4 Februari 2008

Sarjana Biologi : Mau jadi apa?


Seperti judul corat-coret ini,"Mau jadi apa?" adalah pertanyaan yang sering terlontar kepada orang yang belum memasuki dunia kerja atau bahasa kerennya karier. Sejak TK, SD, SMP, SMU, hingga kuliah sarjana, kadang magister, pertanyaan "Mau jadi apa?" sering melintas di hadapan. Kadang menunggu jawaban, walau tidak jarang hanya basa-basi yang tidak perlu dijawab.

Jawabannyapun tidak harus selalu konsisten. Tidak pernah ada larangan menjawab berbeda sampai kita sendiri yang mulai berkiprah selepas pendidikan formal tersebut. Di tengah ketidakkompatibelan output dunia pendidikan dengan kebutuhan pasar (baca : dunia kerja), suatu artikel yang pernah menyatakan hanya 15% saja dari jumlah lulusan sarjana bidang tertentu yang berkiprah di bidang yang sejenis. Dengan tingkat pengangguran mencapai 9.75% (BPS, Feb 2007), sering kita mendengar bahwa mencari pekerjaan adalah hal yang sangat sulit.


Ironisnya, para perekrut SDM internal (Departemen SDM) atau eksternal (head hunter), mengalami kesulitan mendapatkan SDM yang siap pakai untuk industrinya. Ini adalah hal yang sudah saya dengar sejak saya baru lulus dari seorang alumni Biologi lulusan '84 yang mencari bakat untuk perusahaannya. Alasan saya bercerita hal yang sama empat tahun kemudian adalah karena hal ini sedang saya alami sendiri di perusahan tempat saya bekerja.


-----------------------------------------------------


Sedikit kilas balik, setelah bekerja di Sharp, sebuah perusahaan elektronik multinasional selama satu tahun lebih sedikit, saya memutuskan untuk melanjutkan pengembangan diri saya di perusahaan lain. Tidak banyak referensi yang saya dapatkan dari jaringan yang saya miliki, jadi saya memutuskan untuk 'babat alas' sendiri, membuat surat lamaran, interview, dsb. Akhirnya saya bekerja di perusahaan yang saat ini dari keputusan penerimaan dari seorang lulusan apoteker satu alumni angkatan 70-an akhir yang menjadi manager divisi saat itu.

Perusahaan tempat saya bekerja saat ini bernama B Braun, perusahaan multinasional produk dan jasa medis, anak cabang dari perusahaan Jerman yang berusia sekitar 169 tahun. Di sub-industri supplier medis yang low profile, B Braun berkembang dengan inovasi, efisiensi, dan kesinambungan yang menjadi bahan bakar pertumbuhannya.


Salah satu divisi besarnya adalah Aesculap, merek yang melegenda di kalangan dokter bedah seluruh dunia, termasuk Indonesia. Setelah bekerja selama dua tahun lebih sedikit, saya dipercaya untuk merekrut anggota tim baru untuk membantu mengembangkan sepotong bagian dari total keseluruhan bisnis Aesculap.


-----------------------------------------------------


Seorang lulusan Biologi di perusahaan sejenis B Braun bisa dihitung dengan jari. Sejauh yang saya tahu, selain saya dan istri saya, yang telah menjadi mantan karyawan perusahaan yang sama dengan saya, ada dua orang lagi sarjana Biologi yang bekerja bersama B Braun. Sedangkan karyawan yang lain kebanyakan adalah lulusan farmasi/apoteker atau manajemen/ekonomi.


Estimasi saya, ada puluhan kalau tidak ratusan ribu slot tenaga kerja yang dapat berkiprah di sub-industri ini. Dari sekitar 300 orang jumlah SDM di perusahaan saya, hanya ada empat alumni Biologi (1,33%). Padahal dengan relatif besarnya kebutuhan SDM yang memiliki pengetahuan dan keahlian Ke-'Biologi'-an di sub-industri ini, seharusnya proporsi Alumni Biologi bisa jauh lebih besar.


Anatomi dan fisiologi hewan/manusia adalah ilmu yang sangat banyak digunakan di bidang ini, selain juga konsep biomolekuler, biologi seluler, biosistematika, dan evolusi. Kesan yang saya dapatkan, pengetahuan dan keahlian di bidang tersebut adalah modal dasar keunggulan kompetitif untuk berkiprah yang setahu saya tidak terdapat di kurikulum pendidikan bidang lain.


-----------------------------------------------------


Tidak lantas lulusan Biologi dapat menjadi lulusan siap pakai di sub-industri farmasi dan alat medis. Cerita ini sesederhana menjelaskan bahwa ada peluang mengembangkan karir di sub-industri farmasi dan alat medis "secara terencana". Bukan hanya karena ketidaksengajaan, apalagi keterpaksaan karena penyerapan SDM Biologi bidang lain juga masih terbatas.


Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Ketertinggalan lulusan Biologi pada bidang yang dikuasai lulusan lainnya juga tidak kalah banyak. Semuanya berada pada garis start yang relatif sama, tinggal siapa yang bersedia berlari lebih cepat.


Saya tidak perlu menyebutkan pentingnya melakukan aktifitas di luar kurikulum akademis, kan? Kata orang, apa yang kita baca, dengar, dan tonton serta siapa teman kita saat ini menentukan bagaimana kita lima tahun yang akan datang.


Tebakan saya, ada banyak lulusan Biologi lain di industri lain yang mengalami dan merasakan hal yang sama seperti saya sekarang. Semoga sempat terceritakan kepada teman-teman tercinta yang masih mencari tempat berkiprah.


Salam dari teman di Jakarta,
cokhy