Tampilkan postingan dengan label haji. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label haji. Tampilkan semua postingan

30 November 2009

Qurban dan Ekonomi Peminta (Pengemis?)

Kita kembali ke Indonesia tercinta ini. Dari hampir 200 juta umat Islam di Indonesia, yang berangkat haji hanya 200 ribu orang. 99,9% umat Islam di Indonesia ini tidak dapat berangkat haji terutama karena keterbatasan finansial atau meskipun ada pula yang disebabkan kehabisan quota haji. Walaupun tidak dapat berangkat haji, umat Islam tetap perlu mengaktualisasi spiritualitas haji. Demi mengakomodir hal ini, ritual qurban salah satu tujuannya adalah mengobati kerinduan ziarah ke tanah Haram ini.

Tentunya ada pula tujuan alternatif berqurban ala Indonesia. Misalnya mendapat pahala dari hitung-hitungan jumlah bulu dan gigi kambing kurban. Ada pula teman saya yang mau berlomba dulu-duluan ke surga dengan menaiki kendaraan hewan qurbannya masing-masing. Tetapi semua perbedaan tujuan ini belum pernah menghalangi kemeriahan Idul Qurban di negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam ini.

Ritual qurban di Indonesia memiliki cerita unik tersendiri. Kalau kita ingat-ingat dulu, qurban lebih merupakan tindakan bagi-bagi hasil daging qurban kepada orang yang membutuhkan. Tapi jaman semakin berkembang kompleks. Beberapa waktu terakhir, semakin sering media menceritakan perebutan daging qurban oleh para pihak yang berhak menerima. Sejak dari perebutan pembagian zakat fitrah Idul Fitri hingga pembagian daging qurban Idul Adha, ceritanya belum terlalu berubah.

Berita Kompas hari ini misalnya, menceritakan Ibu Halimah (55) yang setiap tahun tidak pernah absen pergi ke Istiqlal untuk mendapatkan paket qurban bersama ribuan orang lainnya. Kejadian bagi-bagi paket qurban ini kurang lebih mirip prinsip ekonomi: permintaan lebih besar dari penawaran. Walhasil Ibu Halimah gagal mendapat satu kuponpun dari lima ribu kupon yang dibagikan. Akibatnya, beliau pulang dengan tangan hampa.

Tentunya drama kegagalan ini tidak akan seru kalau tidak ada cerita saling dorong rebut-rebutan ala orang Indonesia. Jangan lupa bumbu pelengkapnya yaitu akibat drama perebutan ini, ada orang yang kecebur kali, pingsan, dan tentunya gotong-gotongan. Harap diperhatikan bukan gotong-royong lho ya..

Insiden rebut-rebutan qurban di Istiqlal tentunya hanya sebuah miniatur fenomena ‘berhak meminta’ yang terjadi secara umum di masyarakat. Artinya, pertumbuhan jumlah daging qurban yang dibagikan tidak dapat mengejar pertumbuhan para pihak yang merasa berhak menerima daging kurban ini.

Tapi memang sih, status sebagai peminta-minta kan bukan lagi menjadi suatu aib. Itu kan sebuah fasilitas negara. Kita bisa lihat di program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang membuat masyarakat Indonesia merasa barang atau uang gratisan merupakan suatu yang lazim dan berhak diterima. Dengan bangga lagi..

Tiba-tiba muncul pertanyaan nakal: Apakah orang yang benar-benar miskin yang mengantri pada pembagian daging qurban ini? Atau kita ganti saja qurban hewan ternak dengan qurban untuk membangun lapangan kerja supaya lebih produktif? Tapi kan Nabi Muhammad tidak pernah mengajarkan seperti itu? Lho, ini kan demi kepentingan masyarakat?

Lalu dibarengi muncul pertanyaan analitis : Tapi apa iya, ini hanya sekedar masalah ekonomi kemiskinan saja? Apa jangan-jangan fenomena ‘merasa berhak’ ini dapat dirumuskan sebagai masalah sosial, mental pengemis? Apakah kita bangga dengan kemiskinan kita? Lalu mengantri paling pagi untuk mendapatkan jatah kupon qurban? Apa ekonomi pengemis ini merupakan efek samping dari substansi qurban? Bagaimana cara pengelolaan qurban agar bisa meminimalisirnya?

Mas, ga usah pusing-pusing. Qurban mah qurban aja. Pusing-pusing mikirin malah jadi ga qurban”, begitu komentar teman saya.

29 November 2009

Haji dulu, Haji sekarang..

Haji merupakan ibadah yang diperintahkan pada akhir-akhir masa hidup Nabi Muhammad. Pelaksanaan haji dalam Islam adalah suatu penghormatan nabi Muhammad terhadap tradisi Arab yang dijejak balik ke masa Nabi Ibrahim. Ibadah haji ini memang merupakan ibadah ‘asli’ dari Arab dibandingkan dengan ibadah shalat, puasa, zakat yang diadaptasi dari agama Ibrahimiyyah sebelumnya, yaitu Yahudi dan Kristen.

Historical picture of kaa'ba taken in 1880.

Semenjak periode pra-Muhammad, haji merupakan ibadah tradisional bangsa Arab. Pada kala itu, umumnya suku-suku Arab memiliki dewa pelindung yang biasanya diwakili oleh sebuah patung batu. Suku Quraisy mengumpulkan patung-patung batu ini di Haram yang merupakan zona dengan radius 30 km yang berpusat di Ka’bah. Berkat kepiawaian Suku Quraisy menjaga Haram, segala bentuk kekerasan di dalamnya terlarang. Keamanan Haram yang terjamin ini membuat para anggota suku-suku Arab lain bisa dengan aman menyembah dewa pelindungnya ketika berziarah ke Makkah.

Ritual haji memberikan perasaan spiritualitas yang luar biasa bagi anggota suku Arab yang melakukannya. Saat berziarah ke Makkah yang merupakan titik puncak siklus tahunan mereka, ada perasaan berhasil dan gembira. Karavan-karavan diperiksa oleh suku Quraisy, unta dibebaskan dari pikulan beban, dan setelah membayar biaya yang rendah, pada pedagang dan budak bebas untuk menunaikan perhormatan mereka kepada Haram. Sambil menyusuri lorong pinggiran kota yang sempit, mereka menyerukan seruan ritual menyerukan kehadiran mereka kepada dewa yang menanti kedatangan mereka. Perasaan mereka seperti kembali pulang ke rumah setelah dari perjalanan panjang.

Ketika para anggota suku Arab tiba di Ka’bah yang dikelilingi ratusan patung dari masing-masing suku Arab, mereka mulai melaksanakan ritual Haji yang paling terkenal: tawaf, yaitu mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali dengan putaran berlawanan arah jarum jam. Saat peziarah berlari kecil di seputar Ka’bah, mereka menempatkan diri menyerupai arah tatanan fundamental kosmos. Dengan memutari Ka’bah, mereka belajar menemukan orientasi sejati dan pusat batin mereka. Ritme lari kecil yang tetap secara mengosongkan benak mereka dari pikiran yang dangkal dan membantu mereka memasuki keadaan yang lebih meditatif.

Selanjutnya, dilakukan ritual Haji berlari tujuh kali antara Bukit Shafa dan Marwah sebelah timur Ka’bah; berlari ke Lembah Muzdalifah; melakukan wukuf di Gunung Arafah, dua puluh lima kilometer di luar kota; melempar kerikil ke arah tiga tonggak di lembah Mina; dan pada akhir ziarah mereka, mengurbankan unta betina mereka yang paling berharga, simbol kekayaan dan dengan demikian mereka sendiri.

Pada tahun 632, Nabi Muhammad memimpin kaum Muslimin melakukan ritual Haji. Ritualnya mirip dengan apa yang dilakukan suku Arab pada umumnya waktu itu. Tambahannya adalah ritual mencium Hajar Aswad, sebuah batu hitam di sudut Timur Ka’bah yang berjasa menaikkan reputasi sebagai Al-Amin (yang dapat dipercaya) sewaktu beliau masih muda. Selain itu, seruan kepada dewa juga diganti dengan seruan kepada Allah: Labbaik Allahumma Labbaik, Ya Allah atas panggilanMu aku datang.

Pada masa Haji pertama ini, kaum Muslimin berada di atas angin memenangkan banyak pertempuran dengan kaum Musyrikin Quraisy yang menjaga Ka’bah. Hal ini memudahkan Nabi Muhamad menghancurkan patung-patung batu. Konon katanya semua patung batu dihancurkan, kecuali patung Maria dan Yesus. Tindakan penghancuran patung batu ini meneguhkan Ka’bah sebagai rumah Allah untuk mempromosikan ketauhidan kepada Allah: Tidak ada tuhan-tuhan, kecuali Tuhan.

***

Saat ini, Haji merupakan ziarah keagamaan terbesar di dunia dengan peziarah lebih kurang tiga juta orang. Bisa dibayangkan dengan jumlah sebanyak ini, bagaimana urusan haji menjadi hal semakin kompleks. Dengan sistem pendukung juga menjadi lebih canggih, tetap saja korban kecelakaan tidak dapat dihindarkan dan menimbulkan kematian ratusan orang setiap tahunnya. Misalnya pada tahun 2009 ini, terjadinya cuaca buruk dan banjir besar di Arab Saudi saja menewaskan 83 orang. Belum lagi korban yang disebabkan oleh berdesak-desakan dan terinjak-injak saat melempar Jumrah di Mina.

A picture of people performing {{w|Tawaf}} (ci...

Berbagai kejadian ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan beberapa pihak mengusulkan pemikiran agar pelaksanaan Haji dilaksanakan beberapa kali setahun. Di Al Quran seperti pada surat Al Baqarah ayat 97 tertulis bahwa terdapat beberapa bulan Haji dalam satu tahun. Meskipun begitu, Nabi Muhammad pada masa hidupnya hanya melakukan dua kali ibadah Haji dan keduanya pada bulan Dzulhijah, setelah kembali ke Madinah pada Haji yang kedua, beliau wafat. Hal ini menimbulkan perdebatan di antara para Ulama.

Pro dan kontra saat ini masih terjadi seputar berhaji di luar bulan Dzulhijah. Tetapi saya pikir dengan jumlah peserta Haji yang sudah melebihi kapasitas, lambat laun pelaksanaan Haji ini akan dilakukan dalam bulan lain juga selain Dzulhijah.

Semakin sulit untuk umat Islam saat ini meng-copy paste ibadah haji persis seperti Nabi Muhammad melakukannya 1400 tahun yang lalu. Salah satu contoh, hampir tidak mungkin tiga juta orang melakukan wukuf tanggal 9 Dzulhijah secara bersamaan tumplek plek di Arafah yang luasnya hanya sekitar 3,5 x 3,5 km² ini, sekitar setengahnya Bandara Soekarno-Hatta lebih sedikit. Kalau dikatakan Wukuf itu adalah inti dari ibadah Haji, apa berarti peserta yang nongkrong di luar Arafah karena tidak kebagian tempat tidak dapat disebut berhaji? Hayo?

(bersambung)