada juga unsur generalisasi di sini. Setidaknya organisasi masyarakat macam Muhammadiyah cenderung tidak menerima hal-hal bid’ah macam itu. Saya cenderung berpendapat, setiap Muslim punya Islam yang customized. Apa yang kita masing-masing baca, dengar, lihat, dan alami akan mengkustomisasi cara pandang terhadap agama kita masing-masing.

***

Kalau punya kesempatan, saya ingin mengunjungi beberapa masyarakat dan melihat sendiri budaya keagamaan khas di daerah itu. Sungguh sangat menarik bisa meng-confirm beberapa budaya katanya yang sangat berbeda dengan apa yang biasa saya alami di lingkungan sendiri. Sekali lagi, perbedaan budaya ini masih katanya lho. Saya tidak tahu pasti, tidak ainul-yaqiin, karena biasanya saya mengetahui perbedaan budaya ini dari buku, internet, kata teman, kata temannya teman, kata bukunya teman, dan seterusnya. Oleh karena itu, saya ingin berusaha melihat dengan mata di kepala saya sendiri bagaimana sebenarnya realita kebudayaan yang sebenarnya terjadi di beberapa masyarakat.

Dari berbagai sumber, ada beberapa hal-hal seputar praktek keberagamaan Islam di berbagai tempat yang sempat membuat saya tergeleng-geleng, kok bisa ada hal seperti ini. Tapi sebenarnya, kalau dipikir-pikir lagi, apa hak saya menjustifikasi orang lain. Kalau orang lain menilai ritual mudik tercinta kita ini sebagai kegiatan yang lebih banyak mudharat-nya daripada kebaikannya, berisiko tinggi penyebab kematian, dan secara praktis merusak esensi Idul Fitri yang sesungguhnya; bisa dibayangkan betapa tidak nyamannya perasaan kita. Padahal, kalau dilihat mungkin argumen-argumen ini adalah sesuatu yang rasional dan nyata terjadi di lapangan. Coba saja lihat peningkatan jumlah korban jiwa akibat lalu lintas mudik setiap tahunnya.

Pada beberapa tulisan pendek ke depan, saya ingin mencoba melakukan festival terhadap beberapa praktek kebudayaan Islam yang katanya dilakukan di berbagai tempat di muka bumi ini. Saya juga usahakan mencari beberapa beberapa argumen skenario yang mungkin melatarbelakangi terjadinya hal ini.

Seperti namanya, festival adalah sebuah ritual yang dilakukan oleh komunitas lokal untuk menonjolkan aspek yang khas dari budayanya. Jadi festival budaya keagamaan bertujuan untuk menggambarkan kandungan lokal dari berbagai praktek keberagamaan. Untuk saya, ini adalah sebuah cara agar saya tidak bersikap ahistoris terhadap agama dan moga-moga bisa tertular pola pikir beragama dengan rendah hati.

12 September 2009

Saya khawatir sekali

Melakukan shalat sekali
berbuat keji dan munkar kembali

Berceramah tentang keikhlasan
sambil mengharap pahala ke tangan

Berpuasa mengendalikan diri sebulan
habis itu melampiaskan sebelas bulan

Bersedekah sekali-sekali
tapi mengambil berkali-kali

Mengimani al-Mudzill
lalu menyalahkan Setan menyesatkan

Bersaksi mengesakan Tuhan
beraksi menuhankan tuhan-tuhan

Saya khawatir sekali
jangan-jangan Tuhan merasa dibohongi

6 September 2009

Obrolan di sebuah bar jazz

Sudah jam setengah satu malam, di sebuah ruangan kecil bar jazz yang dipenuhi asap rokok dan obrolan sayup-sayup. Biasanya bahan obrolan tengah malam sudah cenderung menjadi tidak penting, tapi setidaknya jujur. Sudah terlalu malam, band jazz yang tadi sudah selesai sejak setengah jam yang lalu.
Dari pojok ruangan, suara Billie Holiday keluar dari sebuah coin music box tua. Lagunya kali ini God Bless the Child rekaman tahun 1941. Sepertinya tidak ada orang yang acuh dengan alunan suara khas Billie, semua sibuk dengan obrolannya masing-masing.
Aku duduk di kursi meja bar yang berwarna kecoklatan pudar. Di deretan meja ini, hanya ada dua orang, yaitu aku dan seorang muda yang entah mengapa sering kali menoleh memandangi wajahku. Di hadapannya, gelas bir ketiga baru habis seperempatnya. Asbak rokoknya sudah terisi puntung rokok hampir setengah bungkus. Aku pura-pura tidak mengamatinya, asyik menekuni gelas minumanku yang sudah hampir habis.

Selesai Billie bernyanyi, tiba-tiba orang muda ini menghampiriku. Dia membuka pembicaraan dengan menyapa dengan ramah. Mukanya yang masih segar hingga larut malam ini tersenyum. Mau tidak mau, saya tanggapi dia.
"Selamat malam Mas," anak muda ini membuka pembicaraan, "boleh Saya bergabung dengan Anda? Nama saya Sinar. Suka musik jazz ya Mas?"
"Oo, silakan Mas Sinar, nama saya Indra. Dan iya, saya suka dengar jazz, hanya iseng-iseng saja Mas," jawabanku.
"Saya cuma mau tanya sama Mas Indra," tanyanya tiba-tiba, "kenapa Mas suka musik jazz? Dulunya musik jazz kan musik pinggiran? Musik orang kulit hitam? Cuma orang tertindas yang mau mendengar musik ini? Apa Mas Indra adalah menggolongkan diri termasuk orang-orang yang tertindas?"

"Wah, saya kurang tahu ya Mas Sinar," sambil berusaha menenangkan kekagetanku karena diberondong pertanyaan macam itu, "Saya cuma ikut-ikutan Mas. Saya senang dengar musik yang banyak kord-kord miringnya seperti jazz ini, tidak tahu masalah sejarah-sejarahnya. Lagipula, memangnya benar musik jazz itu musiknya orang yang tertindas?"
"Katanya sih begitu Mas, musik jazz itu musiknya orang tertindas. Jaman dulu, ketika orang kulit hitam dalam penindasan, semuanya dibatasi, bahkan pikiran saja bisa dibatasi. Makanya, Jazz itu anak kandung dari orang kulit hitam yang tertindas dan Jazz sendiri merupakan sebuah ekspresi bertahan hidup. Jadi saya tanya lagi Mas Indra ini merasa termasuk golongan orang yang tertindas, tidak?”
“Jangan-jangan saya memang dalam keadaan ditindas ya? Kok bisa-bisanya suka dengar musik seperti ini? Tapi kalau dipikir-pikir lagi, mendingan saya jadi yang menindas, lho Mas. Minimal menindas orang yang bisa saya tindas toh? Kalau tidak, masa saya bisa hidup? Kan prinsipnya menindas atau ditindas. Tidak ada tengah-tengah. Hidup ini tidak mengizinkan kita jadi pihak yang non-blok lho.”

“Wah, begitu rupanya,” Sinar nyengir, “penampilan bisa mengecoh. Serigala bisa berbulu domba, dan sebaliknya domba juga bisa berbulu serigala. Malah, kadang-kadang domba tidak sadar dirinya domba, serigala tidak sadar kalau dirinya adalah serigala. Jangan-jangan Mas Indra ini penindas sambil tertindas juga sekaligus.”

“Minimal, tertindas hati nurani sendiri sehingga bisa tega menindas orang lain,” tambahnya, “Makanya Mas jadi senang sama musik jazz itu, karena secara tidak sadar merasa tertindas dengan diri sendiri.”
Obrolan terus berjalan. Tamu-tamu bar jazz sudah mulai pulang. Tanpa terasa waktu terus berjalan, sudah mendekati jam setengah dua. Dan obrolan terus berjalan lagi dengan omongan yang tidak penting tapi jujur. Kali ini, Ella Fitzgerald menyanikan My Melancholy Baby menghangatkan suasana ruangan yang mulai sepi.
“Terus terang saya bingung Mas Sinar,” kataku mulai terkantuk, “saya cuma dengar musik jazz saja, lantas saya diadili begitu rupa disebut sebagai penindas lah, sekaligus orang tertindas lah. Apa setiap pendengar musik klasik bisa dikotakkan sebagai kelas bangsawan? Apa setiap pendengar musik pop bisa diklasifikasikan sebagai orang yang pikirannya dangkal?”

“Lho, kan saya awalnya tadi cuma tanya Mas Indra ini merasa termasuk orang yang tertindas apa tidak?” kata Sinar, “lalu kita obrol-obrol lebih lanjut lagi. Kalau merasa tidak tertindas, ya bagus itu. Kalau merasa tertindas, juga tidak apa-apa. Jadi sekarang, Mas Indra merasa tertindas atau tidak?”
“Ya, gara-gara sampeyan ini, saya sekarang jadi merasa tertindas sama diri saya sendiri…”
“Makanya mas, sering-sering dengar musik jazz...”