Saya sering bingung dengan hal-hal tentang kebudayaan. Bingung dalam arti tidak mengerti apa yang didiskusikan ataupun apa yang bisa ditanyakan. Sepengalaman saya, hal-hal yang diembel-embeli ‘budaya’ cenderung menjadi abstrak dan dinamis, tidak bisa saya tangkap jelas. Bagai menangkap keindahan sebuah tarian dengan kamera foto, kita bisa mendapat gambar diamnya tapi kehilangan keindahan gerakannya. Berbagai pendapat, diskusi, dan debat mengenai kebudayaan sampai saat ini tidak pernah membuat saya sempat memegang apa makna dari kebudayaan.
Sebelumnya, saya ingin membedakan di sini antara kebudayaan dengan seni-budaya. Seni-budaya yang merupakan ekspresi estetis, pengejawantahan keindahan alias produk kebudayaan itu sendiri. Bagaimana kebudayaan manusia terjadi katanya adalah segala yang terjadi dalam politik, ekonomi, hukum, birokrasi, atau ritual. Sikap manusia dalam menghadapi kehidupan, masalah, bawang merah, cabe keriting, cinta, Tuhan dan gejala-gejala alam, katanya mencerminkan apa yang disebut kebudayaan.
Persepsi saya (entah benar atau tidak), sebuah hal yang ditambahkan dengan kata ‘budaya’ memberikan efek intelektual, filosofis atau kadang-kadang terdengar utopis. Mungkin karena keabstrakannya itu, efek-efek ini kemudian muncul dan sangat sering menghentikan pertanyaan dan diskusi lebih jauh. Profesi ‘budayawan’ pastilah benar-benar memiliki stamina yang luar biasa untuk mempertanyakan dan memperjelas keabstrakan objek profesinya ini.
***
Kesulitan saya memperjelas hal-hal yang diembel-embeli kata ‘budaya’, misalnya saja, pada pandangan bahwa ‘budaya ketimuran’ lebih baik dibanding budaya lainnya. Sampai sekarang, saya belum benar-benar tahu perilaku apa dari manusia yang berada pada letak geografis timur sehingga layak lebih dihormati dibandingkan letak geografis utara, selatan, atau barat. Memang banyak perilaku yang (katanya) baik, tetapi setahu saya, misalnya budaya imperialisme yang selama ini kita hina-hina adalah budaya yang digagas oleh orang Timur jauh sebelum orang Barat melakukannya dan di Indonesia pun sudah ada sejak Gajah Mada melakukan sumpah palapanya. Sebaliknya, hal ini terjadi pula pada perintah menolak budaya Barat karena meracuni moral bangsa. Saya pun belum tahu apakah perilaku khas manusia Barat macam apa yang berkorelasi positif terhadap kerusakan moral bangsa Indonesia. Padahal misalnya, kebudayaan antre atau kesetaraan gender yang (katanya) lebih baik, munculnya di bumi bagian barat. Jadi, saya masih bertanya-tanya bagaimana kita bisa memperjelas sesuatu yang diembel-embeli ‘kebudayaan’ secara definitif.
Apalagi mengenai perubahan pada budaya, yang secara positif dikatakan ‘perkembangan budaya’ atau secara negatif dikatakan pula ‘kemunduran budaya’ atau lebih parah lagi dikatakan ‘kepunahan budaya’. Pada syarat-syarat macam apa frase ‘perkembangan budaya’, ‘kemunduran budaya’ digunakan? Apa benar ‘kepunahan budaya’ dapat terjadi kalau manusia masih ada? Dengan menggantikan sistem pemerintahan demokrasi saat ini dengan sistem pemerintahan kekhalifahan, apakah Islam mampu kembali ke era keemasan ‘perkembangan budaya’ Islam? Kalau orang Islam meninggalkan fikih berumur ratusan tahun yang (katanya) asli dari sumbernya dan menggunakan aturan hidup modern yang diramu dari coctail berbagai kebudayaan, apakah Islam mengalami ‘kemunduran budaya’? Lebih lanjut lagi, kalau misalnya banyak orang Sumatera Barat yang tidak lagi memeluk agama Islam, apa ini adalah pertanda terjadinya ‘kepunahan budaya’ Islam di Sumatera Barat? Jadi, saya kembali masih masih bertanya-tanya dimana frase ‘perkembangan budaya’, ‘kemunduran budaya’, ‘kepunahan budaya’ ini digunakan.
Atau sebenarnya ‘kebudayaan’ itu tidak tampak, bersifat rohaniah dan berada di posisi latar, sedangkan yang muncul ke permukaan dan tampak berubah adalah ‘seni-budaya’ yang merupakan produk ‘kebudayaan’ itu sendiri. Kalau begitu, apakah kita dapat mengatakan bahwa kebangsaan merupakan ‘seni-budaya’, agama merupakan ‘seni-budaya’, resep membuat tiramisu adalah ‘seni-budaya’, dan semua hal-hal yang tampak lainnya adalah ‘seni-budaya’? Lantas, pada lapisan mana seni-budaya sebagai produk dapat dipisahkan dari kebudayaan itu sendiri? Derajat kebebasan berpikir? Pola pikir personal? Keinginan perubahan? Perilaku sosial? Norma dan hukum yang berlaku? Kebijaksanaan masyarakat? Itu yang saya belum tahu.
***
Selain hal-hal ini, sangat sering saya juga tidak mampu bertanya dan mempertajam ide lebih jauh karena kemunculan kata-kata ‘kebudayaan’ membuat hal-hal yang bisa dipertanyakan menjadi abstrak. Budayawan pasti sudah membahas hal-hal ini. Mereka mestinya tergerak secara profesional untuk membahas hal ini, menggali fakta-faktanya, mungkin juga membuat serangkaian eksperimen, mengolah serangkaian data, memberikan hasil yang mampu dijadikan pijakan teori kebudayaan, dan terakhir tentunya memudahkan pikiran masyarat mencerna kebudayaan. Dan saya masih menunggu Theory of everything-nya kebudayaan sehingga (moga-moga) saya bisa mudah bertanya dan memperjelas hal-hal tentang kebudayaan.