5 Mei 2008

Celotehan di pagi buta

Beberapa waktu belakangan ini banyak isu yang menjadi perhatian saya, mulai dari isu ekonomi global seperti kenaikan harga minyak dunia yang bersambung ke peningkatan harga pangan dunia, hingga isu ekonomi mikro di pinggir jalan. Badai informasi ini membuat saya menjejakkan kaki ke padatan realitas kehidupan.

Dua hari yang lalu saya membaca beberapa buku "Lagak Jakarta" karangan Benny dan Mice. Selama lebih dari 10 tahun, Benny dan Mice mengeluarkan beberapa buku yang merupakan kumpulan kartun Kompas Minggu. Buku terbaru mereka saat ini adalah Lagak Jakarta 100 tokoh yang mewarnai Jakarta. Dengan media kartun dan bahasa humor aktual ala Homo Jakartaensis, mestinya buku-buku ini membuat pembaca terhibur .

Sebuah ironi bahwa membaca buku Lagak Jakarta 1 (edisi koleksi) tidak membuat saya merasa terhibur, bahkan saya berhenti membaca pada sekitar dua per tiga buku karena saya mengalami 'overload' informasi mengenai keterpurukan Indonesia terhadap krisis. Beberapa content kartun ini berasal dari buku "Lagak Jakarta : Krisis oh krisis" yang sudah dibuat sekitar sepuluh tahun yang lalu tetapi masih aktual sampai saat ini.

Sudah 10 tahun Indonesia mendeklarasikan diri dalam posisi "krisis", atau dalam bentuk yang disederhanakan, krismon alias krisis moneter. Peningkatan proporsi rakyat miskin, ketahanan pangan yang rendah, gizi buruk ribuan anak balita di NTT dan Papua, serta lambatnya penanganan bencana tsunami (2004), gempa (2006), lumpur (2006), dan banjir (2007), adalah pembenaran bahwa Indonesia sedang mengalami krisis.

Padahal, di spektrum yang berlawanan, penjualan mobil meningkat pesat pada kuarter I 2007-2008 meningkat 46% dan pembangunan mal yang sangat pesat, terhitung hanya dalam tempo tiga tahun hingga 2008, 16 pusat belanja baru seluas hampir 1 juta meter persegi sedang dibangun. Edannya lagi, kredit konsumsi meningkat dua bahkan tiga digit pertahun dari 2003-2007.

Mungkin benar cerita yang mengatakan bahwa banyak bule merasa bingung membandingkan cerita krisis moneter Indonesia dengan melihat Jakarta secara sekilas. Sangat sulit tidak mempercayai apa yang kita lihat, seperti kata pepatah "Seeing is believing". Dengan segala pembangunannya, sepotong Jakarta menjadi paradoks di tengah deklarasi krisis ini, sementara sepotong lainnya adalah kenyataan umum. Jakarta oh Jakarta, berkacalah Jakarta...

Berkacalah Jakarta

Langkahmu cepat seperti terburu
Berlomba dengan waktu
Apa yang kau cari belumkah kau dapati
Diangkuh gedung gedung tinggi

Riuh pesta pora sahabat sejati
Yang hampir selalu saja ada
Isyaratkan enyahlah pribadi

Lari kota Jakarta lupa kaki yang luka
Mengejek langkah kura kura
Ingin sesuatu tak ingat bebanmu

Atau itu ulahmu kota
Ramaikan mimpi indah penghuni

Jangan kau paksakan untuk berlari
Angkuhmu tak peduli
Luka di kaki

Jangan kau paksakan untuk tetap terus berlari
Bila luka di kaki belum terobati
Berkacalah Jakarta

Iwan Fals, 1984

Catatan kaki :
Dengan semua kontras ini, di manakah kita berdiri? Dan ke manakah seharusnya kaki melangkah? Seorang teman saya menulis : If we’re work for God, instead think of our capability, think about our availability. Jadi sebelum banyak pertanyaan lain menyusul, pertanyaan pertama adalah : Apakah kita bersedia?

1 komentar:

Anonim mengatakan...

bang! heheh, dicke buat blog baru..
mampir2 ya!

dicke link juga nih blog..