Upaya memahami hubungan alkohol dan perilaku seseorang dimulai dari menyadari adanya variasi budaya. Seseorang mendapatkan konsepsi tentang minuman beralkohol melalui norma masyarakat di mana ia tinggal. Faktor sosial dan ritual memiliki pengaruh sangat penting dalam budaya alkohol.
Minum minuman beralkohol memiliki fungsi sosial yang penting. Social drinking merupakan budaya minum minuman beralkohol dengan tujuan sosial tanpa maksud untuk mabuk. Sajian makanan pada perayaan umumnya dilengkapi dengan minuman beralkohol. Menawarkan minuman beralkohol secara cuma-cuma dianggap sebagai keramahan bagi tamu di beberapa tempat. Salah satu puncak perayaan sosial terhadap alkohol adalah festival bir tahunan. Oktoberfest di Munich merupakan festival bir terbesar di dunia dihadiri oleh jutaan orang dari seluruh dunia.
Tingkat konsumsi alkohol perkapita tiap daerah memiliki variasi yang sangat luas. Dari survei 188 negara, Moldova merupakan negara dengan tingkat konsumsi tertinggi (18,2 L perkapita), diikuti dengan Cheko dan Hongaria yang ketiganya sama-sama berada di Eropa Timur. Di antara negara Asia, Korea Selatan memegang tingkat konsumsi tertinggi no. 13 (14,8 L perkapita). Di antara negara mayoritas Muslim, Nigeria merupakan yang tertinggi, yaitu negara ke-28 (12,28 L perkapita). Indonesia sendiri berada pada negara ke-172 (0,59 L perkapita).
Permasalahan terkait alkohol tidak otomatis berhubungan langsung dengan tingkat konsumsi alkohol. Permasalahan terkait alkohol ini justru lebih terkait dengan bagaimana suatu etnis dan kebudayaan menangani alkohol. Setiap masyarakat memiliki kepercayaan dan aturan mengenai minuman beralkohol dan mempengaruhi bagaimana sikap terhadapnya.
Permasalahan terkait alkohol menjadi sangat kecil dalam budaya dengan penyikapan alkohol yang terintegrasi dengan ritual agama, kebiasaan sosial, dan kendali pribadi dan sosial sangat baik. Beberapa studi antropologi mengungkapkan bahwa kekerasan terkait alkohol tidak berhubungan langsung dengan alkohol itu sendiri. Orang dalam pengaruh alkohol melakukan kekerasan akibat perilaku yang dipelajarinya hasil meniru orang lain.
Orang Italia memiliki budaya minum secara luas, tetapi memiliki tingkat masalah alkohol yang rendah. Tingkat konsumsi alkohol negara Italia memang relatif tinggi (10,7 L perkapita), tetapi budaya Italia telah mengintegrasikan alkohol dalam norma sosialnya. Sejak kecil, anak-anak diajari bagaimana minum minuman beralkohol sebagai bagian kehidupan normal mereka, biasanya saat makan. Tingkat konsumsi alkohol diatur, orang tidak dipaksa secara sosial untuk minum, dan penolakan tawaran minum tidak dipandang sebagai penghinaan. Budaya minum Italia merefleksikan kedekatan sosial sebagaimana adanya, bukan usaha untuk mencapainya. Perilaku budaya inilah yang membuat alkohol dalam budaya Italia kurang berdampak negatif.
Beberapa studi menunjukkan gender juga mempengaruhi konsumsi alkohol. Pria cenderung lebih banyak mengonsumsi alkohol dibandingkan wanita. Di samping itu, penyalahgunaan alkohol juga sering terkait dengan kekerasan seksual pria terhadap wanita. Kaitan semu antara alkohol dan kejantanan menjadi faktor utama yang menyebabkan perbedaan konsumsi alkohol antargender ini. Padahal sejak lima abad lalu, Shakespeare telah mengatakan tentang alkohol, “It provokes the desire but it takes away the performance.”
Alkohol dan Sikap
Dengan globalisasi yang terjadi saat ini, seluruh budaya akan berinteraksi antara satu dengan lainnya. Tentunya budaya alkohol satu juga akan berinteraksi dengan budaya alkohol lainnya. Perbedaan pandangan terhadap alkohol sudah pasti akan timbul dan membutuhkan sikap yang tepat.
Pelarangan pemerintah terhadap alkohol atau pembatasan ketersediaannya di pasaran bukan merupakan solusi yang tepat. Hal ini malah menimbulkan fenomena pasar gelap dan ekonomi bawah tanah, seperti yang terjadi pada Volstead Act di Amerika Serikat pada tahun 1920-an. Pada masa ini, kejahatan terorganisasi meningkat drastis akibat peningkatan cadangan uang para mafia hasil dari penyelundupan alkohol, seperti misalnya yang dilakukan oleh Al Capone dan Mickey Duffy.
Pemahaman dan penyikapan variasi budaya alkohol menjadi penting. Pada Islam dan budaya lain yang membatasi alkohol, hal ini menjadi lebih penting. Dengan tetap berkeyakinan untuk tidak mengonsumsi alkohol, toleransi terhadap budaya yang terbuka pada alkohol menjadi penting dalam diversitas budaya global.
Sebaliknya, budaya yang terbuka pada alkohol juga perlu memahami dan bertoleransi terhadap budaya yang tertutup terhadap alkohol. Dengan sikap ini, moga-moga kepercayaan dan perilaku seseorang terhadap konsumsi alkohol tidak mempengaruhi penerimaan sosial terhadapnya. Saya beberapa kali mengalami situasi di mana seorang yang tidak mengonsumsi alkohol mengalami tekanan sosial saat bergaul dengan komunitas yang sedang mengonsumsi alkohol.
Aturan sosial yang sehat terhadap alkohol perlu dibangun. Pertama, konsumsi alkohol perlu diatur melalui kebiasaan sosial sehingga orang dapat mempelajari norma konstruktif dari kebiasaan minum minuman beralkohol. Kedua, kebiasaan baik dan buruk terhadap alkohol serta perbedaan antara keduanya perlu diajarkan secara terbuka. Ketiga, alkohol harus tidak dipandang meniadakan kontrol pribadi; kemampuan konsumsi alkohol secara bertanggung jawab perlu diajarkan, perilaku mabuk yang tidak sesuai perlu diberikan sanksi.
***
Alkohol adalah fakta budaya manusia, ia masuk ke dalam aspek pribadi dan sendi sosial. Alkohol hadir dalam kehidupan sehari-hari, baik kesenangan maupun kesedihan. Beberapa orang bahkan mendapati sumber spiritualitas di dalamnya. Seperti yang dikatakan Umar Khayyam dalam puisinya:
“Garis hidupku adalah meneguk anggur dan bersuka ria,
Bebas dari percaya dan ingkar adalah keyakinanku.
Kutanya Mempelai-Nasib: "Siapa teman hidupmu?"
Jawabnya: "Teman hidupku adalah hatimu yang gembira."