11 April 2011

Film Tanda Tanya, Toleransi, Pluralisme

clip_image002

Saya mau buat pengakuan: saya mengalami mata berair tiga kali berturut-turut ketika menonton film Tanda Tanya (?). Menurut saya, film karya Hanung Bramantyo ini memiliki cerita yang sederhana, agak dramatis, tetapi sangat relevan dengan realitas kehidupan beragama masyarakat Indonesia saat ini. Lengkap dengan kisah keyakinan, pengorbanan, dan kekerasan, film Tanda Tanya membuat saya beberapa kali mengendalikan diri untuk menanggulangi urusan mata basah ini.

***

Film Tanda Tanya mulai diputar di bioskop sejak tiga hari yang lalu. Film ini menceritakan tentang dinamika sosial agama dalam masyarakat kaum ekonomi menengah bawah di kota Semarang. Hanung mengatakan bahwa inspirasi film ini berasal dari kejadian nyata. Salah satunya adalah berasal dari kisah seorang Banser bernama Riyanto dari Mojokerto ketika bom Natal beberapa tahun lalu.

Film Tanda Tanya menjadi kontroversi dan mengundang komentar dari beberapa pihak. Para penggiat pluralisme-HAM, budayawan, serta ketua KPI menyambut baik penyampaian pesan toleransi dalam film ini. Praktik sosial agama yang digambarkan sangat baik di tengah beberapa isu kekerasan atas nama agama yang sedang marak belakangan ini.

Di sisi lain, beberapa pengurus Banser NU mengritik film ini karena dianggap kurang menggambarkan kehidupan nyata seorang anggota Banser yang sesungguhnya. Beberapa tokoh agama yang konservatif (baca: Ketua MUI) bahkan berpendapat bahwa film Tanda Tanya ini haram dan sesat karena mencampuradukkan toleransi dan teologi.

***

Dalam pengalaman saya, perihal toleransi beragama merupakan obrolan superfisial. Ia jarang dibicarakan jujur dalam lingkungan multiagama. Toleransi antarumat beragama dibicarakan hanya dalam upaya menjaga kenyamanan dan meredam konfllik. Tersembunyi dalam obrolan superfisial toleransi antarumat beragama ini, keterasingan antarumat beragama sebenarnya cenderung menciptakan prasangka. Pada beberapa kasus ekstrim, bahkan memunculkan kebencian.

Mengingat kembali pengalaman saya, pembicaraan tentang perbedaan keyakinan baru dapat dibicarakan secara jujur secara pribadi, dalam keluarga, atau tempat keagamaan. Banyak keluarga dan perkumpulan agama yang saya temui mengajarkan dogma bahwa selain keyakinan yang dianut, tidak ada keyakinan lain yang mendapatkan keselamatan. Lebih lanjut lagi, beberapa dogma juga memerintahkan umatnya untuk tidak mempelajari bahkan menjauhkan diri dari keyakinan yang berbeda. Keterasingan akan membangun prasangka. Lalu kemudian, interpretasi fakta dicocokkan dalam prasangka akan semakin mengokohkan prasangka ini.

Dibesarkan dalam keluarga menengah Jakarta dengan pengetahuan agama Islam yang biasa saja, saya terkejut melihat kisah film Tanda Tanya. Apa benar ada toleransi beragama seperti dalam film ini dalam realitas sosial agama yang sesungguhnya? Atau setidaknya, apakah ide dalam film ini merupakan sesuatu ideal dalam toleransi beragama? Secara pribadi, saya sedikit terkejut dengan kisah toleransi dalam film Tanda Tanya. Tokoh Menuk, seorang muslimah berjilbab, bekerja di restoran Cina non-halal milik Engkoh Tat Kan Sun. Dalam restoran ini, Engkoh Tat Kan Sun memisahan proses memasak makanan halal dan non-halal. Juga, Menuk diberikan waktu khusus untuk shalat oleh keluarga pemilik restoran ini. Hmm.. saya kira cerita film Tanda Tanya ini sangat progresif untuk sebuah ideal dalam toleransi dan pluralisme.

Akan tetapi, kekagetan ini saya anggap sebagai pencerahan. Ide toleransi dalam film Tanda Tanya membuat saya memiliki sudut pandang baru dalam menyikapi perbedaan. Saya sendiri merasa perlu usaha lebih dalam untuk mempelajari perbedaan (dan persamaan) antaragama supaya bisa memahami dan menyikapinya dengan lebih baik. Ketidaktahuan dan kebodohan tentang perbedaan akan menimbulkan prasangka dan menyebabkan mudah terprovokasi. Dan mempelajari tradisi keyakinan lain sendiri tidak berarti akan mengimaninya.

Pengetahuan adalah kekuatan. Kebodohan adalah kelemahan. Kepedulian adalah peluang. Ketidakacuhan adalah ancaman. Lalu kita mau apa?

Menjawab pertanyaan, "Masih pentingkah kita berbeda?" Tentu saja berbeda itu sangat penting; dalam usaha saling mengenal, memahami, dan menyikapi perbedaan itu sendiri..

***

Manusia tidak hidup sendirian di dunia ini
Tapi di jalan setapaknya masing-masing
Semua jalan setapak itu berbeda-beda

Namun menuju arah yang sama
Mencari hal yang sama
Dengan satu tujuan yang sama: Tuhan

Tidak ada komentar: