9 November 2009

Festival Kebudayaan Islam : Sejarah dan Kisah

“Apa perbedaan antara sejarah dengan kisah?”, pertanyaan ini yang saya coba cari di google. Setelah saya klik pautan Yahoo!Answer yang berkaitan dengan pertanyaan ini, saya tidak puas dengan jawaban bahasa Indonesia. Lalu saya cari lagi kata kunci ini dalam bahasa Inggris, “What is the difference between history and story?” Ternyata saya temukan jawaban di wiki.answer.com seperti ini :

History is meant to be an objective narrative description of past events, while a story will be a subjective narrative description of either real past events or imaginary people and events.

Sejarah adalah rangkaian cerita yang objektif mengenai kejadian masa lalu, sedangkan kisah adalah rangkaian cerita yang subjektif bisa faktual atau imajiner mengenai kejadian masa lalu atau orang di masa lalu. Ilmu sejarah saat ini tidak lagi berada pada tingkat pengetahuan (knowlegde), tetapi telah beralih ke tingkat ilmu pengetahuan (sains). Metodologi ilmu sejarah semakin menuntut fakta objektif, seperti layaknya juga ditemui pada cabang ilmu pengetahuan lain yang juga menuntut bukti-bukti empiris.

Sejarah memiliki informasi penting sebagai sumber pengetahuan dan pembelajaran berkat tingkat objektifitas dan faktualitas yang tinggi. Dari sejarah kita dapat mengetahui secara objektif bagimana mekanisme kebudayaan suatu peradaban berkembang dan bisa mengetahui faktor keberhasilan dan kegagalan suatu peradaban.

Bagaimana posisi ‘kisah’ pada struktur pengetahuan masyarakat modern? Nilai moral dan kebijaksanaan yang terkandung di dalam suatu kisah dapat menjadi sumber pengetahuan dan pembelajaran. Mengenai faktualitas, alias terjadi atau tidaknya suatu kisah bukan menjadi nilai penting untuk dikonfirmasi kebenarannya. Kalaupun ada unsur fakta dalam suatu kisah, hal ini merupakan suatu kewajaran untuk memudahkan pemahaman pembaca terhadap nilai moral yang berusaha disampaikan.

Pada masa awal peradaban Islam, metodologi sejarah belum berkembang. Kisah mengenai tokoh politik dan keagamaan sering kali digambarkan secara metaforis dan hiperbolis. Belakangan, Ibnu Khaldun (1332-1406) asal Tunisia merupakan salah satu ilmuwan sejarah Islam yang menegaskan perbedaan antara sejarah dan kisah.

Menurut Ibnu Khaldun, para pemikir sebelum masanya cenderung tidak sistematis dalam mengemukakan analisis sejarah. Kebanyakan dari mereka bahkan tidak menggunakan analisis, melainkan deskripsi semata. Pendekatan semacam itu sangat berbahaya karena akan mereduksi realitas sebenarnya menjadi hanya yang tampak di permukaan.

Para peneliti sebelum Ibn Khaldun bahkan tidak mampu membedakan antara asumsi dan fakta sejarah. Hal itu bisa terlihat dalam fakta-fakta sejarah yang dikemukakan acapkali tidak masuk di akal. Logis tidaknya sebuah peristiwa yang diceritakan menjadi salah satu parameter kunci untuk memastikan apakah peristiwa itu memang benar terjadi atau kisah turun temurun.

Adalah sebuah kerepotan kalau kita menyamakan antara sejarah dan kisah. Sebuah sejarah cenderung realistis dan manusiawi, sedangkan kisah sering kali memasukkan unsur metafora dan melebih-lebihkan (hiperbola). Kalau detil-detil sebuah kisah dianggap sebagai fakta, kita jadi cenderung ‘ahistoris', tidak realistis, dan tidak manusiawi. Bisa jadi kita malah terpaku meyakini imajinasi dalam kisah sebagai hal yang faktual dan gagal menangkap pesan moral dalam kisah itu.

***

Isra’ Mir’aj

Kalau kita masuk ke dalam kebudayaan Islam klasik, kisah dan sejarah di masa lalu masih belum dapat dibedakan. Penulis sejarah (kisah) pertama nabi Muhammad adalah seorang tabiin bernama Ibnu Ishaq sekitar abad pertama Hijriah (d. 767M). Hasil tulisannya mempengaruhi beberapa penulis lain, antara lain Ibnu Hisyam (d. 833M) dan At-Tabari (d. 923M).

Kerepotan ‘sejarah vs kisah’ misalnya terjadi pada Isra’ Mir’raj. Versi yang kita tahu selama ini terutama berasal dari kitab Sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisyam. Lebih lengkap mengenai Sirah ini dapat dilihat di tautan ini. Berikut ini saya ambilkan cuplikan kisah yang kita ketahui secara umum dari pautan wikipedia versi Indonesia ini :

Peristiwa Isra Mi'raj terbagi dalam 2 peristiwa yang berbeda. Dalam Isra, Nabi Muhammad SAW diberangkatkan oleh Allah SWT dari Masjidil Haram hingga Masjidil Aqsa. Lalu dalam Mi'raj Nabi Muhammad SAW dinaikkan ke langit sampai ke Sidratul Muntaha yang merupakan tempat tertinggi. Di sini beliau mendapat perintah langsung dari Allah SWT untuk menunaikan shalat lima waktu.

Kisah yang diambil dari kitab Ibnu Hisyam ini adalah sumber utama cerita Isra' Mi'raj. Di belakang hari, beberapa ulama menafsirkan beberapa ayat-ayat Al-Quran sebagai referensi kisah Isra' Mi'raj ala Ibnu Hisyam. Tentang Isra' diambilkan ayat 17:1, yaitu surat Al Isra' atau bani Israel, yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia sbb:

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (17:1)”

Sedangkan ayat Mi'raj diambilkan dari surat An Najm, yaitu surat ke-53 (dalam Mushaf Utsmani). Secara literal, kata ‘Mi’raj’ tidak ditemukan pada Al-Quran. Ayat ini diambil sebagai referensi karena terdapat kata ‘Sidratil Muntaha’ yang merupakan tempat yang dikunjungi Nabi Muhammad ketika Mi’raj. Berikut ini adalah terjemahan Bahasa Indonesia ayat ini :

Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (53:13)

(yaitu) di Sidratil Muntaha. (53:14)

Di dekatnya ada syurga tempat tinggal, (53:15)

(Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. (53:16)

 

***

Ada beberapa permasalahan kalau ayat-ayat ini dijadikan referensi kisah Isra’ Mi’raj’. Pada kisah Isra’, kata ‘Masjidil Aqsa’ pada ayat 17:1 ditafsirkan sebagai Masjid Al-Aqsa di Jerusalem. Padahal  bangunan Masjidil Aqsa itu sendiri baru didirikan setelah kematian nabi Muhammad. Ada yang berpendapat pembangunan pertama pada kekhalifahan Umar. Belakangan ada versi lain yang menyebut pembangunan pertama dilakukan pada awal masa dinasti Ummayah.

Selanjutnya, pada masa Abdul Al-Malik dari Dinasti Abasyiah (690M), di sebelah Masjidil Aqsa dibangun masjid yang lebih besar lagi bernama Masjid Qubbat As-Sakhrah (Dome of Rock) yang kadang juga disamakan dengan Masjidil Aqsa (sebenarnya berbeda). Jadi pada waktu nabi Muhammad melakukan perjalanan Isra’ kedua bangunan ini belum ada.

Beberapa tafsir modern, seperti misalnya tafsir Yusuf Ali, menerjemahkan ‘Masjidil Aqsa’ pada ayat 17:1 sebagai ‘tempat sujud terjauh’. Tempat sujud terjauh pada zaman nabi hidup ditafsirkan sebagai Baitul Maqdis di Jerusalem yang saat itu masih dalam kekuasaan kerajaan Persia dan merupakan kiblat shalat umat Muslim ketika itu.  Baru pada masa kekhalifahan Umar-lah kekuasan Islam mencapai Jerusalem sehingga Masjidil Aqsa dapat direalisasikan sebagai bangunan masjid.

Sebuah alternatif tafsir yang juga berbeda, ayat 17:1 ini kalau kita lihat dalam konteks urutan ayatnya lebih cocok direferensikan pada kisah Bani Israel yang memiliki kebiasaan berjalan (hijrah) pada malam hari. Berikut ini kita lihat urutan ayat Al-Isra :

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-hambaNya (Bani Israil) pada suatu malam dari tempat sujud yang suci (Masjidil Haram) ke tempat sujud yang terjauh (Masjidil Aqsa) yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (17:1)

Dan Kami berikan kepada Musa kitab (Taurat) dan Kami jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman): "Janganlah kamu mengambil penolong selain Aku, (17:2)

(yaitu) anak cucu dari orang-orang yang Kami bawa bersama-sama Nuh. Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur. (17:3)

Ketidaksinkronan ini juga terjadi pada kisah Mir’raj’. Kita mengetahui bahwa Al-Quran yang diwahyukan ayat per ayat secara berangsur, Surat An-Najm yang dipandang sebagai ayat legitimasi Mi'raj itu secara urutan turun lebih dulu dibandingkan dengan Al-Isra’ ayat 1, paling tidak lima tahun sebelumnya.

Dari mengacu dari segi waktu turunnya ayat, berarti Isra dan Miraj tidak terjadi secara bersamaan. Apakah mungkin peristiwa Mi’raj’ tidak terjadi dalam satu malam dengan peristiwa Isra’, melainkan terjadi lima tahun lebih cepat dari Isra’ ?

***

Argumen kedua ayat ini sebagai referensi faktual Isra’ dan Mi’raj’ sulit untuk dipertahankan. Sejauh ini, kisah Isra’ Mir’aj baru dapat direferensikan oleh kitab Sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisyam. Kitab biografi Muhammad klasik yang lain tidak pernah menyebutkan kisah ini, seperti misalnya pada kitab Tarikh al-Tabari.

Memahami pesan moral yang dibangun pada kisah Isra’ Mi’raj’ ini memiliki hikmah tersendiri. Meskipun begitu, mempercayai kisah Isra’ Mi’raj versi Ibnu Hisyam secara detail sebagai hal yang benar-benar terjadi (faktual) memiliki resiko bagi kita menjadi seorang yang ahistoris dan tidak realistis.

Belum ada kesepakatan di antara ulama kapan Isra’ Mi’raj ini terjadi, bisa dilihat pada tautan ini. Di Indonesia yang penduduknya mayoritas Muslim bermazhab Syafi’i, peringatan Isra’ Mi’raj ini dirayakan setiap tanggal 27 Rajab turun-temurun secara besar-besaran dan merupakan hari libur resmi keagamaan.

Sebenarnya masih banyak lagi fenomena ‘sejarah vs kisah’ lain. Tapi kok jadi serius dan terlalu panjang ya? Pusing-pusing, buat orang Indonesia yang penting kan jadi hari libur.. Ya nggak? :)

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Tetangga saya dan saya telah hanya memperdebatkan topik tertentu , dia biasanya mencari untuk menunjukkan salah. Pandangan Anda pada yang besar dan persis bagaimana saya benar-benar merasa . Aku hanya sekarang mengiriminya website ini untuk menunjukkan padanya pandangan pribadi Anda . Setelah mencoba di website Anda Saya ebook ditandai dan kemungkinan akan datang kembali untuk membaca posting baru Anda !

cokhy mengatakan...

Terima kasih telah membaca.. :)