Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya “Celotehan tentang Membuat Keputusan dan Neurosains.”
“Jangan membuat keputusan emosional. Keputusan harus dibuat dengan kepala dingin”, kata beberapa orang bijak yang pernah saya temui. Pernyataan ini merupakan nasihat umum yang sering dilontarkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Apa sebenarnya emosi?
Emosi sering dihubungkan sebagai feeling, mood, temperamen, kepribadian, atau bisa juga motivasi. Seseorang bisa mengalami emosi positif, seperti gembira, bahagia, minat dan lain sebagainya. Sebaliknya, seseorang juga bisa mengalami emosi negatif, seperti sedih, marah, takut, dan lain sebagainya.
Dalam memutuskan suatu hal, emosi dikatakan tidak rasional dan harus dihindari. Idealnya, kita harus membuat keputusan secara sadar dengan melakukan analisa dari berbagai pilihan dan menimbang positif-negatif antara setiap alternatif.
***
Emosi pada manusia sangat penting dan berakar dalam dari perjalanan evolusi. Proses perkembangan otak hingga saat ini memakan waktu yang sangat lama. Sejak Homo sapiens muncul sekitar dua ratus ribu tahun yang lalu, banyak makhluk hidup yang telah muncul memiliki otak dengan berbagai kelebihan yang khusus.
Ikan telah mampu melakukan navigasi dengan medan magnet bumi dan burung dapat melakukannya dengan menggunakan rasi bintang berkat fungsi otaknya. Fungsi khusus bagi otak ini adalah sifat yang penting dalam survival menghadapi proses evolusi. Meskipun begitu, makhluk-makhluk ini tidak dapat merencanakan, menganalisa fenomena yang kompleks, atau juga menemukan alat untuk membantu kehidupan. Mereka adalah makhluk yang hidup hanya untuk hari ini saja. Mereka hidup dengan insting.
Evolusi otak rasional sangat berkembang pada spesies manusia. Hewan jenis manusia ini dapat melakukan refleksi bagaimana ia berpikir. Kita dapat berkontemplasi terhadap emosi sendiri, bahkan dapat mengakumulasi pengetahuan dan menganalisanya kembali untuk digunakan kembali pada hal-hal yang kita temui di masa selanjutnya. Perkembangan otak manusia dapat melakukan rasionalisasi terhadap stimuli yang ditangkap indera.
Seperti teknologi komputer keluaran terbaru, perkembangan desain otak rasional ini juga memiliki banyak error dan sering mengalami kecacatan. Oleh karena itu, kalkulator murahpun dapat melakukan penghitungan aritmatika lebih cepat daripada manusia umumnya. Kita juga sering tidak bisa membedakan antara korelasi dan sebab-akibat.
***
Di sisi seberang, otak emosional telah mengalami evolusi selama beberapa ratus tahun. Sejak nenek moyang manusia, sebelum manusianya sendiri ada, otak emosional ini telah mengalami adaptasi sesuai dengan seleksi alam. Otak emosional ini telah diuji sedemikian rupa sehingga dapat membuat keputusan yang sangat cepat berdasarkan informasi yang sangat terbatas.
Mari kita lihat proses mental yang dilakukan oleh Markus Horison, kiper timmas PSSI saat menghalau tendangan penalti. Tendangan penalti adalah waktu yang sangat kritis dalam pembuatan keputusan. Penalti berpengaruh sangat penting dalam hasil pertandingan sepak bola. Kecepatan tendangan penalti mencapai antara 100-130 kilometer per jam. Dengan jarak hanya 11 meter, bola bergerak dari titik penalti hingga ke gawang dalam waktu hanya 0,3-0,4 detik. (1)
Coba bayangkan dalam tempo sesingkat ini, setelah bola ditendang dari titik penalti, Markus harus memutuskan ke arah mana ia akan bergerak. Kira-kira seorang manusia membutuhkan 0,25 detik untuk menggerakkan ototnya sehingga tinggal 0,05-0,15 detik lagi untuk memutuskan ke arah mana Markus akan bergerak. Perhitungan ini juga perlu ditambahkan beberapa milidetik lagi untuk waktu informasi dari mata bisa sampai ke otak. Jadi bayangkan, dalam waktu 0,1 detik ini Markus harus memutuskan ke arah mana ia akan bergerak. Dalam kondisi yang sangat ideal sekalipun, otak membutuhkan 0,2 detik untuk merespon informasi yang didapatkan dari indera.
Keputusan ke arah mana Markus akan mengantisipasi bola penalti membutuhkan feeling, si otak emosional. Pada momen ini, otak Markus mulai mengumpulkan informasi tentang tendangan penalti pemain lawan ini jauh sebelum bola ditendang. Ketika pemain lawan sedang melakukan persiapan menendang bola, otak Markus mulai mengumpulkan informasi dan menangkap berbagai petunjuk untuk memperkecil kemungkinan ke arah mana pemain lawan akan menendang bolanya. Postur tubuh dan arah kaki menjadi petunjuk penting bagi Markus dalam menentukan ke arah mana ia akan bergerak. Bagaimana pemain lawan berlari menuju bola penalti menjadi petunjuk penting sesaat sebelum bola ditendang.
Di era modern, kiper melakukan studi dari video pertandingan sebelumnya. Statistik dan probabilitas kejadian dimunculkan dalam perhitungan. Akan tetapi pada akhirnya, kiper tidak mengandalkan video dan statistik untuk memutuskan bagaimana ia akan mengantisipasi tendangan penalti. Ia hanya menggunakan feeling-nya, otak emosionalnya. Arah kiri, kanan, atau tengah?
***
Dalam beberapa pengambilan keputusan, pendekatan emosional ternyata berfungsi lebih baik dibandingkan pendekatan rasional. Kita sering memutuskan suatu hal yang kita anggap benar tanpa mampu menjelaskan mengapa hal tersebut benar. Kita yakin itu benar, hanya tidak bisa menjelaskan secara rasional.
Pikiran rasional sebenarnya hanyalah sebagian kecil proses yang dilakukan oleh otak. Sebagian besar, apa yang kita pikirkan muncul dari emosi kita. Ada pikiran bawah sadar kita yang sebenarnya memproses informasi yang didapatkan dan akhirnya menghasilkan sejenis feeling yang merupakan suatu bentuk keputusan.
Kita menggunakan feeling secara otomatis dan sering terbukti berhasil. Belum ada komputer yang mampu melakukan hal ini. Ketika evolusi menentukan arah perkembangan otak manusia, feeling ini tidak digantikan oleh rasionalitas dan kontrol sadar otak manusia. Hasilnya, keputusan manusia sangat tergantung oleh pikiran primitif yang melandasinya. Proses berpikir membutuhkan feeling yang dapat diketahui tetapi tidak dapat dipahami secara langsung.
Oleh karena itu, Jonah Lehrer mengatakan dalam buku How We Decide, “Pikiran tanpa emosi adalah impoten.”
Inspirasi :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar