memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
"Tapi,
yang fana adalah waktu, bukan?"
tanyamu. Kita abadi.“
-– Sapardi Djoko Damono
Benarkah yang fana adalah waktu; kita abadi? Sampai saat ini, manusia selalu bergantung pada makhluk yang bernama waktu. Hampir seluruh peristiwa manusia, kalau tidak semua, diberikan atribut waktu.
“Kapan“ menjadi penting, minimal posisi relatif waktu dibandingkan terhadap “Sekarang”-nya manusia. Past, present, future, present continues dan seterusnya… menjadi faktor utama pada bahasa dalam mendefinisikan bentuk-bentuk kalimat. Tidak jarang “Kapan” harus dinyatakan dalam titik, suatu unit satuan terdetail. Tanpa disadari, ada pertukaran tempat… Bersama-sama dengan Ruang, Waktu menjadi Subjek dan manusia menjadi objek.
Seperti misalnya “Kapan” sekarang ini, di penghujung tahun 2007, saya berusaha menuliskan sekadar catatan untuk memback-up ingatan saya yang mudah lupa.
“Kapan“ menjadi Subjek. Bila tidak, kenapa harus “Sekarang“?
Waktu berjalan dengan sopan. Sabar, tidak grasa-grusu, tenang, konsisten, tidak membocorkan rahasia apapun yang ia jaga sehingga pada waktunya ia bicara. Sebaliknya, Sang Waktu berteriak selantang-lantangnya apa yang harus kita ketahui pada saatnya. 11 bulan 10 hari setelah pertemuan pertama, tepatnya 11 November 2007 kami menikah disaksikan berpuluh-puluh, beratus-ratus, atau bahkan mungkin beribu-ribu orang. Mengikatkan diri dengan kesakralan yang sederhana... dan sisanya adalah hingga saat ini.
Melihat dengan kesadaran inderawi, dengan mudah dapat disimpulkan ini adalah kebetulan acak, random, dengan probabilitas yang kecil, tapi toh terjadi juga. Hubungan yang singkat, padat, dan sedikit teratur di tengah ’chaos’. Yah, bisa dikatakan ini adalah suatu fenomena di tengah seluruh populasi fenomena lainnya yang derajat ke-’penting’-annya sama.
"Tapi,
yang fana adalah waktu, bukan?"
tanyamu. Kita abadi.“
Happy New Year 2008.
Tomang-Jakarta, 31 Desember 2007 11.51 PM