11 Juni 2008

Mempelajari dan Mempengaruhi Dunia

Beberapa waktu yang lalu ada acara TV yang tiba-tiba mengingatkan pada suatu titik masa lalu yang penting bagi saya, salah satu pijakan penting yang mengantarkan saya pada waktu dan tempat ini. Tidak salah dikatakan bahwa jalan yang dilalui manusia sangat berliku-liku dan sulit ditebak.

Meskipun begitu, di dunia yang serba teratur, segala sesuatu sudah diatur sesuai ukurannya. Coba perhatikan ubur-ubur di seluruh dunia yang berdenyut pada waktu yang sama seolah ada dirijen yang mengomandoi gerakan mereka. Atau perhatikan juga gen-gen dalam kromosom yang merupakan cetak biru yang konsisten seluruh makhluk hidup di bumi ini. Susunannya gen relatif tidak berubah dalam satu spesies. Manusia dan kera hanya berbeda tiga persen saja dalam susunan gennya, bisa kita lihat jauhnya perbedaan antara kita dan kera.

Sesuatu yang terlihat acak pun ternyata dapat dilihat keteraturannya. Teori Chaos mengatakan bahwa pada sesuatu yang non-linear dan dinamis pada jangka panjang pun ternyata determinisik, alias dapat ditentukan. Salah satu fenomena chaos digambarkan sebuah pemikiran bahwa kepakan sayap kupu-kupu di hutan belantara Brazil dapat menghasilkan tornado di Texas beberapa bulan kemudian.

Perkembangan pemahaman manusia terhadap alam semesta semakin membuktikan bahwa sejak alam semesta dimulai semua dijalankan dengan aturan yang konsisten. Sejauh manusia memahami, Yang Maha Konsisten tidak pernah mengubah hukum aturan alam semesta ini. Dan dengan pemahaman manusia tentang dunia yang selalu berkembang inilah, pengaruh manusia pada bumi ini juga semakin besar.

Pada awal tahun 1800an, seorang pendeta Inggris bernama Robert Malthus berkata bahwa pertumbuhan populasi manusia berkembang menurut deret ukur dan pertumbuhan sumber daya makanan berkembang menurut deret hitung. Menurut teori ini, ujung-ujungnya manusia akan kekurangan makanan karena populasi akan lebih besar dari ketersedian makanan. Sekarang, teori ini sedang terpatahkan, populasi manusia sudah dua kali lipat, ketersediaan makanan malah meningkat hingga tiga kali lipat. Modifikasi pertanian yang salah satunya berasal dari modifikasi lahan adalah salah satu contoh bahwa manusia dengan pemahamannya semakin memiliki kemampuan mempengaruhi bumi.

Pada tahun 1965, seorang Amerika bernama Gordon Moore berpendapat bahwa setiap tahun, jumlah transistor dalam sebuah chip komputer berkembang dua kali lipat setiap dua tahun, dengan kata lain secara eksponensial. Dengan hal ini, kecepatan komputasi tentunya semakin meningkat pesat. Sampai sekarang, industri komputer masih mengikuti hukum Moore dengan beragam penemuan baru, misalnya saja di bidang nanoteknologi. Awal tahun 2000-an, orang berkata bahwa informasi yang terkandung pada koran New York Times selama seminggu lebih banyak daripada informasi yang diketahui seseorang selama seumur hidupnya pada abad 18. Ada lagi yang memprediksi bahwa pada tahun 2049, komputer 1000 dolar akan melebihi kemampuan komputasi seluruh spesies manusia dari dulu hingga sekarang. Tebakan saya sepertinya fenomena ini akan lebih terjadi cepat dan semakin meningkatkan pengaruh manusia pada dunia.

Kembali lagi, semakin manusia paham, ternyata Yang Maha Konsisten tidak pernah mengubah hukum aturan. Dari sinilah kita bisa mempelajari dan mempengaruhi dunia. Manusia yang disebut-sebut sebagai perwakilan Tuhan di dunia ini tugasnya memang mempengaruhi dunia. Bagaimanapun hasilnya, mau tidak mau-suka tidak suka kalau mengaku manusia pasti harus selalu mempengaruhi dunia.

Masalah baik buruk pengaruhnya, disinilah manusia diizinkan memilih pengaruh seperti apa yang ingin diberikan. Seperti yang dikatakan sebelumnya, Malaikat dan Iblis adalah makhluk yang deterministik-pasti, sedangkan manusia adalah makhluk kemungkinan. Dikotomi baik buruk sepanjang sejarah manusia pun dinamis, selalu berubah setiap waktu sesuai kesepakatan masyarakat pada saat itu di tempat itu. Rasanya dengan begini, kita bisa memanusiakan kemanusiaan kita, dan moga-moga menjadi lebih ‘plong’ menyikapi dunia.

Toh, apapun yang dilakukan, tidak ada suatu kejadian apapun di bumi ini termasuk pada diri kita yang luput dari aturan Tuhan. Jadi, tidak perlu berduka cita terhadap apa yang tidak kita dapat, dan tidak perlu pula terlalu bersuka ria terhadap apa yang kita dapat. Katanya kan Tuhan tidak senang pada orang yang membanggakan diri? Yah, ini kan cuma tuntutan skenario saja.

9 Juni 2008

Perkawinan dan Kesepakatan

Kemesraan dalam pacaran adalah tipuan, kebosanan dalam perkawinan adalah ujian, dan pertengkaran dalam rumah tangga adalah hikmah.

Itulah kenapa di dalam perkawinan muncul kejutan-kejutan. Kejutan yang tak ditemukan dalam masa pacaran paling intensif sekalipun. Karena pacaran adalah dunia simulatif kalau malah bukan manipulatif. Pacaran adalah periode mengintip kenyataan bagi dunia yang telah terlihat, tapi belum terasakan.

Kenyataan mengajarkan kepada kita, betapa sederet keindahan yang dikenyam pada masa jatuh cinta memuat unsur fatamorgana.

Seperti layaknya fatamorgana, ia merangsang kita. Membuat kita bergairah untuk berlari dan terus berlari, berfantasi dan melambung. Namun, sesungguhnya pusat gairah dan keindahan itu maya, nyaris tak ada, walau indah luar biasa.

Itulah kenapa untuk tegang dan berdebar, seseorang cukup melihat genting rumah kekasihnya atau meniti jalan yang pernah dilalui bersama.

Pada masa pacaran, seseorang bisa mabuk dan melayang oleh hal-hal yang “kurang masuk akal” sekalipun. Dan, tugas perkawinan adalah segera menyadarkannya. Perkawinan mengajak melihat dunia dari dekat dan tinggal di dalamnya. Bahwa yang indah ini sesungguhnya biasa-biasa saja. Bahwa yang bikin melambung itu sesungguhnya tak pernah menerbangkan kita ke mana-mana.

Kita tetapi saja di sini, begini dan seperti ini. Harus melihat istri atau suami bangun tidur, jelek dan brengsek. Kita bersinggungan langsung ke jantung realitas betapa ada sisi buruk dari pasangan yang tak pernah kita duga. Sisi itu tak harus yang besar dan yang dramatis, cukup yang simpel dan unik, misalnya bau keringat, menguap sembarangan, dan dengkur kala tidur.

Kelakuan, pembawaan dan kebiasaan pasangan menyadarkan kita bahwa dia “cuma“ manusia biasa, begitu pula kita. Wajar kalau kita bisa bosan, jenuh, dan marah. Itulah watak kenyataan, selalu mengatakan apa adanya. Inilah ujian perkawinan. Ia menantang kita untuk menaklukkan rasa bosan, jenuh, dan kemarahan.

Mulailah perkawinan memasuki babak pertaruhan. Bagi yang tak sabar, banyak pintu dadakan yang bisa dibukakan. Membangun jatuh cinta baru, membangun sensasi dan ketegangan baru. Asyik, tetapi mahal ongkosnya, besar resikonya, dan dilarang oleh agama. Bagi yang sabar hanya tersedia satu pintu yang berat membukanya, tetapi besar imbalannya.

Ketika pintu ini kita buka, memang tidak akan ditemui sensasi apapun. Tidak juga perasaan platonik, perasaan melambung yang sering mengecoh manusia itu. Pintu ini justru berisi kenyataan bahwa suami istri bisa begitu jelek, peyot, dan tua. Kenyataan itu menggedor-gedor kebutuhan artistik manusia yang tak pernah ada kenyang-kenyangnya.

Pada periode inilah manusia harus memecahkan teka-teki antara cinta dan kasih sayang, tresna kata orang Jawa. Cinta pada periode pacaran sangat berbeda dengan tresna kata orang Jawa. Ada jenis cinta yang dibangun atas perasaan posesif, erotis, dan egoistis. Sedangkan kasih sayang, tresna itu, berdasar dari kebaikan hati, rasa haru, ketulusan, dan empati.

Dalam berempati, manusia lebih tidak menginginkan apa-apa sebagai imbalan. Dan, bagi yang percaya, keindahan yang ditimbukan jauh lebih berlipat keindahannya dari keindahan erotis sehingga meski pasangan sudah mulai rusak raganya, masih ada jiwa, kasih sayang, keindahan yang tak pernah habis-habis untuk ditambang.

-Prie GS-