30 Juli 2011

Budaya Inka, Borobudur, dan Fragmen Kisah Ibrahim

Seratus tahun lalu, tepatnya 24 Juli 1911, Hiram Bingham dari Universitas Yale menemukan situs Machu Picchu di Peru. Seluruh arkeolog dan petualang dunia terkesima dengan keindahan peninggalan budaya Bangsa Inka ini. Machu Picchu, Si Kota Inka yang hilang, memang tidak sempat tersentuh oleh penaklukkan Bangsa Spanyol dan tidak tercatat dalam referensi manapun.

Bangsa Inka merupakan imperium terbesar di belahan dunia Barat sebelum Spanyol menaklukkan mereka pada abad ke-16. Mereka memiliki peradaban maju seiring dengan perkembangan arsitektur, teknologi pangan dan logam. Begitu canggihnya, Bangsa Inka telah berhasil membuat infrastruktur jalan terbesar dan mengentaskan kelaparan dari total populasi 10 juta orang. Machu Picchu adalah karya Inka dan merupakan tempat peristirahatan raja. Bingham menemukan kota ini setelah empat abad Inka ditaklukkan oleh Spanyol.

Adalah sebuah ironi ketika Bangsa Inka dianggap sebagai sebuah kebudayaan jaman perunggu besar yang gagal memiliki sistem penulisan. Mereka tidak memiliki peninggalan tulisan dengan huruf atau simbol di kertas atau media dua dimensi lain seperti layaknya standar modern. Para antropolog mengatakannya sebagai “Paradoks Inka.”

Meskipun begitu, Bangsa Inka mengembangkan caranya sendiri. Mereka menggunakan khipu, konfigurasi tali dengan simpul warna-warni, sebagai media penyimpanan informasi. Para ahli meneliti apakah khipu merupakan sistem mnemonic, sebuah penanda agar pembuatnya dapat mengingat suatu informasi? Ataukah merupakan suatu sistem penulisan, standar penyimpanan informasi yang bisa dibaca secara luas bagi orang yang mengerti susunannya?

Awalnya khipu dianggap sebagai sistem mnemonic, mirip abacus yang digunakan sebagai alat pengingat berhitung yang ditemui pada peradaban besar lainnya. Belakangan, antropolog menemukan bahwa sebagian konfigurasi tali-simpul ini memiliki sifat non-aritmatik. Hal ini memberikan kemungkinan bahwa beberapa bagian khipu merupakan bentuk narasi/cerita. Beberapa teori mengusulkan bahwa khipu merupakan sistem tulisan tiga dimensi yang canggih. Dan ia unik, hanya ada pada peradaban Inka.

Ketika Francisco Pizarro dan para conquistador Spanyol tiba tahun 1532, mereka kagum dengan organisasi masyarakat Inka. Dalam pencatatan informasi, pihak kerajaan menggunakan jasa khipukamayuq, sebuah kasta khusus yang mampu membaca khipu. Kasta ini menyimpan catatan tentang sensus, pajak, ritual agama, organisasi, kalender, silsilah, dan segala macam informasi kenegaraan. Dalam beberapa sejarah catatan pengadilan, Khipu Inka bahkan terbukti lebih akurat dibandingkan catatan para akuntan Spanyol.

Awalnya, para penakluk Spanyol lunak terhadap penggunaan khipu pada masyarakat Inka. Respon mereka kemudian berubah sejak Inkuisisi Spanyol. Pada tahun 1583, Gereja Katolik Roma bertitah bahwa khipu merupakan pekerjaan setan. Khipu yang merepresentasikan agama Inka dianggap sebagai berhala dan hal ini menghalangi konversi agama.

Pihak Gereja kemudian memerintahkan penghancuran seluruh khipu Inka. Sejak saat itu, para conquistador memusnahkan hampir semua khipu berikut seluruh informasi budaya Inka yang terdapat di dalamnya. Saat ini hanya tersisa sekitar 831 khipu tersebar seluruh dunia.

***

Sangat disayangkan bagaimana sistem tulisan tiga dimensi pada khipu telah punah. Juga disayangkan bahwa keputusan penghancuran ini dimotivasi oleh pemahaman eksklusif keimanan. Tetapi sejarah pemusnahan budaya tidak hanya pada organisasi agama. Ia terjadi pula pada semua bentuk otoritas yang memiliki pemahaman ekslusivisme: bahwa kami dan hanya kami yang benar; selain kami adalah tidak benar dan harus dimusnahkan.

Peristiwa pemusnahan atas nama ekslusivisme terjadi di seluruh dunia. Situs Majapahit yang beragama Hindu saat ini relatif tidak berbekas dihancurkan oleh kerajaan-kerajaan Islam sesudahnya. Di Pakistan, Militan Taliban menghancurkan situs bersejarah kerajaan Gandhara yang beraliran Budha Mahayana. Beberapa hari ini, Norwegia yang terkenal sebagai masyarakat yang toleran mengalami musibah pengeboman yang dilatarbelakangi oleh sentimen Islamofobia.

Gandhara Budhist Statue

Kita patut bersyukur bahwa Candi Borobudur terkubur di bawah abu vulkanik. Borobudur, seperti Machu Picchu, baru ditemukan belakangan. Thomas Stamford Raffles, Gubernur kolonial Inggris yang juga pemerhati sejarah Jawa, memerintahkan penggalian Borobudur pada abad ke-19. Saat ini, situs peninggalan dinasti Syailendra yang beraliran Budha Mahayana ini telah direstorasi dan menjadi situs warisan dunia UNESCO.

Bila Borobudur ditemukan pada waktu yang tidak tepat, mungkin kemegahan situs budaya ini tidak sempat kita lihat saat ini. Pada tahun 1985, Husein Ali Al-Habsyi dan kelompoknya meledakkan beberapa stupa Candi Borobudur. Pengadilan mengganjar hukuman penjara seumur hidup kepadanya karena perusakkan situs budaya ini.

***

Dalam sebuah obrolan afterhour, saya terkejut dengan kritik seorang teman muda yang cerdas. Ia mempertanyakan mengapa kisah klasik dalam tradisi agama mengizinkan perusakkan milik orang lain karena urusan keimanan. Kawan  multitalenta ini mengangkat topik tentang kisah Ibrahim, bapak tiga agama monoteisme: Yahudi, Kristen, Islam.

Dalam tradisi Islam, dikisahkan bahwa Nabi Ibrahim diperintahkan untuk menghapuskan berhala dan menyebarkan ajaran monoteisme. Awalnya, Ibrahim menasihati bapaknya Azar yang berprofesi sebagai pemahat patung berhala. Ibrahim muda menjelaskan bahwa penyembahan berhala merupakan perbuatan berdosa dan akan disiksa oleh Allah. Merasa profesi dan mata pencahariannya terusik, Azar menolak paham ini dan mengusir Ibrahim.

Upaya Nabi Ibrahim mengajak masyarakat Kaanan mengikuti ajaran monoteisme relatif gagal. Masyarakat Kaanan abai terhadap ajakan Ibrahim karena terbiasa dengan budaya warisan turun temurun. Ketika Ibrahim merasa upaya ajakannya tidak berhasil, ia menyusun strategi lain.

Ketika masyarakat Kaanan melakukan tradisi berkemah di padang terbuka, Ibrahim menyelinap ke kota dan menghancurkan patung-patung berhala milik mereka. Karena perbuatannya ketahuan, pengadilan memutuskan Ibrahim harus dihukum dengan cara dibakar hidup-hidup. Berkat mukjizat pertolongan Allah, Ibrahim kemudian selamat dari panas api. Ia keluar dalam keadaan selamat.

Fragmen kisah Ibrahim dan mukjizat tahan panas api dulu saya terima tanpa pertanyaan lebih lanjut. Kisah heroisme untuk keimanan selalu mempesona bagi saya. Tapi terus terang saya terkejut oleh kritik teman muda ini.

Dengan gaya ABGnya, teman muda ini bertanya: Mengapa kisah perusakkan patung milik orang lain atas nama keimanan dapat dibenarkan? Otoritas moral macam apa yang mengizinkan terjadinya penghancuran budaya? Pada batas mana budaya dan berhala dapat dipisahkan sehingga yang pertama layak dikonservasi dan yang terakhir wajib dimusnahkan?

Ketika membaca sejarah Machu Picchu dan khipu, saya teringat kembali perasaan sunyi dalam riuh obrolan seru malam itu. Meskipun obrolan terus berganti topik, tetapi pikiran saya tetap berhenti pada pertanyaan tentang kisah ini. Mungkin memang pergulatan ajaran masa lalu dan pikiran pribadi memang tidak boleh usai. Katanya itulah pencerahan..

Tidak ada komentar: