2 Februari 2010

Antara Dogma dan Ilmu (Bagian Pertama)

Beberapa waktu kemarin saya menemukan definisi sekaligus perbandingan yang menarik mengenai dua buah kata yang hingga sekarang saya sendiri belum rampung mendefinisikannya. Kata yang pertama adalah ilmu dan kata yang kedua yang kedua adalah dogma. Berbicara mengenai berbagai aspek kehidupan manusia, mulai dari politik, agama, manajemen, sains, sampai tradisi suatu masyarakat ternyata bisa didekati dari perbandingan antara ilmu dan dogma ini :

Dogma adalah sebuah proses simplifikasi (penyederhanaan) terhadap persoalan yang rumit, sedangkan ilmu adalah proses sofistikasi (perumitan) terhadap persoalan yang sederhana.

Sebelum ini, saya sangat tidak menyepakati bahkan menggugat keberadaan dogma. Saya sempat menuliskannya mulai dari tulisan tentang pendidikan yang (tidak) membebaskan, iman dan ilmu, dan voltaire. Belakangan juga ada tulisan mengenai beberapa kesejarahan Islam yang sebelum-sebelumnya luput dari daftar khasanah pengetahuan ingin saya pelajari.

Pokoknya dogma harus dibongkar, semua fakta harus dibuka sehingga transparan. Pendekatan kebenaran yang lebih obyektif harus mungkin dipelajari. Semua produk penakut-nakutan yang membumbui bahkan akhirnya cenderung menjadi bagian utama dalam dogma harus dipreteli sampai ‘the naked truth’ terpampang lebar di mata kita.

Dengan melakukan pendekatan dogma vs ilmu ini, ternyata kesimpulan sedikit saya mulai bergeser. Kesimpulan saya sejauh ini bahwa dalam keadaan secara umum, dogma tetap diperlukan. Pada jenis keadaan lain, dogma harus mulai diilmukan alias disoftifikasikan, diperumit, dicari latar belakang kesejarahannya, dan diungkap detail-detailnya.

Mengapa begitu? Kita hidup di dunia yang overinformasi. Terlalu banyak hal yang perlu kita ketahui untuk sekedar menjalani hidup yang rata-rata. Saya jarang pernah selesai membaca koran Kompas dalam satu hari, padahal mengetahui informasi harian model ini adalah merupakan suatu standar menjalankan hidup yang rata-rata di kosmopolitan macam Jakarta. Ada hal-hal dalam kehidupan yang cukup didogmakan saja. Hal-hal yang disederhanakan tanpa perlu pusing-pusing memikirkan kerumitannya. Wisdom of crowd yang sering menjadi dogma akhirnya menentukan standar berbagai aspek kehidupan sosial.

Dalam kehidupan sehari-hari, ternyata hal-hal yang rumit tidak perlu disajikan semua, cukup di-dogma-kan alias disederhanakan agar mudah dipahami. Detail-detail dihilangkan, generalisasi dan stereotyping dilakukan, taklid buta alias mengikuti perintah tanpa pertanyaan sering kali dijanjikan jaminan keberhasilan. Faktor-faktor emosional bahkan spiritual (kalau memungkinkan) mulai ditambahkan untuk meningkatkan peluang keberhasilan tujuan proses pendogmaan ini.

Saya jadi bertanya: sampai sejauh mana proses dogma tetap diperlukan? Pada titik mana kita dapat mulai melakukan proses ilmu-isasi, pendidikan yang membebaskan dan mencerahkan? Seberapa banyak tingkat penerimaan saya terhadap sofistikasi ilmu secara objektif? Apakah sebenarnya proses ilmu-isasi, menyelam dalam dan terbang tinggi, adalah proses yang sepi dan menyendiri?

Terus terang, saya sering terkejut sendiri ketika tersadar bahwa bangunan pikiran saya ternyata banyak bertumpu pada dogma. Saya sangat sebal ketika saya harus terdiam tidak bisa menjawab ketika ada saja orang yang memberi pertanyaan yang mengusik, “Apa benar begitu?  Kenapa jalan pikiranmu kok kontradiktif? Dalam satu hal jalan pikirmu begini, hal lain jalan pikirmu menentang jalan  pikir sebelumnya? Buat apa hidup kontradiktif begitu?”, dan lain sebagainya.

Tapi akhir-akhir ini kekhawatiran saya semakin berkurang. Toh, ternyata ada dogma yang baik dan memperbaiki, meskipun ada pula yang dogma yang buruk dan menambah buruk. Seperti juga ada ilmu yang baik dan bermanfaat dan di sisi lainnya ada pula ilmu sesat dan menyesatkan. Pada akhirnya, baik atau tidaknya dogma dan ilmu dinilai dari dampaknya, seberapa besar manfaat atau malah kerugian bagi masyarakat yang dihasilkan dari suatu dogma atau ilmu.

(bersambung)

Tidak ada komentar: