Tampilkan postingan dengan label How We Decide. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label How We Decide. Tampilkan semua postingan

31 Desember 2010

Apakah itu Rasionalitas?

Pada tulisan sebelumnya telah disinggung bahwa pikiran manusia tidak seluruhnya rasional. Bahkan, rasionalitas sebenarnya hanya mendapatkan porsi kecil dalam seluruh pikiran manusia. Karena rasionalitas berkembang paling akhir dalam evolusi, cara berpikir ini memiliki banyak keterbatasan. Meskipun begitu, rasionalitas berhasil menyukseskan manusia dari panggung kehidupan di bumi.

Apa itu rasionalitas? Rasionalitas sering dikatakan sebagai proses berpikir yang menggunakan logika atau akal. Cara berpikir ini khusus dimiliki oleh manusia saja. Menurut Plato, rasio dan emosi selalu bertentangan satu sama lain dalam pikiran manusia. Ketika rasio menang, maka kita dapat mengendalikan diri kita dan hidup dalam kebahagiaan dan harmoni. Menurutnya lagi, rasionalitas membuat manusia berpikir layaknya dewa-dewi; ketika manusia berpikir rasional, maka ia menyerupai dewa.

Pusat rasionalitas dalam otak terletak pada korteks prefrontal. Tanpa bagian paling luar dari lobus frontalis ini, manusia bukan merupakan makhluk rasional. Korteks prefrontal sangat berkembang pada manusia. Bila dibandingkan dengan primata lain atau nenek moyang manusia, perbedaan yang paling jelas adalah membesarnya bagian depan otak ini. Sepupu kita, Homo neanderthal, bisa jadi memiliki volume otak yang lebih besar daripada manusia modern, tetapi spesies ini masih memiliki korteks prefrontal mirip dengan simpanse. Oleh karena itu, Homo neanderthal tidak memiliki apa yang dimiliki oleh Homo sapiens: pikiran rasional.

Perkembangan evolusi otak manusia sejalan dengan hubungan antara kematangan pikiran dan usia manusia. Bagian otak pertama yang terbentuk pada evolusi adalah area korteks motor dan batang otak. Kedua area ini juga merupakan bagian yang pertama kali matang pada anak dan berfungsi secara penuh ketika masa pubertas. Di sisi lain, bagian yang secara evolusi terbentuk belakangan, seperti misalnya lobus frontalis, juga baru matang ketika masa remaja berakhir.

Proses perkembangan otak yang bertahap ini yang menjelaskan mengapa perilaku remaja lebih berisiko dan impulsif dibandingkan manusia dewasa. Pandangan bahwa keterlibatan dalam tindak kriminal akan bekurang seiring dengan pertambahan usia adalah salah satu pandangan tertua sekaligus paling diterima dalam kriminologi. Dalam sejumlah bentuk kejahatan, terutama yang dikategorikan serius, proporsi populasi yang terlibat cenderung memuncak pada usia remaja atau awal dewasa, dan setelah itu menurun seiring dengan pertambahan usia. (1)

Beberapa penelitian oleh neurosaintis menunjukkan bahwa nucleus accumbens, bagian otak yang berkaitan dengan mekanisme rewards (seperti misalnya seks, narkoba, dan dugem) secara signifikan lebih aktif dan matang pada otak remaja dibandingkan korteks prefrontal yang bertugas menahan godaan-godaan ini. Jadi, para remaja membuat berbagai keputusan yang konyol memang karena mereka kurang rasional.

***

Mengapa banyak trader saham tetap mempertahankan saham yang harganya jatuh dan menyebabkan kerugian besar? Para trader mempertahankan saham-saham ini hingga bertahun-tahun dan tidak mau merealisasikan kekalahannya. Para trader berharap akan harga saham-saham ini akan naik lagi, minimal mencapai nilainya semula. Entah kapan.

Dalam perspektif yang rasional, kerugian seharusnya secepatnya direalisasikan agar sisa modal bisa digunakan lagi untuk peluang investasi lain yang lebih menjanjikan. Artinya, saham yang merugi harus segera dijual untuk mendapatkan dana tunai. Tapi secara emosional, terlalu menyakitkan untuk merasakan kerugian. Akhirnya, portofolio tahunan saham para trader ini adalah saham-saham yang nilainya telah turun selama bertahun-tahun.

Fenomena ini diamati dalam ekonomi perilaku (Behavioural economics) dalam topik yang dikenal sebagai loss aversion. Istilah ini diperkenalkan oleh Daniel Kahneman and Amos Tversky pada tahun 1979. Inti penemuan ini adalah bahwa kehilangan uang 1 juta rupiah lebih mempengaruhi level kebahagiaan anda dibandingkan mendapatkan uang 1 juta rupiah. Dengan kata lain, kita  lebih emosional dengan situasi kehilangan sesuatu dibandingkan dengan situasi mendapatkan sesuatu.

 

Bagi orang yang mengalami loss aversion, ia menjadi terikat dengan objek secara emosional dan cenderung memilih situasi tidak merugi (tidak menjual saham), meskipun mendapatkan sesuatu (dana tunai). Sebaliknya, bagi orang yang rasional akan segera menjual saham yang merugi dan mendapatkan dana tunai.

Jadi di mana sebenarnya fungsi rasionalitas pada kasus ini? Untuk meneliti loss aversion dalam perspektif neurosains, beberapa peneliti menggunakan mesin fMRI untuk mempelajari bagian otak yang aktif dalam situasi ini. Ternyata orang yang berada situasi ini, bagian amigdala pada otaknya menjadi aktif. Amigdala ini adalah  bagian otak yang ketika aktif, akan menghasilkan perasaan negatif. Ketika orang merasa akan kehilangan sesuatu, maka area amigdalanya akan aktif secara otomatis. Oleh karena itu, kita sangat membenci kekalahan.

Hal yang mengejutkan didapatkan pada orang rasional yang tidak mengalami loss aversion. Ternyata bagian amigdala pada orang rasional juga sama-sama aktif pada level yang sama. Semua orang normal, baik rasional maupun tidak, ternyata mengalami bias emosi terhadap kerugian.

Perbedaannya adalah pada orang yang rasional ada bagian otak lainnya yang aktif. Bagian korteks prefontal yang mengatur rasionalitas menjadi aktif pada situasi ini. Semakin bagian korteks prefrontal ini menjadi aktif, semakin meningkat kemampuan seseorang mengalahkan perasaan irrasional dan menyadari situasi yang dialaminya secara jernih. Menurut Benedetto De Martino, neurosaintis yang memimpin penelitian, ”Orang yang lebih rasional tidak kurang emosional dibandingkan orang lain. Mereka hanya mampu mengendalikan perasaannya secara lebih baik.”

Jadi bagaimana kita mengendalikan emosi kita? Jawabannya adalah dengan memikirkan emosi yang bersuara di kepala kita. Otak (korteks prefrontal) mengizinkan kita untuk berkontemplasi, memikirkan kembali apa yang kita rasakan dan pikirkan. Bakat psikologis ini biasa disebut metacognition.

Setiap perasaan emosi muncul dengan kesadaran bersamanya. Kesadaran ini membuat seseorang bisa memikirkan mengapa ia memiliki perasaan yang dirasakannya itu. Bila perasaan ini tidak masuk akal, orang ini bisa mengacuhkan perasaan ini. Jadi otak bisa memilih apakah ia akan menuruti emosi yang sedang dirasakan atau mengacuhkannya saja.

Hal ini sesuai dengan sebuah ide penting yang pernah ditulis oleh Aristoteles. Dalam Nicomachean Ethics, Aristoteles mengatakan bahwa kunci untuk memupuk kebajikan adalah dengan mengelola nafsu dalam diri. Menurutnya lagi, “Semua orang bisa saja marah, itu mudah. Tapi bagaimana marah pada orang yang tepat, dengan tingkat kemarahan yang tepat, pada waktu yang tepat, untuk tujuan yang tepat, dan dalam cara yang tepat, itu tidak mudah.”

Jadi, apakah kita akan mengikuti emosi yang sedang kita rasakan atau mengacuhkannya saja? Mari kita tanyakan kepada rasio kita..

Inspirasi :

23 Desember 2010

Markus Horison, Penalti, dan Keputusan Emosional

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya “Celotehan tentang Membuat Keputusan dan Neurosains.”

“Jangan membuat keputusan emosional. Keputusan harus dibuat dengan kepala dingin”, kata beberapa orang bijak yang pernah saya temui. Pernyataan ini merupakan nasihat umum yang sering dilontarkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Apa sebenarnya emosi?

Emosi sering dihubungkan sebagai feeling, mood, temperamen,  kepribadian, atau bisa juga motivasi. Seseorang bisa mengalami emosi positif, seperti gembira, bahagia, minat dan lain sebagainya. Sebaliknya, seseorang juga bisa mengalami emosi negatif, seperti sedih, marah, takut, dan lain sebagainya.

Dalam memutuskan suatu hal, emosi dikatakan tidak rasional dan harus dihindari. Idealnya, kita harus membuat keputusan secara sadar dengan melakukan analisa dari berbagai pilihan dan menimbang positif-negatif antara setiap alternatif.

***

Emosi pada manusia sangat penting dan berakar dalam dari perjalanan evolusi. Proses perkembangan otak hingga saat ini memakan waktu yang sangat lama. Sejak Homo sapiens muncul sekitar dua ratus ribu tahun yang lalu, banyak makhluk hidup yang telah muncul memiliki otak dengan berbagai kelebihan yang khusus.

Ikan telah mampu melakukan navigasi dengan medan magnet bumi dan burung dapat melakukannya dengan menggunakan rasi bintang berkat fungsi otaknya. Fungsi khusus bagi otak ini adalah sifat yang penting dalam survival menghadapi proses evolusi. Meskipun begitu, makhluk-makhluk ini tidak dapat merencanakan, menganalisa fenomena yang kompleks, atau juga menemukan alat untuk membantu kehidupan. Mereka adalah makhluk yang hidup hanya untuk hari ini saja. Mereka hidup dengan insting.

Evolusi otak rasional sangat berkembang pada spesies manusia. Hewan jenis manusia ini dapat melakukan refleksi bagaimana ia berpikir. Kita dapat berkontemplasi terhadap emosi sendiri, bahkan dapat mengakumulasi pengetahuan dan menganalisanya kembali untuk digunakan kembali pada hal-hal yang kita temui di masa selanjutnya. Perkembangan otak manusia dapat melakukan rasionalisasi terhadap stimuli yang ditangkap indera.

Seperti teknologi komputer keluaran terbaru, perkembangan desain otak rasional ini juga memiliki banyak error dan sering mengalami kecacatan. Oleh karena itu, kalkulator murahpun dapat melakukan penghitungan aritmatika lebih cepat daripada manusia umumnya. Kita juga sering tidak bisa membedakan antara korelasi dan sebab-akibat.

***

Di sisi seberang, otak emosional telah mengalami evolusi selama beberapa ratus tahun. Sejak nenek moyang manusia, sebelum manusianya sendiri ada, otak emosional ini telah mengalami adaptasi sesuai dengan seleksi alam. Otak emosional ini telah diuji sedemikian rupa sehingga dapat membuat keputusan yang sangat cepat berdasarkan informasi yang sangat terbatas.

Mari kita lihat proses mental yang dilakukan oleh Markus Horison, kiper timmas PSSI saat menghalau tendangan penalti. Tendangan penalti adalah waktu yang sangat kritis dalam pembuatan keputusan. Penalti berpengaruh sangat penting dalam hasil pertandingan sepak bola. Kecepatan tendangan penalti mencapai antara 100-130 kilometer per jam. Dengan jarak hanya 11 meter, bola bergerak dari titik penalti hingga ke gawang dalam waktu hanya 0,3-0,4 detik. (1)

Coba bayangkan dalam tempo sesingkat ini, setelah bola ditendang dari titik penalti, Markus harus memutuskan ke arah mana ia akan bergerak. Kira-kira seorang manusia membutuhkan 0,25 detik untuk menggerakkan ototnya sehingga tinggal 0,05-0,15 detik lagi untuk memutuskan ke arah mana Markus akan bergerak. Perhitungan ini juga perlu ditambahkan beberapa milidetik lagi untuk waktu informasi dari mata bisa sampai ke otak. Jadi bayangkan, dalam waktu 0,1 detik ini Markus harus memutuskan ke arah mana ia akan bergerak. Dalam kondisi yang sangat ideal sekalipun, otak membutuhkan 0,2 detik untuk merespon informasi yang didapatkan dari indera.

Keputusan ke arah mana Markus akan mengantisipasi bola penalti membutuhkan feeling, si otak emosional. Pada momen ini, otak Markus mulai mengumpulkan informasi tentang tendangan penalti pemain lawan ini jauh sebelum bola ditendang. Ketika pemain lawan sedang melakukan persiapan menendang bola, otak Markus mulai mengumpulkan informasi dan menangkap berbagai petunjuk untuk memperkecil kemungkinan ke arah mana pemain lawan akan menendang bolanya. Postur tubuh dan arah kaki menjadi petunjuk penting bagi Markus dalam menentukan ke arah mana ia akan bergerak. Bagaimana pemain lawan berlari menuju bola penalti menjadi petunjuk penting sesaat sebelum bola ditendang.

Di era modern, kiper melakukan studi dari video pertandingan sebelumnya. Statistik dan probabilitas kejadian dimunculkan dalam perhitungan. Akan tetapi pada akhirnya, kiper tidak mengandalkan video dan statistik untuk memutuskan bagaimana ia akan mengantisipasi tendangan penalti. Ia hanya menggunakan feeling-nya, otak emosionalnya. Arah kiri, kanan, atau tengah?

***

Dalam beberapa pengambilan keputusan, pendekatan emosional ternyata berfungsi lebih baik dibandingkan pendekatan rasional. Kita sering memutuskan suatu hal yang kita anggap benar tanpa mampu menjelaskan mengapa hal tersebut benar. Kita yakin itu benar, hanya tidak bisa menjelaskan secara rasional.

Pikiran rasional sebenarnya hanyalah sebagian kecil proses yang dilakukan oleh otak. Sebagian besar, apa yang kita pikirkan muncul dari emosi kita. Ada pikiran bawah sadar kita yang sebenarnya memproses informasi yang didapatkan dan akhirnya menghasilkan sejenis feeling yang merupakan suatu bentuk keputusan.

Kita menggunakan feeling secara otomatis dan sering terbukti berhasil. Belum ada komputer yang mampu melakukan hal ini. Ketika evolusi menentukan arah perkembangan otak manusia, feeling ini tidak digantikan oleh rasionalitas dan kontrol sadar otak manusia. Hasilnya, keputusan manusia sangat tergantung oleh pikiran primitif yang melandasinya. Proses berpikir membutuhkan feeling yang dapat diketahui tetapi tidak dapat dipahami secara langsung.

Oleh karena itu, Jonah Lehrer mengatakan dalam buku  How We Decide, “Pikiran tanpa emosi adalah impoten.”

Inspirasi :