skip to main |
skip to sidebar
“Dunia tersembunyi memiliki awan dan hujan.
Tetapi dalam jenis yang berberbeda.
Langit dan cahaya mataharinya, juga berbeda.
Ini tampak nyata, hanya untuk orang yang berbudi halus --
mereka yang tidak tertipu oleh kesempurnaan dunia yang semu.“
Nama Rumi mungkin sempat terlintas dalam kehidupan kita. Kesempatan menikmati sepotong karyanya pertama kali didapat ketika di bangku kuliah dulu dari tulisan manajemen Gede Prama.
Suatu hari Rumi berdoa dalam-dalam. Sehabis berdoa, ia ketuk pintu Kekasih Yang Maha Mencintai. Dari dalam ada yang bertanya: "Siapa?". Dengan teduh Rumi menjawab: "Aku...!Tanpa menunggu lama-lama suara tadi menjawab kembali:"Tidak ada tempat untuk berdua."Kembali Rumi berdoa dalam-dalam. Setelah dirasa cukup, ia ketuk lagi pintu yang sama.Kali ini pun terdengar suara yang sama: "Siapa?"Dengan bergetar Rumi menjawab: "Engkau!" Tanpa aba-aba pintu itu langsung terbuka.
Dari pandangan awam, kesan pertama yang tergambar dari tulisannya adalah keakraban antara jiwa dan Tuhan. Bagi yang merasa topik ini berada pada domain lain dan terasa tabu dan menakutkan, mungkin puisi-puisinya bisa terasa lebih nyaman karena berada pada konteks keseharian yang bersahabat. Bukan pada konteks sakral-ritual, apalagi pengkotak-kotakan baik-buruk, surga-neraka, islam-kristen-hindu-budha-kafir, dsb.
“Bukan Kristen atau Yahudi atau Muslim,
bukan Hindu, Budha, sufi, atau zen.
Bukan agama atau sistem budaya apa pun.
Aku bukan dari Timur atau Barat,
bukan keluar dari samudera atau timbul dari darat,
bukan alami atau akhirat,
bukan dari unsur-unsur sama sekali.
Aku bukan wujud,
bukan entitas di dunia ini atau akhirat,
bukan dari Adam atau Hawa
atau cerita asal-usul mana pun.
Tempatku adalah Tanpa-Tempat,
jejak dari yang Tanpa-Jejak.
Bukan raga maupun jiwa“
Sebuah kebetulan, tepat 800 tahun yang lalu, 30 September 1207, Jalaluddin Rumi lahir. Banyak yang telah dikatakan dia masih terdengar, berbicara bukan pada telinga, tetapi pada hati manusia.
Membandingkan latar belakang perang salib semasa hidup Rumi dengan perang minyak saat ini yang terpaut delapan abad, adalah waktu yang sangat lama untuk puisi-puisi Rumi masih terdengar aktual hari ini. Kalau ada istilah “Sains populer“, mungkin karya-karya Rumi ini boleh dikatakan “Ketuhanan populer“. Sedemikian populernya sehingga literatur Rumi mungkin dapat disandingkan dengan Shakespeare dan Khalil Gibran. Sedikit yang sempat terbaca, syair pendeknya beberapa kali mengundang celotehan spontan “Busyet dah“ dan “Gile bener”, misalnya saja:
“Kecerdasan adalah bayangan dari Kebenaran obyektif
Bagaimana bayangan dapat bersaing dengan cahaya matahari?”
Atau katanya lagi --
“Hidup/jiwa seperti cermin bening; tubuh adalah debu di atasnya.
Kecantikan kita tidak terasa, karena kita berada di bawah debu”
Bagaimanapun indahnya, tulisan Rumi akan selalu menimbulkan keresahan masyarakat dan mengusik intelektual, emosional, dan spiritual pembacanya. Tapi sudah seharusnya manusia terus melakukan perjalanan dan tidak berhenti: baik keluar - menapaki keluasan alam semesta; maupun kedalam - menyusuri kedalaman hati.
Nabi bersabda bahwa Kebenaran telah dinyatakan:
"Aku tidak tersembunyi, tinggi atau rendah
Tidak di bumi, langit atau singgasana.
Ini kepastian, wahai kekasih:
Aku tersembunyi di kaibu orang yang beriman.
Jika kau mencari aku, carilah di kalbu-kalbu ini."
Pada batu nisan di atas makam Rumi, orang menatahkan kata-kata yang pernah dikatakannya :
“Ketika kita mati, jangan cari nisan kita di bumi, tetapi carilah di hati manusia.“
Dear Rumi, selamat hari kelahiran ke-800, semoga kau bahagia bersama-Nya.
Hi, it’s me again.. 3 bulan yang telah lewat terakhir menulis di sini.
Well, sekarang jam 23.00 WIB, sekitar satu jam lagi menuju 17 September 2007. Yang katanya sih sekitar satu jam lagi menuju perempat kedua hidup saya. Yup, beberapa waktu lagi saya berusia 26 tahun..
Berani-beraninya memberi nama perempat kedua dalam hidup, padahal siapa yang berani menjamin umur saya mencapai 100 tahun? Menurut sebuah sumber, harapan hidup rata-rata orang saat ini di seluruh dunia adalah 67 tahun, sedangkan untuk laki-laki Indonesia khususnya adalah 68.7 tahun. Jadi kalau mencapai 100 tahun, sudah diberi bonus oleh Allah sebanyak 22.3 tahun.
Pernah suatu kali ada pertanyaan mengiris dari seorang sahabat sekaligus guru saya, kalau memang tidak disebut saudara (sebenarnya suatu kehormatan karena dia selalu memanggil saya saudara), “Memangnya kenapa orang takut mati?”. Sebuah pertanyaan yang tidak nyaman untuk dijawab dan didiskusikan bagi orang umum, tetapi mungkin tidak bagi beliau.
Seperti biasa pertanyaan yang diajukan adalah retoris dan di balik ini pasti ada sesuatu yang menunggu menghajar kenyamanan, tidak jarang mengobrak-abrik fundamental jalan pikiran dan keyakinan. Sesuatu ini tidak harus selalu jawaban, mungkin juga pertanyaan lainnya yang lagi-lagi tidak terjawab.
Seorang peserta dalam diskusi ini menyeletuk, “Takut tidak siap”
“Memang kapan siapnya? ………………… ”
Suasana mencair dengan tawa tanpa kehilangan makna bagi saya…
Sudah kali kedua saya bersinggungan langsung dengan orang-orang yang merindukan kematian, salah satunya dari ucapan salah satu dari mereka, “Kematian itu seperti pulang kampung…”. Lantas, bukannya mereka menjadi hidup asal-asalan. Hidup mereka serius dan tidak kehilangan makna. Tidak sedikit pula kontribusi yang mereka berikan kepada dunia…
Beberapa waktu belakangan ini, beberapa kali momen dimana saya diberikan kesempatan untuk meredefinisi ulang kehidupan dan kematian. Seperti tagline-nya Matrix Revolution (2003) : “Everything that has a beginning has an end”, pada setiap kehidupan pasti terdapat kematian, sesungguhnya kita ini milik Allah dan kepada-Nya lah kita akan kembali.
Bagaimanapun juga tetap sulit, tetapi perasaan setelah meredefinisikannya membuat kita lebih mendekati pemahaman akan hakikat hidup-mati. Kebenaran itu selalu absolut, tetapi pemahaman akan kebenaran itu relatif... Dan juga dinamis bagi orang yang menyempatkan diri mencarinya.
Tidak berapa lama lagi, Insya Allah saya akan memulai KDRT, bukan kekerasan dalam rumah tangga, tetapi kehidupan dalam rumah tangga :P. Seperti yang dikatakan seorang teman, ibadah besar itu terjadi setelah menikah… Menghidupi keluarga dan membesarkan anak? Semoga pernikahan akan membawa keikhlasan dalam hati seluruh anggota keluarga.
Well, mungkin cerita ini hanya sampai perempat kedua, mungkin juga tidak… tergantung jatah preman. Tetapi inti permasalahannya seharusnya bukan lagi kapan dan berapa lama, tapi apa dan bagaimana mengisinya...
Sebelum saya mengakhiri tulisan ini, ada cerita yang mungkin sudah pernah kita dengar :
Ada suatu kisah tentang kegiatan seorang guru dan beberapa muridnya. Guru tersebut mengambil sebuah ember, kemudian memasukkan beberapa butir batu yang cukup besar hingga mencapai bibir ember. Kemudian ia bertanya, “sudah penuhkan ember ini?” Para murid menjawab “sudah”, kemudian sang guru memasukkan batu-batu kerikil dan mengguncangkan ember tersebut hingga butiran kerikil berjatuhan ke dasar ember dan mengisi celah-celah batu besar. Kemudian sang guru bertanya kembali, “sudah penuhkan ember ini?” Para murid terdiam, dan seorang murid menjawab “ mungkin belum”. Lalu sang guru mengeluarkan satu plastik pasir dan mulai memasukkannya ke dalam ember. Butiran kecil pasir menyusup di antara celah-celah kerikil dan batu hingga mengisi ruang dari dasar ember hingga permukaan ember. Setelah itu sang guru mengambil air dan menuangkan perlahan-lahan ke dalam ember, hingga ember menjadi benar-benar penuh.
Itulah kehidupan. Isilah hidup ini dengan tujuan dan prioritas hidup yang diibaratkan dengan batu besar. Kemudian dilanjutkan dengan hal-hal yang lebih praktis yang diibaratkan dengan batu kerikil, pasir dan air. Jangan dilakukan sebaliknya, karena jika demikian, hidup ini hanya dipenuhi kerikil-kerikil masalah tanpa ada tujuan dan prioritas, karena batu-batu besar akan sulit masuk saat ember sudah dipenuhi kerikil, pasir atau bahkan air.
Hanya kita yang dapar mengukur ‘ember kehidupan’ kita masing-masing. Apakah sudah cukup terisi dan membuat hidup kita lebih bermakna, sehingga kita dapat berjalan tegak di muka bumi dan memberi arti bagi sekitar kita? Karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.
Akhir kata:
Selamat ulang tahun Cokhy di bulan Ramadhan ini, doaku untuk-Mu ya Allah :
“Berikanlah hidayah-Mu untukku, untuk mengikhlaskan diri pada-Mu..
Penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah..
Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allahirobbil’alamin”
Wassalamualaikum Wr. Wb
Jakarta, 17 September 2007 12:07 WIB