7 Desember 2010

Celotehan tentang Membuat Keputusan dan Neurosains

Banyak keputusan yang harus kita buat dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari yang sederhana macam pilihan warna busana kita pagi ini, sampai hal yang lebih rumit seperti pria/wanita mana yang mau kita nikahi. Sering pula berbagai keputusan penting harus dibuat sangat cepat antara hidup dan mati.

Silakan dibayangkan. Saat Anda mengemudi mobil dalam kecepatan tinggi dalam tol yang padat, sebuah mobil lain tiba-tiba mengambil jalur Anda dari samping. Anda memutuskan menghindari si mobil pengambil jalur ini dengan cara membelokkan setir secara mendadak pula ke jalur lain. 

3701-004344, VEER John Churchman /Collection Mix: Subjects

Dalam tempo sepersekian detik, mengapa Anda memutuskan membelokkan setir? Bagaimana kalau ada mobil di jalur lain yang Anda potong itu? Mengapa tidak mengerem mendadak? Tapi ada potensi juga Anda mengalami tabrak belakang oleh mobil di belakang anda.

Mengapa kita bisa jadi mengambil keputusan lain pada kejadian sejenis pada waktu lain? Kita berharap bahkan keputusan yang mendadak diambil berhasil menghindarkan dari hal buruk. Dan moga-moga bukan karena keberuntungan belaka.

***

Pertanyaan seputar pembuatan keputusan telah muncul sejak ribuan tahun lalu dalam bermacam perspektif. Proses pembuatan keputusan sendiri adalah sebuah proses dalam pikiran kita. Ia melakukan pilihan dari beberapa alternatif. Dan setiap keputusan pasti menghasilkan satu pilihan akhir.

Sebelum neurosains berkembang, cara otak bekerja dan pikiran belum diketahui secara langsung. Pada masa sebelumnya, penelitian bagaimana manusia membuat keputusan hanya dapat dilakukan dengan mengamati perilaku manusia dari luar. Para pemikir seperti Plato dan Descartes melakukan pengamatan dan mengajukan beberapa teori tentang pikiran yang sangat penting.

Sejak jaman Yunani kuno abad ke-4 SM, Plato berasumsi bahwa manusia adalah rasional. Ketika kita membuat keputusan, kita harus secara sadar melakukan analisa dari berbagai pilihan dan menimbang positif-negatif antara setiap alternatif. Dengan kata lain, manusia ideal adalah makhluk yang logis dan melakukan sesuatu setelah berpikir dalam.

Asumsi ini menjadi pondasi dari ekonomi modern dan mendorong penelitian tentang sains tentang cara pikiran bekerja. Sejalan dengan waktu, rasionalitas mendefinisikan manusia. Kita berasumsi manusia yang terbaik adalah manusia yang paling rasional. Dan manusia yang makin tidak rasional, makin mirip dengan hewan.

Sebelum neurosains berkembang, kita melakukan dikotomi emosinal-rasional dan mengutamakan rasionalitas dalam pikiran. Kita memilih mengandalkan data statistik dan meninggalkan feeling;  ada persaingan antara Id dan Ego ala Freud; dan perkelahian antara otak reptil melawan lobus frontal kita ala MacLean.

***

Setelah berbagai penelitian neurosains tentang otak, ternyata asumsi manusia tentang rasionalitas dan cara otak bekerja adalah salah. Coba bayangkan kembali tentang keputusan Anda tadi ketika membelokkan setir mendadak saat mobil lain mengambil jalur mobil Anda. Tidak ada waktu untuk berpikir logis dan mendalam, keputusan yang Anda lakukan hanya berdasarkan feeling semata.

Manusia ternyata tidak didesain sebagai makhluk yang rasional. Pikiran kita tersusun dari jaringan yang semrawut tentang berbagai macam hal. Banyak bagian dari jaringan ini bertanggung jawab dalam proses pembentukan emosi. Ketika manusia membuat keputusan, otak terombang-ambing dalam perasaan dan dikendalikan dalam hasrat yang tidak mampu dijelaskan. Bahkan ketika kita berusaha untuk bertindak rasional dan logis, impuls emosional secara tidak sadar mempengaruhi keputusan kita.

Penelitian tentang pembuatan keputusan ujung-ujungnya ada dalam pikiran manusia. Cabang ilmu neurosains telah berkembang sangat pesat dalam rentang waktu seabad ini. Rahasia otak manusia sedikit demi sedikit mulai dapat kita ungkap. Berbagai kajian tentang pikiran, nafsu, spiritual, kesadaran (jiwa), hingga kehidupan (ruh) dapat dilakukan pendekatan melalui neurosains.

neuroscience.es

Perkembangan neurosains mengungkap bahwa pengambilan keputusan yang baik ternyata membutuhkan menggunakan dua sisi pikiran kita ini: emosi yang tidak teratur dan impulsif dan rasio yang teratur dan mampu menjelaskan. Keduanya memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing dan saling komplementer.

Ada keputusan yang harus dibuat secara rasional, ada pula yang harus dibuat secara emosional. Tidak ada solusi universal dalam pembuatan keputusan. Kehidupan nyata ini terlalu kompleks. Sebagai hasilnya, seleksi alam memberikan bakat pada otak kita untuk menjadi pluralis. Manusia dengan otak yang kurang pluralis secara evolusi tidak fit dan telah punah sejak dulu karena tidak mampu beradaptasi dengan kompleksitas kehidupan.

Dalam membuat keputusan, terkadang kita perlu memikirkan semua alternatif dan mempertimbangkannya secara matang. Tetapi terkadang, kita juga perlu memutuskan dengan mendengarkan feeling kita saja. Rahasianya adalah mengetahui gaya berpikir yang mana yang perlu kita jalani dalam memutuskan berbagai macam hal yang berbeda.

Jadi, kehebatan manusia sesungguhnya adalah mampu memikirkan bagaimana ia berpikir dan bagaimana seharusnya ia berpikir. Dan ini baru permulaan..

(bersambung)

 

Inspirasi :

Tidak ada komentar: