23 Mei 2010

Dan Manusia Menciptakan Kehidupan

Proses penciptaan kehidupan adalah ranah ketuhanan. Kita selalu berpikir ada sesuatu yang lebih di dalam sesuatu yang hidup selain atom-atom penyusunnya yang saling berinteraksi satu sama lain. Ada sesuatu yang kita sebut ruh atau nyawa yang merupakan daya hidup yang ditiupkan Tuhan saat sesuatu dibangkitkan dari materi yang mati menjadi kehidupan. Apa jadinya kalau manusia menemukan cara menciptakan kehidupan dari materi yang mati? Apakah dengan ini manusia mengambil alih hak penciptaan kehidupan dari Tuhan?

Hal ini menjadi pertanyaan filsuf, pakar bioetika, saintis, dan orang-orang lain yang peduli ketika dua orang biolog, Craig Venter dan Hamilton Smith berhasil menciptakan kehidupan dari benda-benda yang mati. Mereka berhasil membiakkan bakteri yang mampu bereproduksi secara mandiri dari materi genetik yang disintesis sendiri di laboratorium mereka. Mereka menciptakan kehidupan sintesis.

imageSetelah 15 tahun melakukan riset puluhan jutaan dolar, beberapa hari yang lalu Venter dan Smith mengumumkan telah melakukan sintesis kehidupan pertama kali. Perkembangan penelitian ini telah diamati oleh publik selama lebih dari satu dekade dengan beberapa keberhasilannya, mulai dari penemuan pertama kali urutan utuh DNA dari makhluk hidup (bakteri), kemudian penemuan urutan utuh DNA manusia pertama (DNA milik Venter sendiri), hingga saat ini adalah penemuan sintesis kehidupan.  Selama periode ini, karier Craig Venter sendiri mengalami pasang surut, mirip dengan perkembangan penelitiannya panjangnya ini. Ia berpindah ke berbagai pusat penelitian, dan akhirnya memulai sendiri pusat penelitiannya.

 

Penemuan sintesis kehidupan ini mungkin terlaksana berkat kemajuan bioteknologi yang sangat pesat. Proses sequencing (mengurutkan) dan sintesis DNA  semakin cepat sehingga mempersingkat waktu penelitian. Di samping itu, biaya sequencing dan sintesis DNA ini juga menurun selama satu dekade terakhir. Mungkin hal ini dapat dijelaskan dengan Hukum Gordon Moore dalam kepesatan perkembangan teknologi komputer. Pengembangan bakteri buatan ini sendiri melibatkan satu juta pasang basa DNA sintesis, sekitar seratus kali lebih panjang dari sintesis virus polio yang dilakukan oleh Eckard Wimmer pada tahun 2002.

Banyak kritik yang berkembang menanggapi klaim penciptaan kehidupan ini. Ada beberapa saintis yang mengkritik mengenai keabsahan metode dan teknik penelitian Venter. Ada pula kritik yang menyangkal bahwa penemuan ini dapat dikatakan dengan istilah “penciptaan kehidupan”. Halaman depan majalah The Economist minggu ini mengatakan, “Pedants may quibble..” (artinya silakan cari sendiri ya). Memang benar bahwa penemuan ini hanya menggantikan seluruh informasi genetik dalam bakteri, sedangkan spare part lain untuk menjalankan proses kehidupan pertama kali pembentukannya diambil dari “cangkang” bekas makhluk hidup yang telah mati.

Meskipun begitu, dengan kemampuan kehidupan buatan manusia ini bereproduksi secara mandiri, menurut saya istilah “sintesis kehidupan” adalah tepat. Keberhasilan bereproduksi secara mandiri menunjukkan bahwa informasi genetis hasil sintesis dapat mereplikasi kehidupan selanjutnya. Hal ini berarti makhluk baru ini telah berhasil membuat spare part baru untuk para keturunannya. Di samping itu, penelitian tentang produksi spare part sel juga telah berkembang dengan baik. Tahun lalu, George Church dari Harvard University telah berhasil menciptakan ribosom buatan yang merupakan pabrik spare part di dalam sel.

***

Kalau boleh didramatisir, cara kita memandang diri kita dan dunia tempat kita hidup ini akan berbeda setelah penemuan cara menciptakan kehidupan. Pada novel terkenal jaman dulu, Victor Frankenstein dibuat dari spare part dari tubuh orang mati yang kemudian dialirkan kilat untuk memberikan ruh kehidupan. Di masa depan, mungkin blue print kehidupan akan disusun dalam sebuah software komputer untuk kemudian dapat dicetak menjadi kehidupan sebenarnya. Software Microsoft Life atau Adobe DNAmaker bisa jadi akan siap dipasarkan kurang dari satu dekade lagi.

image

Dari sudut kualitas kemanusiaan, taraf kehidupan kita akan berubah secara drastis. Sintesis kehidupan memindahkan babak perkembangan kemanusiaan dari era teknologi informasi ke  era bioteknologi. Di masa depan, kita akan melihat berbagai fenomena yang terjadi miliaran tahun dapat dipersingkat prosesnya menjadi beberapa tahun, bulan, hari, bahkan jam saja. Kalau perut bumi mampu memproduksi minyak bumi selama puluhan juta tahun, bakteri artifisial di masa depan mungkin hanya membutuhkan beberapa jam saja untuk membuat minyak solar dari bakteri. Kalau kehidupan terus menemukan model yang sesuai dengan lingkungan dalam empat miliar tahun melalui mekanisme evolusi, manusia menemukan hal ini hanya beberapa waktu saja.

Saya jadi membayangkan berbagai implikasi sebagai akibat penemuan ini. Sisi positifnya adalah  sumber energi tidak lagi diperebutkan dengan produksi energi alternatif yang berlimpah; zat pencemar dapat terurai dengan mudah dengan bioremediasi modern; perubahan iklim dapat diatasi dengan perkembangan revolusi hijau; teknologi kesehatan akan bertambah baik dan murah, meneruskan perkembangan pengetahuan immunologi, endotel, dan rekayasa genetika; ekonomi akan menemukan definisi baru, ia bukan lagi studi tentang scarce resources allocation melainkan abundant resources allocation. Mengenai penemuan ini, saya jadi ingat teknologi replikator makanan di seri Startrek. Tinggal katakan makanan apa yang kita inginkan, maka makanan ini akan keluar dari mesin ini. Kalau teknologi seperti itu sudah berhasil ditemukan, apa lagi fungsi uang?

image

Meskipun begitu, sisi negatif – atau setidaknya potensi negatif – tetap mengekor pada lompatan inovasi macam ini. Penemuan sintesis kehidupan akan mirip dengan penemuan nuklir. Ia juga memiliki potensi mengancam kemanusiaan, salah satunya dengan potensi pengembangan bentuk senjata biologis baru. Teroris atau hacker muda yang serampangan bisa jadi menciptakan senjata biologis baru yang berbahaya. Resiko kecelakaan akibat ketidaksengajaan, misalnya makhuk hidup baru ini tidak sengaja lolos dari laboratorium, juga mungkin terjadi meskipun resikonya dapat ditekan menjadi semakin rendah.

Resiko berbahaya akibat teknologi sintesis kehidupan ini bisa ditangani dengan peraturan yang ketat seperti perlakuan internasional terhadap teknologi nuklir. Saat ini untuk menanggapi penemuan ini, Presiden AS telah meminta komisi bioetika di pemerintahannya untuk melakukan kajian lengkap selama enam bulan mengenai teknologi sintesis kehidupan. Sebagai alternatif, dengan berkembangnya era keterbukaan, kebijakan open source dapat jauh lebih ramah terhadap lompatan inovasi. Open source akan membuat perkembangan penemuan berguna menjadi tidak terhambat untuk mencegah resiko penemuan berbahaya.

***

Dari sudut pandang filosofis, konsep kehidupan kembali dapat dipertanyakan. Apakah kehidupan biologis itu mekanik sama seperti mekanika Newton? Dengan kemampuan menciptakan kehidupan, apakah kita akan berpandangan kehidupan biologis semakin dapat diprediksi dan tentunya dimanipulasi? Kalau dulu evolusi mengambil alih perkembangan kehidupan melalui mekanisme mutasi dan seleksi alam, penemuan sintesis kehidupan ini memindahkan mekanisme kendali alam ke mekanisme tangan manusia. Yang pasti, kajian bioetika akan semakin marak dengan adanya penemuan ini. Dan juga kita akan menunggu perdebatan macam Harun Yahya terhadap evolusinya.

Bagaimana dengan konsep ketuhanan? Penemuan sintesis kehidupan akan mendefinisikan kembali konsep ketuhanan, seperti sejarah penemuan teknologi lainnya yang terus meredefinisi konsep ketuhanan. Istilah “Playing God” tertulis dalam berbagai komentar dan kritik terhadap penemuan teknologi ini, seperti dulu ketika pemahaman heliosentris dan nuklir berkembang.  Entah bagaimana konsep ketuhanan nanti akhirnya, tapi yang pasti ia akan terus berubah seiring dengan waktu.

Dahulu kala, ketika manusia masih tergantung dengan alam, benda-benda yang menentukan hajat hidup manusia dipertuhan. Kita mengenal era Dewa matahari di masyarakat pertanian, Dewa bulan di masyarakat penggembala padang pasir, dan Dewa sungai, gunung, atau hutan pada masyarakat yang tinggal dekat tempat-tempat ini. Dan ketika manusia mulai dapat mengendalikan alam, manusia membangun konsep keilahian untuk menjelaskan berbagai fenomena yang tidak dapat dijelaskan. Tuhan menjadi pencipta dan pengatur yang terlibat langsung dengan dengan kehidupan di dunia.

Saat ini, makin banyak fenomena yang mampu dijelaskan oleh manusia. Dengan penemuan ini saja, fenomena kehidupan yang dulu merupakan urusan ketuhanan telah diketahui mekanismenya oleh manusia. Jadi ke mana konsep ketuhanan akan mengarah? Mungkin saja atheisme akan menjamur dengan banyaknya orang yang menyerah terhadap ketuhanan. Meskipun begitu, tetap saja banyak manusia yang membutuhkan spiritualitas, menyerahkan sesuatu yang tidak ia pahami atau mampu lakukan terhadap ‘sesuatu’ yang didefinisikan Tuhan.

Mungkin pemahaman ketuhanan akan bergerak ke arah transendensi. Tuhan yang tidak bisa dideteksi oleh indera, tidak terpikirkan oleh akal logika rasional, dan tidak tercakup imajinasi manusia. Tuhan yang tidak begini dan tidak begitu, tidak ada yang menyerupai-Nya. Dengan begini, maka Tuhan yang tidak terlibat dengan dunia. Mungkin seperti kata Ibnu Rusydi menanggapi kritik Al-Ghazali terhadap filsuf: Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang kecil. Mungkin Dia menyerahkannya kepada manusia.

16 Mei 2010

Buku Anekdot tentang Globalisasi

Globalisasi itu sangat kompleks. Makanya, kalau ada orang yang mau tahu bagaimana T-shirt berpartisipasi dalam globalisasi, mestinya orang ini cukup ajaib, kalau tidak setengah gila. Tapi ternyata Pietra Rivoli adalah seorang yang cukup ajaib untuk mencari tahu tentang perjalanan T-shirt miliknya dari berkeliling dunia mulai dari proses produksi bahan baku hingga hancurnya benda miliknya ini. Dan karena dirinya tidak sepenuhnya gila, Rivoli menuliskan pengalaman pencariannya ini pada tahun 2005 ke dalam sebuah buku yang berjudul “The Travels of A T-Shirt on The Global Economy”.

The Travels of a T-Shirt in the Global Economy

Buku The Travels of A T-Shirt on The Global Economy ini adalah sebuah anekdot mengenai topik globalisasi, setidaknya terlihat dari judulnya yang cukup panjang dan menggelitik ini. Bila sebelumnya banyak buku yang membicarakan globalisasi dengan cara serius, buku ini lebih banyak menceritakan globalisasi melalui sebuah benda sederhana dan sepele, yaitu T-shirt. Dalam buku ini, Rivoli banyak membicarakan sejarah industri tekstil di negara yang pernah, masih, dan mungkin akan menjadi episentrum produksi sandang.

Industri tekstil adalah sebuah industri yang padat karya. Tahapan produksinya yang terentang luas dari hulu hingga hilir menyerap tenaga kerja yang banyak. Pada proses hulu, kapas yang merupakan bahan baku tekstil dihasilkan oleh pertanian kapas. Kemudian, kapas ini dikirimkan ke pemintalan menjadi benang. Selanjutnya, benang dirajut menjadi kain. Kain inilah yang merupakan bahan setengah jadi yang kemudian dijahit menjadi pakaian jadi. Dengan adanya modernisasi teknologi dalam industri tekstil, industri padat karya ini berangsur mulai berubah menjadi padat modal. Sejak tiga abad yang lalu, jumlah tenaga kerja industri tekstil mulai menurun dengan ditemukannya traktor, mesin pemintal benang, mesin perajut, dan mesin jahit. Jadi, industri tekstil ini turut memicu revolusi industri dan penghapusan perbudakan.

File:Catalonia Terrassa mNATEC 
Pentinadora.jpg

Karena berbagai kepentingan, industri tekstil merupakan salah satu jenis industri yang sering kali diproteksi oleh negara. Proteksi industri oleh suatu negara dilakukan dengan beberapa cara. Yang pertama, melalui pemberian subsidi kepada industri dalam negeri. Subsidi bisa diberikan pada harga pupuk, bibit, serta alat dan bahan produksi lainnya disamping pula ongkos distribusi. Yang kedua, melalui pemberlakukan tarif dan quota untuk impor mendatangkan barang sejenis dari luar negeri. Tarif merupakan sejumlah biaya tambahan yang disetor ke negara tujuan saat mengimpor barang, sedangkan quota merupakan jumlah barang terbanyak yang dapat diimpor dari masing-masing negara dalam satu tahun. Melalui berbagai insentif, industri tekstil dalam negeri diharapkan bisa tumbuh cepat dan menjadi kompetitif setelah masa proteksi.

Amerika Serikat (AS) telah memproteksi sangat ketat industri kapas dalam negeri sejak 40 tahun yang lalu dan baru mulai menguranginya pada tahun 2005. Fakta ini bertentangan dengan fakta bahwa negara AS adalah pendukung utama globalisasi dan perdagangan bebas. Meskipun AS mengalami defisit perdagangan secara keseluruhan sejak tahun 1975, komoditi kapas tetap menjadi komoditas ekspor yang paling sukses. Pada tahun 2009, ekspor kapas Amerika sebesar 12 juta bal merupakan jumlah terbesar di seluruh dunia. Karena banyaknya jumlah orang dan perusahaan yang terlibat dalam industri tekstil, proteksi tekstil di AS adalah hasil tawar menawar politik untuk dapat memenangkan kursi pemilihan. Memang dari sananya, politik itu inkonsisten karena semua pihak harus disenangkan.

Meskipun begitu, kalau kita mempelajari sejarah, proteksi suatu negara hampir selalu dapat ditembus oleh para wirausahawan. Kewirausahaan selalu kreatif menemukan celah dari setiap proteksi yang diberlakukan suatu negara. Bagaimanapun proteksi diberlakukan, pusat perkembangan industri tekstil tetap saja berpindah dari satu negara ke negara lainnya. Pergeseran keuntungan komparatif dari masing-masing negara selalu terjadi sehingga memicu hal ini tetap dan akan terus terjadi. Inggris adalah negara utama yang mengembangkan industri tekstil pada tahun 1700an, diikuti oleh Amerika Serikat pada tahun 1900an, dan pada abad ini Cina muncul sebagai kuda hitam dalam industri tekstil.

Proteksi perdagangan itu sering kali menggelikan. Pada awal abad ke-17, industri wol Inggris tidak memiliki saingan meskipun harganya mahal. Bahan wol merupakan bahan yang tidak nyaman digunakan karena menyebabkan gatal di kulit dan proses pencuciannya sulit. Bahan katun dari India mulai memasuki Inggris pada pertengahan 1600an dan segera populer karena murah, ringan, dan mudah dibersihkan. Kesuksesan wol ini mengkhawatirkan karena mengganggu industri wol yang telah maju. Di beberapa daerah, pengangguran akibat ditutupnya pabrik wol ini dapat mencapai di atas 50%.

Kegoncangan sosial ekonomi akibat katun ini menjadi perdebatan panjang di parlemen Inggris yang didukung oleh perusahaan penghasil wol. Akhirnya, pada tahun 1689, ada peraturan yang mengizinkan orang berpakaian katun hanya pada musim panas. Pada tahun 1699, ada aturan baru yang membuat semua hakim, juri, mahasiswa, dan profesor harus berpakaian wol setiap saat. Tentu saja, aturan yang mendikte cara berpakaian ini gagal. Jadi, industri wol berpaling ke pihak yang lebih lemah dan tidak melawan. Aturan selanjutnya adalah wanita pelayan inggris diwajibkan memakai topi dari wol. Puncaknya adalah pemaksaan berpakaian wol kepada pihak yang sangat lemah dan tidak bisa melawan dengan disahkannya sebuah aturan yang menyatakan bahwa :

Tidak ada jenazah dari siapapun.. akan dikubur dengan mengenakan pakaian, pakaian longgar, selimut, atau kain selubung.., kecuali dengan pakaian yang terbuat dari wol dari domba.

Karena pada masa itu harga kain wol sangat mahal dan tidak banyak kaum miskin dan menengah yang menggunakannya, untuk acara-acara kematian dan penguburan, ada puisi indah yang berkaitan dengan aturan ini :

Karena semasa mereka yang hidup tidak sanggup memakainya (wol), mereka di saat mati berkesempatan memakainya.

***

Jadi, tidak ada yang bebas di pasar bebas (sementara ini), kecuali slogannya. Globalisasi dan perdagangan bebas masih tetap menjadi bahasan politik ketimbang ekonomi. Buku The Travels of a T-Shirt in the Global Economy menggunakan kisah sederhana tentang T-shirt untuk mengungkapkan sisi-sisi politik dan manusiawi tentang perdebatan mengenai globalisasi. Di dalamnya, terdapat bisnis yang mencenangkan, politik baik dan buruk, sejarah yang memberikan pencerahan, terutama harapan dan impian yang nyata.

Indonesia sendiri telah masuk ke dalam pusaran globalisasi. Tahun 2010 ini CAFTA sudah dimulai. Tidak ada lagi batas perdagangan antara Cina dan ASEAN. Industri dalam negeri yang paling menderita salah satunya adalah industri tekstil dan produk tekstil (TPT).

Tekstil dari Cina yang sangat murah sudah bertebaran di pasar-pasar mulai dari yang tradisional hingga yang modern. Di sisi satu menyenangkan konsumen, di sisi lain membunuh industri dalam negeri. Saat ini sudah ratusan ribu pengangguran akibat ditutupnya pabril tekstil dalam negeri. Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu dan Menteri Perindustrian MS Hidayat yang tidak biasanya bersama-sama hadir dalam satu acara pelaku usaha, tetapi kali ini mereka hadir di Munas Nasional Asosiasi Pertekstilan Indonesia bulan lalu untuk menunjukkan dukungannya pada industri tekstil dalam negeri. Dan masih banyak lagi pihak yang khawatir, apakah industri tekstil Indonesia mampu kompetitif di era globalisasi dan pasar bebas ini.

Memang mudah menyalahkan semua orang. Satu paragraf ini dengan mudah saya isi dengan menyalahkan orang lain. Pemerintah Indonesia salah tidak memproteksi industri tekstil, pengusaha Indonesia salah tidak kompetitif di pasar tekstil, pekerja di Indonesia salah produktivitasnya rendah, konsumen Indonesia salah tidak cinta produk dalam negeri, Cina salah karena membanjiri pasar dengan produk di bawah standar, dan pasti ini ujung-ujungnya Amerika Serikat bergerak bentuk neokolonialisme dan neoliberalismenya, malah boleh ditambahkan lagi ini pasti Israel yang memiliki agenda Zionisme. Pokoknya semua bisa disalahkan, bahkan bisa dikaitkan dengan teori konspirasi.

Tapi menurut saya daripada sibuk menunjuk hidung satu sama lain, yang lebih penting dan lebih baik adalah pertanyaan, “Jadi bagaimana solusinya?”

5 Mei 2010

Sejarah yang Objektif : Perang Salib

image

Beberapa hari ini, saya jadi mendalami sejarah mengenai perang salib. Awalnya bermula dari obrolan iseng dengan beberapa teman melalui situs jaringan sosial seputar Shalahuddin Al-Ayyubi, seorang tokoh Islam pada perang salib. Akhirnya, rasa penasaran menghampiri saya dan mengajak saya menyelami sejarah tentang perang salib.

Sudah banyak sumber yang menceritakan perang salib sehingga saya memilih tidak menuliskan kembali sejarah secara detail dalam tulisan ini. Kali ini, lebih baik saya menceritakan bagaimana kesimpulan saya terhadap usaha penelitian kecil terhadap pendekatan objektif mengenai sejarah perang salib. Dan kembali lagi, saya takjub dengan berbagai versi sejarah perang salib yang saya temui.

Ternyata berusaha memahami sejarah perang salib secara objektif dapat memberikan pencerahan untuk saya. Secara umum, pemahaman ini membantu mendefinisikan kembali pemahaman mengenai toleransi (dan perselisihan) agama, diantaranya adalah  Islam, Kristen, dan Yahudi. Secara khusus, usaha pemahaman ini juga mendefinisikan kembali dogma yang dibangun seputar perang salib berkaitan dengan perang Israel-Palestina yang hingga saat ini belum terlihat penyelesaiannya.

http://zioneocon.blogspot.com/map%20israel%20b-%20bbc.gif

Usaha memahami sejarah secara objektif ternyata membutuhkan kita mempelajari berbagai sudut pandang suatu kejadian. Bagi yang sudah menonton film Vantage Point (2008) tentunya akan paham bahwa sebuah kejadian dapat dipahami secara berbeda dari sudut pandang orang-orang yang ada di TKP. Film ini sangat sukses (bagi saya) untuk memberikan pemahaman bahwa persoalan multitafsir adalah sebuah keniscayaan. Oleh karena itu, usaha memahami suatu kejadian secara objektif membutuhkan kita memahami berbagai sudut pandang dari pihak-pihak yang berkepentingan, baik yang pihak berlawanan: pihak yang menang, pihak yang kalah, maupun pihak yang nonton.

Sejarah perang salib ini sendiri cukup unik karena versi sejarah masing-masing pihak ini tersedia secara luas. Rentetan sejarah ini ditulis dan diceritakan turun temurun sesuai sesuai sudut pandang dari masing-masing pihak. Hal ini memudahkan orang awam macam saya untuk tengok sana sini mencari persamaan-persamaan secara umum, menemui perbedaan-perbedaan pada detail, dan akhirnya mendapatkan kesimpulan (sementara). Mestinya para sejarahwan telah mendapatkan kesimpulan yang jauh lebih maju mengenai perang salib ini.

***

Sebelum saya melakukan penelitian kecil ini, perang salib yang saya pahami adalah perang antara penganut agama Islam dan Kristen. Tidak jelas (dan tidak tertarik untuk tahu) siapa yang menang. Dari berbagai informasi saat itu, saya berpandangan bahwa pada dasarnya perang salib ini tetap terus tersimpan dan berpotensi meletus kembali hingga saat ini. Kesimpulan ini sering juga dikaitkan dengan terjadinya perang Israel-Palestina yang terjadi pada daerah yang sama. Demo-demo dari berbagai ormas saat ini sering mengaitkan antara perang Israel-Palestina sebagai perang atas nama agama. Hal-hal macam ini memudahkan kesimpulan bahwa perang ini harus didukung dengan solidaritas keagamaan. Penganut agama Islam mendukung negara Palestina, sedangkan penganut agama Yahudi mendukung negara Israel.

Latar belakang yang saya miliki berasal dari lingkungan keluarga Islam. Dari latar belakang ini, tentunya banyak informasi masuk sehingga membangun kesimpulan sementara saya tentang sejarah perang salib dan implikasinya saat ini. Ternyata kesimpulan saya sedikit mengalami perubahan dengan usaha penggalian mengenai sejarah perang salib ini.

Sebagai bahan pemikiran tentang perang salib ini, saya sempat membaca Islam :  a short history  dan History of God (Karen Armstrong) serta History of Arabs (Phillip Hitti). Ketiga buku ini menurut saya cukup baik dalam usaha memberikan tinjauan yang objektif mengenai sejarah Islam, termasuk diantaranya sejarah perang Salib. Di sisi lain, masing-masing buku ini juga memberikan detail dan kesimpulan yang sedikit berbeda sehingga justru memperkaya sudut pandang saya tentang perang salib. Menurut teman saya, ada sebuah buku lagi yang bagus mengenai kisah perang salib ini, yaitu Holy War (Karen Armstrong).

image

Sebagai tambahan, saya juga sempat menggali Wikipedia, termasuk di antaranya halaman Shalahuddin Al-Ayyubi, Crusades, Richard the Lionheart, pertempuran Hattin. Selain itu ada juga beberapa situs yang ‘subjektif’ yang berkaitan dengan sejarah perang salib ini, baik dari sisi Islam, maupun dari sisi Kristen. Sejauh ini, bagi yang ingin mengetahui mengenai perang salib secara mudah, silakan bisa membaca di sini. Thread ini saya temukan terakhir, tetapi memberikan justifikasi final saya untuk menulis obrolan ini. Menurut saya, rasanya thread ini relatif objektif.

***

Kesimpulan yang saya dapatkan berdasarkan penelitian kecil (dan awam) ini adalah bahwa sejarah perang salib ini sangat kompleks, tidak sesederhana perang antaragama, Islam Arab dan Kristen Eropa. Sedikit gambaran, perang salib terjadi selama hampir dua abad ini sering dibagi menjadi sembilan peperangan. Meskipun begitu, sulit membagi secara pasti berapa kali tahapan perang ini terjadi karena peperangan ini terjadi secara terus menerus tidak terputus.

Selanjutnya, ketika perang salib ini berlangsung, selain penguasa Islam berperang melawan penguasa Kristen, ada pula penguasa dari satu agama juga satu bertarung satu sama lain (Islam-Islam dan Kristen-Kristen). Bahkan, beberapa kali penguasa Islam meminta bantuan penguasa Kristen untuk memerangi penguasa Islam lainnya dan juga sebaliknya. Jadi, sebenarnya cerita mengenai pemihakan masing-masing penguasa terhadap masing-masing agama, baik Islam maupun Kristen, tidak sesuai dengan detil mengenai apa yang terjadi.

Dilihat secara umum dari sisi tokoh-tokoh yang terlibat, saya juga menyimpulkan perang salib ini bukan murni merupakan perang atas nama agama (apalagi atas nama Tuhan). Tetap ada landasan keagamaan yang terdapat di dalamnya, tetapi sulit untuk disederhanakan hanya urusan agama saja. Ada landasan lain yang lebih ‘manusiawi’ yang menjadi motivasi peperangan panjang ini, mulai dari keinginan berkuasa, motivasi ekonomi berupa harta dan uang, kehormatan pribadi, kebanggaan kesukuan, hingga balas dendam yang juga mewarnai perang salib ini. Sepertinya aspek manusiawi inilah yang sering tidak digambarkan secara detailnya dalam membangun dogma penafsiran perang salib ini.

Perang salib secara gambaran besar merupakan usaha perebutan memperebutkan Jerusalem kembali yang merupakan tempat suci masing-masing agama. Tetapi pada waktu yang sama, harus dipahami juga bahwa ketika itu juga perebutan kekuasaan antarpemerintahan Islam antara Dinasti Abassiyah  dan Dinasti Fatimiyyah. Akhirnya, Dinasti Fatimiyyah kalah dan dibubarkan saat Shalahuddin Al-Ayyubi (Eropa : Saladin) menjadi wazir Dinasti Fatimiyyah. Pada khutbah Jumat setelah kematian Al-Adid khalifah terakhir Dinasti Fatimiyyah, Shalahuddin mengatakan bahwa mulai saat itu, khalifah adalah Al-Mustadi dari Dinasti Abbasiyah.

Shalahuddin selanjutnya menjadi penting dalam perang salib ketiga. Ketika bertarung melawan Richard the Lion Heart, akhirnya mereka sepakat untuk menjaga perdamaian dan mengusung kembali toleransi beragama di kota Jerusalem. Sebelum kesepakatan ini, pembunuhan atas nama agama di kota Jerusalem terjadi silih berganti. Awalnya, orang Kristen dan Yahudi dieksekusi ketika pendudukan Jerusalem oleh Dinasti Fatimiyyah. Ini adalah merupakan salah satu pemicu terjadinya perang salib. Sebagai balasan, orang Islam dan Yahudi dibunuh secara massal pada masa perang salib pertama.  Shalahuddin dan Richard akhirnya berhasil membuat kesepakatan perdamaian melalui pernikahan antarkeluarga Shalahuddin dan Richard. Memang cinta (baca: pernikahan) dapat menghapuskan (baca : menunda) permusuhan, meskipun perdamaian ini tidak bertahan lama.

imageimage

Shalahuddin merupakan tokoh yang dikagumi di negara Barat dan Timur. Di negara Barat, dia dikagumi karena kapasitas kepemimpinan, sikap menepati janji, dan kepatuhan terhadap atasan. Kekuatan militer yang dibangunnya sangat efektif, berbagai perjanjian dengan pihak Kristen Eropa ditepati, dan perselisihan politik dengan atasannya tidak lantas disertai dengan kudeta secara langsung. Sifat-sifat Shalahuddin ini menjadi sikap-sikap luhur ksatria dan menginspirasi karya sastra sejak abad ke-14 di negara Barat.

Shalahuddin sering dipandang manusia sempurna dalam berbagai kisah perang salib versi Islam. Di dunia Arab, ketokohan Shalahuddin sempat terlupakan karena dinastinya hanya bertahan 57 tahun dan tertutupi oleh kebesaran dinasti Baibar Mesir. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya tulisan yang mengacu pada ketokohannya setelah abad pertengahan. Baru abad ke-20, kisah Shalahuddin memperoleh tempat pentingnya kembali, secara umum karena nasionalisme Arab, terutama untuk menanggapi konflik Israel-Palestina. Kisah heroik tentang kepahlawanan Shalahuddin merebut Jerusalem menjadi doktrin keagamaan penting dari sisi Islam sebagai inspirasi melawan zionisme.

Perselisihan Shalahuddin dengan pemimpinnya Nuruddin dan Ismail anak Nuruddin, ekspansi wilayahnya ke Suriah dan Yaman, dan pembantaian musuhnya merupakan detil yang perlu digali untuk memahami sejarah perang salib ini secara wajar. Dengan detil ini dimasukkan dalam bangunan kesimpulan kita tentang perang salib, tentunya akan menambah objektivitas dalam menyikapinya.

***

Itulah kesimpulan (sementara) saya tentang usaha memahami sejarah perang salib secara objektif. Tentunya kesimpulan ini masih sangat awal dan dangkal. Diusahakan akan ada updatenya lagi.