Globalisasi itu sangat kompleks. Makanya, kalau ada orang yang mau tahu bagaimana T-shirt berpartisipasi dalam globalisasi, mestinya orang ini cukup ajaib, kalau tidak setengah gila. Tapi ternyata Pietra Rivoli adalah seorang yang cukup ajaib untuk mencari tahu tentang perjalanan T-shirt miliknya dari berkeliling dunia mulai dari proses produksi bahan baku hingga hancurnya benda miliknya ini. Dan karena dirinya tidak sepenuhnya gila, Rivoli menuliskan pengalaman pencariannya ini pada tahun 2005 ke dalam sebuah buku yang berjudul “The Travels of A T-Shirt on The Global Economy”.
Buku The Travels of A T-Shirt on The Global Economy ini adalah sebuah anekdot mengenai topik globalisasi, setidaknya terlihat dari judulnya yang cukup panjang dan menggelitik ini. Bila sebelumnya banyak buku yang membicarakan globalisasi dengan cara serius, buku ini lebih banyak menceritakan globalisasi melalui sebuah benda sederhana dan sepele, yaitu T-shirt. Dalam buku ini, Rivoli banyak membicarakan sejarah industri tekstil di negara yang pernah, masih, dan mungkin akan menjadi episentrum produksi sandang.
Industri tekstil adalah sebuah industri yang padat karya. Tahapan produksinya yang terentang luas dari hulu hingga hilir menyerap tenaga kerja yang banyak. Pada proses hulu, kapas yang merupakan bahan baku tekstil dihasilkan oleh pertanian kapas. Kemudian, kapas ini dikirimkan ke pemintalan menjadi benang. Selanjutnya, benang dirajut menjadi kain. Kain inilah yang merupakan bahan setengah jadi yang kemudian dijahit menjadi pakaian jadi. Dengan adanya modernisasi teknologi dalam industri tekstil, industri padat karya ini berangsur mulai berubah menjadi padat modal. Sejak tiga abad yang lalu, jumlah tenaga kerja industri tekstil mulai menurun dengan ditemukannya traktor, mesin pemintal benang, mesin perajut, dan mesin jahit. Jadi, industri tekstil ini turut memicu revolusi industri dan penghapusan perbudakan.
Karena berbagai kepentingan, industri tekstil merupakan salah satu jenis industri yang sering kali diproteksi oleh negara. Proteksi industri oleh suatu negara dilakukan dengan beberapa cara. Yang pertama, melalui pemberian subsidi kepada industri dalam negeri. Subsidi bisa diberikan pada harga pupuk, bibit, serta alat dan bahan produksi lainnya disamping pula ongkos distribusi. Yang kedua, melalui pemberlakukan tarif dan quota untuk impor mendatangkan barang sejenis dari luar negeri. Tarif merupakan sejumlah biaya tambahan yang disetor ke negara tujuan saat mengimpor barang, sedangkan quota merupakan jumlah barang terbanyak yang dapat diimpor dari masing-masing negara dalam satu tahun. Melalui berbagai insentif, industri tekstil dalam negeri diharapkan bisa tumbuh cepat dan menjadi kompetitif setelah masa proteksi.
Amerika Serikat (AS) telah memproteksi sangat ketat industri kapas dalam negeri sejak 40 tahun yang lalu dan baru mulai menguranginya pada tahun 2005. Fakta ini bertentangan dengan fakta bahwa negara AS adalah pendukung utama globalisasi dan perdagangan bebas. Meskipun AS mengalami defisit perdagangan secara keseluruhan sejak tahun 1975, komoditi kapas tetap menjadi komoditas ekspor yang paling sukses. Pada tahun 2009, ekspor kapas Amerika sebesar 12 juta bal merupakan jumlah terbesar di seluruh dunia. Karena banyaknya jumlah orang dan perusahaan yang terlibat dalam industri tekstil, proteksi tekstil di AS adalah hasil tawar menawar politik untuk dapat memenangkan kursi pemilihan. Memang dari sananya, politik itu inkonsisten karena semua pihak harus disenangkan.
Meskipun begitu, kalau kita mempelajari sejarah, proteksi suatu negara hampir selalu dapat ditembus oleh para wirausahawan. Kewirausahaan selalu kreatif menemukan celah dari setiap proteksi yang diberlakukan suatu negara. Bagaimanapun proteksi diberlakukan, pusat perkembangan industri tekstil tetap saja berpindah dari satu negara ke negara lainnya. Pergeseran keuntungan komparatif dari masing-masing negara selalu terjadi sehingga memicu hal ini tetap dan akan terus terjadi. Inggris adalah negara utama yang mengembangkan industri tekstil pada tahun 1700an, diikuti oleh Amerika Serikat pada tahun 1900an, dan pada abad ini Cina muncul sebagai kuda hitam dalam industri tekstil.
Proteksi perdagangan itu sering kali menggelikan. Pada awal abad ke-17, industri wol Inggris tidak memiliki saingan meskipun harganya mahal. Bahan wol merupakan bahan yang tidak nyaman digunakan karena menyebabkan gatal di kulit dan proses pencuciannya sulit. Bahan katun dari India mulai memasuki Inggris pada pertengahan 1600an dan segera populer karena murah, ringan, dan mudah dibersihkan. Kesuksesan wol ini mengkhawatirkan karena mengganggu industri wol yang telah maju. Di beberapa daerah, pengangguran akibat ditutupnya pabrik wol ini dapat mencapai di atas 50%.
Kegoncangan sosial ekonomi akibat katun ini menjadi perdebatan panjang di parlemen Inggris yang didukung oleh perusahaan penghasil wol. Akhirnya, pada tahun 1689, ada peraturan yang mengizinkan orang berpakaian katun hanya pada musim panas. Pada tahun 1699, ada aturan baru yang membuat semua hakim, juri, mahasiswa, dan profesor harus berpakaian wol setiap saat. Tentu saja, aturan yang mendikte cara berpakaian ini gagal. Jadi, industri wol berpaling ke pihak yang lebih lemah dan tidak melawan. Aturan selanjutnya adalah wanita pelayan inggris diwajibkan memakai topi dari wol. Puncaknya adalah pemaksaan berpakaian wol kepada pihak yang sangat lemah dan tidak bisa melawan dengan disahkannya sebuah aturan yang menyatakan bahwa :
Tidak ada jenazah dari siapapun.. akan dikubur dengan mengenakan pakaian, pakaian longgar, selimut, atau kain selubung.., kecuali dengan pakaian yang terbuat dari wol dari domba.
Karena pada masa itu harga kain wol sangat mahal dan tidak banyak kaum miskin dan menengah yang menggunakannya, untuk acara-acara kematian dan penguburan, ada puisi indah yang berkaitan dengan aturan ini :
Karena semasa mereka yang hidup tidak sanggup memakainya (wol), mereka di saat mati berkesempatan memakainya.
***
Jadi, tidak ada yang bebas di pasar bebas (sementara ini), kecuali slogannya. Globalisasi dan perdagangan bebas masih tetap menjadi bahasan politik ketimbang ekonomi. Buku The Travels of a T-Shirt in the Global Economy menggunakan kisah sederhana tentang T-shirt untuk mengungkapkan sisi-sisi politik dan manusiawi tentang perdebatan mengenai globalisasi. Di dalamnya, terdapat bisnis yang mencenangkan, politik baik dan buruk, sejarah yang memberikan pencerahan, terutama harapan dan impian yang nyata.
Indonesia sendiri telah masuk ke dalam pusaran globalisasi. Tahun 2010 ini CAFTA sudah dimulai. Tidak ada lagi batas perdagangan antara Cina dan ASEAN. Industri dalam negeri yang paling menderita salah satunya adalah industri tekstil dan produk tekstil (TPT).
Tekstil dari Cina yang sangat murah sudah bertebaran di pasar-pasar mulai dari yang tradisional hingga yang modern. Di sisi satu menyenangkan konsumen, di sisi lain membunuh industri dalam negeri. Saat ini sudah ratusan ribu pengangguran akibat ditutupnya pabril tekstil dalam negeri. Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu dan Menteri Perindustrian MS Hidayat yang tidak biasanya bersama-sama hadir dalam satu acara pelaku usaha, tetapi kali ini mereka hadir di Munas Nasional Asosiasi Pertekstilan Indonesia bulan lalu untuk menunjukkan dukungannya pada industri tekstil dalam negeri. Dan masih banyak lagi pihak yang khawatir, apakah industri tekstil Indonesia mampu kompetitif di era globalisasi dan pasar bebas ini.
Memang mudah menyalahkan semua orang. Satu paragraf ini dengan mudah saya isi dengan menyalahkan orang lain. Pemerintah Indonesia salah tidak memproteksi industri tekstil, pengusaha Indonesia salah tidak kompetitif di pasar tekstil, pekerja di Indonesia salah produktivitasnya rendah, konsumen Indonesia salah tidak cinta produk dalam negeri, Cina salah karena membanjiri pasar dengan produk di bawah standar, dan pasti ini ujung-ujungnya Amerika Serikat bergerak bentuk neokolonialisme dan neoliberalismenya, malah boleh ditambahkan lagi ini pasti Israel yang memiliki agenda Zionisme. Pokoknya semua bisa disalahkan, bahkan bisa dikaitkan dengan teori konspirasi.
Tapi menurut saya daripada sibuk menunjuk hidung satu sama lain, yang lebih penting dan lebih baik adalah pertanyaan, “Jadi bagaimana solusinya?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar