15 Februari 2009

Kembali ke Tanah Leluhur

Sebenarnya perjalanan saya ke kota Medan kali ini bukan merupakan perjalanan kali pertama, tetapi perjalanan ini terasa sangat berkesan. Meskipun belum pernah mudik dalam arti yang sesungguhnya, tetapi perjalanan kali ini terasa semacam napak tilas asal usul, kembali ke tanah leluhur. Kesan ini mungkin sebuah alasan mengapa orang Indonesia memiliki tradisi bernama mudik. Jangan-jangan ada sesuatu yang luhur yang mampu membuat orang melupakan kelelahan fisik dan resiko yang demikian tinggi saat melakukan mudik.

Seperti yang umumnya terjadi menjelang hari raya, tradisi mudik kita lakukan dengan berbagai daya upaya. Tiket transportasi umum macam pesawat dan kereta api pasti sudah habis sebulan sebelumnya dan sering kali berlipat harganya. Kita juga kenal mudik dengan mobil pribadi yang menghabiskan waktu berhari-hari sehingga membuat saya mendefinisikan kembali arti MPV (Multi Purpose Vehicle); ya jadi alat transportasi, ya jadi hotel, ya jadi restoran. Kita juga makin berusaha memahami kedalaman nilai mudik memikirkan fakta bahwa beberapa tahun terakhir ini kita mengenal mudik sekeluarga menggunakan sepeda motor. Lengkap dengan resiko tingkat tinggi kala lubang jalan sepanjang jalur mudik menunggu motor berkecepatan tinggi.

Mungkin mudik selain merupakan pulang ke tempat asal leluhur, lebih jauh lagi memperbaharui lagi pemahaman mengenai asal usul kita, siapa hakikinya kita. Menurut Cak Nun, ada empat episode dalam tradisi mudik. Pertama adalah kerinduan untuk pulang ke kampung halaman dan bersilaturahim dengan sanak famili. Ini adalah episode awal dari kebutuhan batin manusia untuk kembali ke asal asulnya. Kedua adalah pulang secara geografis dan kultural semacam mudik Lebaran. Mudik episode kedua ini merupakan bentuk kesadaran atau ikrar kembali bahwa diri manusia berasal dari tanah dan air, yang akan kembali ke tanah dan air. Ketiga adalah kesadaran tentang kembali ke ibu pertiwi yang lebih batiniah, yaitu kekhusyukan menginsyafi kasih sayang ibunda, kandungan dan rahim ibunda. Betapa di puncak kerumitan hidup ini kita terkadang ingin kembali masuk ke gua garba ibunda. Keempat adalah kembalinya kita semua ke pencipta tanah air, ke sumber dan asal usul. Hal ini yang menyebabkan perilaku kita untuk selalu siap kembali kepada Sang Pencipta adalah kesejatian mudik.

Yang pasti ‘mudik’ yang ini cuma main-mainan yang tidak layak masuk nominasi episode macam ini. Sekedar berputar-putar di kota yang berada pada propinsi yang sama dengan asal bapak, kakek, buyut, dan seterusnya tidak mengesahkan perjalanan ini sebagai mudik. Sekilas mencoba makanan yang cuma ada di kampung halaman belum membuat orang dikatakan melakukan mudik.

Tapi yang lebih pasti lagi, kemanapun perginya pasti kita mudik kembali. Sebab setiap momentum pergi adalah proses mudik kembali. Katanya sih begitu!

Tidak ada komentar: