Iklan anjuran penggunaan BBM (Bahan Bakar Minyak) non-subsidi di televisi saya sambut dengan baik. Iklan ini merupakan salah satu upaya dalam pengurangan subsidi BBM oleh pemerintah. Wacana pengurangan subsidi BBM telah menjadi permasalahan kompleks karena masyarakat Indonesia kita sudah lama terbiasa menikmati subsidi BBM oleh pemerintah. Wacana pengurangan subsidi BBM untuk beberapa jenis kendaraan ditentang oleh berbagai pihak. Tahun 2010 ini, volume BBM subsidipun berusaha dijaga pada level 36,5 juta kiloliter saja, kurang dari estimasi volume kebutuhan nyata tahun 2010 sebesar 40 juta kiloliter.
Meskipun wacana pengurangan subsidi BBM ini telah berkembang, pemerintah sendiri tetap mengusulkan ke DPR tambahan BBM bersubsidi untuk tahun 2011 mencapai hingga 42,5 juta KL. Hal ini menunjukkan bahwa dalam satu tahun ke depan subsidi BBM masih tetap akan naik. Tindakan pemerintah saat ini lebih mengarah kepada mengerem laju peningkatan volume subsidi ini, dibandingkan menguranginya secara drastis.
Saya sendiri tidak setuju dengan subsidi BBM terus membebani belanja pemerintah Indonesia dan bahkan meningkat tahun depan. Subsidi BBM ini harus dikurangi dan pada gilirannya harus dihentikan. Bentuk subsidi dari pemerintah lebih tepat tidak dikenakan kepada suatu jenis produk, melainkan subsidi langsung pada kelompok masyarakat tertentu. Jadi, bentuk subsidi model langsung ke masyarakat seperti BLT (Bantuan Langsung Tunai) atau sistem kupon makanan bagi orang yang hidup di jalanan adalah lebih tepat sasaran dibandingkan subsidi BBM, subsidi listrik, subsidi air, atau subsidi jenis produk lainnya.
Harga minyak mentah sebagai bahan baku BBM beberapa tahun belakangan ini juga berfluktuasi sangat liar. Dalam jangka waktu lima tahun belakangan, harga minyak mentah pernah turun drastis berada pada titik terendah US$30 perbarel dan mencapai titik tertinggi US$145 perbarel. Saat ini, harga minyak mentah berada pada tengah-tengah, sekitar US$70an perbarel. Harga BBM nonsubsidi seperti bensin Pertamax 92 bergerak mengikuti fluktuasi harga minyak mentah ini, sekitar Rp 6500 perliter. Di sisi lain, BBM bersubsidi, seperti bensin Premium memiliki harga jual yang tetap sehingga fluktuasi selisih harga ini menjadi ditanggung oleh subsidi pemerintah. Bisa dibayangkan bagaimana angggaran belanja subsidi BBM tahun ini bila dapat dialihkan untuk pembangunan di daerah tertinggal di Indonesia. Atau bagaimana kalau uang ini digunakan untuk perluasan lapangan kerja?
***
Di samping anggaran subsidi BBM, kita juga perlu bertanya: Berapa sebenarnya biaya yang terkandung dalam BBM? Kita dapat mengetahui berapa harga minyak mentah di pasaran, biaya proses produksi dari minyak mentah menjadi BBM, dan harga BBM yang sampai ke tangki bensin kita. Akan tetapi, biaya sesungguhnya dari penggunaan BBM ini memiliki perhitungan lebih rumit. Ada suatu biaya yang tersembunyi, yang oleh ahli ekonomi disebut sebagai “eksternalitas”. Gangguan kesehatan karena polusi udara hasil pembakaran BBM dan dampak kerusakan lingkungan adalah beberapa contoh dari eksternalitas. Komponen biaya eksternalitas tidak tercermin dalam harga BBM saat ini, tetapi secara tidak langsung akan membebani masyarakat.
Sebuah badan bernama Resource for Future pernah melakukan perhitungan dan menyarankan bahwa harga BBM harus dinaikkan sekitar Rp 3.000 perliter kalau kita ingin memasukkan biaya eksternalitas. Kalau kita khawatir dengan global warming, kita malah perlu menambahkan Rp 4.500 untuk setiap liter BBM. Jadi kira-kira biaya BBM sebenarnya yang mencakup biaya eksternalitas diestimasikan sekitar Rp 11.000 perliter. Jadi, BBM mestinya tidak perlu disubsidi, melainkan harus dipajaki : Rp 6.500 masuk ke kantong perusahaan minyak dan Rp 4.500 masuk sebagai pajak pemerintah. Pajak BBM ini dapat digunakan untuk membiayai eksternalitas berupa perbaikan kerusakan yang ditimbulkan akibat penggunaan BBM ini.
Perhitungan biaya eksternalitas sebenarnya lebih rumit lagi. Kita tidak bisa menghitung berapa ongkos dari kepunahan burung Pelikan akibat kerusakan karena produksi minyak. Kita juga belum tahu secara menilai kerusakan suatu ekosistem akibat eksploitasi minyak. Isu yang sedang hangat di Amerika saat ini adalah kerusakan yang ditimbulkan akibat tumpahnya minyak oleh BP (British Petroleum) di Teluk Meksiko. Kerusakan akibat tumpahan minyak BP ini adalah kecelakaan lingkungan terbesar di dunia. Presiden Obama membatalkan kunjungannya ke Asia, termasuk Indonesia, untuk mengurusi langsung permasalahan tumpahan minyak ini. BP sendiri akhirnya setuju untuk membayar dana kompensasi lebih dari Rp180 triliun, dua kali lipat lebih besar dari anggaran subsidi BBM Indonesia setahun.
***
Lalu kalau subsidi BBM dihapuskan, bagaimana dengan masyarakat yang tidak mampu? Apakah itu adil bagi masyarakat miskin kalau BBM mencapai harga Rp 11.000? Kemampuan ekonomi masyarakat miskin pasti akan kesulitan dengan harga BBM ini. Di sinilah mekanisme BLT akan mensubsidi masyarakat tidak mampu. Uang tunai atau kupon pembelian akan dialirkan langsung ke masyarakat miskin dan dapat digunakan untuk konsumsi, termasuk diantaranya membeli BBM. Anggaran belanja pemerintah yang telah lebih ringan karena tambahan pendapatan dari pengalihan subsidi dan pendapatan pajak BBM dapat dialirkan untuk kebutuhan subsidi BLT ini.
Memang proses penyaluran BLT seperti yang pemerintah lakukan sebelumnya membutuhkan biaya ekonomi yang cukup besar, bahkan ada potensi kebocoran dalam mekanisme BLT ini. Birokrasi menjadi rumit, pungli memotong subsidi di sana-sini, dan penyaluran bantuan bisa jadi mengalir ke pihak yang tidak tepat. Akan tetapi, BLT berikut permasalahannya dapat dengan mudah dibatasi sasarannya dan periode waktunya. Bantuan berupa uang tunai kepada kelompok masyarakat tidak mampu ini lebih baik daripada membagi-bagikan uang dalam bentuk subsidi BBM ke seluruh masyarakat, baik yang mampu maupun yang tidak mampu.
Selain untuk BLT, anggaran tambahan yang masih tersisa cukup banyak dari pengalihan subsidi dan pajak BBM ini juga dapat digunakan untuk subsidi pendidikan, perawatan kesehatan, dan bentuk subsidi jaring pengaman sosial lainnya. Anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN dapat mudah terpenuhi dan hal ini dapat mendukung pengembangan pendidikan nasional. Asuransi kesehatan yang disediakan oleh pemerintah model Jamkesmas dan Askes dapat menyediakan lebih banyak premi untuk mencakup lebih banyak lapisan masyarakat. Saya senang melihat pemerintah Korea Selatan yang menggratiskan kesehatan bagi seluruh warga negaranya, meskipun hanya untuk perawatan kesehatan dasar saja. Saya berharap suatu hari, pemerintah Indonesia akan bisa menyediakan pelayanan macam itu kepada warga negaranya. Ini akan mudah bila uang pemerintah tidak lagi harus digunakan untuk mensubsidi BBM.
Jadi pertanyaannya: apakah kita siap menghilangkan subsidi BBM? :)