13 Agustus 2008

Hidup Hanya Sebatas Perut

Menyatakan bahwa kita melihat dan menyadari keterbatasan diri ternyata harus sedikit dipaksa. Hal itu yang terjadi pada saya untuk mengakui bahwa ternyata hidup saya ini ternyata masih hanya sebatas perut.

Dua kali kiasan kata “hidup hanya sebatas perut” terlintas dalam keseharian jangan-jangan bukanlah suatu kebetulan, melainkan sebuah pemberitahuan. Untuk mengajari tentang kata orang-orang bahwa ada hal-hal lain selain batas perut yang harus diperjuangkan.

Mentalitas “sebatas perut” tidak selalu berkorelasi dengan kenyataan fisik, apakah perut seseorang memang kurang, cukup-cukup saja, atau bahkan berlebih. Malah ada perut-perut yang sudah diperlakukan secara berlebih masih saja merasa lapar.

Ya pastinya termasuk saya ini, yang kadang-kadang khawatir dengan soal-soal makan apa hari ini, tidak jarang mengenai tagihan yang belum selesai, malah kadang-kadang menginginkan hal-hal yang belum saatnya dimiliki. Padahal, kurang apa saya? Banyak yang diberikan kepada saya mungkin tidak diberikan kepada semua orang dan belum sempat saya tindak lanjuti.

Muhammad sendiri mengatakan bahwa jihad terbesar adalah menaklukkan hawa nafsu kita sendiri. Zuhud, yaitu melepaskan perasaan dari dunia, adalah sebuah proses yang tidak pernah berhenti, karena batasnya adalah langit, bahasa bekennya limit menuju tak terhingga.

Urusan perut adalah hawa nafsu kita yang paling dasar. Maslow mengatakan bahwa kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan paling pokok dan mendasar. Selanjutnya baru menyusul kebutuhan rasa aman, lalu kebutuhan bersosialisasi, diikuti dengan kebutuhan harga diri. Baru kebutuhan aktualisasi diri muncul terakhir setelah semuanya terpenuhi.

Menyesapi pikiran dengan kiasan bahwa hidup tidak hanya sebatas perut saja, masih membutuhkan tindak lanjut, yang tentunya akan didapatkan dengan tindakan nyata. Tetapi di sisi lain, memahami bahwa hidup bukan hanya sebatas perut adalah masalah hati dan pikiran. Tindakan kita memang mewarnai dunia, tapi hati, perasaan, serta niat kita itu tidak perlu ada orang yang tahu.

Mungkin hikmah berpuasa bukan sekedar menahan urusan “fisik” perut kita, tapi juga urusan “mental” perut. Kalau kita masih mau berjalan lebih jauh, masih ada batas-batas lain yang lebih jauh dari perut yang bisa kita capai, ya seperti salah satunya ya langit itu.

Petantang petenteng kita berlagak di muka bumi ini, berlagak juga ingin menaklukkan langit, ternyata masih hidup hanya untuk sebatas perut.