6 September 2009

Obrolan di sebuah bar jazz

Sudah jam setengah satu malam, di sebuah ruangan kecil bar jazz yang dipenuhi asap rokok dan obrolan sayup-sayup. Biasanya bahan obrolan tengah malam sudah cenderung menjadi tidak penting, tapi setidaknya jujur. Sudah terlalu malam, band jazz yang tadi sudah selesai sejak setengah jam yang lalu.
Dari pojok ruangan, suara Billie Holiday keluar dari sebuah coin music box tua. Lagunya kali ini God Bless the Child rekaman tahun 1941. Sepertinya tidak ada orang yang acuh dengan alunan suara khas Billie, semua sibuk dengan obrolannya masing-masing.
Aku duduk di kursi meja bar yang berwarna kecoklatan pudar. Di deretan meja ini, hanya ada dua orang, yaitu aku dan seorang muda yang entah mengapa sering kali menoleh memandangi wajahku. Di hadapannya, gelas bir ketiga baru habis seperempatnya. Asbak rokoknya sudah terisi puntung rokok hampir setengah bungkus. Aku pura-pura tidak mengamatinya, asyik menekuni gelas minumanku yang sudah hampir habis.

Selesai Billie bernyanyi, tiba-tiba orang muda ini menghampiriku. Dia membuka pembicaraan dengan menyapa dengan ramah. Mukanya yang masih segar hingga larut malam ini tersenyum. Mau tidak mau, saya tanggapi dia.
"Selamat malam Mas," anak muda ini membuka pembicaraan, "boleh Saya bergabung dengan Anda? Nama saya Sinar. Suka musik jazz ya Mas?"
"Oo, silakan Mas Sinar, nama saya Indra. Dan iya, saya suka dengar jazz, hanya iseng-iseng saja Mas," jawabanku.
"Saya cuma mau tanya sama Mas Indra," tanyanya tiba-tiba, "kenapa Mas suka musik jazz? Dulunya musik jazz kan musik pinggiran? Musik orang kulit hitam? Cuma orang tertindas yang mau mendengar musik ini? Apa Mas Indra adalah menggolongkan diri termasuk orang-orang yang tertindas?"

"Wah, saya kurang tahu ya Mas Sinar," sambil berusaha menenangkan kekagetanku karena diberondong pertanyaan macam itu, "Saya cuma ikut-ikutan Mas. Saya senang dengar musik yang banyak kord-kord miringnya seperti jazz ini, tidak tahu masalah sejarah-sejarahnya. Lagipula, memangnya benar musik jazz itu musiknya orang yang tertindas?"
"Katanya sih begitu Mas, musik jazz itu musiknya orang tertindas. Jaman dulu, ketika orang kulit hitam dalam penindasan, semuanya dibatasi, bahkan pikiran saja bisa dibatasi. Makanya, Jazz itu anak kandung dari orang kulit hitam yang tertindas dan Jazz sendiri merupakan sebuah ekspresi bertahan hidup. Jadi saya tanya lagi Mas Indra ini merasa termasuk golongan orang yang tertindas, tidak?”
“Jangan-jangan saya memang dalam keadaan ditindas ya? Kok bisa-bisanya suka dengar musik seperti ini? Tapi kalau dipikir-pikir lagi, mendingan saya jadi yang menindas, lho Mas. Minimal menindas orang yang bisa saya tindas toh? Kalau tidak, masa saya bisa hidup? Kan prinsipnya menindas atau ditindas. Tidak ada tengah-tengah. Hidup ini tidak mengizinkan kita jadi pihak yang non-blok lho.”

“Wah, begitu rupanya,” Sinar nyengir, “penampilan bisa mengecoh. Serigala bisa berbulu domba, dan sebaliknya domba juga bisa berbulu serigala. Malah, kadang-kadang domba tidak sadar dirinya domba, serigala tidak sadar kalau dirinya adalah serigala. Jangan-jangan Mas Indra ini penindas sambil tertindas juga sekaligus.”

“Minimal, tertindas hati nurani sendiri sehingga bisa tega menindas orang lain,” tambahnya, “Makanya Mas jadi senang sama musik jazz itu, karena secara tidak sadar merasa tertindas dengan diri sendiri.”
Obrolan terus berjalan. Tamu-tamu bar jazz sudah mulai pulang. Tanpa terasa waktu terus berjalan, sudah mendekati jam setengah dua. Dan obrolan terus berjalan lagi dengan omongan yang tidak penting tapi jujur. Kali ini, Ella Fitzgerald menyanikan My Melancholy Baby menghangatkan suasana ruangan yang mulai sepi.
“Terus terang saya bingung Mas Sinar,” kataku mulai terkantuk, “saya cuma dengar musik jazz saja, lantas saya diadili begitu rupa disebut sebagai penindas lah, sekaligus orang tertindas lah. Apa setiap pendengar musik klasik bisa dikotakkan sebagai kelas bangsawan? Apa setiap pendengar musik pop bisa diklasifikasikan sebagai orang yang pikirannya dangkal?”

“Lho, kan saya awalnya tadi cuma tanya Mas Indra ini merasa termasuk orang yang tertindas apa tidak?” kata Sinar, “lalu kita obrol-obrol lebih lanjut lagi. Kalau merasa tidak tertindas, ya bagus itu. Kalau merasa tertindas, juga tidak apa-apa. Jadi sekarang, Mas Indra merasa tertindas atau tidak?”
“Ya, gara-gara sampeyan ini, saya sekarang jadi merasa tertindas sama diri saya sendiri…”
“Makanya mas, sering-sering dengar musik jazz...”

Tidak ada komentar: