9 Juni 2008

Perkawinan dan Kesepakatan

Kemesraan dalam pacaran adalah tipuan, kebosanan dalam perkawinan adalah ujian, dan pertengkaran dalam rumah tangga adalah hikmah.

Itulah kenapa di dalam perkawinan muncul kejutan-kejutan. Kejutan yang tak ditemukan dalam masa pacaran paling intensif sekalipun. Karena pacaran adalah dunia simulatif kalau malah bukan manipulatif. Pacaran adalah periode mengintip kenyataan bagi dunia yang telah terlihat, tapi belum terasakan.

Kenyataan mengajarkan kepada kita, betapa sederet keindahan yang dikenyam pada masa jatuh cinta memuat unsur fatamorgana.

Seperti layaknya fatamorgana, ia merangsang kita. Membuat kita bergairah untuk berlari dan terus berlari, berfantasi dan melambung. Namun, sesungguhnya pusat gairah dan keindahan itu maya, nyaris tak ada, walau indah luar biasa.

Itulah kenapa untuk tegang dan berdebar, seseorang cukup melihat genting rumah kekasihnya atau meniti jalan yang pernah dilalui bersama.

Pada masa pacaran, seseorang bisa mabuk dan melayang oleh hal-hal yang “kurang masuk akal” sekalipun. Dan, tugas perkawinan adalah segera menyadarkannya. Perkawinan mengajak melihat dunia dari dekat dan tinggal di dalamnya. Bahwa yang indah ini sesungguhnya biasa-biasa saja. Bahwa yang bikin melambung itu sesungguhnya tak pernah menerbangkan kita ke mana-mana.

Kita tetapi saja di sini, begini dan seperti ini. Harus melihat istri atau suami bangun tidur, jelek dan brengsek. Kita bersinggungan langsung ke jantung realitas betapa ada sisi buruk dari pasangan yang tak pernah kita duga. Sisi itu tak harus yang besar dan yang dramatis, cukup yang simpel dan unik, misalnya bau keringat, menguap sembarangan, dan dengkur kala tidur.

Kelakuan, pembawaan dan kebiasaan pasangan menyadarkan kita bahwa dia “cuma“ manusia biasa, begitu pula kita. Wajar kalau kita bisa bosan, jenuh, dan marah. Itulah watak kenyataan, selalu mengatakan apa adanya. Inilah ujian perkawinan. Ia menantang kita untuk menaklukkan rasa bosan, jenuh, dan kemarahan.

Mulailah perkawinan memasuki babak pertaruhan. Bagi yang tak sabar, banyak pintu dadakan yang bisa dibukakan. Membangun jatuh cinta baru, membangun sensasi dan ketegangan baru. Asyik, tetapi mahal ongkosnya, besar resikonya, dan dilarang oleh agama. Bagi yang sabar hanya tersedia satu pintu yang berat membukanya, tetapi besar imbalannya.

Ketika pintu ini kita buka, memang tidak akan ditemui sensasi apapun. Tidak juga perasaan platonik, perasaan melambung yang sering mengecoh manusia itu. Pintu ini justru berisi kenyataan bahwa suami istri bisa begitu jelek, peyot, dan tua. Kenyataan itu menggedor-gedor kebutuhan artistik manusia yang tak pernah ada kenyang-kenyangnya.

Pada periode inilah manusia harus memecahkan teka-teki antara cinta dan kasih sayang, tresna kata orang Jawa. Cinta pada periode pacaran sangat berbeda dengan tresna kata orang Jawa. Ada jenis cinta yang dibangun atas perasaan posesif, erotis, dan egoistis. Sedangkan kasih sayang, tresna itu, berdasar dari kebaikan hati, rasa haru, ketulusan, dan empati.

Dalam berempati, manusia lebih tidak menginginkan apa-apa sebagai imbalan. Dan, bagi yang percaya, keindahan yang ditimbukan jauh lebih berlipat keindahannya dari keindahan erotis sehingga meski pasangan sudah mulai rusak raganya, masih ada jiwa, kasih sayang, keindahan yang tak pernah habis-habis untuk ditambang.

-Prie GS-

Tidak ada komentar: