Who Were the Denisovans?
2 September 2012
Denisova (juga) Nenek Moyang Kita
Who Were the Denisovans?
24 Januari 2011
Celotehan tentang Evolusi Manusia (2) : Genetika
Setelah memposting tulisan saya terakhir, sungguh sebuah kebetulan beberapa hari selanjutnya, saya malah mengikuti sebuah diskusi menarik mengenai Asal Usul Manusia di Freedom Institute. Sebagai pembicara ketika itu adalah Prof. Sangkot Marzuki, Direktur Lembaga Eijkman di Jakarta. Pak Sangkot sendiri secara pribadi adalah seorang peneliti di bidang Biologi Molekuler yang sangat produktif mengeluarkan publikasi ilmiah.
Saya sendiri merasa bangga dengan peneliti Indonesia setelah mendegarkan penjelasan di diskusi kemarin. Ternyata Lembaga Eijkman di bawah kepemimpinan Pak Sangkot sangat aktif di bidang penelitian Biologi Molekuler. Salah satu fokus bidang penelitian Lembaga Eijkman adalah keragaman genom manusia (Human Genome Diversity) yang terkait dengan evolusi manusia. Tahun 2006 lalu, Lembaga Eijkman mengadakan seminar mengenai evolusi manusia mengundang Prof. Svante Pääbo dari Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology Leipzig, Jerman.
***
Prof. Svante Pääbo bisa dikatakan sebagai seorang selebriti di bidang evolusi manusia. Ia adalah salah satu tokoh yang memulai penelitian di bidang paleogenetika, sebuah cabang ilmu yang menggunakan genetika untuk mempelajari spesies yang telah punah. Bulan Mei 2010 lalu, ia mempublikasikan hasil studi pemetaan genom Homo neanderthal. Selain itu, studi ini juga menghasilkan kesimpulan bahwa sebagian genom manusia modern (Homo sapiens) non-Afrika berasal dari manusia purba Homo neanderthal.
Sebelum penelitian tentang keterkaitan genom manusia purba dan manusia modern ini dipublikasikan, teori Out of Afrika merupakan teori yang paling diterima mengenai asal usul manusia modern. Teori ini menyatakan bahwa manusia modern memiliki satu asal usul yang sama yang berasal dari Afrika. Sekitar 60 ribu tahun yang lalu, sekelompok kecil manusia modern ini meninggalkan Afrika dan menyebar ke seluruh dunia menggantikan populasi manusia purba di seluruh dunia.
Pada 1-2 juta tahun yang lalu, manusia purba juga berasal dari Afrika dan menyebar ke seluruh dunia. Populasi manusia purba Homo neanderthal menyebar di Eropa dan Asia Tengah dan Barat sebelumnya. Populasi Homo erectus menyebar hingga ke Asia Timur dan Tenggara (Jawa). Penyebaran manusia modern Homo sapiens dari Afrika sekitar 60 ribu tahun yang lalu membuat populasi Homo neanderthal dan Homo erectus tergusur oleh manusia modern ini.
Berdasarkan hasil studi tahun 2010 ini, maka Pääbo menyimpukan bahwa Homo sapiens tidak menggantikan secara keseluruhan Homo neanderthal, melainkan juga melakukan perkawinan. Proses kawin mawin terjadi setelah sebagian kecil populasi Homo sapiens ini bermigrasi meninggalkan Afrika. Hasilnya adalah manusia modern di luar Afrika dengan materi genetik yang bercampur dan berkembang biak hingga saat ini. Di Afrika sendiri, manusia modern memiliki genom murni yang tidak bercampur oleh genom Homo neanderthal.
Hasil ini memunculkan pertanyaan seputar kemanusiaan yang semakin kompleks. Apakah Homo sapiens dan Homo neanderthal adalah spesies yang sama? Kalau tidak sama, lantas mengapa keturunan campuran ini dapat berkembang biak? Padahal dua individu dikatakan satu spesies kalau perkawinan lawan jenisnya menghasilkan keturunan yang mampu berkembang biak kembali.
Belum lagi kita masuk ke ranah filsafat, di mana batas-batas ‘kemanusiaan’ itu sendiri? Apakah sebenarnya perbedaan Homo sapiens dengan Homo neanderthal tidak lain hanya perbedaan budaya saja? Bedanya populasi yang satu sintas (survive), sedang yang lain punah. Itu mungkin pertanyaan yang muncul dan perlu dijawab selanjutnya..
***
Penelitian mengenai evolusi dan penyebaran manusia (anthropogeny) memang berkembang sangat pesat dan dinamis. Kalau sebelumnya pengembangan teori penyebaran manusia hanya mengandalkan bukti fosil dan arkeologi, aplikasi teknologi genetika mendorong pesat perkembangan penelitian di bidang ini.
Teknologi genetika sendiri sebelumnya juga sangat terbatas. Teknologi sebelumnya hanya menggunakan materi genetik pada makhluk hidup saja. Saat ini, teknologi sampling materi genetik juga dapat dilakukan pada makhuk yang telah mati ratusan ribu tahun yang lalu. Penelitian paleogenetika telah menggunakan teknik baru ini dan berhasil mengeksplorasi banyak hal seperti yang dilakukan oleh Pääbo.
Bukan saja untuk melihat masa lalu, teknologi genetika sendiri mengizinkan kita menengok proses evolusi yang sedang terjadi pada garis keturunan beserta kita di dalamnya. Dengan uji genetika personal yang saat ini semakin menjamur, kita bisa mengetahui urutan genom kita dengan harga terjangkau dalam waktu cepat. Menurut Pak Sangkot, saat ini kita bisa mengetahui urutan genom kita di Australia dengan hanya seribu dolar saja. Informasi dalam artikel ini membuat membuat saya sangat terkesan dengan komersialisasi bisnis uji genetika personal.
Lebih gila lagi, kemampuan manusia telah mencapai tahapan, bukan hanya mempelajari saja, tetapi juga merekayasa genetika dan mengarahkan evolusi manusia di masa depan. Penciptaan kehidupan buatan oleh Craig Venter tahun 2010 kemarin juga membuka mata kita bahwa di masa depan manusia akan mampu membangun materi genetiknya sendiri.
Apakah dengan berbagai hal baru ini, populasi manusia lantas akan sintas (survive) seperti dalam jargon survival of the fittest? Saya rasa saya makin yakin..
Reference:
Neanderthal genes 'survive in us'
The personal genetic-testing industry is under fire…
31 Desember 2010
Apakah itu Rasionalitas?
Pada tulisan sebelumnya telah disinggung bahwa pikiran manusia tidak seluruhnya rasional. Bahkan, rasionalitas sebenarnya hanya mendapatkan porsi kecil dalam seluruh pikiran manusia. Karena rasionalitas berkembang paling akhir dalam evolusi, cara berpikir ini memiliki banyak keterbatasan. Meskipun begitu, rasionalitas berhasil menyukseskan manusia dari panggung kehidupan di bumi.
Apa itu rasionalitas? Rasionalitas sering dikatakan sebagai proses berpikir yang menggunakan logika atau akal. Cara berpikir ini khusus dimiliki oleh manusia saja. Menurut Plato, rasio dan emosi selalu bertentangan satu sama lain dalam pikiran manusia. Ketika rasio menang, maka kita dapat mengendalikan diri kita dan hidup dalam kebahagiaan dan harmoni. Menurutnya lagi, rasionalitas membuat manusia berpikir layaknya dewa-dewi; ketika manusia berpikir rasional, maka ia menyerupai dewa.
Pusat rasionalitas dalam otak terletak pada korteks prefrontal. Tanpa bagian paling luar dari lobus frontalis ini, manusia bukan merupakan makhluk rasional. Korteks prefrontal sangat berkembang pada manusia. Bila dibandingkan dengan primata lain atau nenek moyang manusia, perbedaan yang paling jelas adalah membesarnya bagian depan otak ini. Sepupu kita, Homo neanderthal, bisa jadi memiliki volume otak yang lebih besar daripada manusia modern, tetapi spesies ini masih memiliki korteks prefrontal mirip dengan simpanse. Oleh karena itu, Homo neanderthal tidak memiliki apa yang dimiliki oleh Homo sapiens: pikiran rasional.
Perkembangan evolusi otak manusia sejalan dengan hubungan antara kematangan pikiran dan usia manusia. Bagian otak pertama yang terbentuk pada evolusi adalah area korteks motor dan batang otak. Kedua area ini juga merupakan bagian yang pertama kali matang pada anak dan berfungsi secara penuh ketika masa pubertas. Di sisi lain, bagian yang secara evolusi terbentuk belakangan, seperti misalnya lobus frontalis, juga baru matang ketika masa remaja berakhir.
Proses perkembangan otak yang bertahap ini yang menjelaskan mengapa perilaku remaja lebih berisiko dan impulsif dibandingkan manusia dewasa. Pandangan bahwa keterlibatan dalam tindak kriminal akan bekurang seiring dengan pertambahan usia adalah salah satu pandangan tertua sekaligus paling diterima dalam kriminologi. Dalam sejumlah bentuk kejahatan, terutama yang dikategorikan serius, proporsi populasi yang terlibat cenderung memuncak pada usia remaja atau awal dewasa, dan setelah itu menurun seiring dengan pertambahan usia. (1)
Beberapa penelitian oleh neurosaintis menunjukkan bahwa nucleus accumbens, bagian otak yang berkaitan dengan mekanisme rewards (seperti misalnya seks, narkoba, dan dugem) secara signifikan lebih aktif dan matang pada otak remaja dibandingkan korteks prefrontal yang bertugas menahan godaan-godaan ini. Jadi, para remaja membuat berbagai keputusan yang konyol memang karena mereka kurang rasional.
***
Mengapa banyak trader saham tetap mempertahankan saham yang harganya jatuh dan menyebabkan kerugian besar? Para trader mempertahankan saham-saham ini hingga bertahun-tahun dan tidak mau merealisasikan kekalahannya. Para trader berharap akan harga saham-saham ini akan naik lagi, minimal mencapai nilainya semula. Entah kapan.
Dalam perspektif yang rasional, kerugian seharusnya secepatnya direalisasikan agar sisa modal bisa digunakan lagi untuk peluang investasi lain yang lebih menjanjikan. Artinya, saham yang merugi harus segera dijual untuk mendapatkan dana tunai. Tapi secara emosional, terlalu menyakitkan untuk merasakan kerugian. Akhirnya, portofolio tahunan saham para trader ini adalah saham-saham yang nilainya telah turun selama bertahun-tahun.
Fenomena ini diamati dalam ekonomi perilaku (Behavioural economics) dalam topik yang dikenal sebagai loss aversion. Istilah ini diperkenalkan oleh Daniel Kahneman and Amos Tversky pada tahun 1979. Inti penemuan ini adalah bahwa kehilangan uang 1 juta rupiah lebih mempengaruhi level kebahagiaan anda dibandingkan mendapatkan uang 1 juta rupiah. Dengan kata lain, kita lebih emosional dengan situasi kehilangan sesuatu dibandingkan dengan situasi mendapatkan sesuatu.
Bagi orang yang mengalami loss aversion, ia menjadi terikat dengan objek secara emosional dan cenderung memilih situasi tidak merugi (tidak menjual saham), meskipun mendapatkan sesuatu (dana tunai). Sebaliknya, bagi orang yang rasional akan segera menjual saham yang merugi dan mendapatkan dana tunai.
Jadi di mana sebenarnya fungsi rasionalitas pada kasus ini? Untuk meneliti loss aversion dalam perspektif neurosains, beberapa peneliti menggunakan mesin fMRI untuk mempelajari bagian otak yang aktif dalam situasi ini. Ternyata orang yang berada situasi ini, bagian amigdala pada otaknya menjadi aktif. Amigdala ini adalah bagian otak yang ketika aktif, akan menghasilkan perasaan negatif. Ketika orang merasa akan kehilangan sesuatu, maka area amigdalanya akan aktif secara otomatis. Oleh karena itu, kita sangat membenci kekalahan.
Hal yang mengejutkan didapatkan pada orang rasional yang tidak mengalami loss aversion. Ternyata bagian amigdala pada orang rasional juga sama-sama aktif pada level yang sama. Semua orang normal, baik rasional maupun tidak, ternyata mengalami bias emosi terhadap kerugian.
Perbedaannya adalah pada orang yang rasional ada bagian otak lainnya yang aktif. Bagian korteks prefontal yang mengatur rasionalitas menjadi aktif pada situasi ini. Semakin bagian korteks prefrontal ini menjadi aktif, semakin meningkat kemampuan seseorang mengalahkan perasaan irrasional dan menyadari situasi yang dialaminya secara jernih. Menurut Benedetto De Martino, neurosaintis yang memimpin penelitian, ”Orang yang lebih rasional tidak kurang emosional dibandingkan orang lain. Mereka hanya mampu mengendalikan perasaannya secara lebih baik.”
Jadi bagaimana kita mengendalikan emosi kita? Jawabannya adalah dengan memikirkan emosi yang bersuara di kepala kita. Otak (korteks prefrontal) mengizinkan kita untuk berkontemplasi, memikirkan kembali apa yang kita rasakan dan pikirkan. Bakat psikologis ini biasa disebut metacognition.
Setiap perasaan emosi muncul dengan kesadaran bersamanya. Kesadaran ini membuat seseorang bisa memikirkan mengapa ia memiliki perasaan yang dirasakannya itu. Bila perasaan ini tidak masuk akal, orang ini bisa mengacuhkan perasaan ini. Jadi otak bisa memilih apakah ia akan menuruti emosi yang sedang dirasakan atau mengacuhkannya saja.
Hal ini sesuai dengan sebuah ide penting yang pernah ditulis oleh Aristoteles. Dalam Nicomachean Ethics, Aristoteles mengatakan bahwa kunci untuk memupuk kebajikan adalah dengan mengelola nafsu dalam diri. Menurutnya lagi, “Semua orang bisa saja marah, itu mudah. Tapi bagaimana marah pada orang yang tepat, dengan tingkat kemarahan yang tepat, pada waktu yang tepat, untuk tujuan yang tepat, dan dalam cara yang tepat, itu tidak mudah.”
Jadi, apakah kita akan mengikuti emosi yang sedang kita rasakan atau mengacuhkannya saja? Mari kita tanyakan kepada rasio kita..
Inspirasi :