Tampilkan postingan dengan label Dogma. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dogma. Tampilkan semua postingan

6 Februari 2010

Antara Dogma dan Ilmu (Bagian Kedua)

Bicara soal dogma, saya jadi ingat perdebatan antara pemikiran di dunia Islam antara Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd. Abu Hamid Al-Ghazali (d. 1111) adalah seorang tokoh Islam yang  pendapatnya sangat beken diikuti oleh ulama. Ia mendapat julukan “Juru Bicara Islam” (Hujjatul Islam). Kitab kuning yang dipelajari santri pesantren banyak memuat hasil pemikiran Si Abang Gozali ini. Pada masanya, ia merupakan ulama yang sangat produktif dengan menulis hingga lebih dari 70 buku. Buku masterpiece-nya “Membangkitkan Kembali Ilmu Agama” (Ihya’ ‘ulum al-Din) menjadi referensi banyak ulama hingga saat ini.

Al-Ghazali

Al-Ghazali merupakan penentang teologi rasional dan filsafat Islam yang dipengaruhi oleh pemikiran Yunani kuno. Pada masa kehidupan Ghazali, pemikiran teologi rasional dan filsafat berkembang di dunia Islam bersama dengan berbagai pemikiran lainnya. Melalui buku “Kerancuan para filsuf” (Tahafut al-Falasifah), Al-Ghazali menentang dan melabeli bid’ah dan kafir pada Aristoteles dan Plato serta para tokoh Islam yang mempelajarinya, antara lain Ibnu Sina dan Al-Farabi.

Pengkafiran oleh Al-Ghazali ini membuat orang di dunia Islam bagian Timur menjauhi dengan filsafat, termasuk kota Baghdad yang menjadi pusat  pemikiran Islam pada masa itu. Al-Ghazali juga berpendapat  bahwa  jalan sebenarnya untuk mencapai hakikat bukanlah  filsafat  tetapi  tasawuf. Ia berpendapat bahwa yang membawa orang kepada kebenaran bukan akal tetapi hati.

Sementara itu di dunia Islam bagian Barat, yaitu di Spanyol, ilmu filsafat di kalangan Islam tetap masih berkembang meskipun pemikiran Al-Ghazali  di Islam bagian Timur semakin mendominasi. Hal ini membuat secara berangsur ilmu pengetahuan dan filsafat di wilayah Timur beralih ke wilayah Barat. Hal itu terlihat dengan banyaknya buku-buku ilmu dan filsafat yang beredar di wilayah Barat, terutama di Spanyol dan Sisilia.

Lima belas tahun sesudah kematian Al-Ghazali, lahir seorang tokoh dari dunia Islam bagian Barat bernama Abu Al-Walid Muhammad Ibnu Rusyd (d. 1198). Ia juga adalah seorang tokoh Islam yang terkenal pada masanya dengan menulis lebih dari 67 tulisan asli di samping komentarnya pada karya Aristoteles dan Plato.

Ibnu Rusyd

Ibnu Rusyd membantah buku Al-Ghazali dengan sebuah kitab berjudul “Rancunya Kitab Kerancuan” (Tahâfut at-Tahâfut). Pada buku ini, Ibnu Rusyd membela para filsuf yang dikafirkan Al-Ghazali, melakukan klarifikasi paham filsafat, dan menyanggah paham Al-Ghazali. Kemudian, Ibnu Rusyd ‘mengembangkan argumen secara logika maupun dari kitab suci Al-Quran bahwa tidak ada pertentangan bahkan terdapat hubungan yang harmonis antara agama dan filsafat.

Seiring dengan perkembangan sejarah, Islam bagian Barat akhirnya tenggelam dengan runtuhnya Dinasti Ummayah oleh bangsa Eropa pada abad ke-15. Sementara Islam bagian Timur terus berkembang hingga menjadi wajah Islam saat ini. Perkembangan sejarah ini menyebabkan pemikiran rasional dan ilmiah dari dunia  Islam dari bagian Barat mulai menghilang, sedangkan pemikiran Al-Ghazali mendominasi dan akhirnya menjadi dogma umum kaum Islam hingga saat ini.

Pemikiran Al-Ghazali sukses berkembang secara luas dan diterima menjadi dogma di dunia Islam hingga masa kini. Umat Islam saat ini umumnya lebih memandang hati (kalbu)  lebih tinggi dibandingkan akal sebagai instrumen untuk menjalankan kehidupan. Ulama memisahkan ilmu agama dengan ilmu dunia. Tindakan pelabelan bid’ah, murtad, bahkan kafir juga umum terjadi di kalangan Islam, terutama untuk pihak yang memiliki perbedaan pendapat di bidang keagamaan.

Di sisi lain, pada dunia Barat pemikiran Ibnu Rusyd membuat filsafat menjadi bidang yang menarik minat orang Eropa untuk mempelajarinya. Komentarnya atas karya Aristoteles dan Plato sangat diakui di kalangan Barat. Hal ini dapat dilihat dari munculnya sebuah kelompok pengikut Ibnu Rusyd dalam bidang filsafat di Eropa yang menamakan diri Averroisme. Munculnya paham Averroisme ini adalah lompatan besar dalam pemikiran dan semangat keilmuan bangsa Eropa, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat.

Kelompok Averroisme terkenal di dunia Barat bersaing dengan paham dogmatis gereja yang telah menguasai kehidupan masyarakat Eropa selama lebih dari sebelas abad. Selanjutnya, kelompok ini menjadi salah satu faktor penting yang menyebabkan berkembangnya era Renaissance di Eropa abad ke-14 hingga ke-17. Dari era Renaissance ini, bangsa Eropa mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ada pencarian sumber rempah-rempah ke Hindia oleh Portugis dan Spanyol, kolonialisasi dimulai, pengaliran sumber daya dari Asia dan Afrika ke Eropa, dan sisanya adalah sejarah yang kita ketahui hingga saat ini.

Peta Kekuasan Islam : Baghdad (Timur) dan Andalusia (Barat)

Nurcholis Majid pernah mengatakan bahwa di dunia Timur, pemikiran Al-Ghazali begitu mendominasi, sedangkan di dunia Barat, pemikiran Ibnu Rusyd yang lebih banyak berpengaruh. Dia mengatakan bahwa penjajahan dunia Barat terhadap dunia Timur adalah simbol penjajahan Ibnu Rusyd terhadap Al-Ghazali.

Kembali lagi, pastilah pemikiran dan dogma Al-Ghazali ada kelebihan dan kelemahannya. Begitu pula pemikiran dan dogma Ibnu Rusyd ada baik buruknya. Jadi pendapat keduanya sah-sah saja untuk diikuti. Lho, cuma mengikuti pendapat kok harus dilarang-larang untuk diikuti?

(Catatan: Dalam hal-hal yang saya tulis ini, saya sendiri lebih setuju dengan pemikiran Ibnu Rusyd. Hal-hal yang lain belum tentu lho ya..)

2 Februari 2010

Antara Dogma dan Ilmu (Bagian Pertama)

Beberapa waktu kemarin saya menemukan definisi sekaligus perbandingan yang menarik mengenai dua buah kata yang hingga sekarang saya sendiri belum rampung mendefinisikannya. Kata yang pertama adalah ilmu dan kata yang kedua yang kedua adalah dogma. Berbicara mengenai berbagai aspek kehidupan manusia, mulai dari politik, agama, manajemen, sains, sampai tradisi suatu masyarakat ternyata bisa didekati dari perbandingan antara ilmu dan dogma ini :

Dogma adalah sebuah proses simplifikasi (penyederhanaan) terhadap persoalan yang rumit, sedangkan ilmu adalah proses sofistikasi (perumitan) terhadap persoalan yang sederhana.

Sebelum ini, saya sangat tidak menyepakati bahkan menggugat keberadaan dogma. Saya sempat menuliskannya mulai dari tulisan tentang pendidikan yang (tidak) membebaskan, iman dan ilmu, dan voltaire. Belakangan juga ada tulisan mengenai beberapa kesejarahan Islam yang sebelum-sebelumnya luput dari daftar khasanah pengetahuan ingin saya pelajari.

Pokoknya dogma harus dibongkar, semua fakta harus dibuka sehingga transparan. Pendekatan kebenaran yang lebih obyektif harus mungkin dipelajari. Semua produk penakut-nakutan yang membumbui bahkan akhirnya cenderung menjadi bagian utama dalam dogma harus dipreteli sampai ‘the naked truth’ terpampang lebar di mata kita.

Dengan melakukan pendekatan dogma vs ilmu ini, ternyata kesimpulan sedikit saya mulai bergeser. Kesimpulan saya sejauh ini bahwa dalam keadaan secara umum, dogma tetap diperlukan. Pada jenis keadaan lain, dogma harus mulai diilmukan alias disoftifikasikan, diperumit, dicari latar belakang kesejarahannya, dan diungkap detail-detailnya.

Mengapa begitu? Kita hidup di dunia yang overinformasi. Terlalu banyak hal yang perlu kita ketahui untuk sekedar menjalani hidup yang rata-rata. Saya jarang pernah selesai membaca koran Kompas dalam satu hari, padahal mengetahui informasi harian model ini adalah merupakan suatu standar menjalankan hidup yang rata-rata di kosmopolitan macam Jakarta. Ada hal-hal dalam kehidupan yang cukup didogmakan saja. Hal-hal yang disederhanakan tanpa perlu pusing-pusing memikirkan kerumitannya. Wisdom of crowd yang sering menjadi dogma akhirnya menentukan standar berbagai aspek kehidupan sosial.

Dalam kehidupan sehari-hari, ternyata hal-hal yang rumit tidak perlu disajikan semua, cukup di-dogma-kan alias disederhanakan agar mudah dipahami. Detail-detail dihilangkan, generalisasi dan stereotyping dilakukan, taklid buta alias mengikuti perintah tanpa pertanyaan sering kali dijanjikan jaminan keberhasilan. Faktor-faktor emosional bahkan spiritual (kalau memungkinkan) mulai ditambahkan untuk meningkatkan peluang keberhasilan tujuan proses pendogmaan ini.

Saya jadi bertanya: sampai sejauh mana proses dogma tetap diperlukan? Pada titik mana kita dapat mulai melakukan proses ilmu-isasi, pendidikan yang membebaskan dan mencerahkan? Seberapa banyak tingkat penerimaan saya terhadap sofistikasi ilmu secara objektif? Apakah sebenarnya proses ilmu-isasi, menyelam dalam dan terbang tinggi, adalah proses yang sepi dan menyendiri?

Terus terang, saya sering terkejut sendiri ketika tersadar bahwa bangunan pikiran saya ternyata banyak bertumpu pada dogma. Saya sangat sebal ketika saya harus terdiam tidak bisa menjawab ketika ada saja orang yang memberi pertanyaan yang mengusik, “Apa benar begitu?  Kenapa jalan pikiranmu kok kontradiktif? Dalam satu hal jalan pikirmu begini, hal lain jalan pikirmu menentang jalan  pikir sebelumnya? Buat apa hidup kontradiktif begitu?”, dan lain sebagainya.

Tapi akhir-akhir ini kekhawatiran saya semakin berkurang. Toh, ternyata ada dogma yang baik dan memperbaiki, meskipun ada pula yang dogma yang buruk dan menambah buruk. Seperti juga ada ilmu yang baik dan bermanfaat dan di sisi lainnya ada pula ilmu sesat dan menyesatkan. Pada akhirnya, baik atau tidaknya dogma dan ilmu dinilai dari dampaknya, seberapa besar manfaat atau malah kerugian bagi masyarakat yang dihasilkan dari suatu dogma atau ilmu.

(bersambung)