Kalau boleh jujur, peluang saya untuk secara sukarela kembali mengunjungi India lagi bisa dikatakan sangat rendah. Atau mungkin saya perkecil lagi scope-nya, dari luasnya negara India menjadi kota Delhi saja lah. Pengurangan ini saya lakukan dalam rangka mencegah stereotyping yang lagi-lagi saya lakukan tanpa sengaja di luar sadar.
Cukup banyak ketidakkompatibelan saya dengan kebudayaaan di India. Setidaknya pada kunjungan pertama kali ke Delhi, banyak sekali waktu-waktu di mana saya mengelengkan kepala karena takjub, heran, sekaligus terkejut. Kembali lagi saya mengalami yang biasa dikatakan orang sebagai gegar budaya.
Melintasi kehidupan di Delhi, saya jadi teringat beberapa kombinasi berbagai hal yang pernah saya temui. Ketidakpatuhan lalu lintas kota Medan dengan derajat tiga kali lipat. Kekumuhan bantaran sungai Banjarmasin dengan kepadatan yang lebih tinggi dan penyebaran yang lebih luas. Kesemerawutan angkot-angkot terminal Baranangsiang di Bogor ditambah dengan seliweran Bajaj berpenumpang lebih dari 6 orang, kemudian ditambah lagi traktor yang masuk jalan utama dengan gandengan besar berisi hasil bumi. Banyak hal pula yang tambahan yang membuat diskusi lebih lanjut berhenti hanya dengan penjelasan “Because this is India, you can do anything.” *Teman India saya ngomong hal ini sambil geleng-geleng kepala*
Saya menjadi waspada memakan berbagai jenis makanan di India, bahkan di hotel bintang lima sekalipun. Hingga kemarin, sudah ada korban dua orang. Teman asal Jerman yang mengalami muntah-muntah yang menurut dokter terjadi karena keracunan makanan, sedangkan teman asal Malaysia mengalami diare ringan.
Saya merasa cukup sukses menahan mual perut agar tidak mengalami komplikasi yang lebih merepotkan setiap kali naik mobil di Delhi. Macam-macam penyebabnya, mulai dari manuver supir salip-menyalip, klakson-mengklakson, dan rem mendadak yang mengocok perut. Apalagi ditambah debu yang menyemprot dari sistem pendingin udara benar-benar membuat sistem keseimbangan di otak saya hampir tidak mampu mengkompensasi berbagai gangguan ini.
***
Ini bukannya SARA, saya kutip kata pengantar buku Superfreakonomics karangan Levitt dan Dubner. Kalau bisa memilih tempat kelahiran Anda atau anak Anda (memangnya bisa?), memilih India sebagai tempat kelahiran bukan pilihan yang bijaksana. Di luar pertumbuhannya yang luar biasa sebagai pemain penting dalam ekonomi global, negara India secara keseluruhan masih berada di bawah garis kemiskinan. Sanitasi dan harapan hidup relatif rendah. Di pedesaan, hanya satu dari empat rumah yang memiliki toilet. Sisanya, silakan cari jamban terdekat..
Di kebudayaan India yang lebih mengutamakan anak laki-laki, peran perempuan sering kali dipinggirkan. Melahirkan anak laki-laki seperti melahirkan asuransi pensiun. Orang tua yang memiliki anak laki-laki dan memeliharanya dengan baik hingga dewasa akan meningkatkan jaminan selamat dipelihara oleh anak laki-lakinya ini sampai hari tua. Bahkan hingga meninggal, orang tua ini akan diurusi kremasinya meskipun biayanya semakin hari semakin mahal.
Lebih tidak beruntung kalau Anda dilahirkan sebagai seorang perempuan. Anak perempuan adalah beban, sehingga kalau ibu hamil mendapati hasil USGnya menunjukkan calon bayi adalah perempuan, sering kali sang ibu mengaborsi jabang bayinya perempuannya ini. Hasilnya, jumlah perempuan lebih sedikit daripada laki-laki di India. Bahkan kalau sudah dewasa pun, perempuan tetap mengalami marginalisasi. Kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan adalah hal yang diterima secara sosial. Lebih dari seratus ribu perempuan India setiap tahunnya meninggal karena berbagai bentuk kekerasan, termasuk di dalamnya pembakaran pasangan. Di pedesaan India, kalau ada seorang pria yang beristri meninggal, istrinya sering kali ikut dalam pembakaran pasangannya alias dikremasi (hidup-hidup)!
(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar