13 Oktober 2009

Festival Budaya Islam : Bagian 3 – A La Indonesia (Fosil)

Komodo (Varanus komodoensis) adalah hewan khas Indonesia yang hanya ada di Pulau Komodo saja. Penemuan fosil terbaru menunjukkan bahwa nenek moyang Komodo ternyata berasal dari Australia. Dalam waktu jutaan tahun, nenek moyang Komodo berevolusi hingga menjadi Komodo 'modern' menyesuaikan dengan kondisi lingkungan di Pulau Komodo. Di tempat lain, ternyata nenek moyang Komodo ini tidak berhasil menyesuaikan diri dengan lingkungan dan punah. Saat ini, kita hanya melihat Komodo sebagai ‘fosil hidup’ di Pulau Komodo saja; tidak di Australia tempat asalnya, ataupun di tempat lain.

Proses evolusi yang sama juga terjadi pada penyebaran pemikiran agama, diantaranya Islam. Kita mungkin masih sempat melihat ‘fosil hidup’ sisa-sisa evolusi penyebaran agama Islam di berbagai tempat di Indonesia. Atau mungkin pula, kita benar-benar hanya melihat fosil mati sisa-sisa kepunahan budaya Islam yang sempat berkembang di Nusantara ini.

Seiring dengan perkembangan komunikasi dan transportasi, Islam mazhab Syafii ala mayoritas penduduk Indonesia semakin mudah untuk menyebar hingga ke daerah pelosok Indonesia. Tidak jarang proses penyebaran ini diikuti proses seragam-menyeragamkan, baik dengan cara damai maupun dengan cara kekerasan.

Pada skala yang lebih besar, penyebaran berbagai pemikiran Islam secara global saling berkompetisi pengaruh-mempengaruhi satu sama lain. Misalnya, kita mungkin merasakan gelombang Islam ala Timur Tengah yang mulai dirasakan pengaruhnya belakangan ini di Indonesia. Misalnya, kelahiran Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mengadopsi ideologi organisasi Ikhwanul Muslimin asal Mesir; atau juga munculnya organisasi ‘impor’ macam Hizbut Tahrir.


Seperti hukum alam kehidupan, ada jenis-jenis pemikiran yang berhasil tumbuh berkembang hingga saat ini, ada pula yang makin tergeser dan hampir punah. Berikut ini bisa kita lihat beberapa jenis pemikiran Islam yang makin tergeser dan hampir punah.

Islam Telu Wetu
Kalau kita sempat jalan-jalan ke Pulau Lombok, mungkin kita masih bisa menemui Islam Sasak yang bernama asli Wetu Telu. Islam Sasak ini merupakan sinkretisme dari agama Islam dengan kebudayaan lokal setempat. Pada masyarakat ini, terdapat tradisi asli Islam seperti jabatan Kyai dan bangunan masjid sebagai pusat keagamaan. Di sisi lain, ritualnya disesuaikan dengan budaya setempat, misalnya saja waktu shalatnya 3 kali sehari.


Islam diperkirakan masuk sekitar akhir abad ke-16 ke Pulau Lombok dari pengaruh Sunan Giri atau Sunan Prapen. Pemahaman Islam Sasak ini sinkretis antara agama Islam Jawa dengan animisme lokal. Islam Jawa sendiri merupakan campuran budaya Islam yang berasal dari Gujarat (India), Hadramaut (Yaman), dan/atau Cina yang berakulturasi dengan pemahaman Pantesime dan Hinduisme yang sudah berada sebelumnya di Jawa. Ruwet kan?

Saat ini, Islam Sasak di Lombok semakin tergeser dan terancam punah. Salah satu titik penting adalah tahun 1965 setelah terjadinya pemberontakan G30S PKI. Akhir tahun 1965, pemerintah memberikan tekanan untuk memilih salah satu dari lima agama resmi. Salah satu prakteknya adalah kewajiban memilih agama dalam KTP yang dimiliki oleh setiap orang yang berusia 17 tahun.

Islam Wetu Telu pada masa itu dianggap sebagai ‘agama belum sempurna' karena prakteknya memiliki banyak ketidaksamaan dengan interpretasi Islam di Indonesia saat itu (dan juga saat ini). Hal ini menyebabkan banyak penganut Islam Wetu Telu yang terpaksa 'berpindah agama' menjadi Islam Waktu Lima seiring dengan menguatnya tekanan dari penganut Islam Waktu Lima yang didukung militer dan pemerintah pusat. Bila sebelum tahun 1965 populasi Islam Waktu Telu sekitar 20% dari penduduk Lombok, tahun 1967 populasinya sudah kurang dari 1%.

Waktu belakangan ini, proses pengaruh-mempengaruhi praktek Islam ini datang dengan cara lebih damai. Hadirnya Tuan Guru datang dari berbagai daerah menyebarkan Islam 'modern' dengan cara dakwah pada masyarakat Sasak. Selain itu, penyebaran Islam ‘modern’ untuk anak-anak dan remaja dilakukan melalui pendidikan agama Islam untuk SD, SMP, SMU telah distandardisasi berdasarkan kurikulum dari Departemen Pendidikan Pusat.

Muslim-Cina di Indonesia
Kisah yang mirip juga terjadi dengan masyarakat pendatang dari Cina yang menganut agama Islam. Kedatangan yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho ini adalah salah satu dari beberapa gelombang kedatangan penduduk Cina ke Indonesia. Pada awal abad ke-15, Cheng Ho ditugaskan oleh Kaisar Zhu Di dari Dinasti Ming melakukan ekspedisi bahari ke Samudera Hindia (Barat). Tujuan utamanya adalah melakukan politik luar negeri yang damai dengan harapan berkembangnya perdagangan ekspor-impor. Selain itu, Zhu Di menugaskan Cheng Ho untuk mencari mantan Kaisar Zhu Yunwen yang digulingkannya dan konon melarikan diri ke luar negeri Cina.

Cheng Ho adalah seorang Cina penganut Islam mazhab Hanafi. Di pelabuhan yang dikunjunginya, Cheng Ho dan pengikutnya secara aktif berdakwah, dan membangun komunitas Islam Cina, dan mendirikan mesjid. Dia disebut-sebut salah satu peletak dasar keimanan Islam di Indonesia dengan mazhab Hanafi dalam bahasa Cina. Sisa-sisa peninggalannya dapat kita lihat di Palembang, Sambas, dan Jawa. Salah satunya adalah kelenteng Sam Po Kong di Semarang yang namanya diambil dari nama kecil Cheng Ho.


Setelah kematian Cheng Ho, Bong Swie Ho (Sunan Ampel) mengambil prakarsa untuk melakukan proses ‘Jawanisasi’. Dia meninggalkan komunitas Tionghoa muslim hijrah bersama orang-orang Jawa yang baru diislamkannya. Ekspedisi kelautan Cina kemudian dihentikan dari pusat kekaisarannya. Islam mazhab Hanafi yang dikembangkan oleh Cheng Ho hilang kontak dengan negeri Cina dan secara gradual ajarannya hilang terdilusi dengan Islam mazhab Syafi’i yang lebih diterima oleh penduduk lokal saat itu. Seiring dengan meredupnya ajaran Islam Hanafi asal Cina ini, banyak masjid Muslim-Cina yang berubah menjadi kelenteng.

Pada masa itu, diperkirakan terjadi perpindahan mazhab muslim secara umum dari Hanafi ke Syafi’i. Hal itu didorong oleh realitas sosiologis masyarakat Jawa yang tidak memungkinkan persemaian mazhab Hanafi yang rasionalistik. Sebaliknya mazhab Syafi’i dinilai lebih kompatibel dengan semangat kebudayaan masyarakat Jawa yang tidak bisa dilepaskan dari tradisi lokal.

Perkembangan selanjutnya, berbagai perjalanan sejarah memojokkan etnis keturunan Cina di Indonesia. Salah satu yang menyebabkan hal ini terjadi adalah warisan VOC kepada masyarakat Jawa saat perkembangannya. Sikap antipati yang diwarisi VOC berawal dari keharmonisan yang terjalin antara masyarakat Jawa dengan etnis Cina di bidang ekonomi, sosial, dan politik. Belanda merasa tersaingi, terutama di dalam bidang perdagangan. Puncaknya, VOC mengadakan pembantaian massal atas etnis Cina, yang kemudian dikenal dengan chinezenmoord (pembantaian orang Cina) yang terjadi pada Oktober 1740. Setelah tragedi itu, berbagai peraturan VOC dibuat untuk membatasi gerak etnis Cina ini.

Setelah kemerdekaan Indonesia, pelaksanaan politik Presiden Soekarno dan Soeharto juga sering kali memojokkan etnis keturunan Cina. Di samping itu, terjadi pula berbagai peristiwa berdarah di negeri ini yang tertuju pada etnis Cina. Berbagai kerusuhan anti-Cina beberapa kali terjadi, misalnya pada tragedi Kerusuhan Jakarta 1998. Setelah masa reformasi hingga saat ini, kebijakan pemerintah relatif lebih ramah terhadap etnis Cina. Meskipun begitu, tetap saja masih ada ‘jarak’ perlu dihilangkan antara kaum pribumi dengan etnis keturunan Cina.

So What Gitu Loh?
Lalu apa selanjutnya? Melihat kisah-kisah di atas ini, kalau kita telusuri lagi ternyata ada berbagai macam rupa pemikiran Islam yang berkembang di Indonesia. Misalnya pada, Islamisasi Jawa oleh pendatang Cina-Muslim yang datang bersama dengan Cheng Ho. Fakta ini cenderung telah menjadi fosil sejarah yang telah lama terlupakan oleh masyarakat Islam Indonesia. Dengan menggali sejarah, kita jadi lebih mengerti proses terjadinya keragaman hingga saat ini.

Moga-moga kita bisa lebih santai dan rasional dalam menanggapi keragaman dalam perkembangan Islam di Indonesia. Begitu pula dengan polarisasi antara Islam pribumi dengan etnis keturunan Cina. Moga-moga suatu saat nanti jarak antara kaum pribumi dan etnis keturunan Cina bisa perlahan-lahan menghilang.

Tidak ada komentar: